Nggak ada angin, nggak ada gledek, nggak ada badai,
tiba-tiba smsku dibalas seperti ini,
Hari ini.
Aku terbelalak. Kenapa nggak ada kepastian? Kenapa nggak ada
kabar sejak semalam?
Jam berapa? Kok
nggak dikabarin sejak semalam?, balasku lagi.
Lalu, HPku berdering dan segera ku angkat nomor ‘panas’
tersebut. Firasatku mulai nggak enak.
“Hmmm?” jawabku.
“Hallo Kak? Tadi pagi sudah kami sms Kak, memangnya nggak
masuk ya Kak?”
“Nggak ada masuk. Kenapa baru tadi pagi disms?”
“Kemarin juga sudah kami ingatkan Kak. Kakak bisa hadir hari
ini? Nomor urut terakhir aja kalau gitu tampilnya, Kak. Jam 1 bisa kan Kak?”
“Jam 1 ya? Berari setelah zuhur kan?”
“Iya Kak. Enggg…. tapi jam 11 usahakan udah datang ya Kak.
Soalnya direncanakan sebelum Zuhur sudah selesai Kak. Jadi nanti menyesuaikan
saja ya Kak.”
“Oke makasiiih ya.”
Setelah mengucapkan salam,
telvon ditutup.
“Rin. Buruan kita siap-siap. Kita tampil jam 1 ini.”
“HAH? Masa iya? Kok nggak dikabarin kita?”
“Itulah. HPku mungkin yang sedang hang. Katanya udah disms sejak
kemarin dan tadi pagi. BBM Lia untuk segera ke Panam.
“Lia nggak bisa katanya, El. Bacalah nih!” Rini menyodorkan
OPPOnya kepadaku. Aku tertegun.
“Bilang, 5 menit pun nggak bisa menyempatkan?”
“Ini jawabannya, El.”
Aku kembali membaca balasan Lia dan langsung emosi rasanya
dibuatnya. Langsung ku raih HP Gampang ya mu ngomong gitu! Aku tahu
dia nggak ada pulsa. Mungkin dia mengatakan sesuatu lagi ke Rini lewat BBM,
tapi aku tidak mau tahu. Jangan sampai gara-gara masalah ini penampilanku dan
Rini nanti nggak maksimal. Tidak ku
izinkah masalah perasaan mengotak-ngatik penampilanku!
dank u ketikkan kalimat ini,
dank u ketikkan kalimat ini,
Sebelum berangkat, aku kembali merapikan dan mengindahkan PPT
sementara Rini terus saja menghafal apa yang akan ia sampaikan. Sempat juga
berlatih 1 kali dengan stopwatch dan ternyata aku grogi banget pemirsaaa…
***
“Selanjutnya ada peserta dengan nomor urut 5…”
Oh, ternyata baru 5 peserta yang tampil. Syukurlah pemirsa!
Aku fikir bakal telat tadi. Di seberang kanan deretan bangku-bangku ini, aku
melihat Yudi.
“Udah tampil?” aku mengodenya dari jauh.
Dia menjawab ,”Udah. Tadi nomor urut 1,” jawabnya dengna
kode juga.
Alhamdulillah, ada sesuatu yang baru saja melegakanku. Aku
kembali fokus kepada peserta yang silih berganti tampil. Aku berharap tampil setelah
Zuhur saja, seperti pada perlombaan-perlombaan yang sering sekali ku ikuti dan
mendapat banyak keberkahan ketika tampil setelah waktu sholat.
“Untuk nomor undian selanjutnya, kita pending dulu sampai
pukul 13.30wib setelah sholat Zuhur dan makan siang,” kata MC setelah peserta
nomor undian 8.
“Rin, kayaknya sejak tadi nggak ada yang openingnya pakai
pantun ya? (Rini mengangguk) Berarti kita bisa curi start dengan pantun nih.
Ini strategi Rin untuk membuat juri terpana! hheeh. Eh, Rin juri yang itu kayaknya
suka deh sama aku, soalnya dia sebentar-sebentar ngelihat kebelakang.”
Rini langsung menarik badannya dan melotot ketika mendengar
kalimat innocentku barusan. Mungkin ini yang difikirkannya, “Kepedean amat nih
orang!.”
“Kakak tampil nomor 2?” tanya salah satu peserta keheranan
setelah melihat nomor undianku.
“Iya ternyata. Tapi jam 10 tadi, panitia baru nelvon,
ngabarin bahwa hari ini presentasinya. Kakak nggak ada dapat kabar sebelumnya,
makanya sekarang tampil di nomor urut terakhir jadinya.”
Dek, Kakak akan
presentasi KTI MTQ pagi ini. Doakan lancar ya. Kalau ada waktu lihatlah Kakak
di sini, di audit FMIPA.
Pesan itu ku kirim kepada Teguh dan Okta.
***

“Bang?”
Yudi yang baru saja duduk di kursinya, akhirnya menoleh ke
arahku. Aku Sedikit lega.
“Marah ya sama Mak?” tanyaku langsung tanpa basa-basi.
Seperti biasa, dengan ekspresi kekanakan. Niatku hanyalah ingin membuktikan
bahwa, ‘Hey! Aku udah nggak apa-apa loh’
“Nggak kok,” katanya dengan raut muka seperti biasanya.
“Kok sms Mak nggak dibalas?” tanyaku dengan suara
tertahan dan ekspresi memelas.
“Udah dibalas kok!” jawabnya singkat.
“Nggak ada masuk!” kataku lagi.
Dia tidak menjawab apa-apa lagi dan memalingkan wajahnya
kepada seseorang di sampingnya. Sementara aku masih tetap menatapnya beberapa
detik setelahnya. Sesaat kemudian, hatiku bergumam, Benar, dia memang berubah! Yang barusan itu adalah Yudi yang tak
lazim. Meskipun agak kacau, aku kembali mengetik agar hati sedikit
tertenangkan.
“Kita lanjut aja lagi sambil menunggu segala sesuatunya,”
pinta seorang juri yang duduk di tengah kepada MC. Aku segera beringsut ke tempat duduk asal.
Ah, aku fikir bakal makan siang dulu dan aku sempat berlatih
lagi dengan Rini. Ternyata dugaanku meleset, bukan hanya peserta nomor 9 yang
dipanggil, tapi seterusnya sampai undian ke 11.
“Wah, nggak salah lagi nih Rin. Giliran kita setelah ini
nih!” bisikku kepada Rini.
“Iya nih. Eh, kata Lia dia bener-bener nggak bisa datang.
Bacalah nih!”
Aku membaca kalimat panjangnya itu dan kini sama sekali
tidak ada amarah. Cin, hanya keputusan
Allah yang membuat kita tidak berangkat bertiga. Jika memang bisa, kita akan
tetap pergi bersama! Titik! Walau pun mu nggak berpartisipasi, tapi ini adalah
ide kita berdua sebenarnya. Kataku di dalam hati.
Aamiin ya Allah.
Semoga diberi kelancaran dan kemudahan dan hasilnya memuaskan.
Pesan dari mami barusan bak suntikan semangat untukku. Kepercayaan
diriku naik 100%, bismillah. Ya Allah, kini aku siap!
“Peserta terakhir yaitu Elysa Rizka Armala, Nurjamaliah dan Rini
Vidianty dengan judul ODOS (One Day One Sheet)….”
“Biasanya ODOJ, ini ODOS pula..” sahut beberapa orang, termasuk
dewan juri ketika kami mulai beranjak dari kursi.
“Bukan kentang sembarang
kentang,
yang ini
kentang dari padang,
bukan
datang sembarang datang,
datang ke
mari untuk menang.
Assalamualaikum waromatullahi wabarokatuh..” ucapku dan Rini
bersamaan sambil merendahkan tubuh. Juri sepertinya takjub pemirsaaahhh. Penonton
bertepuk tangan setelahnya. Sebagai peserta terakhir, kami harus maksimal!
Nggak ada kata setengah-setengah!
“Adapun latar belakang dari karya tulis kami ini adalah…” Rini
mulai menjelaskan. ia berdiri di depan laptop dan aku berdiri agak ke tengah.
Setelah selesai ia menjelaskan latar belakang, aku menyambungnya
dengan penjelasan tentang gagasan dan kesimpulan.
“If there is any questions or suggestions, we please you to send
us. Thank you,” kataku sambil mendekat kepada Rini.
Mulailah juri yang duduk di tengah menanyai kami tentang ayat
Al-Quran yang berhubungan dengan karya tulis kami dan aku langsung membacakan
Qs. Al-Baqoroh : 30 serta menjelaskan rasionalisasi ide yang kami angkat ini
dihubungkan dengan Al-Quran. Kemudian di susul dengan juri di sebelah kanannya,
“…. nah, sebenarnya ini yang ditanya oleh juri sebelumnya. Jika
membaca Al-Quran tanpa tahu artinya saja sudah berpahala, apalagi kalau kita
memahami maknanya? Seharusnya ini bisa ditambahkan ke dalam KTI anda. Itu saran
dari saya.”
“Terima kasih Pak atas sarannya,” jawabku sambil tersenyum. Aku
sempat menawarkan kepada Rini untuk berbicara, tapi setelah mic dipegang, ia
malah memberikannya lagi kepadaku karena tidak yakin.
Giliran juri ke-tiga. “Saya mau tanya, kamu anggota ODOJ atau bukan?”
tanyanya.
Aku sedikit ragu, ‘Wah takutnya kalau aku jawab bukan, juri malah
mikir kok berani amat aku ngangkat tema tentang ini. Kalau aku jawab iya,
berarti aku berbohong donk!’. Akhirnya ku jawab, “Sayaaa…tidak Pak. Sebenarnya
saja sudah pernah mencoba mengejar target 1 juz dalam sehari, memang selesai
dan lega. Tapi saya tidak puas karena saya tidak mendapatkan ilmu dari apa yang
saya baca itu. Itulah kegelisahan yang saya alami. Maka sebenarnya ide ini
adalah buah dari kegelisahan itu, Pak.”
“Okey. Semoga kamu bisa menjadi pelopor di UNRI.”
“Aaamiiin terimakasih Pak. Demikianlah presentasi kami,terimakasih
atas segala perhatian dan mohon maaf ata segala kekurangan. Waasalamualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.” Aku melirik ke Rini untuk mengucapkan salam
bersamaan, tapi ia tidak fokus sepertinya.
Tepuk tangan menggema ke seisi ruangan. Alhamdulillah, ternyata
semua ini sudah selesai ya pemirsa? Cepet bangetttt?
“Kak?” sapa Okta dari belakang dengan ngos-ngosan.
“Okta baru datang loh, masa Kakak udah selesai aja?”
“Nggak apa-apa kok, Dek. Ini ada rekamannya kalau mau lihat,”
tawarku.
“Hayyy, Oktaaaa…” sapa Yudi kepadanya.
“Hai bang Yudi… Abang luar biasaaa.”
Yudi sibuk merapikan tasnya dan berkata, “Aku duluan ya.. soalnya
udah ditunggu kawan.”
“Iya Bang, hati-hati yaa,” jawab kami serentak dengan kata-kata
berbeda.
“Dek, dia berubah!” kataku. Mulai lagi deh melonya.
“Iya, Kak. Kelihatan kok dari cara pamitnya barusan. Sudahlah Kak!
Biarkan saja dia.”
Rini udah ngilang aja. Katanya mau ganti dengan baju kaos aja.
Pakai blazer membuatnya terasa gerah katanya.
“El, sejak kita tadi mulai bicara, juri yang pakai batik merah itu
udah senyum-senyum loh sama kita,” bisik Rini.
“Iya, emang. Don’t-don’t (baca: jangan-jangan), dia suka sama
aku,” kambuh lagi penyakit narsisku.
“Bukan sama El, tapi sama aku,” kali ini Rini lebih parah ternyata
pemirsaaaa..
***
Aku jalan kaki dari audit FMIPA sampai BEM FKIP karena Okta
mengantarkan Rini ke BEM UR dengan motorku. Aku sih yesss, sekaligus bakar
kalori nih. Supaya hari kamis bisa lebih kurusan. hihiii.
“Dek, makan!” tawarku kepada Okta. Ini nasi bungkus dari panitia
MTQ tadi.
“Nggak mau. Okta nggak selera makan Kak. Eh, di BEM ada air putih.
Bentar ya, Okta ambilin dulu.”
“Ih, maaciiihhhh..”
Dek Joni ada di sudut kantin ini, katanya dia sedang ngantuk. Ku
tawari makan, nggak mau. Katanya takut ngantuk menjelang pengumuman debat
Bahasa Indonesia. Dia sedang berdebar
menanti pengumuman menurutku.
“Dek, Adek kalau marah sama orang gimana bentuknya?” tanyaku
tiba-tiba.
“Adek diam aja, Kak.”
“Gitu aja?”
“Iya…”
Okta tiba-tiba sudah nongol aja dan obrolan kami terputus, hihiii.
“Dek, dia kok berubah gitu ya?” tanyaku kepada Okta.
“Kak,
perubahan itu nggak pernah menunggu alasan.”
***
Hingga senja, aku, Okta, Joni, Deski masih setia duduk di bawah
tenda serba kuning-merah ini untuk menyaksikan pengumuman lomba Debat Bahasa.
“Juara 1 diraih oleh…. FKIP UR.”
Romi, Novi dan Joni langsung bersorak kegirangan. Aku dan yang
lainnya pun demikian. Sudah terlihat memang sejak final tadi. Novi sangat sadis
dengan caranya berkata-kata dan berargumentadi, Joni sangat tegas namun tetap
tenang sedangkan Romcek kok bisa dia se-cool itu ya di atas panggung? Padahal
aslinya capcusss ciin. heheh. Mereka memang sudah terlihat sangat unggul sejak
tadi dan aku melihat Novi di dalam debat seolah memang benar inilah nyawannya,
orang-orang sering menyebutnya Passion. This is Novi’s passion! Aurannya keluar
dan ia mengerahkan segenap kemampuannya di sana. Bukan hanya kami, juri pun
dibuatnya terpana.
Selamat ya Dek atas
semua peraihan hari ini. Semoga apa-apa yang diraih ini pun terhitung sebagai
padahal. aamiin. Dek, kelak kalian akan sampai di satu titik yang telah Kakak
rasakan ini: suatu saat kalian bertanya, “Mau ku apakan dan menjadikanku sebagai
apa semua yang ku raih ini?” dan ketika masa itu tiba, ingatlah kepada Kakak ya
^_^.
Dariku untuk mereka; sang juara. Malam ini. Di antara lelah
panjangku.
***
“Ya kalau menurut Mama yang wajar aja mereka begitu. Itu karena
mereka peduli, kerjakanlah skripsi tuh daripada ngerjakan yang lain dan yang
ini nggak selesai. Itu maksud mereka.”
“Iya, tahu Mi. Tapi El ngerasa nggak nyaman ditanyain kayak gitu
terus. El mau cerita A tapi yang mereka harapkan itu B. Kalau El paksakan
cerita A, mereka kelihatan banget nggak mau denger.”
“Iyaaa..tau Mama. Tahuu dan udah faham maksud ceritamu itu.
Emangnya El fikir Mama belum ngerti cerita mahasiswa?” tanya mama. “Kan
cerita-ceritamu selalu aja kayak gitu; deket, berantem, kecewa. Kan itu-itu
terusss…”
Aku yang berencana menangkis pernyataan itu pun akhirnya
terbungkam. Kadang memang terdengar kasar dan sadis. Tapi, sebenarnya mami benar.
“Jadi El nggak usah main ke sana lagi nih?”
“Kalau sanggup diomelin, mainlah ke sana. Kalau nggak sanggup,
nggak usah!”
“Itu memutuskan tali silaturahmi nggak namanya?”
“Ya nggak lah. Kita kan biasa aja, bukannya marah sama dia.
Kecuali El nggak pernah main ke sana, tapi ngomong sama orang: ‘aku tuh muak
loh main ke sana!’ nah, itu baru salah.”
“Gitu ya Mi? Hemmm… Ada lagi nih Mi cerita lainnya. Jadi gini….”
“Ya udah, biarin aja dia kalau memang nggak mau dekat lagi.”
“Tapi kami dulu dekat loh, Mi. Kemana pun El ikut lomba, dia
selalu dukung. Dia pun gitu, El selalu ada. Tapi sekarang kok dia bisa kayak
gitu…”
“Yah, mungkin dia berfikir, tanpa
Elysa pun aku bisa kok! Bisa jadii kan?”
Kalimat mami barusan menyentakku. Mataku membulat lantaran ada
sesuatu yang baru terfikirkan olehku tapi justru mami seolah jauh lebih tahu.
Mungkinkah ini yang disebut ikatan bathin ibu dengan anaknya?
“Nggak ada yang nggak mungkin, El di dunia ini. Semuanya bisa saja
berubah, termasuk keluarga. Jangan
terhalu banyak berharap sama orang, jangan mengira orang lain akan selalu
sama seperti apa yang kita mau. Karena pasti ujung-ujungnya hanya kecewa. Itu
aja ceritanya? Kirain cerita darurat kayak apa gitu.”
Mama memang selalu seperti itu; menyikapi segala persoalan dengan
pemikiran realistis. Tidak ada yang besar dan mustahil di matanya. Segalanya
adalah kemungkinan.
“Ngapain sedih dijauhin teman? Yang perlu disedihkan itu kalau kita nggak punya bekal untuk akhirat.
Karena di sanalah hidup kita yang sebenarnya. Itu baru sedih!”
Ah, Mami menyulap masalah dunia yang ku anggap besar seketika
menjadi kecil karena nasehatnya. Memang benar yang mama katakan. Benar sekali.
Sebenarnya, guru hidup kita itu tidak jauh dari kita; Orang Tua kita.
“Pemikiran kita boleh saja jauh ke depan, tapi jangan ribet! Nanti
muka udah kayak 75 tahun padahal umur baru 20 tahunan. Enjoy aja lagi! Jangan
terlalu dibikin susah hidup ini, El.”
Mama adalah orang tersimple di dunia. Tidak ada masalah yang besar
menurutnya. Dan, pesannya sangat sederhana; Jangan
terlalu berharap kepada orang lain!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar