Hai para fans ^_^ Selamat ber-hari minggu.
Ini hari NYUCI BAJU SEDUNIA bagiku. hihii. maklum cin, ibu-ibu. hehe
Tiba-tiba, aku terinspirasi untuk menuliskan kegelisahan ini. Sudah menjadi kelaziman bagi anak-anak ROHIS dimana pun berada untuk menggunakan bahasa arab dalam sapaan maupun agenda ke-rohisannya. Terus ada masalah? Ada. Bukan tentang panggilannya, tapi tentang pemanggilnya.
Saya perhatikan...
1. Panggilan Akhwat/Ikhwan sekaligus menjadi gelar
"Eh, si anu itu Ikhwan loh. Udahlah ganteng, soleh lagi."
"Subhanallah, dia akhwat ya ternyata. Udah pinter, sholeha pula."
"Adeknya si anu itu akhwat loh. Luar biasa ya!"
Begitulah kira-kira. Teman-teman pasti pernah mendengar atau bahkan mengatakan kalimat sejenis. Kata Akhwat berasal dari bahasa Arab yang artinya wanita/perempuan/cewek. Iya kan? Nggak ada penspesialan di sana. Sepakat? Siip! Nah, tapi kenyataannya di Indonesia (khususnya), kata Akhwat itu mengalami penyempitan makna. Akhwat lebih identik dengan muslimah yang jilbabnya lebar dan longgar, ikut halaqoh/liqo/pengajian, pakaiannya syar'i, dan lain-lain yang bisa pemirsa tambahkan sendiri.
Coba bayangkan, kalau ada saudari 'biasa' yang mendengar kalimat itu. Bagaimana perasaannya?
"Ah, aku ini apalah!" atau "Ah, kalau dia akhwat namanya, aku ini apa ya?"Hayooo, kasihan kan saudari kita itu. Kadang, sering geram juga sih rasanya kalau mendengar hal-hal semacam itu (hellooo kok lo bilang dia akhwat sejak SMA, memangnya waktu SD dia ikhwan? kagak kan? Sejak lahir dia memang sudah akhwat keless). Hanya Yang Maha Mengetahui sajalah yang berhak menilai mana hambanya yang sholeh/soleha dan benar-benar 'pilihan'.
2. Panggilan Ukhti bermakna 'spesial'
Nah, kasus yang ini agak berbeda tapi masih sama.
Sering juga terdengar seseorang menyapa 'ukhti' begitu akrab dan mesra kepada saudarinya yang disapa akhwat tadi. Memang tidak semua orang seperti itu. Tapi, setidaknya hal demikian juga benar terjadi. Ukhti itu artinya saudara perempuan. Iya kan? Artinya, semua wanita yang beragama Islam adalah saling bersaudara dan disebut saudara perempuan. Setuju? Nah, maka upayakan untuk adil dalam sapaan. Jangan hanya menujukan sebuah panggilan untuk seseorang yang spesial menurut kita. Sya sendiri, tidak menyapa kawan dengan 'ukhti' selagi saya tidak bisa adil dalam penggunaannya.
3. 'Kader' untuk siapa?
"Eh, dia itu kader juga ternyata. Subhanallah ya."
Aku sempat bingung dulu dengan istilah itu dan nanya gini ke adek-adek di sebelahku. Seingatku dia nggak tergabung di organisasi rohis di fakultas,
"Dek! Adek kader juga ya?" tanyaku dengan polos dalam suatu perhelatan.
"Iya Kak. Kan Adek liqo."
Aku menyimpulkan saat itu bahwa yang disebut kader itu adalah mereka yang sudah ditarbiyah (dalam liqo). Nah, tapi sekarang aku menganggap kader itu universal. Artinya, kader itu adalah agen. Nah, setiap muslim adalah agen islam. So, setiap muslim adalah kader. Mengenai apa yang ia kader? Kembali lagi kepadanya. Setiap orang boleh saja berbeda cara, tapi semoga tetap bertujuan sama; Allah.
Ini hari NYUCI BAJU SEDUNIA bagiku. hihii. maklum cin, ibu-ibu. hehe
Tiba-tiba, aku terinspirasi untuk menuliskan kegelisahan ini. Sudah menjadi kelaziman bagi anak-anak ROHIS dimana pun berada untuk menggunakan bahasa arab dalam sapaan maupun agenda ke-rohisannya. Terus ada masalah? Ada. Bukan tentang panggilannya, tapi tentang pemanggilnya.
Saya perhatikan...
1. Panggilan Akhwat/Ikhwan sekaligus menjadi gelar
"Eh, si anu itu Ikhwan loh. Udahlah ganteng, soleh lagi."
"Subhanallah, dia akhwat ya ternyata. Udah pinter, sholeha pula."
"Adeknya si anu itu akhwat loh. Luar biasa ya!"
Begitulah kira-kira. Teman-teman pasti pernah mendengar atau bahkan mengatakan kalimat sejenis. Kata Akhwat berasal dari bahasa Arab yang artinya wanita/perempuan/cewek. Iya kan? Nggak ada penspesialan di sana. Sepakat? Siip! Nah, tapi kenyataannya di Indonesia (khususnya), kata Akhwat itu mengalami penyempitan makna. Akhwat lebih identik dengan muslimah yang jilbabnya lebar dan longgar, ikut halaqoh/liqo/pengajian, pakaiannya syar'i, dan lain-lain yang bisa pemirsa tambahkan sendiri.
Coba bayangkan, kalau ada saudari 'biasa' yang mendengar kalimat itu. Bagaimana perasaannya?
"Ah, aku ini apalah!" atau "Ah, kalau dia akhwat namanya, aku ini apa ya?"Hayooo, kasihan kan saudari kita itu. Kadang, sering geram juga sih rasanya kalau mendengar hal-hal semacam itu (hellooo kok lo bilang dia akhwat sejak SMA, memangnya waktu SD dia ikhwan? kagak kan? Sejak lahir dia memang sudah akhwat keless). Hanya Yang Maha Mengetahui sajalah yang berhak menilai mana hambanya yang sholeh/soleha dan benar-benar 'pilihan'.
2. Panggilan Ukhti bermakna 'spesial'
Nah, kasus yang ini agak berbeda tapi masih sama.
Sering juga terdengar seseorang menyapa 'ukhti' begitu akrab dan mesra kepada saudarinya yang disapa akhwat tadi. Memang tidak semua orang seperti itu. Tapi, setidaknya hal demikian juga benar terjadi. Ukhti itu artinya saudara perempuan. Iya kan? Artinya, semua wanita yang beragama Islam adalah saling bersaudara dan disebut saudara perempuan. Setuju? Nah, maka upayakan untuk adil dalam sapaan. Jangan hanya menujukan sebuah panggilan untuk seseorang yang spesial menurut kita. Sya sendiri, tidak menyapa kawan dengan 'ukhti' selagi saya tidak bisa adil dalam penggunaannya.
3. 'Kader' untuk siapa?
"Eh, dia itu kader juga ternyata. Subhanallah ya."
Aku sempat bingung dulu dengan istilah itu dan nanya gini ke adek-adek di sebelahku. Seingatku dia nggak tergabung di organisasi rohis di fakultas,
"Dek! Adek kader juga ya?" tanyaku dengan polos dalam suatu perhelatan.
"Iya Kak. Kan Adek liqo."
Aku menyimpulkan saat itu bahwa yang disebut kader itu adalah mereka yang sudah ditarbiyah (dalam liqo). Nah, tapi sekarang aku menganggap kader itu universal. Artinya, kader itu adalah agen. Nah, setiap muslim adalah agen islam. So, setiap muslim adalah kader. Mengenai apa yang ia kader? Kembali lagi kepadanya. Setiap orang boleh saja berbeda cara, tapi semoga tetap bertujuan sama; Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar