Sabtu, 25 April 2015

Melunasi Sesal dengan Maaf

"Cin, rompi ini cocoknya dipasangkan sama apa ya?"
"Sama kemeja putihmu, atau sama kaos putih juga bagus."
"Kemeja putih kayaknya ilang, Cin. Ntah kemana. Mungkin gara-gara lemariku berserak ini. Kalau kaos putih, kaos putih yang mana ya?"
"Yang dari Aceh itu loh, Cin."
Lia segera menyetrika kaos putih, rompi cokelat dan jilbab bludru yang berwarna cokelat lebih muda dengan semburat-semburat kuning dan hijau muda. Dia terlihat sangat berbeda hari ini. *lebih gaul coyyyy. Kayak koboy-koboy gitu gayanya, jadi dia istrinya si koboy haha.
"Mu kelihatan lebih keren hari ini, Cin."
"Iya. Aku memang merasa keren hari ini," jawab Lia dengan narsis.
Kami segera melaju menuju panam pada pukul 07.20wib. Ternyata dia ada kuliah pagi ini pukul 07.50wib. Pantesan aja buru-buru banget. Setelah berhenti di depan kelas bahasa Inggris, aku melaju dengan motornya ke kosan. *tadi belum sempat mandi di asrama tadi. hiii jorkiiii. Aku mendapati kamar yang kayak kapal pecah kena bom nuklir dan kosong. Barangkali Rini sedang 'ganti poto profil di sana' (kalimat ini hanya aku, kak Dila dan Rini yang tahu apa maksudnya hehe). Kali ini, aku yang merengek ke Rini untuk segera sarapan. *Biasa... ke tempat langganan dengan menu yang nggak pernah ganti hehe. Paling-paling yang ganti cuma gorengannya.

Inspirasi: Life of Pi Movie

Dalam sebuah momen makan malam keluarga (di film itu),
Ayah : Kalau kau masuk ke dalam semua agama, maka hidupmu akan berlibur selamanya
Pi : (Masih terdiam sambil menyuap nasi berlauk Domba ke mulutnya)
Abang : Kamu mau ke Mekah atau Roma untuk menjadi Paulus?
Ibu: Jaga ucapanmu, Nak. Sama seperti kamu suka kriket dan Pi punya kesukaannya sendiri.
Ayah : Kau tidak bisa menganut 3 agama secara bersamaan
Pi : Kenapa tidak?
Ayah : Sebab, percaya kepada sesesuatu secara bersamaan sama dengan tidak percaya sama sekali
Ibu : Dia masih muda. Dia masih mencari jalan (ekspresi iba seorang ibu)
Ayah : Bagaimana dia menemukan jalan jika dia tidak memilih? Dengar, bukan hanya berpindah dari 1 agama ke agama lain, kenapa kau tidak memulainya dengan suatu alasan?Beratus-ratus tahun pengetahuan membuat kita memahami semesta dibandingkan agama yang sudah ada 10.00tahun
Ibu : Itu benar. Ilmu bisa mnegajarkan lebih dari apa yang ada di luar sana. Tapi, bukan yang ada di sini (sambil menunjuk dada)
Ayah  : Aku tak mau kita setuju dengan segala sesuatu. Tapi, aku lebih setuju kau percaya pada hal yang bertentang denganku daripada menerima semuanya secara buta. Dan, itu dimulai dengan bergikir rasional. Faham?

Dalam suatu obrolan di waktu yang terdampat jauh di masa depan,
Sahabat Pi :  ...katanya, kau punya cerita yang akan membuatku percaya kepada Tuhan.
Pi : Dia seperti bicara makanan lezat. Tentang Tuhan, aku hanya bisa menceritakan kisahku. Kaulah yang memutuskan untuk percaya. Cukup adil bukan? Kita tak akan mengenal Tuhan sebelum ada yang mengenalkannya.
Sahabat Pi : Jadi, kau muslim dan Kristem. Juga Hindu?
Pi:  Ku rasa Yahudi juga. Kenapa? Iman adalah rumah dengan banyak kamar.
Sahabat Pi : Tapi, tak ada kamar untuk sebuah keraguan?
Pi : Keraguan itu berguna untuk membuat hidup menjadi lebih hidup. Selain itu, kau tak kan tahu kekuatan imanmu sampai imanmu diuji.

Benarkah Dia?

Benarkah dia berubah?
Atau justru kita yang tak terarah?
Benarkah dia tak peduli?
Atau justru kita yang tak terkendali?
Benarkah dia tak ramah?
Atau justru kita yang tak meramah?
Benarkah dia tak sayang?
Atau justru kita yang tak mengenang?
Benarkah dia benci?
Atau justru kita yang mencaci?

April 2015, dalam renung Pagi