“Rin, setelah mendengar cerita Andin tadi, aku seolah
diingatkan kembali bahwa kejahatan itu nggak kenal waktu dan nggak pandang
bulu. Kayak apapun amannya keadaan, kita wajib tetap waspada. Karena, kata Bang
Napi, kejahatan itu terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi karena ada
kesempatan.”
“Hmmm…arassoh..”
Pagi ini, aku terbangun jam 7 setelah sholat Subuh tadi.
Hari ini aku dan Rini berniat untuk berpuasa. Bismillah, semoga Engkau kuatkan
kami ya Allah. Setelah bangun, aku langsung menekuni PROPOSAL penelitianku.
“Duh, kok jadi puyeng gini ya? Ini gara-gara udah berjeda
nulis KTI atau emang sistematikanya rempong?”
Aku terbentur di BAB III. Pengennya langsung SMS pak Suarman
aja. Tapi, masa beginian aja harus nanya dulu sih? Malu ah. Usaha semaksimal mungkin
dulu, baru ntar ketemu bapak dengan membawa print outnya. *bukti keseriusan.
Ku lirik kalender di samping tempat tidur. Sudah tanggal 6
Agustus. Kata Tika kemarin, ada jadwal ujian tanggal 10 ini. Four Days left,
pemirsaaaaaaa. Kok aku nyantai banget sih? Padahal fixasi judul dan masalahku
udah 4 hari yang lalu clearnya. Hikss..
“Teman-teman yang udah selesai itu gimana? Mereka puyeng
gini juga?”
Pertanyaanku mulai
menjalar dan melebar. Meraka pastilah merasakan kebingungan juga. Tapi bedanya
mereka denganku adalah karena mereka udah lama menekuni itu. Sedangkan aku?
Hemmm..hanya Allahlah yang tahu.
“El kan punya buku tentang Metoe Penelitian tuuu.”
“Hah? Serius Rin? Buku yang mana ya?”
“Udah dia yang belik. Dia pula yang lupa. Di rak-rak buku
itulah pokoknya.”
“Oh iyaaaa..heheh.”

“Coba yang di sudut sana El. Ada 1 yang kosong tuh ku
lihat.”
Aku menuruti saran Rini.
“Mbak, mau nanya nih, gimana caranya ngonekkin internetnya
ya?” tanya laki-laki berkaos merah yang duduk tepat di sebelah casan laptop.
Ia menyodorkan laptopnya kepadaku untuk ku tindaklanjuti.
Terlihatlah olehku walpapernya di laptop.
“Eh, Abang yang sering nge-MC itu kan?”
“Iya, bener,” jawabnya sambil tersenyum.
“Aduhh, tapi saya lupa nih nama Abang.”
“Renoo.”
“Haaa, iya bener-bener, Bang Reno. Hallo Bang, salam kenal
saya Elysa.”
Karena wifinya sulit tertangkap oleh laptopnya bang Reno,
akhirnya aku menawarkan diri untuk membantunya. Ada 1 file power poin CVnya
yang ingin dia kirimkan lewat email. Ia menyalinkan filenya ke hardiskku dan
menyangsikan kalau-kalau ada virus di dalamnya. Eheh. *Insya allah aman bang,
ehehe.
Udah beberapa menit berlalu, tapi file yang sedang diupload itu
nggak juga berhasil terupload. Padahal bang Reno udah ngalor ngidul ngajakin
aku ngobrol. Hikss..
“Bang, kita minta tolong ke temen Elis aja ya. Kayaknya
punya dia lancar banget tuh!”
Kami beralih ngeroyokin Rini. Ternyata masalahnya adalah
filenya si abang yang kelewatan gede. Batas maksimumnya cuma 25Mb, ini malah
lebih dari 40Mb. Pantesan laptopku nge-hang tadi. Hikss.
“Yuk duduk lagi Bang, masih lama kayaknya teruploadnya,”
ajakku.
“Nanti kalau udah selesai tolong kasih tahu ya Dek,” pintaku
kepada Rini.
“Dia itu MC kondang Pekanbaru Rin. Yang sering nge-MC bareng
Kak Vivien. Makanya, aku surprise banget ketemu dia langsung di sini. Hihii.”
“Awas kalau mentel yaa.”
“Dia udah punya istri keleesss. Tadi istrinya ku kira
emaknya loh. Hihi, segan jadinya.”
Bang Reno ini nggak cuma ganteng ternyata pemirsaaa, dia
juga supel dan ramah. Selain pinter nge-MC, juga pinter tata rias. Dia sampek punya sekolah public speaking dan
salon kecantikan di rumahnya loh. WOW! Tapi, semuga itu nggak bim salabim
diraih olehnya. Bang Reno bilang gini, “Abang udah nggelutin dunia per-MC-an
selama 5 tahun, barulah ngembangin diri ke tat arias. Biar ilmunya bener-bener
kuat dulu. Kalau keahlian kita belum bener-bener kuat, bakalan kocar-kacir
ntar.”
Setelah mendengar penuturan itu aku jadi berfikir, rasanya
belum pantas aku mengaku sebagai penulis kalau dalam menulis aja aku masih
pasang-surut semangatnya. Nunggu mood dulu, baru nulis. Kalau nggak mood, nggak
bakal nulis. Penulis macam apa aku ini?
“…mungkin semua orang bisa jadi MC, tapi nggak semua orang
bisa mengajarkannya. Ya yang jadi tutor di kelas public speaking itu Abang
sendiri, Lis. Jadi gini, ada 3 value of communication; Verbal, auditori dan
visual. Itulah yang akan diajarkan di kelas. Mau jadi MC, presenter, penyiar
radio, host, semuanya bisa diajarkan karena ada konsep dasar yang sifatnya 1
untuk semua. Abang walaupun bukan penyiar radio, tapi Abang bisa. Gini
contohnya…”
Aku manggut-manggut mendengar bang Reno mecontohkan
bagaimana pembawaan diri seorang penyiar radio. Bener-bener persis kayak yang
sering ku denger-denger di radio. *Inilah sebabnya, orang yang ahli itu dibayar
mahal. Karena dia mendapatkan segalanya dulu pun nggak gratis.
“Banyak orang yang udah minder duluan dengan dirinya
sendiri; ‘Eh, aku nggak pandai. Eh, suaraku cempreng, loe aja deh yang nampil’
dan lain sebagainya. Akhirnya, dia nggak pernah berkembang karena udah melabeli
dirinya seperti itu. Padahal, semuanya bisa dilatih.”
Iseng-iseng, aku coba tanya tentang sosok MC yang berhijab
menurut pandangan bang Reno. Dia bilang perbandingannya adalah 70:30 minat
pasar antara permintaan MC yang berhijab dengan yang nggak berhijab. Aku udah
tahu hal itu sih sebelumnya tapi kali ini aku dapat nasehat sakti dari bang
Reno, “Nggak usah minder, justru siapa tahu kita bisa mengubah trend semacam
itu kan? Kalau memang kita layak, orang pasti akan mencari kita Lis.”
“….Bagaimana sosok Kak Vivien di mata Abang?”
“Dia cerdas, rendah hati dan apa adanya. Mohon maaf,
biasanya kan ada orang yang merasa udah hebat dan sok kecantikan. Nah, Vivien
tidak seperti itu. Makanya Abang kalau nge-MC sama dia tu nyambung banget,
kayak udah satu jiwa. Banyak Lis keuntungannya jadi MC, kita nggak hanya
dituntut untuk pandai ngomong aja, tapi juga dituntut untuk cerdas dan berwawasan
luas.”
Aku banyak dapat pelajaran berharga hari ini. Langsung dari
ahlinya pula. Nggak pernah mimpi bisa ngobrol seakrab ini dengan bang Reno.
Sinyal wifi yang angin-anginan ini ternyata telah menyita
waktu kami selama hampir 2 jam. Untunglah pakai laptopnya Rini akhirnya bisa
terkirim emailnya meskipun harus nunggu lama. Aku aja nyaris nangis tadi karena
udah sejam berlalu tapi belum juga berhasil log-in. Eh, setelah aku berdoa
ternyata Allah nunjukkan jalannya kepadaku. Problem selanjutnya adalah banyaknya
iklan yang berseliweran di laman dan bikin laptop aku loadingnya lama. Grrr…
nunggu lagi, nunggu lagi.
“Huuummm…capek juga ya ternyata nungguin gini aja. Makanya,
Abang sangat-sangat jarang nongkrong gini.”
Ya iyalah, orang sesibuk bang Reno mana sempat lagi nekunin
leletnya wifi kayak gini. Aku jadi berkesimpulan bahwa semakin nggak sempat
seseorang untuk nongkrong, semakin menunjukkan bahwa waktu luangnya sedikit.
Aku pengen banget punya jam terbang yang tinggi kayak gitu juga. Tapi, hemm…
mau terbang ke mana? Pertanyaan tentang aku
maunya apa aja nggak tuntas-tuntas jawabannya sampai sekarang. Hiksss.
Sebelum bang Reno pulang, kami berfoto dulu. Cissss…
“Makasih banyak ya udah nolongin.”
“Sama-sama Bang. Hati-hati di jalaan..”
***
“Rin, masih ingat opening kalimat di blogku?”
Rini geleng-geleng kepala.
“Itu loh yang ada kalimatnya si anu; Jika kelak aku tiada. Ingat?”
Rini manggut-manggut.
“Sekarang, bandingkan dengan yang ini!”
Rini membaca opening yang baru aja ku transformasikan dari
yang panjangnya full 2 baris, menjadi setengah baris aja.
“Yang ini!”
“Apanya yang ini?”
“Yang ini lebih keren. Simpel.”
“Udah ku duga,” kataku sambil mengernyitkan alis. Aku memang
sering benar menebak selera Rincuy.
Tadi, aku menghabiskan beberapa menit untuk berfikir keras
menciptakan kalimat baru. Ini opening awal pra transformasi; “Jika
kelak aku tiada, lalu kau rindu maka datangilah tulisan-tulisanku” (YM).
WELCOME and take as much as you may take from this writing. Hopefully, I can
share any ideas, stories, inspires, experiences and everything in between. Keep
WRITING for EVERLASTING. Dan, inilah opening pasca transformasi; MENULIS
adalah AKU; Caraku beristirahat, caraku memaafkan, caraku berbagi dan caraku
hidup abadi.
Emang kece sih. Wajar
kalau Rini suka. Hehe.
Kami berenca sampai
jam 10 di sini. Setelah buka puasa, kami sholat maghrib dulu baru deh beli
makan di bawah, di rumah makan padang. Hemaat coooy! Hanya dengan Rp 13.000
kami udah makan puas. Kalau beli di KFC atau AW mah belum kenyang atuuh. Eheh.
Setelah dinner,
kami kembali lagi ke tempat asal. Setelah sempat sepi, sekarang udah ada
orang-orang baru yang menduduki living room tadi. Aku dan Rini melanjutkan
per-OL-an menjelang Isya. Aku duluan yang sholat karena Rini harus nungguin 2
laptop yang sedang dicas.
“Tumben nggak busuk
nih janitor (baca: tempat wudhu),” gumamku.
Semenjak nge-MC
kemarin sampai saat terakhir kali aku ke sini, setiap kali mau wudhu pasti
akunya uweeek-uweek dulu. Bauknya kayak MC, padahal itu cuma tempat wudhu
doank. Nggak ada sampah, nggak ada kotoran apapun. Makanya, aku bersyukur
banget karena sekarang udah nggak bauk lagi. Melihat ada 2 ember rendaman
mukena di tempat wudhu ini membuatku bergumam, “Kirain pake laundry juga, ternyata
karyawan SKAnya yang nyuci langsung toh.”
“Kak? Sedang buru-buru
nggak?”
“Nggak Dek. Ada apa?”
“Kita sholatnya
berjamaah yuk? Biar pahalanya 27 kali lipat?” ajakku.
“Ayuukk.”
Dia nggak
berjilbab, tapi ada 2 hal yang aku kagumi darinya; 1. Cara sholatnya, 2. Cara bersalamannya.
Aku melihat aura ke-sholeha-an di wajahnya. Ya Allah, jaga dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar