Sabtu, 29 Agustus 2015

Sebenar-benar Datang adalah Pergi



Hari-hari seperti ini. Selalu terasa itu-itu saja. Hingga saat Tuhan berkata; “Waktumu sudah habis di tempat ini” barulah kita sadar bahwa kita sudah cukup lama. Itulah yang ku rasakan pagi ini. Ketika subuh masih tertinggal aromanya di menit ini, menemani setiap senti yang terlalui. Aku akan mengantarkan Rini ke rumah Verika untuk dirias. Dia akan yudisium hari ini. Tak terasa, waktu benar-benar akan nyata memisahkan.
Saat kita berpisah, kau pegang erat tangaku
Perlahan kau lepaskan pegangan tanganku
Aku lihat kau menangis…
Lambaian tanganmu masih ku ingat selalu
Itu yang terakhir ku melihat dirimu…
Lagu perpisahan dari IKLIM ku senandungkan dengan syahdu. Mewakili rasa yang kini ku rasa.

***
Setelah ngantar Rini ke FISIP, aku nekat mampir ke tempat langgananku beli jilbab meskipun aku sadar sedang tidak bawa uang. Insya Allah abang ini akan mengizinkanku membawa jilbabnya dahulu baru ku bayar ketika aku ke luar lagi nanti. Atau, kalau dia nggak mengizinkan, aku akan membooking 1 jilbab pilihanku dulu. Nanti baru ku bayar saat ku ambil jilbabnya. Ah, yang jelas, aku yakin akan ada jalan kok!
“Bang, jilbab yang ini tapi yang warna hitam ada nggak Bang?” tanyaku.
“Itulah Dek masalahnya, nggak ada pula yang hitam kalau yang model itu,” jawab si abang sambil membongkar-bongkar bundle jilbabnya. “Oh, ada ini rupanya Dek.”
“Oh syukurlah.”
“Adek udah selesai kan?”
“Belum Bang. Rini dan Andin yang udah selesai Bang. Tuh si Rini sedang yudisium.”
“Oh, gitu. Andin udah duluan ya daripada Rini?”
“Udah Bang, dia Juni kemarin.”
“Ini jilbabnya untuk lihat Rini pasti ya?”
“Haha..iya Bang, bener. Nah, tapi masalahanya saya nggak bawa uang sekarang Bang, boleh nggak kalau saya bawa dulu jilbabnya?”
“Bawalah Dek.”
“Bener nggak apa-apa nih Bang?”
“Iya, yaahh..macam sama siapa aja Adek nii.”
“Oke deh Bang, saya bawa ya. Eh, tapi saya juga suka sama yang satu ini, boleh saya bawa 2 Bang? Nanti mana yang cocok, itu yang saya beli.”
“Bawalah Dek. Nggak apa-apa dooo.”
“Makasih banyak Bang.”

***
“Oh my god, you are fucking beautiful Ell..” kata Andin yang sedang memanaskan motornya.
“Maaciih Ciinn. You too.”
“Eh, kita semotor aja lah yuk?” ajaknya.
Sebenarnya, aku ingin bawa motor sendiri karena mau daftar ujian proposal ke prodi. Ntar kalau sama Andin kan agak rempong dan segan kalau minta singgahin dulu. Tapi, teringat bahwa nanti malam dia akan pindah ke Hang Tuah membuatku tidak kuasa menolak permintaannya. Ah, nantilah urusan daftar ujian tu! Yang penting sekarang aku bisa bersama Andin sebelum sebentar lagi nggak bersama lagi. Hikss
“Ndin, Aku mampir dulu ke tempat Abang jilbab ya, mau bayar utang. Ini jilbab yang ku pake masih ngutang loh. Hehe.”
“Andiiin? Apakabar?” teriak si abang dari dalam kepada Andin.
“Baik Baaangg.”
“Udah kerja ya sekarang?”
“Udah Bang.”
“Di Alfamart Bang,” lanjutku.
“Ohhh… baguslah tuu.”

Mungkin ada sejam aku dan Andin menunggu Rini ke luar dari dalam gedung Sutan Balia, FISIP. Andin sedang ngobrol dengan teman-temannya dan aku duduk di sebelahnya sambil nyatatin pengeluaranku. Sempat terniat untuk langsung ke Prodi aja, tapi aku ada ide untuk mengSMS Widut. Dan, ternyata benar sekarang udah hampir jam 11 tapi pak Riadi belum juga nongol di Prodi. Hemm…maybe its better if I stay here for much moment.
“I think that’s gift is not useful,” kata Andin sambil memandang cewek yang memegang bunga di sebelah kananku.
“Why?”
“Will spent much money to but it. One bucket is about Rp 50.000. Because that’s Krisan and Daisy flower, more expensive that roses.”
“Oh, I see. Maybe its better if we give hijab or book or bag for the gift, right?”
“Ya, something like that.”

Aku bisa melihat sedikit barisan mahasiswa yang sedang diyudisium di dalam sana. Hummm.. simple banget ya jadi cowok, cuma pakai safari doank. Aku mau jugalah kalau pakai safari gitu. Kenapa sih yang cewek harus pakai kebaya ya? Rempong plus menor jadinya. Aku lebih suka lihat cewek yang pakai kemeja dan blazer, lebih kelihatan berwibawa dan rapi kesannya. Makanya, koleksi blazerku buanyaak.
“Ndin, Andin udah nempah baju wisuda?”
“Belum lagi El. Bahannya aja belum ku beli.”
“Kenapa nggak pakai yang kemarin aja Ndiin?”
“Nggak ah.”
“Kenapa?”
“Itu untuk aku pas akad nikah aja ntar makenya lagi.”
“Sihiiiyyy… Kalau aku jadi Andin, aku bakal pakai baju yang sama aja waktu Yudisium ataupun wisuda. Ngapain repot-repor dan boros? Tapi, nggak enaknya kalau di FKIP tu ditentuin, waktu yudisium harus pakai kebaya warna putih.”

Ketika Rini ke luar ruangan, kami disamperin bentar dan dia ngilang lagi ntah nyari apa atau siapa. Aku kira dia ngantri ngambil nasi kotak, tapi ternyata nasi kotak dan SKLnya aja
dititipkannya kepadaku. Jadi, dia nyari apa lagii ya? Hemmm… kami harus bersabar lagi nungguin artis, pemirsaa..
“Haniii, kok bisa nggak terkejar kemarin daftar Yudisium?” Si *** kok bisa daftar dia? Padahal kan duluan Hani ujiannya?”
“Hemmm..kalian belum tahu aja apa yang terjadi,” jawab Hanii.
Hemmm kasihan Hani ya pemirsaa, posisinya sekarang ibarat dapat scor TOEFEL 449 padahal targetnya 450. Hikss, kan nyaris banget tuh! Ada satu hal yang menyejukkan hatiku ketika Hani bilang dia nggak bakal pakai bulu mata palsu. Masya Allah… sesuatu banget kamu Hann. Semoga istiqomah buat kita.
Aku jadi mikir; Ntar waku aku wisuda atau Yudisium siapa yang bakal antusias untuk datang melihatku ya?, tanyaku dalam hati sambil memandang Rini yang dikelilingi oleh adek-adek PPRUnya. Kemarin Rini bilang bahwa adek-adek itu akan menghadiahi Rini papan bunga duka cita karena mereka berduka akan berpisah dengannya. Ih,, so sweet as well as sok sweet deh. Yah, kita lihat sajalah nanti permisaa, who will beside me except my family? Karena aku takut berharap.
Setelah puas berfoto, aku Rini dan Andin semotor bertiga menuju Ayam Gopek untuk lunch bareng. Ntah kapan saat-saat yang seperti ini kembali kami rasa. Bisa jadi nanti. Bisa jadi juga tidak lagi. T_T

***
“Andin nggak sedih?”
“Ya sedihlah Ell..”
“Tapi, Andin kok kelihatan bahagia?”
“Hah? Mana ada aku bahagia El. Biasa aja.”
Aku mengambil barang-barang berikutnya yang bisa ku angsurkan ke bawah. Tinggal lemari besarnya Andin yang kini tertinggal di atas. Katanya mau diturunkan pakai tali dari atas langsung ke bawah aja, karena nggak mungkin digeret menuruni tangga. Bakal ribet dan sulit.
“Mana mobilnya Ndin?” tanyaku kepada Andin. Kami sama-sama melepas pandangan kepada kegelapan hutan di depan agak kanan kos kami. Ada Rini, Mila, Mami dan yang lainnya yang sedang bercanda di sekitar kami.
“Menuju ke sini katanya El.”
“Hemmm… yaahh, nggak akan lagi Andin mampir ke kamar kami kayak pagi-pagi sebelumnya setelah ini.”
Andin tak bergeming.
“Iya yaaa Ell,” responnya kemudian.

Mataku mulai berkaca. Tapi ketika ku arahkan wajahku kepada Andin, kaca-kaca tadi tak terlalu terlihat karena aku berusaha tersenyum. Andin memandangku dengan wajah memelas juga.
“Bentar lagi Rini yang pergi,” lanjutku lagi.
Rini mendekat ke arah kami. Dia sepertinya curiga kalau aku sedang ngomong jorok ke Andin pemirsaaa. Hhiihii.
“Iyaa yaa El, people changes, time changes. Everything is comes and gone.”
“Makanya, El cepat-cepat selesai!” kata Rini.
“Kata Andin kemarin, Andin bisa milih penempatan di kantor mana pun setelah sebulan..”
“3 bulan El. Yah, setidaknya setelah aku bener-bener faham seluk beluk tentang pertokoan. Ntar kalau aku udah bebas memilih penempatan, aku akan milih di Panam El dan aku akan balik lagi ke sini.”
“Huksss.. I will waiting for you Ndiiinn,” kataku sambil mengelus lengan kanan Andin. Ia menyodorkan pipinya dan aku menciumnya.
“Memang gatal El nii!” kata Rini pula. Dia nggak tahu sebab-akibatnya langsung bilang gitu ke aku. Pemirsa percaya sama aku atau sama Rini? Sama aku donk yaa? Hehe. Percayalah, aku adalah orang yang imut, lucu dan nggak mungkin macem-macem. Hhiihi.
Mobil pick up sudah terparkir di depan kosan. Pasti akan butuh beberapa menit untuk menurunkan lemari dan menaikkan barang-barang ke dalam mobil. Mungkin, akan lebih baik kalau aku masuk ke kamar dan mengangsurkan beberapa tulisan. Mumpung sedang momennya.
“Rin, tolong pinggirkan motorku napaa?” pinta Mila.
“Hahaha..aku? Mau motormu rusak ku buat?” kata Rini. “Aku nggak bisa loh.”
“Sini, biar aku aja Mill,” aku menawarkan diri dan setelah menepikan motor Mila, aku langsung masuk ke kamar.

Beberapa menit berlalu, aku sudah mengetik 1 halaman A4 untuk momen so sweet tadi. Rini tiba-tiba masuk ke dalam
kamar ntah untuk apa.
“Katanya mau diet, bantuinlah Andin! Biar bergerak badan El tu, biar berkeringat.”
Tanpa membantah, aku langsung ke luar kamar lagi. Lagian, aku memang menunggu dipanggil oleh Rini tadi. Fajri dan Ami pun ikut serta mengangkat barang-barang Andin ke atas mobil. *Anak yang gigih.
Setelah semua barang-barang Andin selesai, ia berpamitan kepadaku, Rini, kak Dewi dan yang lainnya satu per satu. Ia sempat menangis lama di bahuku. Aku pun tak mampu membendung tangis.
“Jangan tinggalin sholat ya Ndin, jaga hijabmu jugaa. Jangan lepas lagi, biar dapat suami sholeh.”
Hemmm…melihat begitu banyaknya barang Andin seperti ini, membuatku bergumam di dalam hati; ‘Kemungkinan kecil kamu akan memilih tempat ini kembali Ndiin, sekalipun kantormu nanti di Panam.’
“Yah, memang ginilah ya Ndiin. Kalau kita mau meraih hal yang lebih besar, kita harus ikhlas meninggalkan tempat kita yang sekarang,” kataku lagi kepada Andin ketika ia memelukku lagi. Tangisnya semakin terisah. Jilbab merahnya sudah basah kuyup untuk menghapus air matanya yang ruah. Rini juga. Aku masih mencoba menahan. Kalau ku luahkan semua, bisa banjir air mata aku saat ini juga. Hikss.
Andin memasang helmnya dan bersiap untuk pergi..
“Ndin, memang sudah saatnya Andin pergi dari sini. Di sini nggak aman lagi buat Andin.”
Andin tahu apa maksudku. Dia mengangguk cepat. Dan, ucapan terakhirnya adalah Assalamualaikum..

***
“Udahlah El, jangan nangis gitu. Move on lah!”
Dengan suara parau dan sesenggukan aku menjawab, “Rini memangnya nggak sedih? Andin udah pindah loh Rin. Kita nggak bisa lagi kayak kemariiiinn.. huhuuu..”
“Ya, macam mana lagi? Kan jumat besok kita mau main ke sana juga nyoo. Bisa jumpa lagi kita.”
“Iya, tapi itu kan masih minggu depan Riiin. Sekarang, sekarang yang jadi masalahh.. Emangnya Rini nggak sedih Andin pindah?”
“Sedihlah.”
“Tapi, kok Rini nggak nangsi?”
“Emang mesti nangis kalau aku sedih?”
“Iyalah. Rini itu harus berusaha semaksimal mungkin untuk menunjukkan kalau Rini sedang sedih. Makanya, nangislah!”
“Udah gilak El nii!”
“Rin, aku harus punya rumah sendiri!”
“Biar El sendirian di sana gitu?”
“Iya. Aku nggak mau lagi punya teman sekamar karena pasti aku bakal ditinggalkan juga. Mending aku sendirian. Ah, aku juga nggak mau berkawan lagi lah! Nanti aku ditinggalkan.”

“Udah gilak El ya? Yuk lah sholat Isya. Move on lah El, semua orang juga bakal pergi. Ini baru Andin yang pindah, besok gimana bentuk El kalau aku pergi?”
“Huhuuu.. nggak mauuuu. Rini jahat emang. Eh, menghadapi perpisahan kayak gini semakin mewajibkanku untuk mengaktifkan lagi medsosku Rin supaya segala sesuatunya tetap terpelihara. Yap, aku harus segera punya HP baru yang memadai.”
“Beliklah ceppaaat makanyaa.”
Aku menyapu air mata setelah sejak tadi Rini puas merekam tangisan mengerikanku. “Gimana ya caranya biar orang nggak bisa pergi?”
“Apalah El nii? Dipenjara lah. Eh, itu pun bisa bebas dari kurungan setelah beberapa tahun.”
Aku terbahak mendengar ide polos Rini barusan.
“Yahh…orang yang hidup aja bakal mati El. Mana ada yang nggak akan pergi, kalau gitu. El ni harus memperbaiki mindset El. Move on lah El… Aku sedih, sedih juga, tapi nggak separah El lah. Aku udah sedih sejak pertama kali Andin bilang mau pindah kos.”

“Rin, kita belum jadi juga loh jalan-jalan bertiga sambil bawa bekal. Gayanya kemarin kita mau main ke hutan kota lah, Alam Mayanglah, tapi sampek sekarang belum terwujud juga.”
“Iya yaa. Besok-besoklah tuu, kan masih jumpa lagi nya kita.”
“Nggak nyangka yaa, kita udah menetap dalam keadaan ini bertahun-tahun Rin dan sekarang udah tiba masanya untuk masuk ke keadaan yang baru pula.”
“Arasoohh. Aku pengen adeek!” kata Rini tiba-tiba, nggak nyambung.
Aku terperanga sejenak, memikirkan apa maksud kalimat terakhirnya itu. Barulah aku tertawa.
“Aku mau Adek, aku mau Adek, aku mauuuuuuuu Adeeeeeekkk!” tambahku pula. hahah, aku haru ingat bahwa ternyata Rini sedang menghubungkan dengan filmnya Raditya Dita yang judulnya Marmut Merah Jambu. Hahaaa.. emang lucu.
“El harus belajar move on, jangan lebay. Plisss.”
Duh, ini bocah kok simpel banget ya mikirnya. Maulah kalau otakku ini ditukar sama otaknya, biar nggak rempong. “Terus, kenapa Rini nggak nangiss?!” tanyaku lagi untuk yang kesekian kali.
“Mesti aku nangis? Lagian, udah nggak pengen lagi aku nangis setelah lihat El gilak kayak gini. Suara nangis El itu haaa, kayak orang kesurupan. Jangan kayak gitu nangisnyaa. Macam orang disiksa aja!”

Rini segera berwudhu ke kamar mandi berwudhu.
"Astaghfirullah Ellll! Ya ampuuuuuuuunnn," kata Rini ketika baru berwudhu.
"Kenapa nyaaa?! Ngagetin orang aja ah!"
"Aku nggak nyangka El kali ini begini!"
"Apa siiihh?!"
"Lontong tadi pagi kok nggak El habisin? Ini aku lihat masih ada 3 potong."
"Ya Allah Riiinnn..ntah hapaalaah aku kira tadiii.. Grrr.. emang sengaja nggak ku habisin itu karena kenyang tadi. Lagian, aku kan takut gendut nanti."
"Halaahh.. Selalapnya! Nggak pernah El setega ini sebelumnya nggak ngabisih makanan. Aku nggak nyangka El," Rini sok mendramatisir keadaan.
"Hihiii.. Aku memang kejaaam. hag hag hag."
"Cepatlah El wudhu! Aku lebih memilih untuk sholat tepat waktu daripada harus nungguin El,” kata Rini. Alis matanya terangkat. Dia menyindirku. Itu kan kalimatku waktu itu.
Aku menyudahi tangisku yang tidak akan membuat Andin kembali ini. Ah, aku memang selalu seperti ini; Menangis tersedu-sedu sesaat setelah kepergian. Aku tidak ingin membatalkan rencana orang lain untuk pergi hanya karena kasihan melihatku.
“Allahuakbar.”
Hanya Engkaulah sebaik-baik dzat yang tidak pernah pergi meninggalkanku…  

Tidak ada komentar: