“Dek, tadi Kakak lihat Kak Vivien. Dia jadi pembicara di
hotel Resti Menara.”
“Tahu kok!” dengan ekspresi cuek. “Kan setiap malam kami
telvonan tuuu,” tambahnya lagi.
Hatiku rasanya cekat-cekit
mengenangnya. Tiba-tiba muncul pertanyaan: Jika
dalam 1 waktu aku dan dia berdampingan, manakah yang akan lebih dulu kau tegur,
Dek? Manakah yang akan lebih antusias kau ajak bicara, Dek? Manakah yang akan
lebih histeris kau sapa, Dek?” Sebenarnya, aku sudah tahu jawabannya dan bisa
membayangkannya seketika.
Ku ambil air wudhu perlahan. Dinginnya hambar, tidak meresap
sampai ke pori-pori seperti sejuk di pagi hari. Lamunanku tadi mulai terangkai
lagi; Aku sudah mendengar segala keluh
kesahmu. Juga tentang cemburumu yang kau jabarkan dari A sampai Z ragamnya.
Tapi, tak sekalipun aku menceritakan tentang cemburuku yang sesungguhnya,
bukan? Sampai detik ini pun aku masih bungkam tentang yang satu itu. Bahkan
saat kau berkata, ‘Apapun yang terjadi, jangan kurangi sayangmu kepadaku’ pun
aku menyanggupi permintaan itu. Serta merta dan tanpa syarat apa pun.
Tentang hatiku, aku yang lebih tahu. Saat ini, aku sedang
tidak ingin mengakui apa-apa. Meski air mataku telah terlebih dahulu mengakui
sesuatu.