Kamis, 20 Agustus 2015

Kewajiban tetaplah Kewajiban, Besar atau Kecil



“Rin, ternyata dengan menyelesaikan hal-hal kecil, kita bisa menjadi sangat lega dan bahagia. Tapi, meskipun menurut kita kecil, yang namanya kewajiban itu ya tetap kewajiban yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Dan, aku sangat lega banget udah melakukan 3 hal tadi.”
“Arasssooohh. Kalau kita tumpuk-tumpuk, justru hal-hal kecil itu jadi beban berat kan di fikiran.”
“Yuhuuu Riin.”
Aku baru saja menemui bu Tiko untuk menyerahkan sertifikat dan honor juri MAWAPRES kemarin. Aku juga udah selesai legalisir sertifikat PPL dan udah memfoto kopi persyaratan bebas Pustaka Wilayah. Yuhuuu… makanya, aku lega banget sekarang dan mungkin akan menjadi jauh lebih lega kalau aku semakin cepat menyelesaikan yang lainnya. Karena, dalam hukum KEWAJIBAN, sebenarnya semua KEWAJIBAN adalah KEWAJIBAN; nggak ada yang besar dan nggak ada yang kecil karena semuanya WAJIB  diselesaikan.
“Lah Rin, motor kita kenapa ini?”
“Habis minyak nggak El?”
Aku langsung mengegas motor ini dengan sisa minyak yang ada. Setidaknya, kalau memang mogok, motor ini udah sampai barrier gate. Jadi, bisa minta tolong sama satpamnya cariin minyak hehee…
“Yah, yah, yaaaaaaahhh,” GLEK, baru aja motor berhenti.
Langsung aja, tanpa menunggu pertolongan dari siapa-siapa, ku dorong motorku sejauh 20 meter menuju penjual bensin. Si satpam yang ku harapkan itu bahkan tidak menegur kami sama sekali. *Emang siapa kali gue harus ditegur sama mereka? #Ya kan setidaknya mereka nanya, ‘Kenapa motornya Dek?’ Ini nggak ada sama sekali. *Itu mah, ngarep dot kom namanya. Hihii
I same you same ya Rin bayarnya.”
“Ukeeehhh,” jawab Rini.

***
Kami sudah tiba di Puswil. Tanpa menitipkan tas, kami langsung naik ke lantai 2 untuk mengurus surat bebas pustaka.
“Adek pernah jadi anggota pustaka sini?”
“Nggak pernah Bang.”
“Fotokopi KTMnya bawa?”
“Bawa Bang. Ini dia.”
“Tulis keterangan ini ya di bawah foto kopi KTMnya.” Ada beberapa data diri yang  harus ku tulis manual
Hanya beberapa menit saja aku duduk, kartu bebas putakannya ternyata udah selesai. Cepat juga.
“Coba cek dulu, ada yang salah nggak?”
Ku perhatikan selembar kertas di tanganku itu dan sepertinya sudah sempurna.
“Sini, distempel dulu.”
“Berapa bayarnya ini Bang?”
“Seikhlasnya aja.”
Aku berbalik badan untuk mengambil uang di tas.
“Rin, kata Abang itu, bayar aja seikhlasnya. Berapa itu artinya ya Rin? Aku kasih Rp 5000 aja kali ya. Kan katanya seikhlasnya ya aku ikhlasnya ngasih Rp 5000. Hehe..”
Rini manggut-manggut.
“Eh, kurang seribu nih. Ada uang seribu Rin?”
“Ada. Kembalian bensin tadi.”

Ku serahkan 2 lembar uang Rp 2000 dan 1 recehan Rp 1000 kepada si abang.
“Heeemmm..nggak usah lah Dek kalau gitu.”
“Loh kenapa Bang?”
“Kasihan kali lihatnya.”
WHATTTT? Apa masalahnya sih dengan uang recehan begini Bang? Mirip pengemis, gitu maksudnya? Ini uang juga loh Bang. Tanpa Rp 5000 (sekalipun receh), uang 1 milyard itu nggak akan lengkap.
“Lagian nggak terlalu penting juga,” tambah abang tadi.
“Oh, ya udah deh. Makasih Bang,” jawabku sambil tetap tersenyum. Insting ‘tersinggung’ku sedang tidak aktif sepertinya. Aku merasa tetap enjoy dan nggak merasa marah sama sekali dengan abang itu. Hemmm.. tapi aku menyimpulkan bahwa ternyata orang Indonesia itu hobi banget meminta-minta ya? 

Kamu pasti pernah diminta membayar lebih kan padahal itu nggak ada aturannya. Nah, aku juga sering mengalaminya. Kadang, insting ‘Kritikus’ku sedang aktif, aku pengen banget nanya, ‘Ini biaya yang harus saya bayar memang ada aturannya ya Pak/Bu?’ Tapi, biasanya, sebelum aku melancarkan niatku itu, orang disebelahku sering membisikkan kata-kata teduh, ‘Udah lah El, itung-itung sedekah sama mereka. Itu uang tambahan gaji mereka, lagian kan mereka juga udah susah payah ngurusin ini itu buat kita.’
Sebenarnya, aku punya jawaban lebih lanjut untuk si kawan itu, ‘Ya mana bisa gitu donk, itu kan memang udah tugasnya mereka untuk melayani kita. Kalau mau sedekah, udah lain topik lagi tuh. Mungkin yang dipungutin per orang emang nggak besar, tapi kalau dikalikan 50 orang atau 100 orang? Lumayan juga hasilnya tuh. Kalau memang itu ada aturannya sih aku no problem. Yang dipertanyakan sekarang adalah tentang KEJUJURAN.’

Tapi, aku nggak pernah kesampean kok ngomong selepas itu. hehe. Andai aja bisa ya? Dan andai ada orang yang sependapat. Hemmm..perlu diadvokasi tuh kayaknya.
Aku dan Rini duduk di bilik sebelah kiri untuk online dan baca-baca Koran. Aku padahal pengen banget baca Riau Pos dan lihat kawanku yang mana lagikah yang terbit cerpen atau puisinya? Tapi, malah nggak ada Riau Posnya. Kebanyakan berita kriminal nih.
“Eh, El ternyata vocher wifi yang kita beli waktu di SKA kemarin masih berlaku sampai seminggu setelahnya.”
“Masa iyaa?!!!”
“Iya. Ini aku aja belum log-in, tapi bisa aktif loh. Malah kenceng banget download-nya. Yah, sayang kali lah, padahal aku baru aja beli vocher yang Rp 5000 lagi, nggak tahu kalau yang kemarin masih bisa dipake gini.”
“Masa iyaa sih?”
“Iya. Cobalah aktifkan laptop El.”
Tapi, setelah ku aktifkan dan log ini dengna berbagai cara licik, tetap aja nggak bisa. Wah, Rini ni bohong banget! Rini pun kehabisan cara untuk menolongku. Karena, dia pun nggak ngerti kenapa dia bisa online tanpa log in gitu.
“Mungkin, waktu Rini beli vocher tadi, udah otomatis
teraktivasi di laptop Rini nggak?”
“Masa iya? Orang aku belum log in kok.”
“Ya, mungkin sinyalnya pinter kan, bisa datang sendiri ke laptop pembelinya. Hehe.”

***
“Yuk sholat?” ajakku kepada Rini.
Rini memberi kode bahwa download-annya masih 3 menit lagi. Ia lalu mendekat kepadaku dengan memegangi laptop.
“Apa yang Rini download? Film nggak bener ya?”
“Suzana lohhh. Telaga Angker judulnya. Serem nih pasti.”
“Tumben berani nonton film hantu?”
“Ya kan  nontonnya rame-rame.. kalau sendirian mana berani aku.”
“Rame-rame? Emang sama siapa?”
“Ya sama El lah.”
“Kalau kita cuma berdua itu belum rame namanya Rin.”
“Kan El itungannya 2 orang. Eh, 3 malah. Jadi, kita berempat nanti nontonnya. Hehe.”
“Iyalaaah…iyaaa. Bububuyuu…”
“Haa..tambah lagi sama kucing-kucing kita, udah berapa coba? Dah rame kali tuh.”

Hari ini Rini kurang beruntung pemirsaaa… tiba-tiba film Suzana yang tadi tinggal 3 menit lagi selesai terdownload malah gagal total. Nggak tahu apa penyebabnya. Mungkin gara-gara Rini berpindah tempat ke dekat aku ya? *Hiksss… aciaan Rini.
Kami sholah di mushola Puswil dan di tempat wudhu ketemu sama Yuni. Tadi, waktu kami baru sampek Puswil, Rini udah bilang gini, ‘El, itu ada Yuni di situ.’ Tapi, aku cuma jawab, ‘Udah, biarin aja. aku lagi males negur orang.” Hehehe.. Maaf ya Yuun. Tapi, sekarang justru aku yang negur Yuni dan kepoin dia. Hihii. Emang ya, orang Sagitarius ini mudah banget berubah moodnya. Eh, bukan, bukan. Moody ini bukan dari Sagitarius sumbernya, tapi dari golongan darahku yang B.
“Elis gimana dengan perlombaan-perlombaanmu? Beneran nggak mau ikut lomba lagi?” tanya Yuni.
Perasaan, Yuni rajin banget nanyain yang satu ini sama aku. Sering. 

“Emmm…distop dulu Yun. Ntar dulu lah yang itu. hehee…”
Sekarang, mungkin aku berkata gitu, tapi bisa jadi besok bakal beda lagi ceritanya. Kalau ternyata ada perlombaan yang GUE banget, mungkin aku akan mati-matian berusaha bagi waktu untu mendapatkannya. Hihii. Rini pernah ngatain aku lebay karena menghubung-hubungkan setiap kejadian dengan sifat-sifat asliku berdasarkan Zodiak, golongan darah atau finger test. Aku sih cuma jawab gini, ‘Kita tuh harus kenal sama diri kita Rin. Contohnya aku nih, udah mulai faham dari mana asalnya sifat-sifatku. Jadi, kita nggak asing dengan diri kita sendiri.’

***
Setelah sholat Zuhur, aku dan Rini memilih untuk online di teras Puswil aja. Soalnya males naik-naik ke atas lagi. Ntah laptopnya Rini yang sedang mujur atau gimana, Rini mengaku sejak tadi dia bisa online dan download sekenceng-kencengnya tanpa log-in ke Wifi Id. Padahal itu udah jelas kalau mau wifian ya harus bayar dulu dengan potong pulsa kayak di SKA. Aku udah nyoba berbagai cara supaya laptopku tertular hoki, tapi tetap aja gagal. Ya udah deh, aku back to habbit aja; nulisin cerita sejak tadi pagi sampai sekarang ini.
“Rin, cowok yang pake jaket biru itu ganteng ya?” bisikku kepada Rini dengan bibir yang nyaris tidak bergerak. *Yang hobi bisik-bisik, pasti ngerti lah ya gimana gambarannya. Hehe.
“Iya,” jawab Rini sambil manggut-manggut.
“Kayak orang cina ya, sipit.”
Rini manggut-manggut lagi.
HPku berbunyii… ternyata Lia menelvon.
“…Cin, kebetulan mu sedang di Puswil, kita ada rapat dengan Bang Put jam 1 ini di Puswil. Tapi, aku mau ngerepotin mu dulu nih. Boleh nggak?”
“Boleh. Kenape rupanye?”
“Motorku kehabisan bensin pas banget waktu aku sampek di kantor pajak. Mu mau nggak nolong bawain bensin buat aku ke sini?”
“Mau donk. Kantor pajak itu di mana Cin?”
“Pas di depan Puswil.”
“Oke. Wait then.”

Aku ninggalin tasku bersama Rini. Hanya HP dan uang Rp 50.000 saja yang ku bawa. Eh, pas diparkiran aku baru nyadar kalau harus pakai tiket yang tadi untuk ke luar.
“Pak, mohon maaf sebelumnya nih. Saya kan mau nolongin temen yang kehabisan bensin, tapi tiketnya sedang sama teman saya yang di dalam. Ntar saya balik lagi ke sini kok Pak.”
“Oke. Nggak apa-apa. Kan nanti balik lagi.”
“Ya Pak, makasih ya Pak.”
Giliran berbingung ria nih nyari tempat jual bensin. Tentunya aku harus menghindari Sudirman dulu sebelum dapat bensin, karena susah Coooyyy nyari di Sudirman sini. Aku sampai masuk ke jalan A Yani barulah nemu tukang jual bensin. Untungnya si Abang ini baik dan percaya sama aku. Aku pun sengaja ninggalin uang Rp 50.000-ku untuk jaminan walaupun dia tidak memintanya. Aku menghargai kepercayaannya kepadaku dengan kepercayaan juga.
Cin, mu di mana? Aku udah di parkiran nih.
Tak lama, Lia nongol dari dalam kantor pajak. Aku ditugasinya untuk duduk di lobi sambil menunggu antrian sementara Lia sholat Zuhur. Kebetulan ada seplastik besar paket yang harus ku tungguin juga di dalam. Aku sempat nyasar ruangan tadi; harusnya ke bagian pelayanan umum, tapi aku malah masuk ke lobi utama. Hihiii.. kalau nggak nyasar, bukan Elysa ke mana-mana (sebutan namaku waktu aku masih kecil dulu, kata mami) namanya.

Suasananya mirip kayak di dalam ruang tunggu bank, tapi yang ini lebih tenang dan elegan. Pencahayaannya cenderung redup dengan pendar kekuningan dari bolamnya. Kalau di bank kan pasti terang banget ya sinar lampunya. Kalau ada laptop bersamaku, pasti aku udah mulai ngetik sejak pantatku nempel di bangku panjang ini. Tapi, cuma HP yang bersamaku sekarang.
Ku amati satu per satu banner seputar pajak di depanku; ada iklan, ada komitmen pemungut pajak, ada alur pemungutan. Lalu, mataku bergerak ke atas memandangi visi-misi dan maklumat pelayanan kantor pajak. Tertulis di sana, moto sebuah motto yang menurutku kepanjangan bangeeettt coy…
MOTO :
Melayani dengan cepat, mudah, sederhana, jelas, aman, adil, terpercaya, tepat waktu,
efisien, tuntas dan berkualitas.

Panjang banget kan? Ah, tapi mungkin juga memang begitu konsepnya. *Beda donk El dengan moto-moto acara mahasiswa di kampus. Hehee. Tapi, over all, keren lah. Semoga terlaksana sesuai motonya.
“Titip salam ya sama Bang Putt, Cinn.”
“Loh, mu nggak sempat nih ikutan?”
“Nggak kayaknya Cin, ini aja antriannya masih 30 an lagi dan setelah ini aku mau ketemu dosenku. Belum jadi-jadi jugak loh aku ketemu dosenku ituu. Hikss.”
“Ya udah deh, ntar ku salamin sama Bang Put.”
Sesampainya kembali di Puswil…
“Kok lama kaliii?” tanya Rini.
“Iya, aku begituan dulu tadi.”
“Ohhh…”
“Rin, kok sakit kali kepalaku ya di bagian belakang. Pengen bersandar aku.”
“Bawalah tidur dulu haa.” Rini memberikan space buatku di antara pilar  teras ini dengan dirinya.
Dengan posisi duduk, aku segera memejamkan mataku. Ntar kalau bang Put udah di sini, dia pasti bakal nelvon. Gumamku dalam hati.

***
“Eh, Bang Puuuttt?” pekikku seketika, padahal baru aja membuka mata. Ternyata bang Put sejak tadi udah di sini, mungkin tak lama setelah aku tertidur. Tapi, dia nggak nyadar kalau yang sedang molor di sini adalah aku. Hehe.
Sambil menunggu teman-teman yang lain, kami saling bercerita tentang pengalaman nerbitin buku. Aku dapat informasi yang great banget darinya dan bang Put juga dapat info berharga dariku. *Yakin berharga? Yakin aja deh, ciin. Hehe.
Aku bersyukur banget selalu dipercaya oleh bang Put untuk menjadi bagian dari acara-acara besarnya. Aku yakin, bersaudara dengan orang-orang besar itu adalah 50% dari perjalanan menuju sukses. Lagi-lagi benar kata Rosulullah, bahwa silaturahmi itu memperluas segala sesuatunya; mau itu rezeki, kesehatan, jodoh, kebahagian etc deh.

Dan…. Setelah menunggu sekitar 1 jam, yang datang hanyalah dek Aldi. Okeh eperibadeh, kita rapatnya ber-empat aja. *loh 1 lagi siapa? 1 lagi adalah Rincuy, karena dia ku rekrut jadi LO. Yuhuuuu. Yang kami bahas kali ini adalah how to get participant as many as possible. Soalnya udah H-30 nih dan yang daftar pun belum mencapai 100 orang. Padahal targetnya adalah 300 orang. hikss..
“Kak Eliss, Aldi waktu itu pernah mimpi tentang Kakak loh,” kata dek Aldi di sela-sela rapat.
“Hah? Mimpi apaan Dek?” *jangan bilang mimpi Kakak merid sama Sahk rukhan ya. Hehe
“Mimpi kalau Kakak banyak membantu dalam acara ini.”
“Oh, Alhamdulillah kalau itu mimpinya.”
“Tapi, waktu di hari H Kakak malah nggak ada.”
“Nah, Loh? Kok bisa ya?” apa aku sudah menghadap-Mu saat itu ya Allah *ketinggian imajinasinya. Hehe.
“Kalau Kak Elisnya nggak bisa datang, berarti dia sedang dipanggil sama dosennya tuh, buat bimbingan!” tebak bang Put.
“Hahhaha..bener-bener tuh Bang,” sambutku.
Setelah azan Ashar berkumandang, mereka pamit duluan. Sedangkan aku dan Rini masih belum tahu ke mana tujuan hidup kami berikutnya. Hiksss..
“El, orang dua itu mirip ya?”
“Nah, itu dia yang pertama kali Lia bilang waktu kami kenalan sama Adek itu Rin. Eh, rupanya sekarang beneran dia jadi asistennya Bang Put. Hehe.”
“Itulah. Kayak Abang sama Adeknya ya jadinya.”

***
“El, cowok itu lagi,” ujar Rini sambil melihat ke arah cowok yang dimaksud.
“Ih, iya Rin.. Subhanallah, ternyata dia rajin sholat.”
Rini ke luar duluan dari mushola untuk memasang sepatu. Sementara aku masih di dalam untuk melipat mukena.
“Rin, I have took his picture Rin.”
“Gatal.”
“Eh, dia jadi imam loh Rin. Awalnya, dia nolak, tapi tetap dipaksa sama Abang di sebelahnya. ‘Allahuakbar’ gitu katanya tadi Rin waktu takbirrr, ya Allah adem banget dengernya. Cowo sekeren dia sesholeh itu. amiinn, semoga selalu sholeh ya dia.”
“Buatlah..buaaat.”
“Eh, Rini nggak ada kerjaan kan? Tolong fotoin aku dulu ya. Aku belum ada koleksi foto hari ini.”
Pas di pertengahan perfotoan, ada 1 cowok yang sedang nelvon dan ku fikir dia hanya numpang lewat, eh tapi ternyata dia juga numpang difotoin. Idiiihhh, ada yang lebih narsis lagi ternyata.
“Rin, kalau Abang ganteng tadi duduk lagia di teras Puswil setelah dia sholat Ashar, berarti aku berjodoh sama dia.”

“Apalah El nii? Nantik beneran jodoh baru tahu rasa.”
“Ya kan maksudnya berjodoh untuk sama-sama duduk di teras loh! hehe. Eh, dari punggungnya aja udah kelihatan kalau dia ganteng orangnya Rin. hihii, kayak kata si Bella ke Zong Wen di film Assalamualaikum Beijing."
"Lebay El nii.."
"Eh, Rini nggak ada kerjaan kan? Nih fotoin aku lagi.” Aku menyerahkan kamera kepada Rini dan memintanya memfotoku dengan gaya pura-pura sedang ngetik. Hihiii.
“Apa pula nggak ada kerjaan El bilang. Udah jelas aku sedang download ni haaa.”
“Alah, download kan urusan duniawi nyaaa.”
*LOHHH? Jadi, foto-foto ini urusan apa El? hihiii.
“Eh, aku download video Mario Teguh yang judulnya; Aku tuh nggak bisa diginiin. Uh, El kali lah tuhh. Terus, 1 lagi; Tanda-tanda jodoh. Cocok banget buat si Kakak itu dan El yang sedang galau. Hihiii.”
“Oh, jadi Rini sedang nyindir aku nih?”
“Iya donk. Hehe.”
“Dek, Dek, Dek perpusnya mau ditutup lagi yaaa..” seorang laki-laki bermotor itu menyambangi kami yang duduk bergerombol-gerombol di teras perpus. Aku dan Rini beranjak dan segera melaju menuju kos terindah.

***
"Hemmm...hilang semangatku ngelihat kamar ini dah," kata Rini ketika kami baru pulang.
"Tulah, kenapa nggak Rini bereskan kamar kita tadi sebelum pergii?"
"El lah, kenapa nggak El bereskan? Eh, kemarin kan aku baca bahwa Aries itu paling nggak suka kalau disalahkan. Makanya kan aku sering nyolot kalau El salah-salahin." 
"Hhahah...iya ya? bener tuh. Aries lambangnya apa? Badak ya?"
"Enak aja Badak. Kambing ya!"
"Owalah, kambiiing...kambiingg. hehe."
Malam ini, aku menikmati dan merenungi nasehat-nasehat Mario Teguh dari Rini.
Ceeeekkk..Novi udah baca. Suka banget dengan kalimat ini; Mencintai diam-diam, melupakan diam-diam. hhee.
Ah, macakk Ciin? Heheh. Baguslah Cek. Intinya
dapet banget nggak Cek?”
Yuhuuuu…dapat banget Cek, kalau Abang itu baca seharusnya dia pahamlah. Abang tu tahu blog Kakak kan? Secara nggak langsung,
kakak kan banyak cerita di situ.
Tahu Cek, tapi kayaknya dia nggak tahu kalau
isinya adalah diary kakak.
Ah, masa iya nggak tahu Cek? Padahal di Fb kakak kan sering nge share blog juga. Tapi, Novi nggak habis fikir kakak kok selalu bisa detail ngerekam tiap percakapan dalam potingan kakak dari yang kecil sampai yang besar...[
Oh… kalau yang itu, Kakak pernah tes di STIFIN dan ternyata
kekuatan kakak itu di telinga cek.
Aku kembali fokus ke Mario Teguh sementara Rini tetap fokus ke reality shownya yang nggak jelas itu. Setiap kali ada kata-kata Mario yang berkesan aku langsung mengomentarinya untuk Rini.
“Tuh Riiin, denger, kata Mario Teguh, kalau belum mampu menikah lebih baik memampukan diri dulu, bahagiakan orang tua. Tu lah, mau nikah cepat-cepat jugakk!”
“Ih, udah dia yang mau nikah cepat.”
Hening. Aku kembali fokus.

“Rin, kata Mario Teguh, tanda-tanda dia nggak serius sama kita adalah ketika dia nggak ngasih kepastian kapan mau memastikan hubungan (menikah). Sebenarnya Kakak itu sama kasusnya dengan kebanyakan laki-laki yang belum siap berkomitmen, Rin. Tapi, bedanya Kakak ini adalah karena dia membalikkan keadaan; dia meminta kepastianku dengan dalih itu sebagai bukti niatnya untuk serius melamarku nanti dan nggak pengen pacaran. Tapi, seriusnya dia dengan seriusnya aku ternyata nggak 1 pengertian Rin. Serius tapi kok pake nanti, yang parahnya malah dari target 3 tahun melebar jadi 5 tahun. Apa-apakah itu coba? Bukankah bukti komitmen itu adalah menikah? Lihat, sebenarnya dia sama aja dengan orang belum siap komit, tapi dia sok-sok memastikan diri untuk komit. Padahal, nggak ada kepastian selain ketidakpastian itu sendiri.”
“Hemmm… arassoooh.”

Tidak ada komentar: