Jumat, 07 Agustus 2015

Impian: Menjadi Reviewer Hotel

Baru saja selesai sholat Maghrib, aku langsung menceritakan sebuah khayalan tingkat tinggi kepada Rini.
“Rin, tiba-tiba aku bermimpi, pada suatu pagi yang indah tiba-tiba aku dapat telvon dari nomor tak dikenal…’Hallo Bu Elysa, hari ini pukul 10.00wib bisakah kami mengundang Ibu Elysa untuk mereview hotel kami?’ sebuah permintaan dari hotel berbintang 5 ternyata Riin. Lalu dengan tersenyum aku menjawab, ‘Tentu saja bisa. Saya akan datang segera’. Terus, aku akan diajak keliling hotel Rin, melihat semua fasilitas yang ada di sana, menikmati hidangannya dan disambut dengan hangat oleh petingginya. Di ujung sesinya, aku bilang gini, ‘Sekarang, saya butuh waktu sekitar 1 jam untuk meramu tulisan tentang hotel ini’ terus dijawablah oleh mereka Rin, ‘Baiklah Ibu Elysa, kami mempersilahkan untuk menikmati keindahan dan ketenangan di tempat ini’ Setelah hasil review-anku selesai, aku dipersilahkan untuk bermalam di hotel itu dengan fasilitas terbaik.”
“Waaahhh…”
“Bayangkanlah Rin, pekerjaan macam apa tuuu Rin?” Tanyaku geram, bahagia, penuh mimpi. “Aku akan diundang ke berbagai hotel dan difasilitasi untuk mereview hotel mereka. indah sekaliii tentunya kalau itu terwujud Rin. Sekarang, pertanyaannya gimaca caranya supaya aku selangkah lebih dekat dengan itu? ada nggak ya petinggi hotel yang butuh jasa reviewer? Atau aku ngikutin saran Mario Teguh aja untuk IKHLAS melakukan yang ku suka? Ku mulai denga mereview tempat-tempat yang pernah ku kunjungi untuk mengasahnya. Supaya, sebelum masa itu tiba, aku bener-bener udah siap dan meyakinkan.”
“Kalau El mau mereview hotel, El nggak cukup dengan duduk di lobinya doank keleeess.”
*Uppsss, Rini sedang menghubungkan dengan mimpi gilaku yang lainnya.
“Hhahaa. Bener Rin, sekarang PRnya adalah cari cara supaya ketika aku ke hotel itu nggak ditanyai oleh receptionisnya, ‘Ada yang bisa kami bantu? Mau cari kamar yang tipe berapa?’ tapi pertanyaannya adalah, ‘Oh, Ibu Elysa ya? Bapak sudah menunggu di ruangannya Bu. Silahkan!’ Waahhh..kereeen.”
“Arassooh.”
“Aku butuh partner dan teman cerita yang ‘nyambung’ untuk ‘gila’ kayak aku Rin. Siapa ya kira-kira?”

BERSAMBUNG…

Alan Budi Kusuma (Sahabat di Pendidikan Ekonomi)

Menurutku, Elys itu... orangnya baik. Elys pasti kalo kuliah gak mentingin lulus cepat atau enggak. Yang aku tahu Elys selama kuliah ni aku liat lagi ngebangun jaringan dan juga manfaatin momen untuk ngebangun relasi sebanyak-banyaknyaa. Btw, Elys pasti mau jadi wirausahawan? Bukan jadi karyawan atau jadi BABU perusahaan kan? apalagi jadi PNS. (100815)

Sambutanku :
Terimakasih ya Alan atas penilaian baiknya. Alan juga luar biasa baik, *karena hanya orang yang baik saja yang bisa menilai kebaikan orang lain. Tapi, pertanyaan Alan yang terakhir itu loh, agak 'nyesek' dan nusuk gitu. hehe. Aamiin, doakan aku punya penerbit buku yang bisa ngalahin Gramedia ya Laan. Semangat terus Alan dalam menjalani hidup! Terutama dalam ngerjain SKRIPSInya. Semoga kita bisa sama-sama wisuda bulan Oktober ini (Aamiin in ajaa..). Jangan tinggalin sholat, karena kan bentar lagi Alan bakal jadi seorang imam dan pemimpin keluarga. aamiin.
Silahkan berteman dengan Alan di sini: https://www.facebook.com/alaniika

2 DOSA, 2 PENGAMPUNAN

            Ini adalah pagi yang baru. Lebih baru daripada baju baru. Sebaru salam yang baru saja terucap, setelah 12 takbir tercukup. Di sebelah kananku ada Nilam dan di sebelahnya lagi ada mami. Dalam balutan mukena putih, kami menyimak dengan takzim khutbah Idul Fitri yang baru saja dimula.
           
“…Bapak-bapak, Ibu-ibu yang berbahagia, setelah berpuasa sebulan penuh kita memang kembali suci seperti bayi yang baru dilahirkan. Dalam artian, suci dari segala dosa dan maksiat yang selama ini kita lakukan kepada Allah. Sedangkan dosa kita kepada sesama, ya kitalah yang harus menyelesaikannya sendiri, barulah Allah mengampuni…”
           
“Hayooo… minta maaflah sama Rikaaa nanti,” bisik mami kepada Nilam.
            “Hahhh!!! Nilam berantem sama Rika Mi? Sejak kapan?”
            Mami melirik ke Nilam, seolah mempersilahkan Nilam untuk mengaku kepadaku.
            “Masih kecil pun dah musuh-musuhan. Apalaahh!” gerutuku.
            “Ya sebelum Nilam masuk pesantren itulah El. Adeknya Rika itu ndorong Moza sampek jatuh, terus Nilam balas ngedorong Adeknya Rika. Rikanya marah dan Nilam juga nggak terima Moza digitukan. Ya udah deh, sampek sekarang nggak berkawan lagi orang ini. Apalagi waktu itu Dewi dan kawannya yang lain itu ikut-ikutan musuhi Rika.”
            “Aiihh? Ngeri bah sistem perrmusuhan anak zaman sekarang ini.”
           
            “…Jadikanlah lebaran ini sebagai momentum untuk menyambung tali silaturahmi, terutama kepada keluarga besar kita. Hubungi lagi mereka yang sudah lama tidak pernah lagi kita tahu kabarnya. Zaman sekarang kan sudah canggih, kalau tidak bisa mudik ya tinggal telvon saja. Sesungguhnya kelak, Allah akan meminta pertanggung jawaban atas apa-apa yang telah kita putuskan padahal Ia memerintahkan kita untuk menyambungnya..”

            “Dengar tuh Lam? Nanti kita ke rumah Rika pokoknya!”
            “Oke, siapa takut?” kata mami. Sementara Nilam, wajahnya masih cemberut seolah tidak ingin ikut bergabung dalam misi ini.

10% Keseriusan, 90% Penundaan

Hari ini aku pakai baju kaos berwarna ungu, kenang-kenangan dari lomba berbalas pantun di Balai Bahasa kemarin. Rini sempat komplain ini dan itu tentang gayaku; Aku kelihatan gendut lah, kepalaku kadang jadi lebih besar daripada badan, kakiku kelihatan pendek lah, banyak deh. Terakhir, ketika kaos ungunya ku masukkan ke dalam rok ungu dan pakai cardigan, barulah Rini KLIK. Aku nggak tahu kalau ada rok ungunya Nilam di lemariku. Syukurlah, bisa ku manfaatkan sebelum diambil orangnya hehe.

Tujuanku hari ini adalah survey awal ke KOPMA. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ku ajukan kepada pengurus atau pengawasnya.
“Ada pengurusnya Dek?” tanyaku kepada cewek yang duduk di teras KOPMA.
“Nggak ada Kak. Belum buka sekrenya.”
“Adek mau ngapain?”
“Ngurus bebas KOPMA.”
Upsss, berarti dia seumur denganku, hihi kok aku sok-sok tua sih? Hehe.
“Mau ke mana lagi Adek sekarang?”
“Ke kampus lagi Kak.”
“Ya udah, bareng Kakak aja yuk? Capek ntar jalan jauh banget.”
“Emang Kakak mau ke kampus juga?”
“Iyaa,” jawabku cepat. Meskipun tujuan kami belum tentu sama.
Di perjalanan, dia nggak ada nanyain aku satu pun hal. Aku juga nggak nanyain dia, kecuali ketika udah hampir mendekat ke FKIP.
“Aku berhenti di UP2B aja Kak.”
Setelah dia mengucapkan terimakasih kepadaku dan aku langsung menuju perpus UR.