Obrolanku bersama mami tentang pernikahan membuat kantukku terhalang hadirnya. Perasaanku jadi tak enak. Ada gelisah. Ada kekhawatiran. Ada rasa ragu. Apalagi setelah teringat dengan usia yang hampir memasuki 22 tahun, aku semakin gundah. Untungnya mami-papi nggak mengharuskanku menikah diumur tertentu, setidaknya ini membuatku cukup lega. Melihat teman di kiri-kanan udah menikah ternyata tidak membuatku iri untuk menyusul segera. Ah, saat ini aku justru ingin punya waktu lebih lama dan berkualiti time bersama mami-papi, Moza, Nilam dan Salsa. Tentang pernikahan, aku serahkan itu kepada-Nya. Semoga Ia mendatangkannya dengan penuh keajaiban dan saat itu aku tidak tahu harus berkata apa kecuali menerimanya dengan suka cita. aamiin.
Menjadi dewasa tak mudah rupanya. Sudah banyak hal yang menanti diputuskan di depan sana. Tak hanya pernikahan sebenarnya, karir pun begitu kiranya. Percayakah dirimu, bahwa sebenarnya saat ini aku sedang serba tidak tahu. Tidak tahu akan ke mana setelah ini. Tidak tahu akan menikah diusia berapa. Bahkan, aku tidak tahu akan berkarir sebagai apa. Yah, inilah aku; rumit, sulit. Di satu waktu, aku bisa menjadi perancang masa depan dengan garapan yang jelas dan real.Tapi, di satu sisi, aku sering kali meragu dan kembali mempertanyakan, 'benarkah itu benar-benar inginku?'.
Mami sudah tertidur sejak akhir pembahasan tentang rencana S2-ku. Begini katanya, "Kata Abi, Ela tu nggak perlu ngejar-ngejar S2 setelah wisuda. Lebih baik langsung memulai karir aja. Contohnya Bu Mita, setelah S1 langsung kerja di PT tempat abi kerja ini sedangkan temannya ngejar S2 dan sekarang jabatannya jauh di bawah Bu Mita."
Aku menanggapinya seperti ini, "Ada benarnya yang Papi bilang, Mi. Kemarin El pun kembali mempertanyakan apa tujuan El S2. Kalau memang El pengen jadi dosen, peneliti, ilmuan ya S2 adalah pilihan yang tepat. Tapi, kalau mau jadi pengusaha, guru atau penulis, ya rasanya S2 itu kurang tepat."
El malah nggak pengen kerja Mi setelah wisuda. Maksudnya, kerja secara teratur dan terukur seperti guru atau pegawai. El pengen menghabiskan waktu untuk lebih banyak menulis dan berpetualang. El pengen wujudkan mimpi El jadi Travel Writer. Memang, akan terlihat seperti orang yang nganggur karena kerjanya suka-suka. Tapi, yang penting kan El menikmati itu dan rezeki tetap mengalir. Aku melanjutkan kalimatku sendiri di dalam hati. Aku mempersilahkan mami berlabuh di alam mimpi. Sementara aku, masih merenungi maunya hati dan mengeja inginnya diri. Menjadi orang dewasa, serumit inikah?
Mami menyerahkan uang Rp 100.000 kepada Mbak tadi dan si
mbak menyodorkan kertas data diri kepadaku.
Menjadi dewasa tak mudah rupanya. Sudah banyak hal yang menanti diputuskan di depan sana. Tak hanya pernikahan sebenarnya, karir pun begitu kiranya. Percayakah dirimu, bahwa sebenarnya saat ini aku sedang serba tidak tahu. Tidak tahu akan ke mana setelah ini. Tidak tahu akan menikah diusia berapa. Bahkan, aku tidak tahu akan berkarir sebagai apa. Yah, inilah aku; rumit, sulit. Di satu waktu, aku bisa menjadi perancang masa depan dengan garapan yang jelas dan real.Tapi, di satu sisi, aku sering kali meragu dan kembali mempertanyakan, 'benarkah itu benar-benar inginku?'.
Mami sudah tertidur sejak akhir pembahasan tentang rencana S2-ku. Begini katanya, "Kata Abi, Ela tu nggak perlu ngejar-ngejar S2 setelah wisuda. Lebih baik langsung memulai karir aja. Contohnya Bu Mita, setelah S1 langsung kerja di PT tempat abi kerja ini sedangkan temannya ngejar S2 dan sekarang jabatannya jauh di bawah Bu Mita."
Aku menanggapinya seperti ini, "Ada benarnya yang Papi bilang, Mi. Kemarin El pun kembali mempertanyakan apa tujuan El S2. Kalau memang El pengen jadi dosen, peneliti, ilmuan ya S2 adalah pilihan yang tepat. Tapi, kalau mau jadi pengusaha, guru atau penulis, ya rasanya S2 itu kurang tepat."
El malah nggak pengen kerja Mi setelah wisuda. Maksudnya, kerja secara teratur dan terukur seperti guru atau pegawai. El pengen menghabiskan waktu untuk lebih banyak menulis dan berpetualang. El pengen wujudkan mimpi El jadi Travel Writer. Memang, akan terlihat seperti orang yang nganggur karena kerjanya suka-suka. Tapi, yang penting kan El menikmati itu dan rezeki tetap mengalir. Aku melanjutkan kalimatku sendiri di dalam hati. Aku mempersilahkan mami berlabuh di alam mimpi. Sementara aku, masih merenungi maunya hati dan mengeja inginnya diri. Menjadi orang dewasa, serumit inikah?
Mami ntah sedang menelvon siapa. Sepertinya sih bukan hanya
1 orang. tapi, aku tidak terlalu ambil pusing karena kantukku masih mencandui.
“El, El banguun!” mami menyenggolku.
Aku seolah terbangun 2 kali karena ternyata aku sudah
terlelap lagi. kalau yang kali ini, aku yakin mami sedang menelvon papi di
rumah. Dari bahasanya, aku sudah bisa memastikannya.
“Bocah-bocah udah pada bangun?” tanya Mami.
Aku bangun dan bergegas sholat Tahajud. Sementara Rini baru
menggeliat ketika ku bangunkan yang kedua kalinya. *hemmm..tumben dia lelet.
“Kita ngerebus mie ajalah ya mi. Capek kelau ke luar-ke luar
segala.”
“Ya udah, nggak apa-apa.”
Biasalah, si golongan darah B kan emang selalu pengen yang
praktis dan simple. ehhee. Mami udah bawa sambal teri+tempe dari rumah, jadi
mie ini untuk pelengkapnya aja.
“Mbuh iki, wong tuo teko kok malah dimasakke emmi. Engko nek
de’e balii nggak tak masakke panganan na kapok kono,” kata mami sambil tertawa
kecil.
Hayooo, pasti bingung kana pa artinya? Aku artiin ya: Ntah ni nggak jelas, orang tua datang malah
dikasih mie aja. Nanti kalau dia pulang, nggak aku masakkan baru tahu rasa.
Aku tersenyum mendengarnya. Kali ini, mami pasti ngobrol
dengan bu Dewi. Soalnya sebelum tidur, mami cerita kalau bu Dewi minta tolong
miscall-kan. Aku heran aja, padahal kan kak Jayu ada, tapi kok minta bangunkan
mami, lewat telvon pula tuuu. Heheh, jangan-jangan kak Jayu pun nggak bisa
diandalkan kayak aku. ehhe.
***
“Jadi kita mau ke mana duluan nih El?” tanya mami.
“Ke Ramayana dulu nggak? Soalnya kan jauh Mi.”
“Apa nggak jauhan ke pesantren?”
“Ya nggak lah Mi. Ramayana kan di Sudirman, sedangkan
pesantre…”
“Nggak jauh kok kata Abi. Di Panam juga katanya,” sela mami.
“Oh, berarti Ramayana Robinson tuh. Emang deket sih kalau
yang itu. Jadi, kita mau ke mana duluan?”
“Ke tempat Nilam aja dulu yuk? Mumpung udah pasti pagi ini
dia boleh diajak ke luar.”
Assalamualikum Pak,
hari ini jam berapa dan di mana Elysa bisa bimbingan dengan Bapak?
“Jadi, kita mau ke 3 tempat hari ini; ke tempat Nilam, ke
Ramayana dan ke loket SAN di Garuda Sakti,” jelas mami sambil bersiap-siap.
Kalimat SMS yang sudah ku ketik itu akhirnya ku hapus. Mami
butuh aku hari ini, aku akan menunda sedikit untuk bimbingan. Ya Allah, gantilah niat baktiku ini dengan
segala kelancaran dan kemudahan.
“Jadi gimana dengan urusanmu dengan dosenmu El?” tanya mami.
“Enngg… Besok ajalah Mi El ketemu sama Bapak tu.” Aku tak
mungkin mengecewakan mami (meskipun mungkin mami nggak akan kecewa sih) dan aku
nggak mungkin bisa membagi diri. Takutnya kalau aku SMS, pak Danur ternyata
bisa ditemui dan ternyata aku nggak bisa ninggalin mami, kan berabe? Celaka 12.
Hiksss. Maka, memang harus ku korbankan salah satunya. Dan mamilah pilihanku.
***
“Mi, maksud El kemarin, kita jalan berdua itu ke tempat yang
agak jauh gitu. Misalnya, kita jalan ke Bandung gitu belanja di sana.”
“Ohh gituuu.”
“Pasti kereeen. Hikss, tapi uangnya nggak ada Mi. La jadi?”
“Hemmm..nyam, nyam, nyam.”
Sesampainya di pesantren, aku membonceng mami dan Nilam
sekaligus ke toko gamis di dekat sini. Motor ini udah tua, tapi masih sanggup
juga mengangkut beban seberat kami bertiga hihii. Terutama sih aku yang paling
berat di sini.
BAZAAR MURAH!!!
Tulisan itu tertulis besar di atas dinding ruko ini.
“Ih Mi, gamis yang coklat ada rimple pinknya itu cantik ya,”
celetukku ketika baru masuk ke dalam.
“Cantikkan coklatnya ah,” kata mami.
“Maksudnya kalau nggak ada pinknya Mi?” tanyaku. Mami
mengangguk.
“Nilam tu minta belikan gamis yang harganya 400an kemarin.
Inilah mau dilihat gimana modelnya,” bisik mami kepadaku.
“HAH? 400ribu? Aiiii… mahal botul koo!” aku terkejut.
“Manalah mahal dibandingkan 8 juz yang udah dia hafal El.”
Iya juga sih, setelah ku fikir. Rp 400.000 itu memang kecil
kalau disandingkan dengan hafalannya Nilam. Aku jadi minder. Ku bebaskan mami
dan Nilam memilih-milih baju dan aku ke luar dari ruko ini lalu duduk di atas
motor. Ku buka Al-Quran, banyak hutangku kepadanya. Hemmm..lumayan juga nunggu
mami belanja sambil ngaji santai di atas motor. Siapa tahu dapat 1 juz.
fSejam kemudian, azan berkumandang. Ku lirik jam di HP dan
ternyata masih jam 12.00wib, aku keheranan. Oh, setelah ku ingat-ingat ternyata
sekarang adalah hari jumat. Pantesan ajaaa…
Aku masuk ke dalam ruko lagi. Mungkin ada buku yang bisa ku
baca di dalam sambil menunggu mami.
***
Dari parkiran ROBINSON, aku dan mami berjalan berdampingan
memasuki gedung beraroma AC ini. Bahkan, aromanya khas seperti ruangan berAC ini
sudah tercium dari jarak 3 meter.
“Mbak, sedekahnya silahkan disalurkan untuk menolong saudara
kita Mbaakk..” seorang wanita berseragam merah mencegat langkah kami di bibir
gedung ini.
Aku meraih brosur yang disodorkannya. Ada beberapa program
kemanusiaan di dalamnya dan kami bisa memilih untuk program yang mana atas sedekah kami itu.
“Iya Mi?” tanyaku kepada Mami untuk bersedekah atau tidak.

“Mesti pakai data diri juga nih Mbak?” tanyaku.
“Oh, iya Mbak. Soalnya biar terdata dengan rapi. Untung saja
hanya nama, alamat dan nomor telvon.
Aku dan mami melanjutkan langkah ke dalam. Melihat di lantai
dasar sini tidak ada spot per-sandal-an, aku mengajak mami ke atas. Tapi,
“Mbak, barang-barangnya dititipkan aja dulu di sini Mbak,”
tegur seorang SPB.
Ah, kebetulan banget. Biar aku dan mami nggak berat-berat
menentengnya sambil belanja.
“Itu bayar nggak nanti El?” tanya mami. Mungkin mami kira
seperti jasa tukang parkir yang mengamankan motor kita.
“Nggak kok Mi.”
“Biar kita nggak repot nenteng itu mungkin ya maksud
mereka.”
“Iya Mi. Plus, mereka kan takut juga kalau barangnya kita
curi dan kita masukkan ke dalam plastik ini.”
“La jadi?”
Tujuan pertama kami adalah mencari pesanan papi; sandal
Eiger dan topi.
“Mbak, tempat sandal di mana ya?” tanyaku kepada SPG.
“Di lantai 3 Mbak,” jawabnya, ramah.
Aku dan mami harus naik 1 tingkat lagi ternyata.
“Di mana nih ya si Eiger El?” tanya mami.
Aku masih terdiam. Mataku menyisir satu demi satu merk branded di setiap etalase megah ini. Aku
hanya ingin menghemat tenaga dan langkah bisa tepat tujuan.
“Ini Carvile juga bagus Mi,” aku menunjuk rak Carvile.
Mami memegang salah satu sandal yang persis seperti sandal
gunung itu, tapi modelnya seperti sandal jepit; tidak banyak talinya. “Tapi Abi
tu mintanya Eiger. Nanti kalau nggak sesuai, nggak mau pula orangnya.”
Aku mengangguk-ngangguk dan kembali mengedarkan pandangan ke
blok sebelah kananku. Si Eiger belum juga ku temukan keberadaannya.
“Haaaa! Itu dia. Yuk Mi, ke sana.” Aku menarik tangan mami
agak jauh dari tempat awal. Lurus, lalu berbelok ke kiri.
“Ini ada diskonnya nggak Mbak?
“Nggak ada kalau yang itu Dek. Itu model baru soalnya.”
“Terus, tulisan diskon 20% itu maksudnya apa?” tanyaku lagi,
memastikan.
“Itu cuma untuk yang tas-tasnya aja Dek.”
“Ohh gituuu.”
“Lagian, yang Adek pegang itu model barunya. Kalau yang ini,
baru ada diskonnya,
jelasnya sambil memegang sandal serupa, tapi berbeda sedikit bentuknya.
jelasnya sambil memegang sandal serupa, tapi berbeda sedikit bentuknya.
“Udahlah El. Yang ini aja,” kata Mami.
Aku udah sempat ngajak mami balik lagi ke tempat si Carvile
tadi soalnya harganya jauh di bawah di Eiger, padahal modelnya mirip. Tapi,
memang sih harga itu mencerminkan kualitas (meskipun nggak selalu), Eiger
memang lebih meyakinkan. Akhirnya, kami kembali lagi ke Eiger dan bahkan Mami
langsung beli topi dan tas rangselnya sekaligus. Totalnya udah nyaris Rp
400.000. Belum lagi ditambah dengan gamis yang udah dibeli tadi dan yang akan
dibeli lagi nanti. Hemm.. every woman like shopping.
“Bayar dan ambil barangnya di kasir D ya Bu. Letaknya pas di
bawah tangga manual di lantai 2.”
Aku mengajak mami langsung ke tangga manual, supaya nggak
repot nyari kasirnya nanti.
“Eh, Mi. Keren juga niih!” tanganku menyambar tas di
keranjang bertuliskan diskon 50%+30% ini.
“Lumayan juga,” kata mami.
“Lebih ringkes (baca: simpel, nggak ribet) dan kelihatan
lebih kuat daripada yang untuk Salsa tadi.”
“Berapa harganya tu?”
“Rp 360.000 Mi. Tapi ada diskon 50%+30% tuh. Jadi, berapa
harganya nih ya? Mana kalkulator Mi?”
Mami menyerahkan HPnya kepadaku dan mulailah aku
menghitungnya. Mami juga menghitung, tapi hanya melalui taksirannya saja.
“Duh, gimana nih Mi? Masa harganya Cuma Rp 40.000. Duh!
Salah hitung El nih pasti.” Aku mengulang perhitungannya kembali, dan “Mi, masa
harganya Rp 64.000 sih?”
Mami mengarahkanku kepada taksirannya, tapi akunya yang nggak
nyambung.
“Sekitar Rp 140.000 nih harganya,” kata mami.
Karena tidak puas dan masih penasaran aku memanggil SPB yang
sedang melihat ke arahku. “Mas? Tolong donk dicheck tas ini berapa harganya?”
“Lebih keren lagi ini daripada yang tadi tu Mi. Hemm..jinjingannya
aja pasti lebih kuat nih. Harganya lebih murah lagi.”
“Yah, lumayanlah. Tapi ini banyak yang nyamain modelnya El.
Sekeranjang sama semua.”
“Nggak masalah Mi kalau samaan dengan barang bagus. Lagian
belum tentu orang-orang dekat El yang beli juga kan. La jadi?”
Ada seorang ibu dan anak laki-lakinya yang melihat-lihat tas
di keranjang ini. Aku mulai khawatir kalau ia pun membelinya. Ntar samaan donk!
Aku nggak mau ada yang nyamain. *loh? Tadi katanya nggak masalah. Wah, nggak
konsisten nih El. heheh.
Doaku terkabul. Ibu dan anak laki-lakinya itu pergi tanpa
bertanya apa-apa kepada kami atau kepada SPGnya.
“Mbak, harga tasnya Rp 136.000.”
“Oke, makasih Bang.” Kataku. “Mi, murah Mi… yeyeee. Makasih
ya Mi. Love Youu”
“Kalau dibeliin baru love you?”
“La jadi? Hehe.”
***
Usai menunaikan sholat Zuhur di samping RS Awal Bros Panam,
“Mi, kita langsung ke Garuda Sakti ni?”
“Masih jam 1 El. Nanti kita kelamaan nunggu pula di sana.”
“Tiyung gimana?”
Mami nggak menjawab. Ia terus menekuni HPnya. Sampai nggak
sadar, aku akhirnya tertidur. Dan, baru terbangun ketika ada beberapa orang
cowok yang membawa tangga akan memperbaiki plafon di atasku.
“Udah lama juga El tidur ya Mi?”
“La jadi?”
“Kita langsung ke Garuda? Udah jam setengah 3 ni.”
“Beli jeruk dulu, beli kurma sama baju untuk Mbah dan
bocah-bocah itu.”
“Oke.”
Aku membawa mami ke Indo Style, Colours Mart sedangkan beli
jeruknya di mobil yang mangka di pinggir jalan aja; 1kg = Rp 15.000. Setelah
itu, kami ke kosan dulu untuk meletakkan barang-barang yang luar biasa
banyaknya dan memasukkan kiriman untuk Mbah itu ke dalam kardus. Barulah kami
berangkat ke Garuda Sakti.Dari UNRI, aku nimbus ke jalan Bangau Sakti dan
menggunakan rute yang sehari—hariku dulu ketika PPL di SMS 12.
Di ujung gang, jalan Garuda Sakti telah membentang. Aku
segera berbelok ke kiri,
“Loh El? Bukannya ke kanan ya?” tanya mami.
“Masa iya Mi?”
“Kalau ke kiri, berarti kita ke Panam lagi ndak? Kan arahnya
sama kayak jalan pintas kita tadi.”
Motor masih terus ku gas, tapi dengan pelan karena aku
sedang berfikir tentang arah jalan ini.
“Iya juga ya Mi. Kok El bisa kepedean pula tadi belok ke
kiri ya?” aku langsung memutar arah. Dan kebingungan berikutnya adalah tentang
letak loket SAN. 2 tahun yang lalu terakhir kali aku ke sini ketika mau bertemu
bibi, mbah dan keponakan sebelum mereka balik ke Bengkulu. Sekarang, udah
samar-samar di ingatan.
KLINIK DOKTER BASTIAN
Ah, lagi-lagi aku melihat bangunan itu di seberang kanan
lajurku ini. Setiap kali melihatnya, aku teringat dengan jelas bagaimana
targedi persahabatan yang yang suci itu mulai ternoda di sini. Ayo move on El!
“El masih ingat tempatnya? Di sebelah kanan atau kiri nih?”
tanya mami.
“Kanan Mi.” Tapi, sejujurnya aku pun masih ragu; kiri atau
kanan. Tapi, sampai jalan Garuda ini usai dari keramaian pun tempat yang dituju
belum ketemu. Seorang laki-laki menunjukkan kami untuk berbelok ke sebuah jalan
dan berbagai jenis bus akan ada di sana. Aku menurutinya tapi aku merasa ini
benar-benar jalan yang bahkan belum pernah ku lewati.
Tapi anehnya, walaupun ragu, aku tetap saja melaju. Memang
ada beberapa bus yang terparkis di satu halaman, tapi itu adalah bus jurusan
Medan, bukan Bengkulu.
“Mi, coba telvon dulu bu Sari itu Mi. Jangan-jangan dia udah
sampek di loketnya.”
Aku menepikan motorku dan mami mencoba menghubungi bu Sari.
“Nggak bisa nelvon nih El. Ntah kenapa. Padahal sinyalnya
penuh dan towernya dekat pula tuh!”
Ah, tak iya ini! Aku meminta mami naik dan mencari orang
yang tepat untuk ditanyai.
“Wah, udah kelewatan jauh kalau loket SAN tu. Adek ke luar
lagi dari jalan ini, terus masuk lagi ke jalan Garuda Sakti ke arah Panam sana
nanti ada bacaannya SAN di sebelah kiri jalan.”
Wah, ini mubazir banget. Nyasarnya jauuuuh banget. Mungkin
kalau ditotal kami udah salah jalan sekitar 10km. Tapi nggak apa-apa deh, kita nggak akan mencari orang yang benar
kalau kita tidak bertemu dengan orang yang salah kan?”
“Naahhh..itu dia El!” teriak mami. “Hoawallaahh. Kok tadi
bisa nggak kelihatan ya sama kita?”
Huft! Ternyata benar firasatku, letak loketnya ini masih di
daerah ramai, bukannya sesepi yang kami lewati tadi. Hiiii..
“Mbaaakkk!” seorang wanita berteriak sambil melambaikan
tangan ke arah kami yang sedang melepas helm.
“Nah, itu dia orangnya!” kata mami lagi. Aku mengikuti mami
dari belakang dan menyalami bu Sari, kakaknya dan mamanya.
Melihatku terbengong nggak jelas, akhirnya mami menawariku
untuk menghabiskan TMnya sebelum jam 5 sore ini. Orang pertama yang ingin
sekali ku hubungi adalah Okta. Aku ingin tahu apakah dia udah membuka kadoku
atau belum. Kalau belum kok lama amat. Tapi, kalau udah kok nggak ngabarin?
Sambil menunggu barang-barang dimasukkah ke dalam bagasi
bus, aku dan mami curi-curi kesempatan untuk duduk-duduk di dalam bus. Mami mending,
malah nelvon mbah sambil duduk pewe di dekat pintu masuk. Untung aja belum ada
penumpang yang masuk ke dalam.
“Mi, El sebisanya kalau bisa memilih, El pengen pergi-pergi
jauh tu naik pesawat aja.”
“Hemm..naik pesawat nggak enak. Sakit telinga jadinya.”
“Mungkin pesawat yang kemarin Mami naiki tu kebetulan nggak
bagus. Coba naik Garuda Mi… mantap. Kita tu naik pesawat untuk membayar waktu
Mi, menjaga sholat dan menghemat tenaga. Sampai di tempat, bisa langsung
jalan-jalan. Kalau naik bus, apalagi lebih dari 24 jam, pasti pusing-pusing dan
jetleg dulu,” jelasku. Lalu, mami kembali melanjutkan telvonannya.
Sekarang sudah pukul 17.00wib dan bus belum juga berangkat. Aku
dan mami nggak bisa mengiringi keberangkatan bu Sari dan keluarganya dengan
sempurna. Karena, kami belum shoalt Ashar dan harus mempersiapkan bebukaan
juga.
“Pamit ya Mbak, salam buat Mbah dan keluarga di sana,” kata
mami sambil menyalami bu Sari. “Ini untuk beli es anak-anak,” mami menyodorkan
uang Rp 50.000 yang awalnya ditolak oleh bu Sari.
Aku tersenyum melihat momen ini.
***
“Hai Mamiiii?” sapa Lia sambil menyalami mami. Ternyata Lia
belum pulang sejak jam 4 tadi, waktu dia SMS mau ngambil casan.
“Mu baru ketemu Mami kali ini ya Cin?” tanyaku.
“Iya niiii. Baru ketemu,” balas Lia.
“Kannn..beneran mirip si Lia sama Mama El…” kata Rini pula.
“Wah, jangan-jangan El bukan anak yang sebenarnya,” tambah
mami lagi.
“Apppaaa?” aku mendramatisir.
“Hhahaha.. bener, bener tuu,” timpal Rini. Sementara Lia
hanya mesam-mesem, mungkin sedang memikirkan apa yang sedang berlangsung ini.
Kami baru nyampek, Lia malah langsung pamitan pulang. Anak-anaknya
di asrama sudah teriak-teriak katanya. Ehhe. Aku dan mami udah beli pecel,
gorengan, lauk, es batu dan gulai paku buat buka puasa.
Ketika waktu berbuka telah tiba, aku langsung menyerobot es teh
buatan mami. Seketika habis dan mami menambahkannya lagi. Hari ini memang
sangat terik pemirsaaa. Apalagi kami berada di luar rumah seharian, ya udaaa.
Rini yang nggak merasakan panasnya udara di luar sana wajar aja cukup hanya
dengan minum air putih saja. hemm ckckck.
“Mi, kita sholat Tawarih di masjid atau gimana?”
“Sholatlah kalau mau sholat ke Masjid. Ummi di sini aja.”
“Hemmm..ya udah deh, kalau Mami maksa El buat sholat di sini
juga, El di sini aja sholatnya.” Gubraakk! Padahal nggak ada tuh yang maksa. Hehe.
Rini yang kali ini benar-benar teguh pendiriannya, tetap memilih
sholat di Arrafah meskipun harus jalan kaki.*cemuguud Rincuyy!
***
“Mi, daripada Mami bengong, mending Mami nonton film bagus
ni judulnya EnglishVenglish. Ceritanya tentang keluarga banget Mi. Menyentuh
dan mengharukan. Recommended deh
pokoknya.”
Tanpa menunggu respon mami, aku langsung menghidupkan
laptopnya Rincuy, biar nontonnya lebih puas. Mami langsung menegakkan tubuhnya
dan bersiap menyimak cerita. Eh, ternyata benar yang ku bilang tadi, belum
sampai di pertengahan cerita, mami udah nangis aja.
“Bener kan ceritanya sediih Mi?” ledekku. Mami mengusap air
matanya.
Okta memanggil..
“Mi, Mi, Okta nelvon! Pasti dia baru baca bukunyaa nih,”
kataku antusias. Aku mengangkatnya, “Yuhuuu…”
“Lagi ngapain Cek?”
“Lagi nonton film nih. Cek udah sholat Tarawih?”
“Udring (baca: udah). Mami lagi ngapain Cek?”
“Ni lagi nonton juga.”
“Nonton apa sih?”
“Nonton film EnglishVenglish. Ini kan film yang kemarin
Kakak tunjukin tapi Adek nggak mau nonton.”
Aku menjauhkan telvon dan mengangkatnya dengan tangan
kiriku. “Mi, kok si Okta ini nggak ada bahas tentang kado itu ya? Udah dibuka
atau belum sih sebenarnya,” bisikku kepada Mami. Lalu, ku dekatkan lagi telvon
ini ke telinga kiriku, “Cek, jadi kadonya udah dibuka atau belum niii?” tanyaku
tak sabar.
“Udah donk. Bahkan sejak shoat Zuhur tadi lagi Cek.”
“Terus waktu tadi Kakak telvon kok nggak cerita?”
“Emang sengaja. Waktu buka kadonya kan langsung Okta baca
tuh, terus Okta fikir, ah, nanti malam aja Okta telvon Kak Elis langsung.”
Aku sedikit heran; kok ni bocah nggak ada histerisnya sih? Atau
kadoku itu biasa aja?
“Jadi gimana kadonya? Suka nggak Cek?” aku bertanya santai.
“Sukaaaaaaaa bangeeeeeeeeeet Cek.” Nah, baru deh ke luar
logatnya si Okta yang full ekspresion. Tanganku langsung bergerak lincah,
menekan tombol Send di beranda FB.Loading… Sebuah persembahan tentang buku
barunya Okta telah terbagi.
“Waktu pertama buka aja Okta udah kaget. ‘Loh? Ini kan judul
puisiku kemarin? Tapi aku nggak pernah bikin buku’ Pas buka lembar pertama, ‘Loh,
kok ada kata sambutan Kak Elis dan Kak Vivien?’ dan waktu Okta lihat isinya, ‘Loh!
Ini kan puisi-puisiku semua?’ Barulah Okta ngeh
kalau itu kerjaanmu Cek. Okta berfikir keras kali tadi, ‘Kok bisalah si Elis ni
kefikiran nyetak buku kumpulan puisiku gini? Ya Allah, emang gilo si Elis ko’
Gitulah kata Okta tadi Kak. huuhuu, terharuu Cek.”
“Hihiii..ciyus niii? Semoga suka yaaa.”
“Ihhh, suka bangettt Cek! Anak siapa sih kamu Cek? Mami kamu
salah anak nggak? Hehe.”
“Loh Cek? Kok di FB udah ada COMING SOON aja? Duh Cek, banyak
yang komen nih. Gue mau jawab apaaa?”
Aku terkekeh mendengar ekspresi Okta, “Ya, jawab aja
layaknya itu adalah buku Adek sendiri. Kan emang itu tulisan-tulisa Adek toh?
Kakak cuma merangkumnya aja. tadinya sih, Kakak pengen nyantumin nama Kakak
juga di covernya, tapi Kakak batalin. Karena, Kakak pengennya itu bener-bener
jadi buku Adek.”
“Ya ampuuuun Cek. Okta masih nggak nyangka loh Cek. Semuanya
kayak mimpi.”
“Bener kan kata Kakak kemarin, hadiahnya tak terharga?”
“Benerrr Cek. Okta benar-benar nggak nyangka loh kalau itu
isinya Cek. Hemm..pengen banget Okta ISBNkan bukunya nih Cek.”
“Kemarin pun rencananya mau Kakak ISBNkan langsung Cek. Tapi,
karena takut nggak terkejar sebelum kamu KKN, makanya cuma dicetak aja.
Sampulnya suka Cek? Itu eke sendiri loh yang desain.”
“Sukaaaaaaaa banget Cek.”
“Doakan Kakak semoga segera jadi…… jadi apa hayoo?”
“Jadi penulis terkenal kan? Aamiin. Eh, Cek, tapi ada
beberapa pengetikan yang masih salah nih Cek.”
“Ya maklumlah namanya aja buru-buru. Ntar diedit aja lagi
sebelum diISBNkan Cek.”
“Iya Cek. Nanti ajarkan eke ngurus semuanya ya Cek. Kapan sih
kamu nyusun buku ini Cek?”
“Udah lama juga sih Cek, pas awal-awal puasa. Idenya itu
muncul ya waktu kita ngobrol tentang hujan berwarna ungu di hari terakhir Ibuk
kantin jualan tu. Rasanya mantap kali hati ini untuk bikinin kamu buku Cek. Bahkan,
setiap kita ketemu kemarin tu, rasanya gatal kali tangan n mulut ni pengen
cerita dan nunjukin file naskah bukunya ke kamu Cek. Hihiii. Oh ya, ini kan
dicetaknya sehari sebelum Cek berangkat KKN, nah jadi hari itu Kakak sama Kak
Rincuy itu udah 2x ngelihatmu, tapi Adek nggak lihat kami. Terus, Kak Rini
bilang gini, ‘El, putar arah cepat! Jangan sampai Okta lihat kita. Gagal total
nanti rencananya’. Terus Kakak putar arah dan untungnya Adek nggak tahu. Tumben
pula tuh, biasanya kan Adek yang selalu manggil dulua.”
“Ya ampuuuun Cek. Hahah, keren kali Cek. Okta jadi merasa,
harus berterimakasih sama ****a Cek karena dialah puisi-puisi ini terlahir. Eh,
Okta baru sadar nih, kok puisinya tentang dia semua ya Cek?”
“Emang sengaja ngambil 1 tema Cek. Itu kan waktu kamu sedang
galau-galaunya kemarin Cek. Ehhe.”
“Ya Allah, meskipun awalnya itu adalah puisi untuk Ayah dan
Ibu Okta, tapi esensinya tetap tentang dial oh Cek.”
“Yuhuuu Cek. Oh ya dek,” nadaku berubah jadi jauh lebih
serius. “Balaslah kebaikan Kakak ini dengan berbuat baik lebih banyak kepada
orang lain yaaaa.”
“Insya Allah Cek.”
Kreeekkkkkkkkkkkk
Pintu kamarku dibuka oleh Rincuy yang baru aja pulang dari
mushola. Dia langsung tahu aku sedang ngobrol sama siapa, “Gimana si Okta El? Nangis
dia?” tanyanya antusias.
“Sekarang sih nggak. Tadi siang waktu buka kadonya katanya
sih nangis, terharu.”
Yang penting, barang-barang sudah dimasukkah semua ke dalam
bagasi dan mereka tinggal menunggu bus siap diberangkatkan.
Aku sering sekali melakukan hal-hal serupa; memberikan kejutan untuk orang lain. Tapi, tak banyak mereka yang tahu bahwa aku selalu menyertakan hatiku di sana bersama sebuah kalimat, Tolong jangan pergi dariku apalagi sampai membenciku ketika kelak kau tahu betapa buruknya aku.
Aku sering sekali melakukan hal-hal serupa; memberikan kejutan untuk orang lain. Tapi, tak banyak mereka yang tahu bahwa aku selalu menyertakan hatiku di sana bersama sebuah kalimat, Tolong jangan pergi dariku apalagi sampai membenciku ketika kelak kau tahu betapa buruknya aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar