“Rin, ternyata dengan menyelesaikan hal-hal kecil, kita bisa
menjadi sangat lega dan bahagia. Tapi, meskipun menurut kita kecil, yang
namanya kewajiban itu ya tetap kewajiban yang harus sesegera mungkin
diselesaikan. Dan, aku sangat lega banget udah melakukan 3 hal tadi.”
“Arasssooohh. Kalau kita tumpuk-tumpuk, justru hal-hal kecil
itu jadi beban berat kan di fikiran.”
“Yuhuuu Riin.”
Aku baru saja menemui bu Tiko untuk menyerahkan sertifikat
dan honor juri MAWAPRES kemarin. Aku juga udah selesai legalisir sertifikat PPL
dan udah memfoto kopi persyaratan bebas Pustaka Wilayah. Yuhuuu… makanya, aku
lega banget sekarang dan mungkin akan menjadi jauh lebih lega kalau aku semakin
cepat menyelesaikan yang lainnya. Karena, dalam hukum KEWAJIBAN, sebenarnya
semua KEWAJIBAN adalah KEWAJIBAN; nggak ada yang besar dan nggak ada yang kecil
karena semuanya WAJIB diselesaikan.
“Lah Rin, motor kita kenapa ini?”
“Habis minyak nggak El?”
Aku langsung mengegas motor ini dengan sisa minyak yang ada.
Setidaknya, kalau memang mogok, motor ini udah sampai barrier gate. Jadi, bisa
minta tolong sama satpamnya cariin minyak hehee…
“Yah, yah, yaaaaaaahhh,” GLEK, baru aja motor berhenti.
Langsung aja, tanpa menunggu pertolongan dari siapa-siapa,
ku dorong motorku sejauh 20 meter menuju penjual bensin. Si satpam yang ku
harapkan itu bahkan tidak menegur kami sama sekali. *Emang siapa kali gue harus
ditegur sama mereka? #Ya kan setidaknya mereka nanya, ‘Kenapa motornya Dek?’
Ini nggak ada sama sekali. *Itu mah, ngarep dot kom namanya. Hihii
“I same you same
ya Rin bayarnya.”
“Ukeeehhh,” jawab Rini.
***
Kami sudah tiba di Puswil. Tanpa menitipkan tas, kami
langsung naik ke lantai 2 untuk mengurus surat bebas pustaka.
“Adek pernah jadi anggota pustaka sini?”
“Nggak pernah Bang.”
“Fotokopi KTMnya bawa?”
“Bawa Bang. Ini dia.”
“Tulis keterangan ini ya di bawah foto kopi KTMnya.” Ada beberapa
data diri yang harus ku tulis manual
Hanya beberapa menit saja aku duduk, kartu bebas putakannya
ternyata udah selesai. Cepat juga.
“Coba cek dulu, ada yang salah nggak?”
Ku perhatikan selembar kertas di tanganku itu dan sepertinya
sudah sempurna.
“Sini, distempel dulu.”
“Berapa bayarnya ini Bang?”
“Seikhlasnya aja.”
Aku berbalik badan untuk mengambil uang di tas.
“Rin, kata Abang itu, bayar aja seikhlasnya. Berapa itu
artinya ya Rin? Aku kasih Rp 5000 aja kali ya. Kan katanya seikhlasnya ya aku
ikhlasnya ngasih Rp 5000. Hehe..”
Rini manggut-manggut.
“Eh, kurang seribu nih. Ada uang seribu Rin?”
“Ada. Kembalian bensin tadi.”
Ku serahkan 2 lembar uang Rp 2000 dan 1 recehan Rp 1000
kepada si abang.
“Heeemmm..nggak usah lah Dek kalau gitu.”
“Loh kenapa Bang?”
“Kasihan kali lihatnya.”
WHATTTT? Apa masalahnya
sih dengan uang recehan begini Bang? Mirip pengemis, gitu maksudnya? Ini uang
juga loh Bang. Tanpa Rp 5000 (sekalipun receh), uang 1 milyard itu nggak akan
lengkap.
“Lagian nggak terlalu penting juga,” tambah abang tadi.
“Oh, ya udah deh. Makasih Bang,” jawabku sambil tetap
tersenyum. Insting ‘tersinggung’ku sedang tidak aktif sepertinya. Aku merasa
tetap enjoy dan nggak merasa marah sama sekali dengan abang itu. Hemmm.. tapi
aku menyimpulkan bahwa ternyata orang Indonesia itu hobi banget meminta-minta
ya?
Kamu pasti pernah diminta membayar lebih kan padahal itu
nggak ada aturannya. Nah, aku juga sering mengalaminya. Kadang, insting ‘Kritikus’ku
sedang aktif, aku pengen banget nanya, ‘Ini biaya yang harus saya bayar memang
ada aturannya ya Pak/Bu?’ Tapi, biasanya, sebelum aku melancarkan niatku itu,
orang disebelahku sering membisikkan kata-kata teduh, ‘Udah lah El, itung-itung
sedekah sama mereka. Itu uang tambahan gaji mereka, lagian kan mereka juga udah
susah payah ngurusin ini itu buat kita.’
Sebenarnya, aku punya jawaban lebih lanjut untuk si kawan
itu, ‘Ya mana bisa gitu donk, itu kan memang udah tugasnya mereka untuk
melayani kita. Kalau mau sedekah, udah lain topik lagi tuh. Mungkin yang
dipungutin per orang emang nggak besar, tapi kalau dikalikan 50 orang atau 100
orang? Lumayan juga hasilnya tuh. Kalau memang itu ada aturannya sih aku no
problem. Yang dipertanyakan sekarang adalah tentang KEJUJURAN.’
Tapi, aku nggak pernah kesampean kok ngomong selepas itu.
hehe. Andai aja bisa ya? Dan andai ada orang yang sependapat. Hemmm..perlu
diadvokasi tuh kayaknya.
Aku dan Rini duduk di bilik sebelah kiri untuk online dan
baca-baca Koran. Aku padahal pengen banget baca Riau Pos dan lihat kawanku yang
mana lagikah yang terbit cerpen atau puisinya? Tapi, malah nggak ada Riau
Posnya. Kebanyakan berita kriminal nih.
“Eh, El ternyata vocher wifi yang kita beli waktu di SKA
kemarin masih berlaku sampai seminggu setelahnya.”
“Masa iyaa?!!!”
“Iya. Ini aku aja belum log-in, tapi bisa aktif loh. Malah kenceng
banget download-nya. Yah, sayang kali lah, padahal aku baru aja beli vocher
yang Rp 5000 lagi, nggak tahu kalau yang kemarin masih bisa dipake gini.”
“Masa iyaa sih?”
“Iya. Cobalah aktifkan laptop El.”
Tapi, setelah ku aktifkan dan log ini dengna berbagai cara
licik, tetap aja nggak bisa. Wah, Rini ni bohong banget! Rini pun kehabisan
cara untuk menolongku. Karena, dia pun nggak ngerti kenapa dia bisa online
tanpa log in gitu.
teraktivasi di laptop Rini nggak?”
“Masa iya? Orang aku belum log in kok.”
“Ya, mungkin sinyalnya pinter kan, bisa datang sendiri ke
laptop pembelinya. Hehe.”
***
“Yuk sholat?” ajakku kepada Rini.
Rini memberi kode bahwa download-annya masih 3 menit lagi.
Ia lalu mendekat kepadaku dengan memegangi laptop.
“Apa yang Rini download? Film nggak bener ya?”
“Suzana lohhh. Telaga Angker judulnya. Serem nih pasti.”
“Tumben berani nonton film hantu?”
“Ya kan nontonnya
rame-rame.. kalau sendirian mana berani aku.”
“Rame-rame? Emang sama siapa?”
“Ya sama El lah.”
“Kalau kita cuma berdua itu belum rame namanya Rin.”
“Kan El itungannya 2 orang. Eh, 3 malah. Jadi, kita berempat
nanti nontonnya. Hehe.”
“Iyalaaah…iyaaa. Bububuyuu…”
“Haa..tambah lagi sama kucing-kucing kita, udah berapa coba?
Dah rame kali tuh.”
Hari ini Rini kurang beruntung pemirsaaa… tiba-tiba film
Suzana yang tadi tinggal 3 menit lagi selesai terdownload malah gagal total.
Nggak tahu apa penyebabnya. Mungkin gara-gara Rini berpindah tempat ke dekat
aku ya? *Hiksss… aciaan Rini.
Kami sholah di mushola Puswil dan di tempat wudhu ketemu
sama Yuni. Tadi, waktu kami baru sampek Puswil, Rini udah bilang gini, ‘El, itu
ada Yuni di situ.’ Tapi, aku cuma jawab, ‘Udah, biarin aja. aku lagi males
negur orang.” Hehehe.. Maaf ya Yuun. Tapi, sekarang justru aku yang negur Yuni
dan kepoin dia. Hihii. Emang ya, orang Sagitarius ini mudah banget berubah
moodnya. Eh, bukan, bukan. Moody ini bukan dari Sagitarius sumbernya, tapi dari
golongan darahku yang B.
“Elis gimana dengan perlombaan-perlombaanmu? Beneran nggak
mau ikut lomba lagi?” tanya Yuni.
Perasaan, Yuni rajin banget nanyain yang satu ini sama aku. Sering.
“Emmm…distop dulu Yun. Ntar dulu lah yang itu. hehee…”
Sekarang, mungkin aku berkata gitu, tapi bisa jadi besok
bakal beda lagi ceritanya. Kalau ternyata ada perlombaan yang GUE banget,
mungkin aku akan mati-matian berusaha bagi waktu untu mendapatkannya. Hihii. Rini
pernah ngatain aku lebay karena menghubung-hubungkan setiap kejadian dengan
sifat-sifat asliku berdasarkan Zodiak, golongan darah atau finger test. Aku sih
cuma jawab gini, ‘Kita tuh harus kenal sama diri kita Rin. Contohnya aku nih,
udah mulai faham dari mana asalnya sifat-sifatku. Jadi, kita nggak asing dengan
diri kita sendiri.’
***
Setelah sholat Zuhur, aku dan Rini memilih untuk online di
teras Puswil aja. Soalnya males naik-naik ke atas lagi. Ntah laptopnya Rini
yang sedang mujur atau gimana, Rini mengaku sejak tadi dia bisa online dan
download sekenceng-kencengnya tanpa log-in ke Wifi Id. Padahal itu udah jelas
kalau mau wifian ya harus bayar dulu dengan potong pulsa kayak di SKA. Aku udah
nyoba berbagai cara supaya laptopku tertular hoki, tapi tetap aja gagal. Ya
udah deh, aku back to habbit aja; nulisin cerita sejak tadi pagi sampai
sekarang ini.
“Rin, cowok yang pake jaket biru itu ganteng ya?” bisikku
kepada Rini dengan bibir yang nyaris tidak bergerak. *Yang hobi bisik-bisik,
pasti ngerti lah ya gimana gambarannya. Hehe.
“Iya,” jawab Rini sambil manggut-manggut.
“Kayak orang cina ya, sipit.”
Rini manggut-manggut lagi.
HPku berbunyii… ternyata Lia menelvon.
“…Cin, kebetulan mu sedang di Puswil, kita ada rapat dengan
Bang Put jam 1 ini di Puswil. Tapi, aku mau ngerepotin mu dulu nih. Boleh
nggak?”
“Boleh. Kenape rupanye?”
“Motorku kehabisan bensin pas banget waktu aku sampek di
kantor pajak. Mu mau nggak nolong bawain bensin buat aku ke sini?”
“Mau donk. Kantor pajak itu di mana Cin?”
“Oke. Wait then.”
Aku ninggalin tasku bersama Rini. Hanya HP dan uang Rp
50.000 saja yang ku bawa. Eh, pas diparkiran aku baru nyadar kalau harus pakai
tiket yang tadi untuk ke luar.
“Pak, mohon maaf sebelumnya nih. Saya kan mau nolongin temen
yang kehabisan bensin, tapi tiketnya sedang sama teman saya yang di dalam. Ntar
saya balik lagi ke sini kok Pak.”
“Oke. Nggak apa-apa. Kan nanti balik lagi.”
“Ya Pak, makasih ya Pak.”
Giliran berbingung ria nih nyari tempat jual bensin.
Tentunya aku harus menghindari Sudirman dulu sebelum dapat bensin, karena susah
Coooyyy nyari di Sudirman sini. Aku sampai masuk ke jalan A Yani barulah nemu
tukang jual bensin. Untungnya si Abang ini baik dan percaya sama aku. Aku pun
sengaja ninggalin uang Rp 50.000-ku untuk jaminan walaupun dia tidak
memintanya. Aku menghargai
kepercayaannya kepadaku dengan kepercayaan juga.
Cin, mu di mana? Aku udah di parkiran nih.
Tak lama, Lia nongol dari dalam kantor pajak. Aku
ditugasinya untuk duduk di lobi sambil menunggu antrian sementara Lia sholat
Zuhur. Kebetulan ada seplastik besar paket yang harus ku tungguin juga di
dalam. Aku sempat nyasar ruangan tadi; harusnya ke bagian pelayanan umum, tapi
aku malah masuk ke lobi utama. Hihiii.. kalau nggak nyasar, bukan Elysa ke
mana-mana (sebutan namaku waktu aku masih kecil dulu, kata mami) namanya.
Suasananya mirip kayak di dalam ruang tunggu bank, tapi yang
ini lebih tenang dan elegan. Pencahayaannya cenderung redup dengan pendar
kekuningan dari bolamnya. Kalau di bank kan pasti terang banget ya sinar
lampunya. Kalau ada laptop bersamaku, pasti aku udah mulai ngetik sejak
pantatku nempel di bangku panjang ini. Tapi, cuma HP yang bersamaku sekarang.
Ku amati satu per satu banner seputar pajak di depanku; ada
iklan, ada komitmen pemungut pajak, ada alur pemungutan. Lalu, mataku bergerak
ke atas memandangi visi-misi dan maklumat pelayanan kantor pajak. Tertulis di
sana, moto sebuah motto yang menurutku kepanjangan bangeeettt coy…
MOTO :
Melayani dengan cepat,
mudah, sederhana, jelas, aman, adil, terpercaya, tepat waktu,
efisien, tuntas dan
berkualitas.
Panjang banget kan? Ah, tapi mungkin juga memang begitu
konsepnya. *Beda donk El dengan moto-moto acara mahasiswa di kampus. Hehee.
Tapi, over all, keren lah. Semoga terlaksana sesuai motonya.
“Titip salam ya sama Bang Putt, Cinn.”
“Loh, mu nggak sempat nih ikutan?”
“Nggak kayaknya Cin, ini aja antriannya masih 30 an lagi dan
setelah ini aku mau ketemu dosenku. Belum jadi-jadi jugak loh aku ketemu
dosenku ituu. Hikss.”
“Ya udah deh, ntar ku salamin sama Bang Put.”
Sesampainya kembali di Puswil…
“Kok lama kaliii?” tanya Rini.
“Iya, aku begituan dulu tadi.”
“Ohhh…”
“Rin, kok sakit kali kepalaku ya di bagian belakang. Pengen
bersandar aku.”
“Bawalah tidur dulu haa.” Rini memberikan space buatku di
antara pilar teras ini dengan dirinya.
Dengan posisi duduk, aku segera memejamkan mataku. Ntar kalau bang Put udah di sini, dia pasti
bakal nelvon. Gumamku dalam hati.
***
“Eh, Bang Puuuttt?” pekikku seketika, padahal baru aja
membuka mata. Ternyata bang Put sejak tadi udah di sini, mungkin tak lama
setelah aku tertidur. Tapi, dia nggak nyadar kalau yang sedang molor di sini
adalah aku. Hehe.
Sambil menunggu teman-teman yang lain, kami saling bercerita
tentang pengalaman nerbitin buku. Aku dapat informasi yang great banget darinya
dan bang Put juga dapat info berharga dariku. *Yakin berharga? Yakin aja deh,
ciin. Hehe.
Aku bersyukur banget selalu dipercaya oleh bang Put untuk
menjadi bagian dari acara-acara besarnya. Aku yakin, bersaudara dengan
orang-orang besar itu adalah 50% dari perjalanan menuju sukses. Lagi-lagi benar
kata Rosulullah, bahwa silaturahmi itu memperluas segala sesuatunya; mau itu
rezeki, kesehatan, jodoh, kebahagian etc deh.
Dan…. Setelah menunggu sekitar 1 jam, yang datang hanyalah
dek Aldi. Okeh eperibadeh, kita rapatnya ber-empat aja. *loh 1 lagi siapa? 1
lagi adalah Rincuy, karena dia ku rekrut jadi LO. Yuhuuuu. Yang kami bahas kali
ini adalah how to get participant as many as possible. Soalnya udah H-30 nih
dan yang daftar pun belum mencapai 100 orang. Padahal targetnya adalah 300
orang. hikss..
“Kak Eliss, Aldi waktu itu pernah mimpi tentang Kakak loh,”
kata dek Aldi di sela-sela rapat.
“Hah? Mimpi apaan Dek?” *jangan bilang mimpi Kakak merid
sama Sahk rukhan ya. Hehe
“Mimpi kalau Kakak banyak membantu dalam acara ini.”
“Oh, Alhamdulillah kalau itu mimpinya.”
“Tapi, waktu di hari H Kakak malah nggak ada.”
“Nah, Loh? Kok bisa ya?” apa aku sudah menghadap-Mu saat itu
ya Allah *ketinggian imajinasinya. Hehe.
“Kalau Kak Elisnya nggak bisa datang, berarti dia sedang
dipanggil sama dosennya tuh, buat bimbingan!” tebak bang Put.
“Hahhaha..bener-bener tuh Bang,” sambutku.
Setelah azan Ashar berkumandang, mereka pamit duluan.
Sedangkan aku dan Rini masih belum tahu ke mana tujuan hidup kami berikutnya.
Hiksss..
“El, orang dua itu mirip ya?”
“Nah, itu dia yang pertama kali Lia bilang waktu kami
kenalan sama Adek itu Rin. Eh, rupanya sekarang beneran dia jadi asistennya
Bang Put. Hehe.”
“Itulah. Kayak Abang sama Adeknya ya jadinya.”
***
“El, cowok itu lagi,” ujar Rini sambil melihat ke arah cowok
yang dimaksud.
“Ih, iya Rin.. Subhanallah, ternyata dia rajin sholat.”
Rini ke luar duluan dari mushola untuk memasang sepatu. Sementara
aku masih di dalam untuk melipat mukena.
“Rin, I have took his picture Rin.”
“Gatal.”
“Eh, dia jadi imam loh Rin. Awalnya, dia nolak, tapi tetap
dipaksa sama Abang di sebelahnya. ‘Allahuakbar’ gitu katanya tadi Rin waktu
takbirrr, ya Allah adem banget dengernya. Cowo sekeren dia sesholeh itu. amiinn,
semoga selalu sholeh ya dia.”
“Buatlah..buaaat.”
“Eh, Rini nggak ada kerjaan kan? Tolong fotoin aku dulu ya. Aku
belum ada koleksi foto hari ini.”
Pas di pertengahan perfotoan, ada 1 cowok yang sedang nelvon
dan ku fikir dia hanya numpang lewat, eh tapi ternyata dia juga numpang
difotoin. Idiiihhh, ada yang lebih narsis lagi ternyata.
“Rin, kalau Abang ganteng tadi duduk lagia di teras Puswil
setelah dia sholat Ashar, berarti aku berjodoh sama dia.”
“Apalah El nii? Nantik beneran jodoh baru tahu rasa.”
“Ya kan maksudnya berjodoh untuk sama-sama duduk di teras
loh! hehe. Eh, dari punggungnya aja udah kelihatan kalau dia ganteng orangnya Rin. hihii, kayak kata si Bella ke Zong Wen di film Assalamualaikum Beijing."
"Lebay El nii.."
"Eh, Rini nggak ada kerjaan kan? Nih fotoin aku lagi.” Aku
menyerahkan kamera kepada Rini dan memintanya memfotoku dengan gaya pura-pura
sedang ngetik. Hihiii.
“Apa pula nggak ada kerjaan El bilang. Udah jelas aku sedang
download ni haaa.”
“Alah, download kan urusan duniawi nyaaa.”
*LOHHH? Jadi, foto-foto ini urusan apa El? hihiii.
“Eh, aku download video Mario Teguh yang judulnya; Aku tuh nggak bisa diginiin. Uh, El kali
lah tuhh. Terus, 1 lagi; Tanda-tanda jodoh. Cocok banget buat si Kakak itu dan
El yang sedang galau. Hihiii.”
“Oh, jadi Rini sedang nyindir aku nih?”
“Iya donk. Hehe.”
“Dek, Dek, Dek perpusnya mau ditutup lagi yaaa..” seorang
laki-laki bermotor itu menyambangi kami yang duduk bergerombol-gerombol di
teras perpus. Aku dan Rini beranjak dan segera melaju menuju kos terindah.
***
"Hemmm...hilang semangatku ngelihat kamar ini dah," kata Rini ketika kami baru pulang.
"Tulah, kenapa nggak Rini bereskan kamar kita tadi sebelum pergii?"
"El lah, kenapa nggak El bereskan? Eh, kemarin kan aku baca bahwa Aries itu paling nggak suka kalau disalahkan. Makanya kan aku sering nyolot kalau El salah-salahin."
"Hhahah...iya ya? bener tuh. Aries lambangnya apa? Badak ya?"
"Enak aja Badak. Kambing ya!"
"Owalah, kambiiing...kambiingg. hehe."
Malam ini, aku menikmati dan merenungi nasehat-nasehat Mario
Teguh dari Rini.
Ceeeekkk..Novi udah
baca. Suka banget dengan kalimat ini; Mencintai
diam-diam, melupakan diam-diam. hhee.
Ah, macakk Ciin? Heheh.
Baguslah Cek. Intinya
dapet banget nggak Cek?”
Yuhuuuu…dapat banget Cek, kalau Abang itu
baca seharusnya dia pahamlah. Abang tu tahu blog Kakak kan? Secara nggak
langsung,
kakak kan banyak
cerita di situ.
Tahu Cek, tapi
kayaknya dia nggak tahu kalau
isinya adalah diary kakak.
Ah, masa iya nggak
tahu Cek? Padahal di Fb kakak kan sering nge share blog juga. Tapi, Novi nggak
habis fikir kakak kok selalu bisa detail ngerekam tiap percakapan dalam
potingan kakak dari yang kecil sampai yang besar...[
Oh… kalau yang itu,
Kakak pernah tes di STIFIN dan ternyata
kekuatan kakak itu di telinga cek.
Aku kembali
fokus ke Mario Teguh sementara Rini tetap fokus ke reality shownya yang nggak
jelas itu. Setiap kali ada kata-kata Mario yang berkesan aku langsung
mengomentarinya untuk Rini.
“Tuh Riiin,
denger, kata Mario Teguh, kalau belum mampu menikah lebih baik memampukan diri
dulu, bahagiakan orang tua. Tu lah, mau nikah cepat-cepat jugakk!”
“Ih, udah
dia yang mau nikah cepat.”
Hening. Aku
kembali fokus.
“Rin, kata Mario
Teguh, tanda-tanda dia nggak serius sama kita adalah ketika dia nggak ngasih
kepastian kapan mau memastikan hubungan (menikah). Sebenarnya Kakak itu sama
kasusnya dengan kebanyakan laki-laki yang belum siap berkomitmen, Rin. Tapi,
bedanya Kakak ini adalah karena dia membalikkan keadaan; dia meminta kepastianku dengan dalih itu sebagai bukti niatnya untuk
serius melamarku nanti dan nggak pengen pacaran. Tapi, seriusnya dia dengan seriusnya aku ternyata nggak 1 pengertian
Rin. Serius tapi kok pake nanti, yang parahnya malah dari target 3 tahun
melebar jadi 5 tahun. Apa-apakah itu coba?
Bukankah bukti komitmen itu adalah menikah? Lihat, sebenarnya dia sama aja dengan
orang belum siap komit, tapi dia sok-sok memastikan diri untuk komit. Padahal, nggak ada kepastian selain
ketidakpastian itu sendiri.”
“Hemmm…
arassoooh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar