Bagaimana rasanya menunggu giliran tampil dalam suatu
pertunjukan/perlombaan? Tentunya deg-degan ya. Aku pernah merasakannya. Bahkan
sering. Tapi yang aku alami kali ini berbeda karena aku sedang menunggu giliran
dalam pengajuan judul penelitian. Mungkin nggak akan sebegini berdebarnya kalau
kenyataannya aku hanya sendirian di ruang tunggu. Kondisinya sekarang, aku
berada di antara teman-teman yang sedang mengajukan diri mengikuti sidang
skripsi, atau minimal mengikuti ujian hasil. Lah aku? Baru akan mengajukan
judul. Perbedaan ini sangat kontras. Aku seperti orang yang asing dengan proses
wajib bagi seluruh mahasiswa ini. Sudah pasti karena selama ini aku memilih
berjalan dahulu ke tempat berbeda, ke proses yang lain.
“… nah, dari penjelasan ketua KOPMA itu kan sebenarnya udah
terlihat bahwa KOPMA itu nggak memenuhi syarat untuk diteliti. Kecuali kalau
tujuannya untuk mengidentifikasi apa-apa saja yang mesti diperbaiki untuk
kemajuan KOPMA tersebut. Tapi, itu bukan pekerjaan muda dan sebentar,” jelas
pak Suarman.
***
Lia menyampaikan latar belakang dan manfaat tulisan dengan tenangnya. Aku pun tak kalah tenang bersama selingan improvisasi. Sementara Rini melengkapi dengan kesimpulan. Ada banyak saran yang kami dapatkan dari ustad Fahri. Aku dan Lia sampai bertanya dalam gumam, “Ustad ini apa sih latar belakangnya? Kok luas banget pengetahuannya? Semuanya tahu.”
“Eh, Lina itu mau ngajuin apa?”
“Dia mau sidang skripsi lagi El.”
“Ohhhh…”
“Eh, Dian itu mau ujian apa besok?”
“Dia juga sidang skripsi El.”
“Oooohhh. Kalau kamu ujian apa setelah ini?”
“Aku mau ujian Hasil lagi El.”
Aku hanya ber-oooo panjang setiap kali mengetahui proses
teman-teman di sekitarku. Ntah sudah sejauh mana selama ini aku melangkah sehingga aku tidak tahu menahu tentang
mereka. lebih tepatnya aku yang tidak mau tahu dan mencari tahu. Ya, tentu
saja, bukankah aku sendiri yang memilih untuk berbelok arah dulu? Kini, aku
tersadar bahwa ternyata aku tidak pernah benar-benar berlari, jangankan untuk
melompat tinggi. Karena, di bahuku ada tugas besar yang belum ku selesaikan dan
ku pikul ke mana pergi.
***
Aku berjalan mendekati kelas C7, di mana pak Suarman berada.
Aku berjalan mendekati kelas C7, di mana pak Suarman berada.
“Kamu saya dengar mau lama tamat ya?” tanya pak Pides yang
sedang berdiri tepat di depan C7.
“Hah? Nggak kok Pak. Ini sedang berusaha,” jawabku santai.
“Saya dengar gitu dari dosen lain.”
Wew, berarti aku terkenal ya pemirsa di kalangan para dosen?
Hihii. Alhamdulillah, semoga di kenal dengan yang baik-baik. Aamiin.
“Wah, berarti kamu nggak bisa Cumlaude ya?”
“Sekalipun Elysa cepat tamatnya, tetap aja nggak akan
Cumlaude Pak karena Elysa udah punya nilai C. Lagian, Cumlaude itu kan bukan
jaminan kualitas diri kita pak?”
“Bukan begitu. Setidaknya kalau kamu Cumlaude, itu bisa
mengangkat dan memperbaiki status sosial kita. Jadi gimana proses kamu ini?”
“Itulah Pak, kemarin
kan judul saya udah 2 kali ditolak sama pak Riadi. Nah, ini mau ketemu Pak
Suarman buat nyari judul lagi. Pak Suarman di mana ya Pak?”
“Ini ada di dalam.” Pak Pides menunjuk ke dalam ruang C7.
Aku melongok, tapi pak Suarmannya nggak kelihatan.
“Kamu yang kemarin ke Jepang itu ya?”
“Wah, bukan ke Jepang Pak. Tapi Thailand Pak.”
“Setelah Thailand ke New York lagi?”
“Wah, aamiin Pak. Thailand itulah yang terakhir kemarin Pak.
Emmm..eh, nggak, Jogya yang terakhir Pak perjalanannya kemarin.”
“Cepatlah tamat dan S2 lagi Sa. Kamu ada niat lanjut S2 atau
SM3T?”
“Lebih condong ke S2 Pak. Tapi menurut Bapak bagaimana baiknya?”
“Kalau saya, mengusulkan kamu S2 saja di UPI. Kalau ada
peluang jadi dosen, lebih baik langsung sambung S2 saja. SM3T itu juga bagus
dan 2 tahun juga lamanya; 1 tahun di pelosok, 1 tahun PPG di sini. Yah, 2 2nya
bagus dan berpeluang. Kita kan sekarang berusaha menggenggam peluang
sebanyak-banyaknya. Kalau kamu ikut SM3T, ketika kamu jadi guru akan mmudah
untuk mendapatkan tunjangan profesi tanpa syarat lagi. Nah, itu pula enaknya.”
Belum sempat beranjak ke obrolan yang lebih luas lagi, pak
Suarman ke luar dari dalam kelas dan menegur pak Pides. Aku segera mohon diri
kepada pak Pides.

“Nah, itu pula ya Pak persoalannya. Atau teliti saja tentang
sikap guru.”
“Kalau harus ke sekolah berarti Elysa harus ngurus surat
penelitian dulu kan Pak?”
“Engg….Iya sih…”
“Nah, itu juga lama Pak. Elysa pengennya yang di kampus aja
dan nggak perlu surat penelitian. Kira-kira apa ya Pak? Hikssss.”
“Ini aja Elysa, kalau tetap mau yang di kampus aja, Analisis Pengetahuan dan Kemampuan Dosen
dalam Membimbing SKRIPSI Mahasiswa FKIP Universitas Riau.”
Aku menulis judul tersebut. Besar harapan yang tertulis ini
akan diterima tanpa penolakan.
“Pak, kalau ditolak gimana Pak?” tanyaku ragu.
“Ada tuh pasangannya Sa dari judul itu. Analisis Kepuasan Mahasiswa Terhadap Dosen dalam Membimbing SKRIPSI
Mahasiswa FKIP Universitas Riau. Berarti yang diteliti itu mahasiswa yang
udah selesai.”
“Oh gitu ya Pak. Hemm..bismillah, wish me luck.”
Pak Suarman beranjak ke luar dan aku mengikutinya dari belakang.
“Elysa besok masih di sini kan?”
“Iya Pak. Ada apa ya Pak?”
“Besok mau bantu Bapak ngawas ujian anak-anak Koperasi 6?”
“Wah, mau, mau Pak. Jam berapa Pak?”
“Jam 8 ya besok di kelas ini.” Pak Suarman menunjuk kelas
yang dimasukinya tadi. Kami baru saja melintasinya. Kemudian melintasi kelas
C9. Pak Suarman mau ke Biro dan aku mau ke Prodi, kami se arah.
“Haaa, itu diaaa,” kata pak Suarman ketika melihat pak Riadi
sedang berada di kelas. Aku pun melihatnya dan di sinilah kami berpisah jalan;
aku singgah di bangku pohon di samping HIMA untuk menunggu pak Riadi ke luar.
Cintaku…. Ada
aktifitas apa hari ini? sms
mami ini memang datang tepat pada waktunya.
Ngajuin judul
SKRIPSI mi. doain yak ^_^
Azan sudah berkumandang. Aku berniat ke mushola terlebih
dahulu, baru menemui pak Riadi di Prodi. Eh, yang sedang difikirkan melintas di
hadapan. Aku tertunduk, pura-pura sibuk mematut HP. Jadi sedikit bimbang,
antara langsung menemuinya atau membesarkan panggilan Allah berikut?
Ya Allah, aku memilih
membesarkan-Mu daripada pak Riadi. Maka tolong ya Allah, jadikan urusan hamba
ini sebagai urusan yang ‘kecil’ dan mudah terselesaikan dengan pertolongan-Mu
yang Maha Besar. Aamiin.
Semoga langsung
diterima dan nggak ada halangan.
Ya Allah,
mi. doamu ini benar-benar tepat sasaran banget. Semoga Allah ridho dan semesta
merestui. Aamiin. Keyakinanku jadi meningkat 100%.
***
“Loh? El? Nggak jadi?” tanya Dian. Disusul wajah-wajah penuh
tanya dari teman-teman yang lain.
“Nggak hari ini kayaknya. Aku takut denger Bapak marah-marah
gitu. hehe. Daaaaa…”
Aku berlari menuruni tangga, berbelok ke kanan melewati
koridor yang menghubungkan biro ke jalan lintas FKIP. Aku terus berjalan,
meninggalkan gedung putih yang penuh tekanan itu. Maafkan El Mi, belum hari ini. Terimakasih atas doamu yang mulia itu.
Bukannya El pesimis Mi, tapi El realistis. Daripada apa yang di tangan ini
tidak dihargai karena El salah memilih waktu.
Aku sudah berada di depan BEM. Pintunya tertutup. Ku coba
mendorong tralinya dan Alhamdulillah terbuka. Dengan salam, aku memasuki aula
dan mendapati pintu ruang kerja BEM pun tertutup. Ku coba membukanya dan
Alhamdulillah ternyata tidak dikunci.
Nyeeeesssssss…
Dingin AC menyambut kedatanganku. Ku cas HPku yang sudah
mati sejak di Prodi tadi dan ku keluarkan laptop putih kesayanganku. Apalagi
kalau bukan untuk berkeluh kesah? Eh, untuk bercerita lebih tepatnya. Aku nggak
mau orang salah faham dengan ‘keluh-kesah’ yang ku maksud. Karena, kalau
teman-teman perhatikan, mungkin 70% cerita yang ku tulis di blog ini adalah cerita-cerita
sedih nan sendu. Itu bukan berarti aku sedang mengeluh loh! Memang sendu selalu
jadi tema ceritaku. Memang sendu itu adalah diriku. Dan, memang sendu adalah
hidupku.
Dek, kamu di mana sih?
Kakak sendirian loh di sini…
Aku segera meraih HP yang mungkin sudah lumayan terisi daya.
Ku wujudkan bahasa hati itu ke dalam bahasa tulis. Berharap Okta dan Joni
segera datang.
“Cin? Di mana? Kami udah di masjid nih.” tanya Lia dari
seberang telvon.
“Masih di sini Cin.”
“Oh, masih di BEM? Kami jemput ya, soalnya kami udah di sini
nih.”
“Nggak usah Cin. Aku jalan kaki aja. Lagian aku nggak
lapar.”
“Lah? Apa hubungannya dengan lapar? Hehe.”
“Maksudnya, aku nggak lemes kok. Nggak apa-apa aku jalan
kaki aja biar kurusan.”
“Oh gitu. Yakin? Ntar pingsan di jalan pula? Kami juga yang
repot nanti.”
“Nggak doh. Yakin deh!”
“Oke. Kami tungguuu. Yuhuuuuuu, welcome.”
Telvon dimatikan dan aku kembali mematut laptop. Mungkin,
Lia mengira aku sedari tadi aku tidak beranjak dari sini. Padahal aku justru
udah mengalami banyak rasa dan menapaki banyak tempat.
Smsku belum juga dibalas Okta. Kalau sampai jam 14.00wib dia
nggak nongol juga, aku out.
***
“Jadi dalam pembinaan kali ini, saya akan meminta adek-adek
untuk presentase. Berusahalah semaksimal mungkin untuk meyakinkan saya bahwa
KTI andalah yang terbaik. Nah, mungkin kalau ditunjuk siapa yang mau duluan,
tidak ada yang dengan suka relah duluan ya. Maka…”
“Boleh saya Ustad?” dek Risky mengangkat tangan dan ustad
Fahri mempersilahkannya.
“…siapa saja pihak-pihak yang akan menerapkannya? Jawabannya
tentulah kita semua. Kita akan menginstal ketauhidan itu ke dalam diri kita
masing-masing sehingga kita senantiasa yakin bahwa setiap apa yang kita lakukan
itu dalam pengawasan Allah. Tapi, bagaimana dengan orang-orang selain Islam?
Maka, mereka kembali saja kepada ajaran-ajaran agamanya, tentang konsep
ketuhanan mereka masing-masing…bla, bla, bla.”
“Rin, Adek nih nggak nyiptain aplikasi ternyata. OS
(Operating System) itu cuma istilahnya aja,” bisikku kepada Rini.
“Iya, aku pun jadi bingung. Aku kira sejak tadi dia udah
bikin aplikasinya.”
“Kalau emang dia bikin aplikasi itu, baru mantap banget!”
Aku beralih kepada Lia. “Cin, kita terakhir aja atau setelah
Risky?”
“Setelah ini ajalah ndak? Jangan yang terakhir lagi,” saran
Lia.
Aku mengiyakannya. Dan membisikkan kepada Lia dan Rini
masing-masing bagian penyampaiannya.
“Kak, ada dikasih tahu sebelumnya kalau hari ini kita
presentase?” tanya dek Intan dengan isyarat.
Aku menjawabnya pun dengan isyarat, “Nggak ada Dek. Mendadak
tadi dikasih tahunya.”
***
Lia menyampaikan latar belakang dan manfaat tulisan dengan tenangnya. Aku pun tak kalah tenang bersama selingan improvisasi. Sementara Rini melengkapi dengan kesimpulan. Ada banyak saran yang kami dapatkan dari ustad Fahri. Aku dan Lia sampai bertanya dalam gumam, “Ustad ini apa sih latar belakangnya? Kok luas banget pengetahuannya? Semuanya tahu.”
Setelah ustad Fahri memberikan beberapa komentar dan saran,
Intan dan Risky pun turut angkat bicara atas tulisan kami ini. sadarlah aku bahwa
KTI ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Mendadak, kepercayaan diriku
sempat menurun tentang UI. Tapi , ternyata setelah menyaksikan penampilan
kelompoknya dek Intan dan mendengar komentar ustad Fahri, aku malah menyadari
bahwa bukan hanya kelompokku yang penuh ketidaksempurnaan, tapi kami
masing-masing punya itu. hiksss…
“Kita ada pertemuan 1x lagi yaitu di hari Sabtu yaa,” kata
panitia.
“Disitu barulah ditentukan siapa yang terpilih untuk
berangkat ya,” sambung Risky setengah bertanya.
“Dek, yang berangkat sebenarnya berapa orang?” tanyaku
kepada panitia cewek yang duduk di seberangku.
“1 tim. Tapi, sesuai dengan keadaan timnya.”
“Maksudnya gimana?”
“Ya, kalau seandainya tim ke tiga yang terpilih dan
anggotanya ada 3, berarti yang diberangkatkan ketiganya. Tapi, ntahlah siapa
nih pada akhirnya yang diutus, aku belum tahu juga,” jelasnya.
“Kalau bisa sih, 3 3nya berangkat ya. Tapi, mau nggak mau
memang harus dipilih 1 tim saja,” sambung pak Ustad.
Setelah ustad Fahri dan panitia ke luar dari ruangan LPIQ
ini, aku langsung ngacir ke toilet. Laptop, tas, HP ku titipkan kepada Lia dan
Rini. Aku berlari secepatnya ke tempat berwudhu dan memilih toilet yang paling
ujung. Ntah kenapa jadi mules-mules begini rasanya?
***
Aku sudah
di kamar. Lia barusan memulangkanku. Kemudian ia kembali ke Arfaunnas untuk
menjemput Rini, sekaligus membeli bahan masakan untuk buka nanti. Aku sempat
menyalakan kipas angin di nomor 1, tapi setelah menyadari perutku yang tak tau
sedang sakit apa ini, akhirnya ku matikan total kipasnya.
“Tidur
sehabis Ashar itu nggak bagus untuk kesehatan!”
Aku pun tak
berniat untuk tidur saat ini. ku hidupkan laptop untuk membunuh suntuk dan ku
baca salah satu cerpen dari ebook Koran Tempo. Aku ingin melihat, bagaimana
tipe cerpen yang disukai oleh redaktur Koran Tempo tersebut. Dan, memang luar
biasa. Ia mengurai cerita sampai 3 halaman tanpa terdapat satu pun dialog.
Semuanya serba narasi dan deskripsi saja. Aku takjub. Kemarin, aku pun sudah
berniat seperti ini sebenarnya,
“Cin, aku
pengen baget nulis novel tapi tanpa ada satu pun dialog di dalamnya.”
“Bagus
tuh!”
Rini dan
Lia belum juga kembali. Lama amat sih! Mungkin,
mereka belanjanya ke beberapa tempat. Dan, akhirnya ku putuskan juga untuk
tidur setelah melumuri perutku dengan balsam otot Geliga. Panasnya yahutttt.
Hehe.
***
Suara adu
kuali dan irus membangunkanku dari lelap. Wah, ternyata Rini dan Lia sedang on
the process. Hehe, aku bisa istirahat tidak membantu mereka kali ini.
hemmm..kemarin kan Rincuy yang free. Aku memandang Lia sebagai sosok yang 100%
cewek. Keibuan, penyayang, sesekali tegas, berfikiran positif, sedikit nggak
nyambung kadang, hati-hati, taat peraturan dan sopan-santun. Aku dan Rini
menjulukinya Putri Keraton. Hihii.
Menu
masakan hari ini adalah sayur bayam dan sambal telur dadar+ikan bangkinang.
Nyummiiii… Kami mengundang Reni untuk berbuka bersama kami. Lagian, kompor yang kamu gunakan untuk masak
pun adalah kompornya Reni. Dia baik banget kepada kami, maka kami pun harus
baik kepadanya.
Awalnya,
aku takut banget kalau ditanya-tanya soal SKRIPSI oleh Reni. Tapi, akhirnya aku
luluh juga ketika Lia menyarankan untuk menjawab, “Sedang proses nih Ren,”
seandainya benar Reni menanyakannya. Di tengah perbincangan, Reni memang sempat
membicarakan tentang proses SKRIPSInya, tapi itu pun karena ditanya oleh Lia
dan ngobrolnya (syukurnya) hanya dengan Lia.
“Sehebat
apa pun Elysa, kalau masih menyandang status mahasiswa itu masih dianggap
anak-anak alias ‘belajar’.”
Kalimat itu
mengingatkanku kepada diriku sendiri. Bismillah… 4 tahun!
***
Ah, lagi-lagi nggak bawa HP atau
alat pencatat nih! Hemm… ingat sajalah seberapa yang mampu ku ingat. Bismillah…
“…adapun
amalan yang jika kita lakukan dicintai oleh Allah dan nilainya bisa menyamai
ibadahnya para sahabat terdahulu, adalah mengucapkan kalimat taoyyibah, Laa
illa ha illallah. Berikutnya adalah mengucapkan Suhanallah sebanyak 33x,
mengucapkan Alhamdulillah sebanyak 33x dan mengucapkan Allahuakbar sebanyak
33x. Wah, berarti kita sudah melaksanakannya setelah sholat Isya barusan?
Subhanallah. Para sahabat dulu sangat iri kepada 2 hal. Yang pertama, kepada
kekayaan orang lain. Kenapa? Karena dengan menjadi kaya, kita bisa menolong
orang lain lebih banyak. Yang kedua, iri kepada ketaatan orang lain. Berarti,
kita seharusnya iri kepada para penghafal Al-Quran, Qori dan Qoriah yang mampu
mengaji dengan baik dan indah, serta iri kepada orang-orang yang rajin ke
masjid. Untuk hal-hal yang demikian itulah seharusnya kita iri, wahai saudara
sekalian. Rosulullah saja, dalam sehari beristighfar tidak pernah kurang dari
70kali. Nah, bagaimana dengan kita yang jelas-jelas banyak dosa ini?”
“Hemm..denger
tuh Rin?”aku memelototi Rini yang tak bersalah.
“Apalah El
nih!” Rini balas melotot.
“Cin?”
panggilku kepada Lia di belakangku. “Kita bisa aja menyulap ide kita itu
menjadi unggul, asal kita bisa memastikan bahwa ODOJ menerima ide kita.”
“Hemmm..bener
juga ya Cin. Allahuakbar. Mari kita berdoa,” Lia sumringah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar