Minggu, 10 Mei 2015

Club Penulis Muda Lingkar Pena

"Rin, inilah hikmah menulis di blog! Barusan Okta menagih tulisanku yang terbaru. Ini baru Okta, belum lagi yang lainnya. Orang-orang udah terlanjur membaca tulisanku dan mereka akan terus menagihnya! Nikmat sekali rasanya, Rin. Ini adalah pemaksa kita untuk terus-menerus menulis."

Mami menelvon dan aku segera mengangkatnya. Ini sumber keberkahanku! Kalau orang lain, sudah pasti tidak ku angkat ketika sedang asyik nulis gini. ehhe.
"Katanya ada acara FLP, mana buktinya? Kok masih angkrem aja jam segini?" tanya mami.
"La jadi mi?" jawaban klasik; tidak melawan dan tidak meyakinkan. Blur lah gitu eceknya. haha
"Uangmu masih ada?" GLEKKK. Pertanyaan tak terduga.
"Udah abiiissm" jawabku manja.
"Yang untuk Nilam Rp 200.000 udah dikasih?"
"Belum lah, namanya aja belum ketemu. Yah akhirnya El pakelah, ehe."
Mami nggak menjawab lagi soal itu. Biasnaya, mami akan bilang: Mempeng temen (baca: gampang banget) ngabisin duit. Tapi kali ini tidak. Semoga ini pertanda baik ya Allah. aamiin. Setelah ngobrolin mantan kucing, mami menyudahi telvon. Mami mah, emang gitu. Ngobrol cuma bentar tapi rajin setiap hari, eheh.
Mi, El mau ikut pemilihan Duta Bahasa, doain yak. Dan, mau beli hardisk juga soalnya memori laptopnya udah penuh banget mi.
Waktu ngobrol, nggak kefikiran cerita tentang itu karena kebanyakan La Jadi-nya.
Hardisk berapa harganya? Tanya mami singkat.
Sekitar 1jt an, mi.
Tidak ada balasan lagi, tapi semoga ada sms dari BRI masuk dan mengabarkan ada penambahan saldo. aamiin dah!


"Rin, plisss bantuin aku ya! Editanku belum siap nih dan bang Alam akan menagihnya jam 09.00wib ini. Rini ngeditnya dari bawah aja ya. Aku dari atas." Kemudian aku memberikan file naskah kumpulan cerpen ke Rini. Mulailah kami berkutat dengan huruf-huruf padat.
Alhamudlillah, jam 08.30wib semuanya udah selesai, berkat bantuan Rini.
"Rin, ini ada honornya Rp 75.000 dan kita belikan pulsa modem aja ya. Aku udah kecanduan kali ngeblog nih!" dijawab anggukan oleh Rini.

Jam 09.55wib, aku tiba di SD IT Madani School, di jalan Bangau Sakti untuk mengikuti training mentor FLP. Ani baru saja memasuki ruangan ini (mushola) ketika aku mematikan mesin motor.
"Terimakasih atas yang sudah datang tepat waktu. Kita ini akan dicontoh oleh Adik-adik bimbingan kita nantinya. Kalau kitanya saja terlambat, bagaimana mereka mau mencontoh?" kata mbak Sugi yang sedang memberikan kata sambutan.
Aku yang baru saja terduduk langsung merasa gimanaaa gitu. hehe. Emang sih, aku lelet tadi.
"Mungkin, itu juga yang sudah tertanam di benak kita. Ah, nggak mau datang tepat waktu takut belum ada yang datang dan nungguin..." tambah mbak Sugi lagi. Dan, itu bener banget mbak! Mbak memang faham betul apa yang Elis rasakan. loh?

Sesi 1 diiisi oleh pak Bambang Karyawan tentang materi Cerpen. Aku masih sangat ingat kapan dan bagaimana aku mengenalnya pertama kali. 3 tahun yang lalu, saat itu aku sedang mengikut LKTI dalam acara BEM FKIP EXPO. Iseng-iseng aja nih ikutan mentang-mentang baru kelar dari pelatihan menulis KTI yang diadain BEM UR waktu itu. Pas presentasi gemetaran nggak jelas lagi, haha. Eh, alhamdulillah juara 2. Yeeyee! Sejak saat itulah aku terpacu untuk ber-KTI ria hingga sekarang. Terimakasih pak Bambang, pak Daniel juga, yang sama luar biasanya.

"Pak, Elysa mau berkomentar donk?"
"Ya silahkan!"
"Cerpen ini masih banyak typo-nya ya. Terus, waktu tadi Bapak nanya; udah siap semua bacanya?, jujur Elysa bahkan belum habis membaca satu halaman ini. Nah, karean ternyata ini adalah karya Bapak, Elysa mau nanya nih. Maksud dari kalimat ini apa ya, pak? Bahasa bicaraku kehilangan struktur kalimat agar aku bisa menjelaskan mengapa air mataku tak mampu kuasa ku bendung. Soalnya agak ada yang kurang pas menurut Elysa di sini."
"Oh iya, terimakasih sebelumnya Elysa. Sebenarnya saya memang masih sangat miskin kalau tentang tata penulisan yang baik dan sempurna benarnya, tapi saya punya kemuan kuat untuk menulis, itu saja. Dan, alhamdulillah menang dalam sayembara penulisan ini (sambil mengayun-ayunkan sebuah buku). Nah, maksud kalimat yang itu adalah seorang anak laki-laki yang trauma terhadap kejadian di masa lalunya dan nggak punya  rasa percaya diri lagi dalam berbicara sehingga kalimatnya nggak tertata," jelas pak Bambang.
"Oh gitu. Iya sih, Elysa juga memikirkan hal yang sama, Pak. Ini kisah tentang seorang laki-laki yang mengalami sesuatu dimasa lalu yang membuatnya trauma. Tapi Pak, yang mengganjal adalah struktur kalimatnya, mungkin yang benar itu adalah: Bahasa bicaraku kehilangan struktur kalimat, sehingga aku tak bisa menjelaskan mengapa air mataku tak mampu kuasa ku bendung. Nah, kalau yang ini mungkin Elysa ngerti, Pak. hehe, saran aja sih Pak. Karena Elysa juga belum pernah menang seperti Bapak dan walau pun menurut Elysa banyak yang salah, tapi nyatanya kan Bapak menang di sini."
"Waah! Maksudnya apa itu?" gumam sesorang dari arah kiri belakang dari tempat dudukku. Aku sedikit terusik, tapi tidak ku putuskan untuk melihat siapa dia.
"Sering juga sih Pak memperhatikan, kebanyakan pemenang dalam even-even besar itu memang yang bahasanya agak ribet dan butuh mikir untuk memahaminya. Rasanya sangat jarang yang menang dengan gaya tutur yang biasa dan apa adanya. Ntahlah ya, Pak mungkin selera para penyelenggara memang dominasinya seperti itu. Kalau Elysa sih sejauh ini kalau menulis lebih mengedepankan pesan daripada keruetan istilah dan diksi. Elysa pengennya tulisan Elysa dibaca oleh semua kalangan dan mereka faham pesan yang lysa sampaikan. Itu aja sih, Pak."
Ntah komentarku yang berlebihan padahal masih anak ingusan atau bagaimana, yang jelas semuanya terdiam. Ah, aku jagi nggak enak hati nih. hiksss.
"...sebenarnya, dalam menulis cerpen ini saya sedang berusaha keluar dari spesifikasi saya yang ber-genre lokalitas baca: budaya, tradisional). Makanya, memang sedikit kaku jadinya..." jelas pak Bambang dan aku bergumam ooooo, panjang. Pantesan aja...

Aku ingat cerpennya pak Bambang yang berjudul SAFAR, itu sumprit keren banget dah. Aku acungi jempol. Tapi, di cerpen yang berjudul Lelaki Berkubang Air Mata itu memang kaku menurutku.
"Pak, makasih ya atas ilmunya," sapaku ketika pak Bambang memasang sepatunya, di depan mushola.
"Oh iya, sama-sama Elysa. Kemarin Elysa yang ikutan Mahasiswa Berprestasi kan?" Pertanyaan itu membuatku teharu, dari mana pak Bambang tahu hal itu? Tapi, aku tidak memperjelas asal muasal tahu-nya itu.
"Bapak masih ingat kapan pertama kali kita ketemu, Pak?" *ih, pede banget nih anak! hihi.
"Ingat. Waktu di FKIP kan?"
Kan, bener pak Bambang ingat aku. "Iya, Pak bener. Waktu itu Bapak jurinya dan pak Dahniel juga. Makasih ya, Pak. Berkat juara 2 waktu itu, Elysa termotivasi untuk terus menulis KTI."
"Alhamdulillah, memang bidang penelitian itu sangat besar peluangnya, Elysa. Baru aja Bapak dapat hibah dana kemarin."
"Oh, yang guru teladan itu ya, Pak?" tanyaku sekenanya.
"Itu udah agak lama juga. Yang ini yang terbaru, Sa."
WEEWWW!!! Keren bingitzzz! Lebih keren lagi karena pak Bambang ini adalah penyayang. Terbukti hampir disetiap even, beliau selalu membawa putri sulunya yang sekarang kelas 1 SMP itu. Namanya Firda, kalau eke tidak salah.

"Ni, emangnya komentar aku ke Pak Bambang tadi berlebihan ya?" tanyaku kepada Ani yang baru aja mulangin motor ke Arfaunnas dan sekarang ku bonceng.
"Nggak kok, El. Elysa kan memang selalu gitu."
Memang selalu gitu, aku sedikit tersanjung meski sejurus kemudian jadi ragu: kira-kira maknanya apa ya? hehe. Tapi, aku nggak ingin memperjelas apa maknanya. Aku hanya menyimpulkan bahwa itu baik dan Ani sedang memujiku. Simple!
"Iya, aku juga nggak ada maksdu nyepelein Pak Bambang. Aku justru bermaksud menjelaskan secara tersirat bahwa juri suka dengan gaya penulisan pak Bambang, buktinya dia menang. Gitu. Ntah siapalah yang nyeletuk tadi tuh!."
"Oh ya, Ani udah gabung digrup BBMnya FLP? Di WAnya jugakah?"
"Aku gabund yang di BBMnya aja El."
"Kenapa Ni?"
"Cukup 1 aja. Ani nggak mau waktu Ani habis ke situ aja fokusnya."
Ungkapan yang tegas dan menyejukkan kalbu.

Training hari ini spesial. Kami diberi tenggang waktu hingga pukul 16.00wib untuk menuntaskan mengaji sebanyak 1 jus. Setelah solat Zuhur pun 10 menitnya digunakan untuk ngaji. Suhanallah! What a beautiful is this. Setelahnya, barulah kami lunch together. Alhamdulillah, rezeki hari ini, aku bisa makan gratis menjelang mami ngirimin piti, hehe.
"Kakak duluan yaaa," kata kak Rani, berpamitan kepada kami semua.
Hemmm... pasti si kakak mau pulang buat ngurusin si dedek dan suami tercinta. Aku tadi sempat ngorek-ngorek tentang proses dibalik pernikahannya.
"Sebenarnya Kakak nggak kefikiran buat nikah secepat ini, Dek. Lagian orang tua Kakak emang minta nyelesain kuliah dulu. Eh, ternyata yang ngumpulin tugas bikin proposal dari MR itu cuma Kakak sendirian. Dan, nggak lama setelah itu MR Kakak ngajuin calon."
"Selang berapa hari Kak emangnya sejak hari penyerahan proposal itu?" aku semakin kepo.
"Kakak ngumpulin ke MR hari Rabu, terus hari Jumatnya proposal udah dapat kabar aja bahwa si ikhwan setuju untuk melanjutkan proses dan tergantung ke Kakak lagi. Dan, setelah istikharoh, Kakak mengiyakannya. Alhamdulillah, orang tua Kakak gampang aja merestui. Ya udah, kalau emang udah waktunya datang jodohnya. Gitu aja katanya. Banyak juga yang shock kemarin karena Kakak ngasih kabar ke teman-teman itu sebulan sebelum resepsi. Alhamdulillah, semua yang Kakak inginkan dan Kakak sebutkan di proposal itu Kakak dapatkan dari suami Kakak."
"Gimana Kakak bisa seyakin itu untuk berkata IYA? Apa ada sinyal di hati yang begitu kuat; Ya, dialah jodohku! Dialah yang terbaik!, semacam itu? Atau bagaimana Kak?" kepo-ku menjadi jadi.
"Kalau yakin yang kayak gitu sih nggak ada, Lis. Tapi, Kakak nggak nemuin aja alasan untuk nggak nerima lamarannya itu."
"Oh? Gitu ya Kak? Nggak yakin banget, tapi nggak punya alasan untuk menolak. Ya ya ya! hemmm," aku manggut-manggut.
"Kakak kan nggak suka dengan ikhwan yang terlalu vokal gitu, alhamdulillah dia memang seperti yang Kakak harapkan. Kakak juga pencemburu dan nggak mau sama yang se-organisasi.."
"Loh? Kenapa gitu Kak?"
"Kalau se-organisasi kan kita sedikit banyaknya tahulah tentang dia. Dan, Ntar semakin nggak enak kalau kita udah pernah tahu si akhwat yang ini menyimpan hati sama dia. Takut nggak bersih lagi nanti prosesnya, Dek. Dia juga nggak suka sama akhwat yang vokal dan sering tampil, alhamdulillah dia dapatkan dari diri Kakak."
Meski pun aku nggak sepenuhnya faham, tapi aku mengakui proses yang dialami kak Rani adalah proses yang 'sesuatu' banget. Aku jadi mikir, gimana ya prosesku besok? Aku nggak mengharuskan dia adalah orang yang benar-benar baru, yang nggak se-organisasi kayak kak Rani. Tapi, nggak tahu juga deh kalau itu akan berubah nantinya. Kriteria kan bisa aja mengikuti perkembangan zaman. eheh.

Materi dilanjutkan oleh bang Wamdi tentang filosofi Dakwah bil Qolam (menyampaikan lewat pena) menurut islam. Bang Wamdi ini luar biasa banget. Dari caranya berbicara aja kita udah bisa merasakan bahwa dia adalah orang berilmu. Ruhnya menyentuh.
"Bang, mau nanya donk! Biasanya, ketika memulai mengajarkan sesuatu, sebaiknya kita menanyakan alasan dan landasan: apa dan mengapa mau mempelajarinya. Nah, untuk teman-teman yang masih awam kan nggak mungkin kita dengan polos mengatakan: Menulislah karena Allah. Karena itu kan maknanya masih sangat luas. Nah, adakah Abang memiliki kalimat sakti yang bisa memotivasi kondisi seperti ini?" tanyaku. Karena FLP bukan wadah asing bagiku, makanya aku bisa se-lempeng itu aja kalau mau nanya. Dulu? Hemm...jangan ditanya. Serasa mau copot tuh pergelangan tangan setiap kali angkat tangan. Kadang, kayak mengangkat batu bata aja; beraaat coy!
"Kita bisa menyampaikan kepada mereka menulislah untuk mendapatkan honor, untuk terkenal, untuk mengembangkan kreativitas, nggak masalah. Karena, alasan untuk ibadah itu adalah tujuan jangka panjang setiap muslim. Nah, jangka pendeknya itulah dengan alasan-alasan tadi itu. Tidak ada agama yang sangat mengapresiasi membaca dan menulis seperti ISLAM. Bahkan, Al-Quran ini pun bisa berbentuk seperti ini karena dituliskan."
Masih banyak lagi hikmah-hikmah yang disampaikan oleh bang Wamdi dan aku langsung mengetikkannya di laptop. Nah, sayangnya si putih lagi rusak casannya, jadi aku nggak bisa nulisin semuanya dengan lengkap di sini. *jadi, ceritanya ini sedang minjam laptopnya Rincuy.

Acara selesai lebih cepat dari rencana karena bang Hendra nggak ada kabar padahal materi puisi seharunya disampaikan olehnya. Huh! Kemana sih si abang. Apa mungkin masih di Kubu? Tapi, kata bang Alam tadi, semalam bang Hendra udah menyanggupi. Piye iki? Aku nganterin Ani pulang dan selanjutnya aku yang pulang. Ada Yudi dan Teguh yang datang ke kosan se-jam kemudian untuk bahas KTI BEM FKIP. Yeyeee! Aku dapat oleh-oleh pin hitam berlogo FIM dan boneka kucing yang matanya serem abizzzz...

Elis, dimana mu?
Sebuah sms yang tak pernah ku bayangkan akan bertamu lagi di HP ini.
Di kosan, bang.
Jawabku ragu. Mulai deh aku parno dan berfikiran buruk. Agak gimana gitu rasanya dengan orang yang tiba-tiba hadir. Takut yang kemarin-kemarin terulang lagi. *ciyeee, yang sering di PHP-in.. hehe
Abang ke kosmu ya. Mau ngomongi masalah utang kemarin.
Bahkan, utang itu pun udah nggak ku harapkan lagi untuk kembali. Tapi, kalau ternyata dia mau bayar, ya masa aku nolak sih? Apalagi si Rini udah excited banget karena mau dapat uang. heehe.

Tepat banget, setelah aku sholat Isya, ada panggilan dari si abang kos. Pasti bang Iwan udah di depan. Aku ke luar dengan gaya kucel aja. Takut digombalin. Biar omongan kami fokus aja ke tujuan.
"Jadi, berapa utang Abang yang kemarin, Lis? Soalnya Abang mau pindah ke Medan, alhamdulillah dapat kerja di sana."
"Utang ke Rini ada Rp 100.000 dan ke Elis ada Rp 50.000 waktu Abang mau pulang kampung, plus utang pulsa sebelumnya sekitar Rp 30.000 Bang. Jadinya, Rp 180.000 aja Bang. Eh, berarti Abang nggak ke Pekanbaru lagi ya?"
"Ya nggak lah. Makanya Abang juga sekalian mau pamitan nih."
"Kapan berangkat?"
"Besok sore rencanya. Tapi, Abang nggak bawa uangnya sekarang. Besok jam 10.00wib Elis belum ke kampus kan? Biar Abang anterin ke sini  aja. Eh, mana si **ra?"
"Dia udah tamat sejak kemarin, Bang."
"Gimana kabarnya, Lis?"
"Nggak tahu. Udah nggak pernah lagi tahu," jawabku tegas. Aku nggak sanggup mengingat masa-masa itu lagi. Sudah cukuplah! Semoga dengan perginya abang ke Medan, maka usailah sudah secara sempurna semua cerita luka.

Okta nelvon. Sehari tanpa teriakan dan suaranya membuatku rindu. Dia adalah adik tiba-tiba. Tiba-tiba jadi adik, tiba-tiba jadi musuh, tiba-tiba jadi abang, tiba-tiba jadi teman. Kembali, dia menceritakan tentang sahabatnya itu.
"Kak, kalau berteman cuma berteman, itu sama aja kayak nggak berteman, Kak. Kalau Okta nggak bisa merubah sahabat Okta menjadi lebih baik lagi, berarti Okta gagal menjadi sahabatnya, Kak," katanya. Bukan Okta namanya kalau tidak bisa membuatku terhipnotis!
Aku jadi teringat kak Vivien. Dia telah mengeyam kesuksesannya dari modal dasar sifatnya yang bersahabat, ceria, rendah hati dan nggak pernah puas untuk terus belajar. Insya allah, suksesnya akan terus sukses jika ia tetap seperti itu. Urusan ibadahnya dengan Allah, itu urusannya dengan Allah yaa...  yang jelas, kak Vivien itu adalah sosok yang luar biasa.
"Rin, ada saatnya Kak Vivien itu nggak ngeMC lagi. Tapi, dialah yang jadi pemilik lembaga per-MC-an. Itulah puncaknya nanti. Nggak mungkin kan dia ngeMC terus-terusan. Aku berharap, aku pun akan menemui puncak kejayaan itu Rin, di bidangku. Aku juga ingin gemilang seperti dirinya. aamiin. as soon!"

Aku butuh banget dengan modem dan inilah hasilnya; aku bisa bebas melepas rasa lewat kata. Modem adalah kebutuhan dasarku. Paling males nungguin wifi apalagi kalau jaringannya broke. Belum lagi berhasil loading, batre laptop dah low duluan. huaaah. Pas aku buka facebook, hal pertama yang ingin ku buka adalah PESAN. Ada sesuatu yang masih tersangkut di sana.
"Rin, dia nggak menjawab apapun. Dia diam, Rin."

Tidak ada komentar: