Baru membuka mata, aku sudah disajikan kembali dengan pembahasan semalam. Grrrr! Niat hati ingin melihat sudah jam berapa sekarang, malah sesak di dada kembali membuncah!. Dia telah merusak pagiku.
Aku punya pemikiran yang jauh berbeda dengan yang telah menjadi kelaziman selama ini. Mungkin, ini baru menjadi kegelisahan yang serius ketika aku telah bersinggungan langsung dengan keadaan tersebut. Idealisme-ku tetap bermain. Kenapa mesti membuat kebijakan semacam itu jika bisa berlaku normal? Kita berfikir untuk memancing dengan umpan besar supaya hasil yang diperoleh juga besar. Tidak sadarkah kita, bahwa mereka yang berwenang itu juga mencurigai kita? Mungkin, tidak akan jadi seperti ini jika kejujuran menjadi jalan tengah bagi kedua pengguna.
Dalam kondisi kerja kepanitian, sebaiknya kita bisa memisahkan hal-hal mengatas-namakan 'kebersamaan' dengan profesionalisme kerja. Harus ditransparansikan sejak awal, akan ke mana arah roda ini, bagaimana prosesnya hingga urusan-urusan terkecil sekali pun. Agar jangan sampai di ujung-ujung timbul salah-faham yang fatal jenisnya. Jika ternyata ada yang tidak sepakat dengan rencana, maka ia berhak mengajukan keberatannya. Dan, jika ternyata keberatannya itu adalah hal yang lebih 'menenangkan hati' apa salahnya untuk diikuti? Yang telah lumrah, belum tentu mutlak kebenarannya. Kita masih bisa memilih 'cara' yang berbeda, bukan? Mungkin, kita perlu melakukan kunjungan silaturahmi kepada kelembagaan lain yang berwarna 'putih'. Kita akan mendengar tentang mereka pula. Samakah dengan kita? Kalau berbeda, bagaimana mereka melakukannya? Siapa tahu kita bisa mengambil saran mulia dari mereka. Sebab, dulu pun aku terkagum dengan mereka karena kerjanya dipenuhi tangan-tangan ajaib: tanpa dana, acara tetap lancara adanya. Bisakah kita curi saja ide semacam itu untuk kita gunakan? Bukankah kita dan mereka tiada beda?
Dana, sebenarnya bukan hanya tentang penggunaan dan penyimpanan. Tetapi juga tentang kejujuran. Mungkin, kita berfikir telah menyelamatkan dana yang berhasil kita tarik dari 'penyimpan'nya. Namun, secara natural mungkin saja kita telah mendidik diri untuk menjadi makhluk-makhluk konsumtif dengan cara dan alasan yang lebih 'berdasi'. Aku masih ingat, salah satu bunyi ikrar dalam pelantikan sore itu:
"...tidak mengharapkan imbalan apapun atas pekerjaan ini, sekali pun ucapan terimakasih."
LUAR BIASA! Fikirku. Ternata, itulah nyawa yang melingkupi gerak mereka. Sebuah komitmen untuk mengedepankan bakti daripada pamrih. Seharusnya, kita pun bisa seperti itu. Jangan selalu mengkhawatirkan 'kita tidak mendapatkan apa-apa dari kerja ini, kecuali ini dan itu." Loh? Bukankah ini dan itu pun adalah pamrih?
Intinya, jika memang kita mendapatkan hak untuk sesuatu, maka ambillah itu. Tapi, jika tidak, maka tidak sepantasnya juga kita mengurangi hak-hak lain, untuk mencukupi apa yang kita anggap hak kita. Itu saja!
Aku punya pemikiran yang jauh berbeda dengan yang telah menjadi kelaziman selama ini. Mungkin, ini baru menjadi kegelisahan yang serius ketika aku telah bersinggungan langsung dengan keadaan tersebut. Idealisme-ku tetap bermain. Kenapa mesti membuat kebijakan semacam itu jika bisa berlaku normal? Kita berfikir untuk memancing dengan umpan besar supaya hasil yang diperoleh juga besar. Tidak sadarkah kita, bahwa mereka yang berwenang itu juga mencurigai kita? Mungkin, tidak akan jadi seperti ini jika kejujuran menjadi jalan tengah bagi kedua pengguna.
Dalam kondisi kerja kepanitian, sebaiknya kita bisa memisahkan hal-hal mengatas-namakan 'kebersamaan' dengan profesionalisme kerja. Harus ditransparansikan sejak awal, akan ke mana arah roda ini, bagaimana prosesnya hingga urusan-urusan terkecil sekali pun. Agar jangan sampai di ujung-ujung timbul salah-faham yang fatal jenisnya. Jika ternyata ada yang tidak sepakat dengan rencana, maka ia berhak mengajukan keberatannya. Dan, jika ternyata keberatannya itu adalah hal yang lebih 'menenangkan hati' apa salahnya untuk diikuti? Yang telah lumrah, belum tentu mutlak kebenarannya. Kita masih bisa memilih 'cara' yang berbeda, bukan? Mungkin, kita perlu melakukan kunjungan silaturahmi kepada kelembagaan lain yang berwarna 'putih'. Kita akan mendengar tentang mereka pula. Samakah dengan kita? Kalau berbeda, bagaimana mereka melakukannya? Siapa tahu kita bisa mengambil saran mulia dari mereka. Sebab, dulu pun aku terkagum dengan mereka karena kerjanya dipenuhi tangan-tangan ajaib: tanpa dana, acara tetap lancara adanya. Bisakah kita curi saja ide semacam itu untuk kita gunakan? Bukankah kita dan mereka tiada beda?
Dana, sebenarnya bukan hanya tentang penggunaan dan penyimpanan. Tetapi juga tentang kejujuran. Mungkin, kita berfikir telah menyelamatkan dana yang berhasil kita tarik dari 'penyimpan'nya. Namun, secara natural mungkin saja kita telah mendidik diri untuk menjadi makhluk-makhluk konsumtif dengan cara dan alasan yang lebih 'berdasi'. Aku masih ingat, salah satu bunyi ikrar dalam pelantikan sore itu:
"...tidak mengharapkan imbalan apapun atas pekerjaan ini, sekali pun ucapan terimakasih."
LUAR BIASA! Fikirku. Ternata, itulah nyawa yang melingkupi gerak mereka. Sebuah komitmen untuk mengedepankan bakti daripada pamrih. Seharusnya, kita pun bisa seperti itu. Jangan selalu mengkhawatirkan 'kita tidak mendapatkan apa-apa dari kerja ini, kecuali ini dan itu." Loh? Bukankah ini dan itu pun adalah pamrih?
Intinya, jika memang kita mendapatkan hak untuk sesuatu, maka ambillah itu. Tapi, jika tidak, maka tidak sepantasnya juga kita mengurangi hak-hak lain, untuk mencukupi apa yang kita anggap hak kita. Itu saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar