Minggu, 21 Juni 2015

Ramadhan ke-4; Cepat Wisuda, Demi Orang Tua


Kadang, aku pernah merasa terengah-engah dikejar deadline DailyDairy-ku setiap harinya. Dulu, pada awalnya aku bingung mau nyeritain apa tapi sekarang malah bingung karena yang mau diceritain terlalu banyak. Percaya atau nggak, setelah setidaknya sebulan istiqomah nulis diary di blog, fikiranku jadi ‘hidup’, perasaanku jadi lebih peka, bahkan yang membuatku takjub, beberapa orang pernah berkata bahwa cerita yang ku tuliskan itu sangat lengkap dan detail. Bukan hanya itu, ada juga yang pernah bertanya, bagaimana caraku mengingat semua itu?
Yah, sejauh ini sih nggak ada masalah dengan rutinitas DailyDairy-ku selain rasa malas yang kadang melanda aja *halah, bahasanya tinggi euy! Yah solusinya sih cuma jangan malas. Hehe. Sejauh ini, aku puas banget dengan menulis cerita harianku. Seolah-olah, aku punya arsip kehidupan dan punya diriku yang ‘kedua’ melalui tulisan-tulisan itu plus bisa juga dinikmati oleh orang lain. Aku pernah menulis sebelumnya, Mendekatlah kepadaku dengan mendekat kepada tulisan-tulisanku, Berkenalanlah denganku dengan membaca tulisan-tulisanku. Its amazing, right?
***
Aku, Rini dan Lia menyantap hidangan sahur dalam temaram cahaya senter. Lauk udah dibeli semalam, jadi kami tidak perlu repot ke luar buat nyari makanan. Tapi, asyiknya beda sih sebenarnya. Kalau ke luar pun asyik karena bisa merasakan sejuk subuh, olahraga sekaligus sholat Subuh berjamaah. *Yuhuuu…. Sambal ikan asin kecil-kecil dan ikan laut kecil-kecil sudah cukup menggugah selera makan kami. Serasa kayak makanan rumah aja, tanpa siraman kuah gulai yang rasanya lebai.
“Cin, pas beli buku Untold Stories of Nordin M. Top ini kan aku nanya ke Nilam: ‘Lam, ingat kan sama Nordin M. Top?’ terus Nilamnya jawab: ‘Tahu. Itu kan kawannya Abi yang sering main ke rumah kita kan?’ Aku terkekeh waktu dengar jawaban polosnya Nilam itu Cin. Pas aku bilang: ‘Dia itu teroris loh Lam,” barulah dia kaget. Padahal waktu kecil dia sering banget tahu kalau ada berita tentang si Nordin M. Top itu loh cin, malah udah gede gini dia nggak tahu lagi.”
“Mungkin waktu masih kecil itu dia cuma tahu dengan beritanya tapi nggak tahu tentang apa beritanya Cin, hihiiii” tambah Lia.
“Mungkinlah. Setiap kali baca buku itu, aku suka merinding dan horor sendiri loh Cin. Buku itu jadi kayak buku misteri gitu. hahaha. Di buku itu ditulis bahwa teroris itu nggak terdeteksi ciri-cirinya. Bisa jadi dia adalah orang yang dekat dengan kita, tetangga kita atau orang yang nginap di kosan kita,” kataku sambil menatap sok sinis kepada Lia.
“Iya, aku juga kalau habis dengar berita yang kayak gitu jadi parno sendiri loh Cin. Kadang, kalau sedang di mobil mikir, wah jangan-jangan ada bom di mobil ini, wah kalau ternyata di tempat ramai kayak gini ada bom gimana? Kadang, aku takut juga kalau teroris itu nge…lamar.. eh, nyamar.”
Sontak aku dan Rini meledeknya dengan, “Ciyeeeeeee..iyalah tu yang mau cepat-cepat.”
Dan, yang diledek hanya tersenyum lalu melanjutkan cerita. *Welcome in Adult Era and goodbye Tenageers..

***
“El.. Elll..”
Aku terjaga karena suara ketukan pintu dan panggilan itu.
“Iya Kak?” jawabku.
“El, uang kosnya udah ada atau belum? Ibu kos mau datang menjemput uangnya bentar lagi ni.”
“Ada, ada bilang,” kata Lia.
“Ada kaaakkk!” teriakku sambil mengumpulkan uang Lia dan uang Rini. “Nih Kak,” aku menyodorkan uang itu kepada kak Dewi yang setia berdiri di depan pintu kamarku.
“Udah lama kali El telatnya ni. Ibu itu minta Kakak nagih terus El.”
“Okeh. Makasih kak. itu udah sekaligus dendanya juga Kak.”
Tak berapa lama, ibu kos memang benar-benar datang. Nyaris! Aku malas berurusan dengan ibu kos. Syukurlah uangnya udah ku serahkan dan everything gonna be okay. ^_^
“Cin, kok aku malas ya pergi ke Gramedianya?”
“Aku juga iya sebenarnya nih,” balasku kepada Lia.
“Ya udah, kita nggak usah pergi, ngerjain KTI kita aja yuk? Takutnya nggak selesai kalau nggak kita angsur dari sekarang.”
“El, utang El sama aku udah hampir Rp 200.000,” Rini tiba-tiba mengingatkanku tentang hutang.
“Kok banyak kali?”
“Iyalah banyak. Siapa suruh sering ngutang? Itu masih ada lagi yang belum ku catat.”
“Oh, jadi gitu ya Rin? Tega kali Rini nyatat-nyatat utangku ya!”
“Loh jadi kalau nggak dicatat gimana aku ingat? Ada gila-gilanya El ni!”
“Tega ya Rin.”
“Kalau El bilang aku tega, emang El fikir El nggak tega ngutang sama aku?”
“Oh, iya juga yaaa..ehhee.”


***
“Cin, udah jam 6. Yuk kita ke luar?” ku bangunkan Lia, pelan.
Yang dibangunkan minta tolong tangannya di tarik untuk menegakkan tubuhnya. Aku segera menyambut tangannya dan menariknya.
Tujuan pertama kami adalah menemui Uni-nya Lia (baca: kakak) untuk menjemput sambal yang dibawa Uni dari rumah mereka. Melewati jalan Subrantas sangat sesak oleh para pejalan kaki pemburu takjil yang dijual pedagang kaki lima di di sekitaran UNRI-RSJ Panam. Kendaraan yang lalu lalang pun jadi terhambat geraknya.
“Cin, kok Subrantar jadi mirip dengan Malioboro gini ya?”
“Iya ya Cin. Padahal ini kan aslinya jalan lintas. Bukan jalan singgah,” kata Lia. “Eh, udah mu jepret belum momennya tuh?”
“Oh iya, belum. Kok aku malah terpesona ya. Hemm..”
Lia berpindah jalur dari pembelokan di depan RSJ Panam. Sekarang, kami sudah berbelok pula ke dalam pasar Selasa.
“Mu yakin Uni di sini Cin?” tanyaku ragu. Pasar yang sedang tidak buka ini dipenuhi dengan para pedagang takjil. Yang beli pun lumayan ramai.
Lia menelvon Uni untuk memastikan alamat. “Oh, di water boom ternyata Cin, Uni-ku ini.”
“Oh, ada waterboom ya di Panam Cin emangnya?” tanyaku terkejut. “Water boom atau kolam renang Cin?”
“Ihhh, water boom itu cuma nama jalannya aja Cin.”
“Oooohh…”
Setelah mengambil lauk dari Uni, kami cusss beli lauk tambahan ke Ampera yang terletak di luar gang Water Boom. Beuhhh nunggunya nggak kami kira bakal selama ini. Lantaran plastik pembungkus lauknya sedang dibeli dan kami harus merelakan pembeli yang baru datang dilayani lebih dulu karena mereka mesen nasi bungkus.
Ketika kami baru memasuki jalan Bina Krida, azan sudah menggema. Alhasil, kami nggak sempat beli lampu kamar dan masih harus berbuka puasa di dalam temaram.

***
“Cek? Di mana?”
“Di kos, Cek.”
“Kami mau ngantar makanan ke sana. Assalamualaikum.”
Telvon ditutup dan beberapa menit kemudian, yang menelvon sudah berteriak dari luar pagar, memanggilku.
“Cek, Mama Okta meninggal dunia,” ungkapnya sedih.
“Mama yang mana ni Cek?”
“Bukan Mama kandung. Jadi gini, waktu kami aru pindah dari Padang ke Rohul itu si Mama ini banyak banget nolongin kami Cek. Dia baiiiiiik banget orangnya padahal kami nggak ada hubungan keluarga. Ih, Amma Okta kalau dikasih tahu ni takutnya kambuh tensinya. Ah, biar Ummi ajalah yang ngasih tahu ntar.”
“Kita doakan aja, semoga Mama tenang di sana dan diampuni segala dosanya. Apalagi dia adalah orang yang baik dan sekarang meninggalnya dalam bulan yang baik juga.”
“Iya.. aamiin ya Allah. Kasihan dia Cek. Dia sakit gula loh.”
Aku teringat papi. Ya Allah, jaga papi. Sehatkan badannya dengan puasa selama sebulan ini. Bahagiakanlah ia, selamatkanlah ia. Aamiin.
Okta curhat seputar kesedihannya sejak tadi pagi. Lambat laun, obrolannya berubah topik kepada cerita kesuksesan,
“Cek, tiba-tiba tadi Okta termenung sambil mengingat 2 orang. Yang pertama si anu, yang kedua Kak Vivien. Dan, Okta berdoa saat itu, Ya Allah, aku ingin menjadi seperti Kak Vivien yang setiap langkahnya telah disurati dengan kesuksesan dan setiap usahanya disurati dengan kemenangan. Okta kangeeeen kali dengan Kak Vivien Kak. Mau nelvon nggak ada pulsa pula.”
Kenapa harus bercerita tentang rindu di hadapanku? Bukankah engkau pun tidak suka jika aku melakukan hal yang sama? Salahku juga sebenarnya. Kenapa aku tidak pernah memberitahumu.
“Ada 2 hal lagi yang bisa kita teladani dari Kak Vivien itu Dek. Yang pertama, cobalah kita perhatikan dia, siapa orang yang selalu ada di sampingnya atau setia memberi ucapan selamat untuknya? Kita lihat, nggak ada kan? Dia itu nggak punya sahabat special loh Dek. Semua orang dianggapnya sama sepertinya dan itu yang harus Adek teladani juga.”
“Iya ya Kak. Kak Vivien itu hanya dekat dengan keluarganya dan pacarnya.”
“Nah, soal pacarnya. Kak Vivien juga nggak pernah mengumbar kemesraannya di medsos kan? Dia nggak alay untuk itu. Dan, dia pun nggak pernah berbicara tentang materi atau fashion di medsos meskipun kita tahu sebenarnya gaya hidupnya yang sekarang udah lebih glamor tentunya. Tapi, lihatlah dia.”

***
“Kalian di dalam aja, aku di luar. Biar ntar kalau perutku mules-mules, aku bisa langsung ke toilet,” kata Lia.
“Ehm nggak apa-apa deh Cin, kami di luar juga. Sesekali di luar biar tahu gimana beda rasanya,” tambahku.
Kami masuk ke pelataran mushola Arrafah, meletakkan sandal di tempat yang aman dan mengambil posisi di teras samping kiri mushola. Rini dan Lia bersebelahan, sementara aku di belakang mereka.
Eh, ketika aku menoleh ke sebelah kananku, ternyata aku bersebelahan lagi dengan cewek ini sejak 3 malam lalu . Aku sempat bertanya kepadanya tentang jurusannya; Sosiologi UR. Tapi aku nggak melanjutkan bertanya semester berapa. Dari wajahnya sih kayaknya di bawah aku.
Seperti biasa, setelah azan berkumandang aku akan mendirikan sholat sunnah Rawatib. Hanya beberapa orang saja yang melewatkan kesempatan mendapatkan pahala lebih ini. Termasuk dia yang di sebelahku. Aku sih nggak terlalu menyayangkan kalau seandainya dia punya kegiatan lain, ntah itu mengaji atau baca doa petang. Tapi ini nggak ngapa-ngapain sama sekali. Lagi-lagi aku menyayangkan WAKTU-nya.
Usai sholat sunnah, aku meraih Al-Quran merahku dan mulai membacanya. Tapi, tanpa rencana dan tanpa menunggu, seketika ku hentikan bacaanku dan berkata, “Dek, besok-besok bawa Al-Qurannya ya. Lumayan, bisa dibaca sambil menunggu waktu sholat,” kataku sambil tersenyum renyah.
“Iya Kak,” jawabnya dengan tersenyum juga.
Huft! Alhamdulillah. Kalau pun seandainya besok aku nggak bersebelahan lagi dengannya, minimal aku udah ngasih tahu dia tentang bagaimana sebaiknya.
“Ciiin, sini masih muat 1 orang,” kata Lia. Aku segera berpindah ke depannya.
Mataku kembali menangkap pemandangan yang mengusik fikiran. Itu yang di dalam tempat minumnya ada irisan apa ya?, gumamku sambil melirik kepada wanita di sebelah kananku.
Usai sholat sunnah ba’diyah Isya, sebelum pak ustad mulai berceramah, aku reflex bertanya kepadanya,
“Itu yang di dalam tempat minum ada irisan apaan?”
“Oh, itu, jeruk nipis.”
“Buat?”
“Untuk ngecilin perut.
“Oooohh gitu?” aku sok surprise, padahal aku udah pernah jug abaca tentang itu.
“Iya. Dicampur dengan air hangat. Tapi, lebih bagus lagi perasan jeruk nipis, dicampur madu dan ditaburi merica bubuk.”
“Huweeeekk.. gimana rasanya tuh?”
“Yah, asem-asem pedes gitu lah. Tapi, katanya itu sih yang lebih ampuh. Tapi, aku minum ini aja dirutinin. Kemarin beratku 65kg.”
“Sekarang?”
“Sekarang udah 58kg selama 2 bulan dengan minum ini aja. Tanpa olahraga. Asalkan setelah Maghrib, jangan makan apa-apa lagi. Baru deh malamnya minum ini. Awalnya sih asem kali rasanya, tapi mungkin karena udah keseringan akhirnya sekarang udah biasa aja.”
“Oh gituuu. Ide bagus nih!” kataku sambil tersenyum.

***
“Duh nggak bawa HP pula,” keluhku. “Rin, ada bawa HP nggak?” aku menoleh ke belakang.
“Nggak ada.”
“HP yang kecil pun nggak dibawa?”
“Nggak loh. Emang buat apa?”
“Buat nyatat inti sari ceramah ini Rin. Duh, gimana nih?”
“Pinjam pena sama pensil aja ke orang.”
“Siapa pula yang bawa kertas sama pensil tu?”
“Eh, ya udah diingat-ingat aja. El kan pintar?”
“Oh iya juga yaaa,” rautku berubah sok keren.
Aku pasrah sebenar pasrah kepada ingatanku. Semoga yang penting-penting dari ceramah mala mini bisa ‘nyangkut’ di memoriku. Aamiin.
“Kematian adalah rahasia Allah yang tidak seorang pun bisa mengetahui kapan datangnya. Ada nggak orang yang tahun kemarin masih sholat Tarawih di samping kita tapi malam ini udah nggak ada? Atau kemarin baru Tadarus sama kita tapi malam ini udah nggak ada?” tanya pak ustad kepada jamaah.
“Adaaa…” jawab beberapa suara dengan nada rendah.

“Nah, itu sebenarnya adalah pengingat untuk kita yang masih hidup supaya kita waspada terhadap usia kita. Ajal itu datangnya nggak pakai pemberitahuan, malaikat Israfil datangnya mendadak tanpa BBM, Line, Whatsap terlebih dulu. Nah, apa yang kita agungkan dan cintai di hati kita, akan muncul ketika nyawa kita akan dicabut. Bapak-bapak yang suka dengan batu Akik hati-hati ya, jangan berlebihan dan malah menjadi syirik pula karena batu Akik tu! Kita menginginkan supaya ketika kita mati, kita bisa menyebut nama Allah. Nauzubillah, jangan sampai ketika mati, kita sedang berada di atas meja bilyar, atau sedang mojok dengan pacarnya atau sedang mabuk-mabukkan.”
Aku berbalik badan dan memandang Lia, “Salah satu motivasi terbesarku untuk menjauhi Kakak itu adalah karena aku takut aku meninggal dalam keadaan sedang telvon-telvonan atau sedang sms-an sama dia Cin.”
“Allahu akbar,” balas Lia.
“Apa, apa Li?” giliran Rini yang kepo. Lia menjelaskan ulang kepada Rini sementara aku sudah kembali menyimak ceramah.
“Adek-adek mahasiswa ni jangan sampai lalai pula dengan masa mudanya karena mati itu nggak menunggu tua. Ingatlah selalu pesan Rosulullah ini; Jaga 5 perkara sebelum datang 5 perkara. Apa saja? Yang pertama, jaga waktu sehat sebelum waktu sakit. Selagi badan masih kuat, fisik masih sehat, jangan malas-malas datang ke masjid dan memakmurkan masjid. Sebelum datang masa penyakitan, mau berjalan ke masjid aja rasanya lutut mau lepas. Berikutnya, jaga waktu kaya sebelum datang waktu miskin. Artinya, kita harus rajin bersedekah baik ketika lapang maupun ketika sempit karena semua harta yang kita miliki ini adalah titipan dari Allah. Yang ketiga adalah jaga waktu sempat sebelum waktu sempit. Maksudnya, selagi kita sempat mengerjakan sesuatu, kerjakanlah sebelum nanti tidak sempat lagi. Nah, buat Adek-adek mahasiswa, segeralah tamat supaya cepat berkurang beban orang tua kita yaaaa…”
Nasehat barusan benar-benar menyentak segala detak..
“Huhuuu…” kataku, Lia dan Rini serentak. Kami langsung berpelukan bertiga. “Insya Allah ya Cin. Kita akan segera tamat,” lanjut Lia. Aku dan Rini manggut-manggut dengan wajah memerah.
“Nyindir nih Pak ustadnya,” kata Rini.
“Bukan nyindir, tapi mengingatkan,” jelas Lia.

“Selanjutnya, jaga waktu muda sebelum tiba waktu tua. Nah, Adek-adek sekalian, mumpung masih muda berlelah-lelahlah dalam melakukan kebaikan dan amal sholeh. Bulan puasa jangan diperbanyak tidur, nanti ada masanya kita akan tertidur selama-lamanya di liang kubur. Berlelah-lelahlah sekarang, supaya nanti kita bisa beristirahat dengan tenang. Urusan dosen, kuliah, skripsi, itu masalah kecil dibandingkan dengan kebesaran Allah. Jadi, jangan sampai urusan-urusan dunia itu membuat kita lalai dalam memenuhi panggilan Pencipta yang Maha Besar. Silahkan punya mobil mewah, silahkan mengurusi kuliah, tapi jangan berlebihan mencintainya. Jangan letakkan semua itu di dalam hati kita supaya tetaplah mengagungkan Allah yang Maha Besar.”
“Nah, Cin, ini adalah hal berikutnya yang aku bingungkan. Apa batasan kita dalam mencintai sesuatu sampai dikatakan berlebihan?”
“Iya yaaa. Apa gimana ngukurnya?” balas Lia.
“Ada 3 fase dalam perjalanan hidup manusia; 1. Alam rahim, adalah fase penyempurnaan tubuh manusia. Kalau ada manusia yang terlahir dengan tubuh tidak lengkap, berarti itu sudah menjadi takdirnya dan tidak bisa dimasukkan lagi ke dalam rahim supaya dilahirkan dengan tubuh lebih sempurna. 2. Alam dunia, adalah fase penyempurnaan amal ibadah. Di dalam Al-Quran sudah dinyatakan dengan jelas bagaimana penyesalan orang-orang kafir setelah nanti diperlihatkan dan diperdengarkan azab yang pedih. Mereka akan meminta dikembalikan lagi ke dunia supaya bisa beribadah. Mana bisa! 3. Alam barzakh, adalah fase penyempurnaan pembalasan. Bagi yang berat timbangan kebaikannya maka akan dibalas dengan syurga sedangkan yang berat timbangan keburukannya akan dibalas dengan neraka.”

***
“Kak, berapa harganya ni?” tanyaku sambil mengangkat kotak lampu bermerk Krypton.
“Yang berapa watt tu Dek?”
“20 watt Pak,” jawab Lia.
“Rp 13.000 Dek.”
“Gimana Cin? Ini aja?” tanya Lia.
“Iyalah ini aja. Sekarang, kita harus milih mau lampu kamar atau mau makan? Soalnya kan uangnya ngak cukup.”
Bapak itu mencolokkan lampu itu ke cok sambung untuk memastikan nyalanya.
“Coba ambil yang lain lagi Dek,” pintanya setelah lampu itu dipastikan tidak bisa menyala.
“Pak, kalau yang 30 watt berapa?” tanya Lia setelah mengambil lampu yang baru.
“Yang 30 watt, Rp 15.000 Dek.”
“Yang ini ajalah ndak Cin? Biar lebih terang juga. Lampu di kamarmu yang kemarin itu redup sebenarnya, nggak baik buat mata.”
“Ya udah deh, yang 30 watt aja. Lagian harganya jauh lebih terjangkau dari pada hannocs di warung tadi. Pun ini udah ada label SNI-nya. Kita pun udah nggak lama juga kan di kosan Rin?” tanyaku kepada Rini.
“Yuhuuu…” jawab Rini.
Alhamdulillah, uang yang tersisa pun bisa digunakan untuk membeli 2 jenis lauk untuk sahur nanti. *maafkan hamba ya Allah, gara-gara uangnya Lia tadi pagi dipinjam, nasibnya harus jadi seperti ini. hiksss..

***
“Kak? Galah panjang untuk masang lampu tu di mana ya?” tanyaku dari depan pintu kamar kak Dewi.
“Nggak tahu. Kemarin ada, mungkin di atas tuh dibawa naik sama anak-anak di kamar atas.”
“Dimainin sama anak-anak nggak Kak?”
“Carilah ke atas El. Kakak malas naik ke atas tuu.”
“Coba tolong tanyakan sama anak-anak Kak, siapa tahu mereka ada maininnya,” pintaku.
“Mana ada El.”
“Kakak yakin? Coba tanyain dulu deh, siapa tahu mereka ada lihat gitu,” kataku yang sebenarnya lebih mirip desakan daripada permintaan.
“Nggak ada doh. Coba aja tanya sama anak atas.”
GRRRRRRRR! Aku naik ke atas diiringi kesal di hati, Tinggal tanya ke anak-anaknya untuk mastiin gitu aja susah kali pun!
“Mari kita ke atas,” ajak Lia. Dia mengikuti langkahku dari belakang. Aku tahu, dia pun sedang berdebar-debar karena tahu aku sedang kesal atau mungkin dia sedang mikir, Kok berani amat nih bocah ngomong kayak tadi?
Aku mendatangi kamar terdepan di lantai 2. Ada sekitar 7 orang cewek yang sedang ngumpul nonton TV. Setelah ku tanyakan kepada mereka, mereka mengaku nggak pernah memakainya. Lalu, 2 kamar lainnya ku tanyakan juga dan jawabannya sama.
“Biasanya kan dibawa Kak, di dekat teras itu,”
Persis Dek. Kakak juga sejak tadi memikirkan hal itu. aku segera turun menemui adek-adek di kamar bawah dan menanyakan hal yang sama kepada mereka. Hasilnya sama, mereka juga nggak tahu. Karena malas berdebat dan ribut, Lia mengajakku menggotong tangga di dekat dapur sebagai alternatif untuk memasang bola lampu. Aku menurut.
“Rin, manjat ya. Soalnya Rini yang paling ringan.”
“Wih, takut kali aku. Nanti goyang tangganya?”
“Nggak. Ini aku dan Lia yang megangin.”
Rini naik dengan bola lampu di kantong celananya. Dan, ketika bola lampu yang lama telah dilepaskan dan yang baru telah terpasang, lia pun menekan stop kontak ke posisi on.
“Loh? Kok redup gitu ya? Coba matikan lagi Cin,” pintaku. “Rin, coba lepas dan pasangkan lagi lampunya.”
Setelah itu, ketika dinyalakan lagi malah lampu nggak menyala sama sekali. Huft! Ini gara-gara beli yang ‘nanggung’.
“Hemm..ya udah besok kalau kita punya uang, kita beli yang bagus aja sekaligus. Biar aja mahal, yang penting berkualitas.”
“Iya. Yang berkualitas memang biasanya lebih mahal, tapi itulah yang kita bayar,” kataku pula.
Dan, jadilah kami harus kembali rela menikmati malam dan menyambut pagi dalam temaram.
Adek sholat Tarawih di mana tadi? Aku mengSMS dek Teguh karena tiba-tiba teringat dengannya.
Mukhsinin, mak. Kenapa?
Nggak ada. Nge-check anak-anak Mak aja. hehee
Maaaakk. Adek bingung beberapa minggu ini. Sudah lama tidak ngumpul lagi, berdikusi lagi, berkarya lagi (emot sedih)
Iya Dek. Mak juga (emot nangis)
Mak sibuk ngeblog, adek dilupain (emot sedih), info-info lomba dilupain (emot sedih), berkarya tulis dilupain (emot sedih)
Hahhaa, mak emang nggak update info lomba loh dek (emot ketawa), harusnya adek yang nyari, kasih tahu mak, baru kita garap ehehe
Adek pengen ktia tu ngumpul dulu mak. Diskusi2 dulu. Biar nggak bebal kali nih otak. Karena hanya baca buku sedangkan komunikasi bilateral sama orang lain nggak ada.

Tidak ada komentar: