Rabu, 26 Agustus 2015

Milik kita adalah milik-Nya yang Memiliki kita

Malam semakin pekat. Segala cerita hari menjadi lebih lekat. Hening telah menawarkan lelap yang dekat. Tapi, masih ada yang kekeh menangkis penat, memaksa sempat. Adalah Elunar yang membatu di depan coretan hikmat. Ia sedang fokus menuliskan hatinya yang pernah tersesat. Tak Sesaat.

Dear Diary...
Hari ini adalah hari itu. Aku bahagia bisa bertemu lagi dengannya setelah setahun tanpa temu. Tak terduga sebelumnya, ada 1 kenangan yang kembali tercuat di sela-sela canda. Tentang betapa keras kepalanya aku dan tentang betapa gigihnya ia melunakkanku.

Tadi, aku begitu mahir berpura. Seolah segalanya biasa saja. Meski sebenarnya rasa yang berbeda itu tetap ada. Dan nyata. Jangan tanya kenapa, karena aku adalah wanita; betah berlama-lama dalam menikmati rahasia rasanya. Bahkan, ia bisa mengubahnya menjadi semangat yang tak terdeteksi asalnya, tak terprediksi nilainya. Itulah aku.

Kepadamu yang disaksikan malam, aku selalu jujur menuliskan segala. Kali ini pun aku akan jujur; Kecerobohanku di masa lalu untuk berinvestasi pada bisnis bodoh itu memang benar kesalahanku. Tapi, aku tak menduga akhirnya ia ikut campur untuk meluruskan keputusan cacatku itu. Tebak apa yang mendadak berdesir di hatiku sana? 'Aku akan bertahan dalam kesalahan ini karenanya'.

Dear diary...
Kamu faham apa maksudnya? Aku bahagia karena kesalahanku itu. Bahkan aku ingin berlama-lama salah. Tahu kenapa? Karena dengan bersalah, ia akan terus membenarkanku. Bukan bisnis bodoh itu lagi fokusku, tapi bagaimana memperlamanya mengkhawatirkanku. Kalau aku boleh lebih jujur, aku ingin lebih lama di saat-saat seperti ini.

Hahhaa... Memang Konyol sekali rasanya.
Melalui torehan ini aku hanya ingin berjujur tentang hatiku. Yap, tentunya engkau saksinya. Aku memilihmu karena bisumu. Jika kau pun bisa bicara sepertiku, aku tak akan mempercayaimu. Teruslah menjadi tempatku yang paling rahasia, izinkanlah tulisan ini tetap milik kita. Walaupun milik kita adalah milik-Nya yang memiliki kita.

Tentang dia? 
Biarlah Dia yang memeluknya.

Inspirasi: in The Middle of Donat for Diet

Mata Rini sudah tertutup dan mungkin sudah tinggal 1% lagi kesadarannya.
"Rin!"
Rini membuka mata.
"Ada lagi nggak inspirasi untuk hari ini? Nanggung nih, 1 postingan lagi genap jadi 1000."
Mata Rini kriyap-kriyep (baca: berkedip-kedip), seolah sedang berfikir.
"Haaa... tentang enaknya makan donat."
"Apaan itu? Mana inspirasinya?"
Rini terdiam lagi. Matanya kriyap-kriyep lagi.
"Haaa... yang tadi El ceritain itu loh; Kalau mau diet, makan aja tengahnya donat."
Tawaku langsung berderai. Nggak nyangka lawakan itu yang diingat oleh Rini. Saking nggak tertahannya, suara tawaku udah mirip orang nangis sekaligus mirip suara Suzana. hihii.
"Makasih ya Bung. Anda luar biasa. Berkat anda, postingan saya sudah genap 100 hari ini."
"Merdeka Bung!" balas Rini.
Aku mengulurkan tangan kepada Rini. Rini menyambutnya dengan kening berkerut. Selanjutnya, dia kembali menutup mata. *Dasar Koala !
*Edisi Rabu, 26 Agustus 2015

Inspirasi: Cewek Dalam Menyimpan Perasaan

"Begtulah cewek Riiin....selalu pandai menyimpang perasaan. Beda dengan cowok; Gimana caranya mengungkapkan perasaannya, gimana caranya si cewek tahu, gimana perasaannya berbalas. Kalau cewek mah nggak kayak gitu. Cewek itu lebih nyaman menikmati perasaannya, meskipun yang dicintainya nggak tahu tentang hal itu."

1000 Posted, Exactly!



“El, lapeeer.”
“Udah gilak nya?! Masih subuh loh Rin. Sholat Subuh pun belum kita.”
“Iya, tahu. Tapi aku laper bangeet.”
“Allahuakbar,” aku memulai takbir rakaat pertama. Rini mengikuti.
Usai sholat dan mengaji, Rini langsung nyariin roti buat ngisi perutnya. Huahhh…segitu kelaparannya dia ternyata pemirsaaa.
“Ntar biar aku masak ya. Tapi, nggak sekarang.”
“Yaahhh.. laperr Elll.”
“Masih pagi buta loh Rin. Aku mau ngetik duyuuu.”
Pukul 7.35wib, giliran Rini yang siap-siap mau ke kampus, aku baru mau mulai masak. Rini yang nyuci piring sementara aku ngirisin apa yang bisa diirisin. *Loh? Hehe.
“El, Labu Siam itu bergetah loh! Nggak dicuci dulu?”
“Nggak usah. Ntar sekalian aja dicuci semuanya. Habis waktuku ntar. Hehe.”
“Selalapnya!”
Setelah Rini selesai mencuci piring, berkomentarlah dia tentang hasil irisanku.
“El ni memang praktis betullah. Itu wortel nggak El kupasin kulitnya?”
“Nggak, hehe. Biar praktis Rin. Hemat waktu dan hemat tenaga. Udah ah, jangan protes. Nikmati saja hasilnya nanti.”