MENULIS adalah AKU; caraku beristirahat, caraku memaafkan, caraku mencintai dan caraku hidup abadi.
Kamis, 25 Juni 2015
Ramadhan ke-8; "Vera Aja Udah, Masa Kakak Belum?"
Semalam aku sudah bercerita kepadamu tentang keadaan rasaku. Tak berniat awalnya, tapi karena terpancing dengan sebuah cerita bertema kecewa, maka akhirnya lisanku berceloteh juga. Aku menjabarkan (meskipun tersirat) tentang sedikit banyaknya rasa sebenar rasa yang teramat diriku.
Aku menakuti perpisahan sama seperti seorang kekasih yang
takut ditinggal pasangannya. Sekalipun kau bukan kekasihku, tapi seperti itulah
kekhawatiranku terhadapnya. Kadang, aku tak mengerti, apakah kau tidak pernah
tahu rasanya ditinggalkan? Apakah kau tidak pernah dikecewakan harapan? Mungkin
pernah. Ya, sebagai seorang manusia, aku fikir keduanya pasti pernah dirasakan.
Tapi, ntahlah! Kadang, aku merasa asing ketika bercerita denganmu, terutama
saat ini. Setiap bedahan rasaku yang tersunting ke dalam cerita, senantiasa kau
pertanyakan: Apakah perasaan seperti itu
tidak bisa dikendalikan?, Apakah
perasaan seperti itu disengaja atau murni hadirnya? Hey, ini bukan adonan
kue yang bisa sesukannya diracik oleh pembuatnya!.
Jika aku bisa memilih, aku tentu tidak ingin memiliki perasaan yang ribet seperti ini. Jujur, aku kelelahan oleh rasaku sendiri. Dulu, waktu kita sedang belajar saling mengenal, aku merasa dirimu lebih hangat dan dekat. Untuk itu, aku sering merasa takut dengan dengan fase lanjutan dari pengenalan. Karena biasanya, di sanalah mulai ku tuai kecewa. Ntah harapanku yang tak tahu waktu, atau memang kau yang tak mengimbangiku? Bahkan secara langsung, kau pun pernah melarangku mengkhawatirkan adamu terhadapku. Detik itu, aku merasa tak berbalas. Bukankah seharusnya kau bahagia ketika ada seseorang yang secara tersirat menunjukkan bahwa ia menyayangimu? Bahkan takut kehilanganmu. Kenapa kau tidak membalasnya saja? Tak mesti dengan berteriak: “Aku juga menyangimuuuuuuuu.” Tak mesti. Yaaa mungkin dengan hanya berkata, “Aku akan tetap di sini, selama waktuku ada.” Sederhana, bukan? Karena kesederhanaan balasan itulah yang sebenarnya ku mau.
Jika aku bisa memilih, aku tentu tidak ingin memiliki perasaan yang ribet seperti ini. Jujur, aku kelelahan oleh rasaku sendiri. Dulu, waktu kita sedang belajar saling mengenal, aku merasa dirimu lebih hangat dan dekat. Untuk itu, aku sering merasa takut dengan dengan fase lanjutan dari pengenalan. Karena biasanya, di sanalah mulai ku tuai kecewa. Ntah harapanku yang tak tahu waktu, atau memang kau yang tak mengimbangiku? Bahkan secara langsung, kau pun pernah melarangku mengkhawatirkan adamu terhadapku. Detik itu, aku merasa tak berbalas. Bukankah seharusnya kau bahagia ketika ada seseorang yang secara tersirat menunjukkan bahwa ia menyayangimu? Bahkan takut kehilanganmu. Kenapa kau tidak membalasnya saja? Tak mesti dengan berteriak: “Aku juga menyangimuuuuuuuu.” Tak mesti. Yaaa mungkin dengan hanya berkata, “Aku akan tetap di sini, selama waktuku ada.” Sederhana, bukan? Karena kesederhanaan balasan itulah yang sebenarnya ku mau.
Nasehat: Sombong tidak Semata Tentang Harta
Detik ini, aku berfikir tentang sesuatu; ternyata ada banyak
hal yang bisa membuat kita sombong, bukan hanya harta. Contohnya; menyombongkan
waktu luang. Aku sering beranggapan, ‘Ah, nanti ajalah ngerjainnya. Kan hari
ini nggak ke mana-mana, ada waktu yang panjang kok!’ See? Atau yang ini, aku
juga sering menyombongkan kemudahan, ‘Gampang tuh nyooo! Nggak usah
terburu-buru kali. Nyantai aja.’ Padahal siapa yang tahu apa yang akan berlaku
di depan sana? Masih banyak hal lainnya yang bisa disombongkan. Coba pemirsa
belajar merenungkan. Banyak banget! Ternyata nggak cuma harta yang bisa
menyebabkan kseombongan ya.
Ya Allah, maaaf. Hamba
banyak dosaa. hikss
Langganan:
Postingan (Atom)