Ini
adalah pagi yang baru. Lebih baru daripada baju baru. Sebaru salam yang baru
saja terucap, setelah 12 takbir tercukup. Di sebelah kananku ada Nilam dan di
sebelahnya lagi ada mami. Dalam balutan mukena putih, kami menyimak dengan
takzim khutbah Idul Fitri yang baru saja dimula.
“…Bapak-bapak,
Ibu-ibu yang berbahagia, setelah berpuasa sebulan penuh kita memang kembali
suci seperti bayi yang baru dilahirkan. Dalam artian, suci dari segala dosa dan
maksiat yang selama ini kita lakukan kepada Allah. Sedangkan dosa kita kepada
sesama, ya kitalah yang harus menyelesaikannya sendiri, barulah Allah
mengampuni…”
“Hayooo…
minta maaflah sama Rikaaa nanti,” bisik mami kepada Nilam.
“Hahhh!!! Nilam berantem sama Rika Mi? Sejak kapan?”
Mami melirik ke Nilam, seolah mempersilahkan Nilam untuk
mengaku kepadaku.
“Masih kecil pun dah musuh-musuhan. Apalaahh!” gerutuku.
“Ya sebelum Nilam masuk pesantren itulah El. Adeknya Rika
itu ndorong Moza sampek jatuh, terus
Nilam balas ngedorong Adeknya Rika.
Rikanya marah dan Nilam juga nggak terima Moza digitukan. Ya udah deh, sampek
sekarang nggak berkawan lagi orang ini. Apalagi waktu itu Dewi dan kawannya
yang lain itu ikut-ikutan musuhi Rika.”
“Aiihh? Ngeri bah sistem
perrmusuhan anak zaman sekarang ini.”
“…Jadikanlah lebaran ini sebagai momentum untuk
menyambung tali silaturahmi, terutama kepada keluarga besar kita. Hubungi lagi
mereka yang sudah lama tidak pernah lagi kita tahu kabarnya. Zaman sekarang kan
sudah canggih, kalau tidak bisa mudik ya tinggal telvon saja. Sesungguhnya
kelak, Allah akan meminta pertanggung jawaban atas apa-apa yang telah kita
putuskan padahal Ia memerintahkan kita untuk menyambungnya..”
“Dengar tuh Lam? Nanti kita ke rumah Rika pokoknya!”
“Oke, siapa takut?” kata mami. Sementara Nilam, wajahnya
masih cemberut seolah tidak ingin ikut bergabung dalam misi ini.