Sabtu, 25 Juli 2015

Sakit jadi Sakti

Awalnya memang sakit
Tapi akhirnya jadi sakti
Siapa lagi kalau bukan hati?

Hati warna-warni, Juli 2015

Inspirasi: Sifat Asli atau Sifat buruk?


Sering banget kalau kita ngomongin sifat-sifat orang, sering banget kita dengar atau ucapkan kalimat ini, “Huh, dia belum tahu aja tuh sifat aslinya si anu kayak apa!”
Nyadar nggak sih, kita tu sering banget menamai sifat terburuk seseorang itu sebagai sifat aslinya. Padahal, bisa jadi itu justru bukan sifatnya. Mungkin, karena dia disakiti atau merasa posisinya terancam, akhirnya dia bereaksi berlebihan untuk melindungi dirinya. See? Bisa jadi juga kan, sifat aslinya dia adalah pemaaf, penyayang dan sabar. Tapi, kebanyakan dari kita memang sering menamai ‘belum muncul sifat aslinya’ kalau orang itu belum melakukan hal buruk yang nggak bisa ditolerir dan saat itulah label sifat asli tadi langsung dikalungkan.

So, menurutku, kalau mau nyebut sifat jelek orang ya silahkan aja sebut sebagai sifat buruknya. Bukan sifat aslinya. Karena, hanya ada jenis 2 sifat; sifat baik dan sifat buruk. Bukan sifat baik dan sifat asli. Karena baik atau buruk itu, tentang keasliannya hanya Sang Pencipta yang paling tahu. *azeeekkk.

Kalau Kita Tidak Menyimak, Bagaimana Bisa Memperbaiki?

Aku terjaga pukul 04.10wib. Rencananya ingin segera bangun untuk sholat Tahajud dan nulis. Tapi, aku khawatir kalau aku bangun, perutku akan kambuh lagi mules-mulesnya. Akhirnya, ku putuskan untuk kembali tidur supaya tidak sadarkan diri dan nggak bolak-balik toilet jam segini. Barulah aku bangun lagi ketika mami membangunkanku sholat Subuh.
Ku paksakan diriku untuk bangkit, meskipun perut masih terasa sakit. Tapi, semoga nggak sampai bocor kayak kemarin lagi.
“Udah aman?” papi menepuk pundakku.
“Sendawanya sih masih bauk Pi.”
“Tapi kan yang penting semalaman nggak ada kebelet ke WC. Tandanya udah nggak apa-apa tuh.”
“Semoga aja deh Pi. La jadi?”
Sholat Subuh kali ini diimami oleh Nilam dan bacaannya lumayan panjang. Perutku sempat kembali kerucukan di pertengahan sholat. Tapi, untungnya bisa ku tahan hingga selesai. Setelah salam terakhir, aku tergeletak dan berusaha tidur lagi supaya perutnya semakin membaik. Aku fikir sih begitu.
“Eh, sebenarnya yang koe baca krusak-krusuk-krusak-krusuk pas imam baca surat pendek itu apa El?” tanya mami.
“Maksudnya Mi?”
“Waktu imam sedang baca surat pendek, koe baca apa? Alfatiha?”
“Iya. Kan dulu Papi ngajarinnya gitu kan?”
“Kan waktu itu udah dikasih tau lagi kalau yang bener tu nggak kayak gitu.”
“Jadi gini, sewaktu imam menziharkan suara (mengeraskan), maka kita harus mengikuti bacaan imam. Jadi, waktu imam baca Alfatiha, kita pun baca begitupun kalau imam baca surat pendek. Jadi, sewaktu imam ada kesalahan bacaan, kita langsung nyambung dan bisa memperbaiki. Kalau misalnya kita aja sibuk baca Alfatiha, gimana kita bisa menyimak bacaan imam? Kalau kita nggak tahu surat apa yang dibaca sama imam, minimal kita mendengarkannya. Kan berpahala juga,” jelas papi dengan mantap.
Aku menyimak penjelasan papi itu. kemudian melanjutkan mengaji. Biasanya ketika imam membaca Alfatiha, aku merenungi terjemahnya. Tapi, yang dibilang papi emang bener juga, kalau kita nggak menyimak, gimana kita bisa memperbaiki?