“Mana nih si Teguh? Udah El sms kan kalau kita di sini?”
Aku hanya manggut-manggut. Ekspresi yang meragukan sebenarnya. Lalu, kami melanjutkan melahap perkedel jagung yang tersisa di piring ini.
Aku hanya manggut-manggut. Ekspresi yang meragukan sebenarnya. Lalu, kami melanjutkan melahap perkedel jagung yang tersisa di piring ini.
“Hei?” Teriakku sambil melambaikan tangan kepada Teguh yang melintas
perlahan.
“Malah ganti PM dulu, bukannya cepat-cepat berangkat. Huh!”
Teguh hanya tersenyum sambil menyodorkan charger laptop yang
akan ku bawa duluan.
“Dek, Daeng emang udah positif masuk 10 besar kan? Tapi Mak
sedih Dek, semalam aja dia udah sombong gitu sama Mak.”
“Eh Mak, Mak kira status adek tadi tu buat siapa? Ya buat
nyindir dia itulah. Adek kan nanya siapa aja yang masuk 10 besar, tapi dia
malah mengalihkan ke obrolan lain.”
“Ya Allah Dek, sama kali kita. Mak saking tersinggungnya
sampai nangis semalam. Tuh tanyalah Kak Rini Dek. Mak sampai bilang gini; Oh ya maaf ya Yudi. Saya siapa, kamu siapa.
*maaf. Tapi,
statusmu itu kurang ngena Dek, maunya bilang aja; Tiba-tiba merasa seperti orang lain. Itu baru ngena Dek!”
“Iya Mak,
Adek pun merasa kayak gitu. Ntah apa yang mau kita emberkan kalau pun kita tahu
hal itu kan?”
“Lagian panitia juga aneh. Kan udah pasti 10 orang itu yang terpilih dan 5 di antaranya
bakal berlayar, terus kenapa harus main sembunyi-sembunyian segala? Memangnya
bakal ada perubahan? Tiba-tiba yang nggak masuk ke dalam 10 besar itu bakal
berangkat? Kan nggak mungkin. Howalaaah. Ntahlah Dek. Seleksinya mati-matian,
pengumumannya sembunyi-sembunyian.”
“Udahlah
Mak. Biarin aja. Jalan untuk kita masih terbuka lebar. Insya Allah kita juga
bisa.”
Setelah itu
Teguh langsung pergi sambil berteriak, “Ntar habis masuk, Adek langsung nyusul
ke sana Mak.” Dan aku menjawab, “Yuhuuuuuu.”