Jumat, 07 Agustus 2015

10% Keseriusan, 90% Penundaan

Hari ini aku pakai baju kaos berwarna ungu, kenang-kenangan dari lomba berbalas pantun di Balai Bahasa kemarin. Rini sempat komplain ini dan itu tentang gayaku; Aku kelihatan gendut lah, kepalaku kadang jadi lebih besar daripada badan, kakiku kelihatan pendek lah, banyak deh. Terakhir, ketika kaos ungunya ku masukkan ke dalam rok ungu dan pakai cardigan, barulah Rini KLIK. Aku nggak tahu kalau ada rok ungunya Nilam di lemariku. Syukurlah, bisa ku manfaatkan sebelum diambil orangnya hehe.

Tujuanku hari ini adalah survey awal ke KOPMA. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ku ajukan kepada pengurus atau pengawasnya.
“Ada pengurusnya Dek?” tanyaku kepada cewek yang duduk di teras KOPMA.
“Nggak ada Kak. Belum buka sekrenya.”
“Adek mau ngapain?”
“Ngurus bebas KOPMA.”
Upsss, berarti dia seumur denganku, hihi kok aku sok-sok tua sih? Hehe.
“Mau ke mana lagi Adek sekarang?”
“Ke kampus lagi Kak.”
“Ya udah, bareng Kakak aja yuk? Capek ntar jalan jauh banget.”
“Emang Kakak mau ke kampus juga?”
“Iyaa,” jawabku cepat. Meskipun tujuan kami belum tentu sama.
Di perjalanan, dia nggak ada nanyain aku satu pun hal. Aku juga nggak nanyain dia, kecuali ketika udah hampir mendekat ke FKIP.
“Aku berhenti di UP2B aja Kak.”
Setelah dia mengucapkan terimakasih kepadaku dan aku langsung menuju perpus UR.

***
Di mushola Arrafah…
Aku terbangun tiba-tiba. Tersentak karena sebuah pemikiran; Ini udah hari jumat ya? Besok udah sabtu. Hah, jadwa ujian kan hari senin. Kalau sampai hari ini aku belum juga menyelesaikan proposalku, kapan lagi aku akan daftar ke prodi? Kalau nggak sekarang, kapan lagi aku ujiannya? Kapan lagi penelitiannya? Kapan lagi selesainya? Fikiran itu hadir begitu saja. Padahal sebelum tidur, aku nggak sedang memikirkannya.
“Mamakeeee?” sapa seseorang dari arah belakangku.
“Heyyy Riniiii? Lagi ngapainn di sini?”
“Ini mau sholat Mamakee. Rajin kali lah Mamakee niii.”
Rini belum tahu aja kalau kemalasan mamake ini udah akut. Ku persilahkan Rini untuk sholat terlebih dahulu baru berbincang lagi.
“…iya nih Mamake, ngurus ini dan itunya yang lama dan ribet. Rini belum lagi daftar Yudisium. Cetak skripsinya juga belum.”

WHAT? Rempong banget ya kedengarannya Rin yang harus diurus? *kok baru nyadar sekarang sih El? Mendengar penjelasan Rini membuat nafasku seolah tercekat di tenggorokan. Jantungku semakin berdegub kencang tak karuan. Takut. Pesimis. Khawatir. Semua bercampur menjadi satu. Setelah Rini pergi, aku langsung membuka recently used proposalku dan mulai menggarapnya lagi. Otakku seolah punya banyak ide kalau udah terdesak begini. wish you are luck, El.
“Kakak? Assalamualaikum?” sapa dek Agung, pengurus mushola ini.
“Waalaikumsalam Dek..”
“Sedang sakit ya Kak?”
“Oh, nggak kok. Tadi tu ngantuk kaliii, makanya numpang tidur bentar di sini. Hehe.”
“Pantesann kok kayaknya nyeyaaak kaliii tidurnya. Marii Kak…”
“Marii…”

***
Saat menuju perpus, aku melempar pandangan jauh ke Pendidikan Ekonomi. Wah, ada mobil pak Suarman di sana. Tapi, apa mungkin aku ke sana dengan proposal yang masih acak-adut begini? Mungkin lebih baik aku selesaikan dulu. Semoga besok nggak banyak kritikan dan langsung diACC oleh pak Suarman dan pak Danur sehingga aku bisa daftar untuk ujian hari senin. Aamiin.
Sambil OL di perpus, aku menelvon beberapa teman dan adek tingkat di Pendidikan Ekonomi untuk survey awal bagaimana tanggapan mereka terhadap KOPMA. Aku juga udah nelvon ketua KOPMA untuk nanya tentang KOPMA terbaik di Indonesia menurutnya.
Saat Ashar, aku sholat di mushola rektorat dan setelahnya telvon-telvonan sama mami. Sepertinya, yang ku butuhkan saat ini hanyalah doa-doanya.
“… adek-adek lagi ngapain Mi?”
“Itu lagi makan sama Abi.”
“Oh Papi udah pulang ya?”

Alhamdulilah ya Allah. Terimakasih udah jaga dan selamatkan papikuuu..
“Udah lah. La jadi? Barusan aja nyampeknya.”
“Mami udah cerita ke papi tentan El lolos ke Bangladesh tu?”
“Belum. Yang penting sekarang tu SKRIPSI dulu. Ke Bangladesh kalau untuk dapat duit sih nggak masalah. Misalnya diutus untuk kerja di sana selama 5 tahun, nah itu baru mantap. Ini ngeluyurrr ngabisin uang kok mempeng temeeen.”
Jujur, hatiku agak tertusuk. Yah, seperti tertusuk jarum suntik gitu. Tapi, aku nggak menjawab apa-apa atas kecuali pengalihan issue dengan bilang, “La jadi?” selebihnya nggak ku bahas lagi. Tapi, sesaat berikutnya, aku merasa apa yang dikatakan mami itu ada benarnya juga. Sekarang, aku memang harus bisa lebih realistis dengan pilihan. Ini bukan lagi masa-masa seperti semester 6 kemarin. Segala sesuatunya sekarang menjadi lebih serius dan butuh pertimbangan. Bukan hanya tentang bisa perginya, aku juga harus mempertimbangkan seberapa banyak manfaatnya.
Setelah ngobrol sama papi dan adik-adik, mami kemudian menyarankanku untuk menelvon Mbah yang di Bengkulu.

“….kok tumben Ela sempet nelvon Mbah? Memangnya nggak ada kesibukan?”
Aku bingung mau jawab apa. Sebenarnya, kalau pun ada kesibukan, itu nggak bukan halangan sih kalau emang niat mau nelvon kan? Emang dasar kitanya aja yang pinter beralasan.
“Apa sih yang nggak buat Mbah?”
“Halaahh..gayamu El, El. Orang udah hampir setahun, baru ini Ela nelvon Mbak kok. Hahah.”
“Hhehe..iya ya Mbah. Mbah apa kabar?”
 Cerita berhilir mudik penuh tawa dan canda. Ku habiskan waktu menelvon hingga batas quota; pukul 17.00wib. Setelah itu, aku langsung beli gorengan dan kerupuk gede untuk teman makan. Hehe. Aku ini sama kayak Lia pemirsaaa; kerupukersss.
“Rin, tadi kan aku tidur di mushola Arrafah waktu orang sholat Jumat. Awalnya aku ragu, karena ku kira orang sholat Jumatnya di situu, ternyata nggak. Ya udah, habis sholat Zuhur, aku tidur kareng ngantuuukk kali. Eh, pas aku mau pergi Dek Agung tu nanya apa aku sakit. Hehe.”
“Tulahh, tidur sampek nggak sadar orang udah pulang sholat Jumat.”
“Agak kedengaran sih ribut-ribut gitu. Tapi, ngantukku belum selesai, hehe. Aku tidur berbantal kiloan mukena dari laundry yang belum dibuka sejak kemarin tu Rin. Kan haruum tuuh, terus pake sarung untuk selimut. Laptop pun sedang dicas, ya udah sambil nunggu dia penuh juga.”
“Selalaaapnya. Ngecas laptop di sanaa.”

“Rin, aku kurang suka loh kalau aku nanya dan dijawab, ‘Ada deh’ apalagi kalau ditambah, ‘Mau tahuuu aja’ ih geram kali lah aku tuu.”
“Ya mungkin orang itu ingin punya privasi El.”
“Kalau itu orang lain nggak masalah Rin. Kalau yang kayak gitu Lia, masalah buatku.”
“Ya kan nggak mesti semuanya El harus tahu.”
“Ya kan aku dekat sama dia. Apa sih kegiatan dia yang aku nggak tahu? Paling-paling ngurusin proposal atau DPM. Tinggal jawab aja kek, ‘Ngurusin berkas DPM nih’ udah cukup tu buatku. Nggak ku tanya lebih lanjut kok, ‘Berkas apaan tuhh? Boleh lihat nggak?’ kemungkinan kecil.”
“Emang ngerii berkawan sama El nii..”
“Hahaha. Ciyuss ni?”

***
“Kak Rincuy udah tidur?”
“Udah dari tadiii dahhh.”
“Selalaaapnya dia tu. Cubitkan Kak Rincuy dulu Kak buat Okta.”
“Nggak mauuu. Ntar ditumbuknya Kakak.”
“Hhahah.. mana perut six pack Kakak? Haha.” Okta meniruku ketika mengganggu Rini.
“Cek, menurut Cek… engg…. Nggak jadi deh.” Aku sok misterius gitu.
“Kaannn… apa Cek? Kok nggak jadi?”
“Nggak jadi ah. Segan Kakak.”
“Dah lah! Malas Okta kalau gitu.”
“Gini loh Cek, menurut Cek kalau ada orang yang nanya ke Cek, ‘Menurut Okta, Kak Elysa itu nantinya bakal jadi apa?’ Okta akan jawab apa, Dek?”
“Jadi orang.”
“Ya iyalah. Masak jadi si ganteng (baca: kucing).”
“Seriuslah Dek! Hah!”

“Kakak, sebenarnya Kakak itu selain di bidang menulis, Kakak juga adalah orang yang berpotensi untuk masuk ke dunia public speaking. Kakak bisa jadi MC, tapi kurang cocok menurut Okta. Ngerti kan Kak? Kakak itu lebih cocok jadi pembicara, jadi motivator contohnya. Beuh! Itu keren banget Kak.”
Aku terdiam sejenak.
“Cek?”
“Dek, makasih banget loh ya.”
“Buat apa?”
“Cek seolah kembali mengingatkan Kakak tentang cita-cita Kakak yang sempat nge-blur.”
“Maksudnya?”
“Gini. Apa yang Cek sebutkan tadi, adalah cita-cita Kakak sejak duluuuuuu kali. Tapi ntah karena kesibukan atau banyak mimpi, yang tadi justru nggak terdefenisi… Kakak peng…. Halooo? Halloo Cekkk?”
Telvon terputus.
Pulsa Okta habis Cek. Hahahah
“Huh, orang baru aja mau ngomong serius padahal.”
Aku lirik kiri dan kanan, nyariin makanan. Eh, masih ada gorengan tadi. Sebeum ku caplok, aku ingat tadi sebelum Rini tidur aku sempat ngajak dia puasa lagi besok, “Ya udah, sisakanlah gorengannya untuk sahur,” kata Rini.
Maaf ya Rin, aku kelaperan banget nihhh. Pengen menyantap sesuatu. Hikkss… ku sisakan 1,5 bakwan untuk sahurnya Rini besok. Dan, aku tahu bagaimana resiko sahurku. Hiksss.

Tidak ada komentar: