Rabu, 24 Juni 2015

Ramadhan ke-7; Bed Rest Suddently

Bagaimana rasanya menunggu giliran tampil dalam suatu pertunjukan/perlombaan? Tentunya deg-degan ya. Aku pernah merasakannya. Bahkan sering. Tapi yang aku alami kali ini berbeda karena aku sedang menunggu giliran dalam pengajuan judul penelitian. Mungkin nggak akan sebegini berdebarnya kalau kenyataannya aku hanya sendirian di ruang tunggu. Kondisinya sekarang, aku berada di antara teman-teman yang sedang mengajukan diri mengikuti sidang skripsi, atau minimal mengikuti ujian hasil. Lah aku? Baru akan mengajukan judul. Perbedaan ini sangat kontras. Aku seperti orang yang asing dengan proses wajib bagi seluruh mahasiswa ini. Sudah pasti karena selama ini aku memilih berjalan dahulu ke tempat berbeda, ke proses yang lain.
“Eh, Lina itu mau ngajuin apa?”
“Dia mau sidang skripsi lagi El.”
“Ohhhh…”
“Eh, Dian itu mau ujian apa besok?”
“Dia juga sidang skripsi El.”
“Oooohhh. Kalau kamu ujian apa setelah ini?”
“Aku mau ujian Hasil lagi El.”
Aku hanya ber-oooo panjang setiap kali mengetahui proses teman-teman di sekitarku. Ntah sudah sejauh mana selama ini aku melangkah  sehingga aku tidak tahu menahu tentang mereka. lebih tepatnya aku yang tidak mau tahu dan mencari tahu. Ya, tentu saja, bukankah aku sendiri yang memilih untuk berbelok arah dulu? Kini, aku tersadar bahwa ternyata aku tidak pernah benar-benar berlari, jangankan untuk melompat tinggi. Karena, di bahuku ada tugas besar yang belum ku selesaikan dan ku pikul ke mana pergi.

***
Aku berjalan mendekati kelas C7, di mana pak Suarman berada.
“Kamu saya dengar mau lama tamat ya?” tanya pak Pides yang sedang berdiri tepat di depan C7.
“Hah? Nggak kok Pak. Ini sedang berusaha,” jawabku santai.
“Saya dengar gitu dari dosen lain.”
Wew, berarti aku terkenal ya pemirsa di kalangan para dosen? Hihii. Alhamdulillah, semoga di kenal dengan yang baik-baik. Aamiin.
“Wah, berarti kamu nggak bisa Cumlaude ya?”
“Sekalipun Elysa cepat tamatnya, tetap aja nggak akan Cumlaude Pak karena Elysa udah punya nilai C. Lagian, Cumlaude itu kan bukan jaminan kualitas diri kita pak?”
“Bukan begitu. Setidaknya kalau kamu Cumlaude, itu bisa mengangkat dan memperbaiki status sosial kita. Jadi gimana proses kamu ini?”
 “Itulah Pak, kemarin kan judul saya udah 2 kali ditolak sama pak Riadi. Nah, ini mau ketemu Pak Suarman buat nyari judul lagi. Pak Suarman di mana ya Pak?”
“Ini ada di dalam.” Pak Pides menunjuk ke dalam ruang C7. Aku melongok, tapi pak Suarmannya nggak kelihatan.
“Kamu yang kemarin ke Jepang itu ya?”
“Wah, bukan ke Jepang Pak. Tapi Thailand Pak.”
“Setelah Thailand ke New York lagi?”
“Wah, aamiin Pak. Thailand itulah yang terakhir kemarin Pak. Emmm..eh, nggak, Jogya yang terakhir Pak perjalanannya kemarin.”
“Cepatlah tamat dan S2 lagi Sa. Kamu ada niat lanjut S2 atau SM3T?”
“Lebih condong ke S2 Pak. Tapi menurut Bapak bagaimana baiknya?”
“Kalau saya, mengusulkan kamu S2 saja di UPI. Kalau ada peluang jadi dosen, lebih baik langsung sambung S2 saja. SM3T itu juga bagus dan 2 tahun juga lamanya; 1 tahun di pelosok, 1 tahun PPG di sini. Yah, 2 2nya bagus dan berpeluang. Kita kan sekarang berusaha menggenggam peluang sebanyak-banyaknya. Kalau kamu ikut SM3T, ketika kamu jadi guru akan mmudah untuk mendapatkan tunjangan profesi tanpa syarat lagi. Nah, itu pula enaknya.”
Belum sempat beranjak ke obrolan yang lebih luas lagi, pak Suarman ke luar dari dalam kelas dan menegur pak Pides. Aku segera mohon diri kepada pak Pides.
“… nah, dari penjelasan ketua KOPMA itu kan sebenarnya udah terlihat bahwa KOPMA itu nggak memenuhi syarat untuk diteliti. Kecuali kalau tujuannya untuk mengidentifikasi apa-apa saja yang mesti diperbaiki untuk kemajuan KOPMA tersebut. Tapi, itu bukan pekerjaan muda dan sebentar,” jelas pak Suarman.
“Nah, itu pula ya Pak persoalannya. Atau teliti saja tentang sikap guru.”
“Kalau harus ke sekolah berarti Elysa harus ngurus surat penelitian dulu kan Pak?”
“Engg….Iya sih…”
“Nah, itu juga lama Pak. Elysa pengennya yang di kampus aja dan nggak perlu surat penelitian. Kira-kira apa ya Pak? Hikssss.”
“Ini aja Elysa, kalau tetap mau yang di kampus aja, Analisis Pengetahuan dan Kemampuan Dosen dalam Membimbing SKRIPSI Mahasiswa FKIP Universitas Riau.
Aku menulis judul tersebut. Besar harapan yang tertulis ini akan diterima tanpa penolakan.
“Pak, kalau ditolak gimana Pak?” tanyaku ragu.
“Ada tuh pasangannya Sa dari judul itu. Analisis Kepuasan Mahasiswa Terhadap Dosen dalam Membimbing SKRIPSI Mahasiswa FKIP Universitas Riau. Berarti yang diteliti itu mahasiswa yang udah selesai.”
“Oh gitu ya Pak. Hemm..bismillah, wish me luck.”
Pak Suarman beranjak ke luar dan aku mengikutinya dari belakang.
“Elysa besok masih di sini kan?”
“Iya Pak. Ada apa ya Pak?”
“Besok mau bantu Bapak ngawas ujian anak-anak Koperasi 6?”
“Wah, mau, mau Pak. Jam berapa Pak?”
“Jam 8 ya besok di kelas ini.” Pak Suarman menunjuk kelas yang dimasukinya tadi. Kami baru saja melintasinya. Kemudian melintasi kelas C9. Pak Suarman mau ke Biro dan aku mau ke Prodi, kami se arah.
“Haaa, itu diaaa,” kata pak Suarman ketika melihat pak Riadi sedang berada di kelas. Aku pun melihatnya dan di sinilah kami berpisah jalan; aku singgah di bangku pohon di samping HIMA untuk menunggu pak Riadi ke luar.
Cintaku…. Ada aktifitas apa hari ini? sms mami ini memang datang tepat pada waktunya.
Ngajuin judul SKRIPSI mi. doain yak ^_^
Azan sudah berkumandang. Aku berniat ke mushola terlebih dahulu, baru menemui pak Riadi di Prodi. Eh, yang sedang difikirkan melintas di hadapan. Aku tertunduk, pura-pura sibuk mematut HP. Jadi sedikit bimbang, antara langsung menemuinya atau membesarkan panggilan Allah berikut?
Ya Allah, aku memilih membesarkan-Mu daripada pak Riadi. Maka tolong ya Allah, jadikan urusan hamba ini sebagai urusan yang ‘kecil’ dan mudah terselesaikan dengan pertolongan-Mu yang Maha Besar. Aamiin.
Semoga langsung diterima dan nggak ada halangan.
Ya Allah, mi. doamu ini benar-benar tepat sasaran banget. Semoga Allah ridho dan semesta merestui. Aamiin. Keyakinanku jadi meningkat 100%.


***

“Loh? El? Nggak jadi?” tanya Dian. Disusul wajah-wajah penuh tanya dari teman-teman yang lain.
“Nggak hari ini kayaknya. Aku takut denger Bapak marah-marah gitu. hehe. Daaaaa…”
Aku berlari menuruni tangga, berbelok ke kanan melewati koridor yang menghubungkan biro ke jalan lintas FKIP. Aku terus berjalan, meninggalkan gedung putih yang penuh tekanan itu. Maafkan El Mi, belum hari ini. Terimakasih atas doamu yang mulia itu. Bukannya El pesimis Mi, tapi El realistis. Daripada apa yang di tangan ini tidak dihargai karena El salah memilih waktu.
Aku sudah berada di depan BEM. Pintunya tertutup. Ku coba mendorong tralinya dan Alhamdulillah terbuka. Dengan salam, aku memasuki aula dan mendapati pintu ruang kerja BEM pun tertutup. Ku coba membukanya dan Alhamdulillah ternyata tidak dikunci.
Nyeeeesssssss…
Dingin AC menyambut kedatanganku. Ku cas HPku yang sudah mati sejak di Prodi tadi dan ku keluarkan laptop putih kesayanganku. Apalagi kalau bukan untuk berkeluh kesah? Eh, untuk bercerita lebih tepatnya. Aku nggak mau orang salah faham dengan ‘keluh-kesah’ yang ku maksud. Karena, kalau teman-teman perhatikan, mungkin 70% cerita yang ku tulis di blog ini adalah cerita-cerita sedih nan sendu. Itu bukan berarti aku sedang mengeluh loh! Memang sendu selalu jadi tema ceritaku. Memang sendu itu adalah diriku. Dan, memang sendu adalah hidupku.
Dek, kamu di mana sih? Kakak sendirian loh di sini…
Aku segera meraih HP yang mungkin sudah lumayan terisi daya. Ku wujudkan bahasa hati itu ke dalam bahasa tulis. Berharap Okta dan Joni segera datang.
“Cin? Di mana? Kami udah di masjid nih.” tanya Lia dari seberang telvon.
“Masih di sini Cin.”
“Oh, masih di BEM? Kami jemput ya, soalnya kami udah di sini nih.”
“Nggak usah Cin. Aku jalan kaki aja. Lagian aku nggak lapar.”
“Lah? Apa hubungannya dengan lapar? Hehe.”
“Maksudnya, aku nggak lemes kok. Nggak apa-apa aku jalan kaki aja biar kurusan.”
“Oh gitu. Yakin? Ntar pingsan di jalan pula? Kami juga yang repot nanti.”
“Nggak doh. Yakin deh!”
“Oke. Kami tungguuu. Yuhuuuuuu, welcome.”
Telvon dimatikan dan aku kembali mematut laptop. Mungkin, Lia mengira aku sedari tadi aku tidak beranjak dari sini. Padahal aku justru udah mengalami banyak rasa dan menapaki banyak tempat.
Smsku belum juga dibalas Okta. Kalau sampai jam 14.00wib dia nggak nongol juga, aku out.

***


“Jadi dalam pembinaan kali ini, saya akan meminta adek-adek untuk presentase. Berusahalah semaksimal mungkin untuk meyakinkan saya bahwa KTI andalah yang terbaik. Nah, mungkin kalau ditunjuk siapa yang mau duluan, tidak ada yang dengan suka relah duluan ya. Maka…”
“Boleh saya Ustad?” dek Risky mengangkat tangan dan ustad Fahri mempersilahkannya.
“…siapa saja pihak-pihak yang akan menerapkannya? Jawabannya tentulah kita semua. Kita akan menginstal ketauhidan itu ke dalam diri kita masing-masing sehingga kita senantiasa yakin bahwa setiap apa yang kita lakukan itu dalam pengawasan Allah. Tapi, bagaimana dengan orang-orang selain Islam? Maka, mereka kembali saja kepada ajaran-ajaran agamanya, tentang konsep ketuhanan mereka masing-masing…bla, bla, bla.”
“Rin, Adek nih nggak nyiptain aplikasi ternyata. OS (Operating System) itu cuma istilahnya aja,” bisikku kepada Rini.
“Iya, aku pun jadi bingung. Aku kira sejak tadi dia udah bikin aplikasinya.”
“Kalau emang dia bikin aplikasi itu, baru mantap banget!”
Aku beralih kepada Lia. “Cin, kita terakhir aja atau setelah Risky?”
“Setelah ini ajalah ndak? Jangan yang terakhir lagi,” saran Lia.
Aku mengiyakannya. Dan membisikkan kepada Lia dan Rini masing-masing bagian penyampaiannya.
“Kak, ada dikasih tahu sebelumnya kalau hari ini kita presentase?” tanya dek Intan dengan isyarat.
Aku menjawabnya pun dengan isyarat, “Nggak ada Dek. Mendadak tadi dikasih tahunya.”

***
Lia menyampaikan latar belakang dan manfaat tulisan dengan tenangnya. Aku pun tak kalah tenang bersama selingan improvisasi. Sementara Rini melengkapi dengan kesimpulan. Ada banyak saran yang kami dapatkan dari ustad Fahri. Aku dan Lia sampai bertanya dalam gumam, “Ustad ini apa sih latar belakangnya? Kok luas banget pengetahuannya? Semuanya tahu.”
Setelah ustad Fahri memberikan beberapa komentar dan saran, Intan dan Risky pun turut angkat bicara atas tulisan kami ini. sadarlah aku bahwa KTI ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Mendadak, kepercayaan diriku sempat menurun tentang UI. Tapi , ternyata setelah menyaksikan penampilan kelompoknya dek Intan dan mendengar komentar ustad Fahri, aku malah menyadari bahwa bukan hanya kelompokku yang penuh ketidaksempurnaan, tapi kami masing-masing punya itu. hiksss…
“Kita ada pertemuan 1x lagi yaitu di hari Sabtu yaa,” kata panitia.
“Disitu barulah ditentukan siapa yang terpilih untuk berangkat ya,” sambung Risky setengah bertanya.
“Dek, yang berangkat sebenarnya berapa orang?” tanyaku kepada panitia cewek yang duduk di seberangku.
“1 tim. Tapi, sesuai dengan keadaan timnya.”
“Maksudnya gimana?”
“Ya, kalau seandainya tim ke tiga yang terpilih dan anggotanya ada 3, berarti yang diberangkatkan ketiganya. Tapi, ntahlah siapa nih pada akhirnya yang diutus, aku belum tahu juga,” jelasnya.
“Kalau bisa sih, 3 3nya berangkat ya. Tapi, mau nggak mau memang harus dipilih 1 tim saja,” sambung pak Ustad.
Setelah ustad Fahri dan panitia ke luar dari ruangan LPIQ ini, aku langsung ngacir ke toilet. Laptop, tas, HP ku titipkan kepada Lia dan Rini. Aku berlari secepatnya ke tempat berwudhu dan memilih toilet yang paling ujung. Ntah kenapa jadi mules-mules begini rasanya?

***
Aku sudah di kamar. Lia barusan memulangkanku. Kemudian ia kembali ke Arfaunnas untuk menjemput Rini, sekaligus membeli bahan masakan untuk buka nanti. Aku sempat menyalakan kipas angin di nomor 1, tapi setelah menyadari perutku yang tak tau sedang sakit apa ini, akhirnya ku matikan total kipasnya.
“Tidur sehabis Ashar itu nggak bagus untuk kesehatan!”
Aku pun tak berniat untuk tidur saat ini. ku hidupkan laptop untuk membunuh suntuk dan ku baca salah satu cerpen dari ebook Koran Tempo. Aku ingin melihat, bagaimana tipe cerpen yang disukai oleh redaktur Koran Tempo tersebut. Dan, memang luar biasa. Ia mengurai cerita sampai 3 halaman tanpa terdapat satu pun dialog. Semuanya serba narasi dan deskripsi saja. Aku takjub. Kemarin, aku pun sudah berniat seperti ini sebenarnya,
“Cin, aku pengen baget nulis novel tapi tanpa ada satu pun dialog di dalamnya.”
“Bagus tuh!”
Rini dan Lia belum juga kembali. Lama amat sih! Mungkin, mereka belanjanya ke beberapa tempat. Dan, akhirnya ku putuskan juga untuk tidur setelah melumuri perutku dengan balsam otot Geliga. Panasnya yahutttt. Hehe.

***
Suara adu kuali dan irus membangunkanku dari lelap. Wah, ternyata Rini dan Lia sedang on the process. Hehe, aku bisa istirahat tidak membantu mereka kali ini. hemmm..kemarin kan Rincuy yang free. Aku memandang Lia sebagai sosok yang 100% cewek. Keibuan, penyayang, sesekali tegas, berfikiran positif, sedikit nggak nyambung kadang, hati-hati, taat peraturan dan sopan-santun. Aku dan Rini menjulukinya Putri Keraton. Hihii.
Menu masakan hari ini adalah sayur bayam dan sambal telur dadar+ikan bangkinang. Nyummiiii… Kami mengundang Reni untuk berbuka bersama kami.  Lagian, kompor yang kamu gunakan untuk masak pun adalah kompornya Reni. Dia baik banget kepada kami, maka kami pun harus baik kepadanya.
Awalnya, aku takut banget kalau ditanya-tanya soal SKRIPSI oleh Reni. Tapi, akhirnya aku luluh juga ketika Lia menyarankan untuk menjawab, “Sedang proses nih Ren,” seandainya benar Reni menanyakannya. Di tengah perbincangan, Reni memang sempat membicarakan tentang proses SKRIPSInya, tapi itu pun karena ditanya oleh Lia dan ngobrolnya (syukurnya) hanya dengan Lia.
“Sehebat apa pun Elysa, kalau masih menyandang status mahasiswa itu masih dianggap anak-anak alias ‘belajar’.”
Kalimat itu mengingatkanku kepada diriku sendiri. Bismillah… 4 tahun!

***
Ah, lagi-lagi nggak bawa HP atau alat pencatat nih! Hemm… ingat sajalah seberapa yang mampu ku ingat. Bismillah…
“…adapun amalan yang jika kita lakukan dicintai oleh Allah dan nilainya bisa menyamai ibadahnya para sahabat terdahulu, adalah mengucapkan kalimat taoyyibah, Laa illa ha illallah. Berikutnya adalah mengucapkan Suhanallah sebanyak 33x, mengucapkan Alhamdulillah sebanyak 33x dan mengucapkan Allahuakbar sebanyak 33x. Wah, berarti kita sudah melaksanakannya setelah sholat Isya barusan? Subhanallah. Para sahabat dulu sangat iri kepada 2 hal. Yang pertama, kepada kekayaan orang lain. Kenapa? Karena dengan menjadi kaya, kita bisa menolong orang lain lebih banyak. Yang kedua, iri kepada ketaatan orang lain. Berarti, kita seharusnya iri kepada para penghafal Al-Quran, Qori dan Qoriah yang mampu mengaji dengan baik dan indah, serta iri kepada orang-orang yang rajin ke masjid. Untuk hal-hal yang demikian itulah seharusnya kita iri, wahai saudara sekalian. Rosulullah saja, dalam sehari beristighfar tidak pernah kurang dari 70kali. Nah, bagaimana dengan kita yang jelas-jelas banyak dosa ini?”
“Hemm..denger tuh Rin?”aku memelototi Rini yang tak bersalah.
“Apalah El nih!” Rini balas melotot.
“Cin?” panggilku kepada Lia di belakangku. “Kita bisa aja menyulap ide kita itu menjadi unggul, asal kita bisa memastikan bahwa ODOJ menerima ide kita.”
“Hemmm..bener juga ya Cin. Allahuakbar. Mari kita berdoa,” Lia sumringah.

Tidak ada komentar: