Ya Allah, terimakasih atas anugerah semangat yang baru disetiap subuh-subuhku. Meski aku sering berkhianat pada pagi-Mu, tapi syahdu subuh-Mu tiada pernah berkurang sedikitpun. Ajariku aku untuk terus bersyukur. aamiin.
“El, masa tadi aku mimpi disuruh nangkap hantu,” kata Rini
ketika kami bersiap untuk sholat Subuh.
“Hhaha. Bukankah Rini hantunya?”
“El tadi ngigau loh.”
“Macam mana ngigauku?”
“Waktu aku baru bangun, El ketawa sinis gituu. Terus, aku
mikir, ‘Ini El ngetawain aku atau gimana?’ Tapi mata El tertutup.”
“Dalam igauan pun aku tetap jahat ya rupanya Rin.”
“Iyaa. Seolah-oleh El tu nyindir aku, ‘Kasihan deh! Telat sahur
yaa?’ gituu.”
Usai sholat Subuh, sebelum berlanjut ke ngaji, aku bercerita
serius ke Rini…
“Rin, aku akui fikiranku ini memang sering nggak tahu waktu.
Tadi, waktu aku baru membuka mata, apa yang ku fikirkan coba?”
Dagu Rini terangkat. Tanda ingin tahunya.

“El emang selaalaap nyaa salah fokus.”
“Hhaha, jujur ya Rin, aku langsung drop kemarin. Aku udah
membayangkan hanya akan ada 2 kali jadwal ujian yang tersisa. Dan aku nggak
mungkin ujian cuma 2 kali kan? Pagi ini, aku tersadar bahwa aku masih bisa
berharap. Cobalah Rini bayangkan, masa aku berfikir untuk wisuda bulan Februari
demi supaya aku nggak rugi karena udah terlanjur bayar SPP? Alasan bodoh macam
apa itu cobak? Kalau bisa wisuda bulan Oktober, kenapa harus ditunda? Sedekahin
ajalah uang SPP yang tersisa itu, toh udah berapa juta juga uang kampus ini
yang ku pake kan? Memang benar, wisuda itu bisa kapan aja dan hanya seremonial
semata, tapi wisuda itu pengumuman loh kepada dunia bahwa kita udah sarjana. Biar
sempurna leganya hati orang tua kita.”
Rini menyipitkan mata dan ikut manggut-manggut.
“Kata Mario Teguh yang semalam ku tonton, ‘Biarlah orang lain tidak percaya kepada Mario, asal Mario jangan sampai tidak percaya kepada Mario.’ See? Simpel kan Rin? Kata Mario Teguh, percaya diri itu bukan tentang siapa yang berani tampil ke depan, siapa yang berani ngomong, siapa yang berani majuu, tapi orang yang percaya diri adalah orang yang mempercayai dirinya. Kalau sudah berjanji besok mau berbuat A, kok malah nggak dikerjakan? Kalau besok udah ada target untuk begini, kok dibatalkan? Itu namanya tidak mempercayai diri; tidak percaya bahwa dirinya akan berbuat sesuai janji. Orang tipe itu, mungkinkah dia bisa yakin untuk berkata, ‘SAYA AKAN MELAKUKANNYA!’ ? Tidak! Karena dirinya sendiri pun tidak percaya bahwa ia akan melakukannya. Gitu katanya Rin. Kereeeen banget kan!”
“Kata Mario Teguh yang semalam ku tonton, ‘Biarlah orang lain tidak percaya kepada Mario, asal Mario jangan sampai tidak percaya kepada Mario.’ See? Simpel kan Rin? Kata Mario Teguh, percaya diri itu bukan tentang siapa yang berani tampil ke depan, siapa yang berani ngomong, siapa yang berani majuu, tapi orang yang percaya diri adalah orang yang mempercayai dirinya. Kalau sudah berjanji besok mau berbuat A, kok malah nggak dikerjakan? Kalau besok udah ada target untuk begini, kok dibatalkan? Itu namanya tidak mempercayai diri; tidak percaya bahwa dirinya akan berbuat sesuai janji. Orang tipe itu, mungkinkah dia bisa yakin untuk berkata, ‘SAYA AKAN MELAKUKANNYA!’ ? Tidak! Karena dirinya sendiri pun tidak percaya bahwa ia akan melakukannya. Gitu katanya Rin. Kereeeen banget kan!”
“Heemmmmm…” kata Rini sambil manggut-manggut.
“So Rin, percayalah kepada diri kita!”
***
“Ahaaa! Aku pinjam
pashmina pink punya Rini ya? Cocok nih buat bajuku hari ini.”
“Yah, aku mau make ituu.”
“Hah? Mana nyambung dengan baju Rini ituuu loh. Apa nya?
Asli tabrak lari tuh Rin.”
“Alah, bilang aja biar El bisa makek kan?”
“Kok tahu? Itu sekaligus iya jugakk. Ehhe.”
“Udah hafal aku dengan kelicikan El tuuu dahh.”
Rini kebingungan mau pinjam flasdisk sama siapa. Reni udah
diBBM-in, tapi nggak juga balas. Flasdiskku ketinggalan di rumah pula, kalau
ada pasti udah ku pinjemin sama Rini. Hiksss.
“Ya udah, ngeprint-nya di tempat Abang yang kemarin aja Rin.
Dia kan punya flasdisk tuuh!”
“Ayooklah ke kampuus Elll. Katanya El mau ngurus surat bebas
ini-ituuu.”
“Oh iyaa ya. Bentar ya Rin, bentar.”
Tapi, bentarnya aku nggak sama dengan bentarnya Rini pemirsaaa.
Yang awalnya Rini bilang, ‘Nggak apa-apa, aku pun nggak buru-buru kok,”
akhirnya berubah jadi, “1 tahun kemudiann..” hahah… 2 pernyataan yang kontras
banget.
Okeehhh pemirsaa.. hari ini aku pakai kostum soft vintage.
Aku pakai kemeja pink, pakai semi dress yang bahannya semi jeans dan rok hitam.
Tak lupa juga, pashmina pink hasil rampasan perang dari Rini. Hehe. Sesekali,
kita perlu ganti gaya. Nah, ngomong-ngomong tentang ganti gaya, nggak harus
ribet kok. Pilih aja koleksi dari bajumu yang udah lama atau jaraaang banget
kita pake. Nah, coba mix and match deh. Kadang, perbedaan warna aja bisa
mempengaruhi penampilan kita loh apalagi kalau beda pakaiannya.
Sebelum sekarang bermunculan trend para cewek pakai cardigan
panjang, aku udah jauh hari pakai itu loh. Makanya, setelah itu kok aku ngerasa
style itu baru bermunculan. Am I the trendsetter? Hahaha. Yang aku pakai
kemarin sih bukan kardi, tapi dress tanpa lengan yang ternyata udah nggak muat
lagi ku pakai kalau dikancingkan. Ya udah, daripada aku makin Nampak seksi
(baca: Gendut, hehe) makanya semua kancingnya ku buka aja. Aku pakai terusan di
dalamnya dan taraaaammmm… jadi deh keren maksimal.. hee..
“Cantik pula jilbab El tuuu,” kata kak Dewi sambil memperhatikanku yang sedang manasin motor.
“Hhehe, makasih Kakak..” jawabku, salah tingkah. Seumur hidup
selama 3 tahun aku kos di sini, belum pernah sekalipun kak Dewi muji aku kayak
tadi. Sumprit dah! Memangnya secantik apakah diriku pemirsyaa? *PLAKKK*
“Cantik pula jilbab El tuuu,” kata kak Dewi sambil memperhatikanku yang sedang manasin motor.

“Haiii Memee… Daaa daaaa Memee..” kata Rini kepada adek
kecil di depan rumah. Rambutnya ikal, matanya sipit dan kulinya putih. Imut
sih, tapi aku nggak sukak.
“Apalah Rini niii. Biasa ajalah manggilnya.”
“El tuu yang biasa aja ngomongnya. Orang aku daa daaa sama
Memeee. El pasti nggak tahu kan nama Adek itu Memee?”
“Tau! Makanya aku nggak sukak.”
“Loh?”
“Kenapa sih Rin, kok selalu aja ada yang ngikut-ngikutin
namaku? Aku tahu namaku bagus, tapi nggak gitu-gitu jugakk Riin.”
“Loh? Orang namanya Melisaa kok!”
“Ya justru ituuu. Dulu pun, kawan mainku waktu kecil adiknya
dinamai Melisa. Apaan sih? Kok harus deket-deketan gitu namanya?"
“Kok El pula yang ngatuurr orang?”
“Aku sih nggak masalah kalau mereka itu nggak di dekatku. Tapi
ini? Tetanggaan pula. Males kali pun.”
“Ada gilak-gilak nyaa El ni.”
***
Hari jumat lalu, aku ingat aku tertidur di sini sendirian
lantaran ngantuk buanget. Hari ini, aku ke sini bareng Rini dan berfoto-foto
Ria sambil nungguin Rini ngetik. *kebalik bah! Dia sedang ngetik untuk jurnal
yang harus segera diunggahnya. Mendadak, dia dapat kabar pendaftaran Yudisium
paling lambat akhir Agustus ini. Segala sesuatunya jadi serba terburu-buru
untuk mengejarnya.
“Fotoo fotoo terusss Kaakk,” kata dek Agung, penjaga mushola
ini sambil ngeloyor pergi dan menghilang ntah ke mana..
“Apalah Adek nii! Marah pulak aku sama dia nantik!”
gerutuku, pelan.
“Apalah El nii. El tu yang ngapain…”
Aku terus melanjutkan kesibukan alay maksimalku sampai Rini
bilang, “Yuk, cabut kita!”
Kami bertolak ke tempat fokopian. Rini tinggal ngambil 4
bundel SKRIPSI yang tadi ditinggalkan untuk difoto kopi. Ada Tika, teman
sekamarku dulu rupanya, di sini. Dia terpancing olehku untuk menceritakan
lika-liku proses SKRIPSInya.
“Gimana mau ujian hasil? Baru dilihatnya coverku salah,
dicoretnya. Suruh ngulang lagi. Besok ku temui, yang lainnya lagi di coret, 1
kali dan menyuruhku mengulang. Besoknya, gitu lagi. Jadi, konsepnya tuh belum
duduk lagi El. Baru kulitnya aja yang sejak kemarin dikoreksi. Hemm… rezeki
orang ni emang beda-beda ya, temanku kemarin lancar aja waktu revisi karena
emang timingnya bagus. Huuuahhhh… ntah gimana lah nii. Kamu gimana Yank?”
“Aku belum lagi..proposal aja belum.”
“Seriusslaahhh!”
“Iyaaa..tanya tuh sama Rini kalau nggak percaya.”
“Ah, takutnya nanti awak tiba-tiba dapat undangan ya ya Kak
pas wisudanya.”
“Iya, tiba-tiba kita dapat SMS, teman-teman, datang yak e wisudaku gitu pulak kann? Hehe.”
“Aamiin ya Allah.. aamiiinn,” kataku. Selalu seperti itu. Ah, udah seharusnya aku bersyukur atas semuanya. Ternyata ada yang jauh lebih sulit dalam proses SKRIPSInya daripada aku. huft!
Setelah Tika pergi, Rini masih juga belum selesai dengan perfotokopiannya itu. Sambil nungguin Rini, aku nelvon mami papi dulu ah! Kebetulan ada TM.
Setelah Tika pergi, Rini masih juga belum selesai dengan perfotokopiannya itu. Sambil nungguin Rini, aku nelvon mami papi dulu ah! Kebetulan ada TM.
“…gula darah Papi udah dicek?”
“Aaaaa…tinggi!” kata Papi. Semangat, tapi putus asa.
“Masa iya Pi.”
“Iya, tadi jam 4 nge-checknya. Siapa tahu kan rendah karena belum
makan apapun sepagi itu. Ternyata 200 tingginya.”
“Nggak terlalu tinggi lah tuh Pi. Kalau udah makan berapa
tingginya?”
“Ahhh…ya melambung lah. Mungkin 300 lebih.”
“Duhh, gimana ya tuu caranya biar dia rendah Pi?”
“Yaahhh..dibiarin ajalah.”
Papi kok gitu sih
ngomongnya? Ya Allah, bantu kedua
orang tuaku untuk memiliki masa tua yang sehat dan sejahtera. Jauhkan kami
semua dari segala penyakit besar dan berbahaya..
Jujur, sedih banget rasanya setiap kali tahu kadar gula papi
melambung. Sedihnya pake banget.
***
Lobi PERPUSTAKAAN UR. Aku sedang nunggu selesainya surat
Bebas Pustaka nih. Sambil nunggu, aku telvon Atika ah! Ada satu hal yang aku
ragui…
“Assalamualaikum Atikaa..”
“Waalaikumsalam..ini siapa?”
Perasaan, tiap ku telvon selalu aja nanyain hal yang sama.
kagak disave apa ya nomorku?
“Elysa Tiik.”
“Oh Eliiiss. Maaf ya Lis kemarin nggak ada balas SMS,
soalnya nggak ada pulsa..hehe.”
“Iya nggak apa-apa. Tik, aku mau tanya, kita perlu ngurus
surat Bebas Pustaka Wilayah juga?”
“Perlu Lis.”
“Yakin?”
“Iya.”
“Emang ada ya di persyaratan?”
“Ada. Loh, Elis udah mau ngurus itu? Emangnya Elis udah
sampek mana?”
“Hhahah..belum sampek mana-mana. Cuma mastiin aja dulu
Tiikk.”
“Oke dehh.. Elis udah daftar ujian Proposal?”
“Belum.”
“Kenapa?”
“Karena Proposalnya belum selesai Tik.”
“Ohh gituu. Ya lah Liiss.”
“Thanks yaa.”
Bukan hanya Atika yang keheranan dengan prosedurku ini,
pengurus KOPMA pun heran juga tadi. Semuanya pada heran dan bertanya, ‘Emangnya
SKRIPSIku udah selesai?’ lalu ku tanya balik ke mereka ada apa memangnya dengan
prosedurku ini. “Kalau kami biasanya udah selesai kompre, barulah ngurusin yang
ini,” begitu jawabnya. Aku hanya bergumam, “Itu cara klasik. Yang kekinian itu
adalah apa yang bisa dikerjakan sekarang, ya sekarang aja dikerjakannya.” *sok
bijak dot kom.
Aku udah survey juga keleeess…. Surat-surat yang aku urus
ini kan berlakunya setengah tahun, ya nggak apa-apa kalau ku urus sejak
sekarang toh? Hihiii.. masa kadaluarsanya kan masih lama..
“Elysa Rizkaa….” Panggil petugas pustaka itu.
“Iya. Saya.”
“Ambil foto dulu ya. Lewat
situ ya..”
Ku masukkan laptopku ke dalam tas lalu ku jinjing menuju
tempat berfoto. Ah, aku tahu tempat itu. lagian udah sejak tadi ku pandangi
plakat bertuliskan ‘Tempat Foto’ itu.
SREEETTTT
Ku geser pintu berwarna hijau dan merah bermotif kotak-kota
besar itu.
“Eh, Dek,, bukan ke situ. Di sini tempatnya!” kata laki-laki
muda di sebelah petugas tadi. Laki-laki ini sudah siap dengan kamera DSLRnya.
“Oh di situ ya!” kataku.
“Itu kan toilet Dek. Emangnya Adek mau ke toilet? Ngapaiin?”
kata laki-laki muda tadi.
GLEKKK!
Sontak, aku terkekeh karena kekonyolanku sendiri. Bukan
hanya aku, mereka juga ikut terbahak. Saya jadi maluu pemirsaa. Kalau ada Rini
di sini, dia pasti udah ngetawain aku sambil bilang, “Owalah Ell! Bikin malu
aja El nii!.”
Setelah wajahku dijepret, aku kembali duduk di depan meja
registrasi (masih dengan menyimpan rasa malu tadi), hehe. Pengumuman bahwa
perpus akan segera tutup, menggema lagi ke seisi ruangan. Duh, udah ngerasa
kayak di ruang tunggu bandara aja.
“Ini udah selesai Elysa. Biayanya Rp 40.000 yaa.”
Segera ku serahkan uangnya dan berterimakasih.
“Selamat Kompreee,” ujarnya dengan ramah kepadaku.
“Terimakasih Pak,” balasku pula. di dalam hati sana, ya Allah, ini doa. Ini doa. Ini doa yang
baik untukku. Kabulkan ya Allah. Aamiin.
Setelah beranjak beberapa langkah, aku kembali memutar arah;
nyadar, kalau aku salah jalan. Heheh, kalau Rini ada di sini, dia pasti bilang ‘Owalah
El, lihat-lihatlah kalau jalan tuu!’ tapi untung aja dia nggak ada. Ehhe.
Sambil lewat, sekalian aku mau nanya sesuatu lagi, “Pak, mau
tanya nih. Surat ini sampai kapan ya masa berlakunya?”
“Nggak ada jangka waktunya Nak. Asal jangan hilang aja.
Kalau hilang, ya ngurus ulangnya kena biaya administrasi 2 kali lah.”
“Oke dehh. Makasih ya Pak.”
Cusss. Jemput Rini ke FISIP.
***
“Di mana Rin?”
“Masih di Biro. El ke FISIP lah.”
“Iya aku udah di parkiran loh ini pak de. Luh nggak sholat?”
“Duluan lah. Bentar lagi aku nyusul.”
Udah lama juga nggak ke mushola FISIP. Eh, nggak tahunya
jumpa kak Mona yang pipinya lembuuuuuut banget. Tembem tapi empuk kalau
dicubit. Kalau pipiku kan kata Rincuy keras dan berminyak. Haha. Mungkin, kalau
diibaratkan, itu kayak kue donat yang gagal ngembang ya?
“Eliss yang model itu kan?”
WHAT? Modelll? Aku tau aku keren, tapi nggak bukan model
juga pemirsaaa.
“Maksudnya Kak?”
“Ya yang kemarin ikut fashion show itu kan?”
Owalah, aku lupa kalau dulu aku pernah ikutan fashion show
gitu. hihii. Ah, masa lalu.
“Eh, besok kalau jumpa sama ***, bilang Kakak kirim salam ya
Liss.”
Ah, nama itu lagi. Kalau jumpa aja kan Kak? Kalau nggak
jumpa, berarti nggak mesti Elis sampaikan kan? Karena kayaknya kami nggak jumpa
lagi, kecuali takdir yang menjumpakan kami.
“Insya Allah Kak.”
“Ciyeee… inget si kawan itu lagi deh. Duuhh, cup cup cuppp. Nggak
bisa move on jadinya. Hehe,” ejek Rini.
Dari mushola, aku dan Rini bertolak ke Dekanat FISIP. Ada beberapa
hal yang harus diselesaikan Rini. Sambil menunggunya, aku melihat-lihat mading.
Mataku terpaut kepada 1 brosur yang tertempel di sana. Tertulis di sana sesuatu
yang AKUUU BANGEEEET, sesuatu yang selama ini aku tahu tapi selalu bukan
untukku. Sesuatu yang selama ini aku ingini, tapi selalu tak termiliki.
“Rin, lihattt ini!” pekikku kepada Rini.
Rini melihat dan ikut terpana, “Haaa apalagii? Ikutlah!”
“Yaahhh, udah lewat ternyata Rin. Lihatlah ini haa!”
“Yaahhhh…” Rini ikutan lemas seteleha dilihatnya tanggal 3
Agustus yang tertulis di sana.
Ide gilaku langsung berdesakan di kepala, tak tertahankan. Ku
ketikkan kontak person yang tertera di sana ke dalam HPku dan segera ku tekan
tombol Dial.
“…..oh, itu diperpanjang Mbak…”
Alhamdulillah!
“Gimana?” Rini mengodeku dari jauh. Aku mengangguk tanda
lega.
“Rin, Rini harus jadi gila kayak aku. Rini tahu kan beberapa
cerita lucky-ku gara-gara apa coba? Gara-gara aku berani nanya. Karena, kadang
yang terlihat itu belum tentu benar seperti itu adanya. Kayak tadi contohnya
waktu aku nanya ke bagian Akademis tentang jumlah mahasiswa aktif di Pekon
sampai saat ini ada berapa orang. Bapak tu nyuruh aku bikin surat permohonan dulu ke Pak
Dekan, repot banget kan? Aku nggak langsung bilang, ‘Oh gituu Pak. Baiklah Pak.’
Nggak! Ak berusaha melobinya dengan halus, ‘Sebenarnya saya cuma mau tahu
jumlahnya aja sih Pak. Misalnya, 300 orang, ya udah itu aja. Supaya saya tahu
berapa presentase sampel penelitian saya Pak.’ Eh, ternyata apa yang terjadi?
Bapak itu diam sesaat dan langsung bilang, ‘Yang aktif sampai sekarang itu jumlahnya
392 orang.’ See? Betapa jadi mudah kan segala sesuatunya Rin? Hanya bermodalkan
berani bertanya. Kadang, kita itu sering terlalu takut, padahal ada hak kita di
sana.”
“Iya sih El. Bener juga itu. Aku emang harus berani nanya. Kayak
tadi aja, hampir aku gagal daftar karena Kakak itu bilang udah tutup. Tapi aku
mohon keringanan, eh ternyata bisa. Emm….”
“Bener tuh Rin! Kayak dulu, aku pernah ngikutin lomba
nulis yang diadakan FLP Yogya padahal di
syaratnya udah jelas disebutkan Hanya
untuk masyarakat DIY Yogyakarta, tapi aku nggak mau langsung ‘iya’, ku
telvon langsung panitianya dan nanya apa aku bisa ikut sementara aku dari Riau?
mereka jawab apa coba? ‘Bisa aja sih Mbak, tapi resikonya kalau ternyata Mbak
menang, Mbak harus bersedia ke Yogya’ dalam hatiku saat itu YA MAUUUU BANGETLAHHHH!! Emang
sih aku nggak menang ternyata, tapi kan aku dapat pelajaran dari sana Rin.!”
“Hemmm..good, good.”
“Banyak lagi kegilaan lagin yang pernah ku lakukan dengan
modal nekat nanya tadi. Yang kata orang nggak mungkin, kataku masih mungkin.
Lia udah ketularan tuh!”
***
Hari ini, aku udah 2 kalim minum Cholocate Canger. Bener-bener
kecanduan dibuatnya. Kata Rini, mirip banget dengan minuman di BlackBall yang
kemarin, tapi ini bisa dinikmat dengan harga yang 3 kali lipat lebih murah. Karena
cokelat itu, aku nggak makan siang tadi. Lagian, segan juga sama Rini yang
masih puasa hari ini. Kami sepakat ingin merdeka dari hutang puasa sebelum
merdeka di tanggal 17 nanti. MERDEKAAA!!! *kencangkan ikat kepala. Hehe.
Malam ini kami makan berdua dengan nasi bungkus setelah
waktu berbuka puasa tiba.
“Rin, nggak abis coklatnya?” tanyaku kepada Rini yang baru
aja menyeruput Chocholate Canger. Hari ini, aku berniat nraktir Rini Chocolate Canger untuk buka puasanya, tapi uangnya
ngutang dulu sama Rini karena ternyata uangku udah habis. Hehe.
“Bikin judul blog El hari ini, ‘Aku nraktir Rini, tapi aku
utang dulu sama Rini’ yaaa? Hahah, pasti lucu,” saran Rini.
“Pede pulak aku tadi bilang mau nraktir Rini ya? Padahal
uang udah ludes. Hihiii.”
"Emang aneh El nii. Haaa..ceritakanlah itu di blog, biar semua orang tahu kejelekan El, jangan kejelekanku aja yang El ceritaiinn," sindiri Rini.
"Sering kok aku ceritain kejelekanku jugaak yaa.."
"Emang aneh El nii. Haaa..ceritakanlah itu di blog, biar semua orang tahu kejelekan El, jangan kejelekanku aja yang El ceritaiinn," sindiri Rini.
"Sering kok aku ceritain kejelekanku jugaak yaa.."
Menyambut senja dengan nonton film FULL HOUSE versi Thailand ahh! Mimpi semakin terbakar untuk menjadi penulis karena baru
nonton film FULL HOUSE yang Versi Thailand. Ceritanya si cewek cantik itu
penulis dia punya spot khusus di kamarnya untk nulis; sepasang meja dan kursi putih yang menghadap
ke kolam renang, hanya dibatasi oleh kaca bening. WOW! Aku teriak ke Rini
pengen punya ruangan untuk nulis kayak gitu. *Ah, kamu banyak berkhayal Bung.
“Rin, kira-kira aku jahat nggak ya kalau aku merahasiakan proses
itu dari mereka?”
“Enggg… nggak.”
“Nggak ya kan Rin? Karena, ada masanya aku menjadi lebih
bergairah dan bersemangat ketika orang lain nggak tahu kalau aku sedang
bekerja.”
“Arasssoohh.”
“Ehh Rin, siapaa Abang yang ganteng di Jurusanmu tadi?”
“Itulah dia yang nraktir aku sama Andin makan. Mie yang El
titip itu, dialah yang nraktir jugakk.”
“don’t-don’t, kami berjodoh. Karena, aku udah makan mie yang
ditraktirnya tapi aku baru ngelihatnya tadi. Hihii.”
“Selaalaapnya. Eh, Andin mau pindah kos ke Sudirman katanya.”
“Ngapain?”
“Ya, namanya tempat kerjanya di sana. Kasihan juga dia kalau
jauh-jauh ke Panam, kayak tadi malam dia pulangnya jam 12.”
Yaahhhh… satu per satu
dari kita memang akan saling meninggalkan satu sama lain.
“Emang kita ni udah sibuk masing-masing aja ya. Kemarin waktu
syukuran sama Adis, Andin nggak bisa datang karena kerja. Padahal masih di
Pekanbaru kan, tapi memang bener-bener nggak bisa dia datang. Hemm…bentar lagi
aku pula yang ninggalkan El.”
APPPAAAHHHH? *Sampek mucrat ludahnyaa. Hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar