Senin, 14 September 2015

Cangkir yang Tak Dibayangkan



Berjalan.. berlari.. hati tertindih.
Sulit tapi harus aku putuskan
Jalanmu, jalanku belum sempruna
Biar masa depan yang sempurnakan
Suara-suara bathinku melepaskanmu
Lirih-lirih jiwaku membasuh pilu…
Takdir yang Kau beri menguji hatiku
Terasa menyesakkan kehilangan ini
Tangis yang Kau beri membuka mataku
Bahwa cinta yang sebenar cinta hanya ada Satu
Karena kehilangan ini, ku mampu medekat kepada-Mu
Alunan lagu berjudul Mencintai Kehilangan ini menemani pagiku. Masih dini. Sholat Subuh baru saja ku tunaikan. Sendirian. Dan, di menit ini aku kembali merindukan Rini. Semoga di sana, ia tetap sama dalam ibadahnya. Aamiin

Bububuyuuu banguunnnn… Aku mau adek! Auk auk auk auk..
Sayangnya aku belum ada pulsa dan harus membalas pesan Rini dengan membebankan biaya kepadanya. Hehe.
Eke tadi bangunnya jam 04.10wib loh cuyyy. Aku mau adek! Kayaknya aku udah terbiasa bangun cepat nih. Dia udah nelvon? Udah nelvon dia? Simpanse. Bububuyu. Eh, btw flasdis eke di mindring?
Tentang kalimat Dia udah nelvon? Udah nelvon dia? masih ingat kan dengan pembuka di awal cerita ini http://elysarizka.blogspot.co.id/2015/09/one-additional-day-with-you.html ?
Di tas hitamku yang cantik itu, di dalamnya. Isilah pulsa itu wooyyy!
Hahaha.. aku terkekeh membaca balasan Rini ini. hemm.. Iya Cuy, aku akan beli pulsa nanti.

***
Melihat asap yang begitu tebal di luar jendela kamar, aku jadi ragu untuk melangkah ke luar rumah. Tapi… emm… aku butuh pulsa. Aku butuh bertemu beberapa orang hari ini. hemmm… ya Allah.. bismillahi tawakaltuu. Tujuan pertamaku adalah counter pulsa supaya nggak nyusahin orang terus, hehe. Selanjutnya, ke biro FKIP. Tapi, aku baru nyadar kalau yang pertama kali harus ku lengkapi sebelum ngajuin surat permohonan penambahan SKS adalah tanda tangan pak Suarman. Well, biar nggak bolak-balik kerjanya, aku akan nyelesaikan yang satu ini dulu; Beberapa pertanyaan tentang KOPMA.
“Ini Lisa mana?” tanya ketua KOPMA di seberang telvon.
“Lisa FKIP,” jawabku.
“Lisa FKIP?”
“Pokoknya aku anak UNRI juga. Kamu nggak kenal siapa aku,” tegasku segera supaya aku bisa segera sampai ke poin pembicaraan. Tadi, aku udah sempat nelvon pengurus KOPMA, tapi nggak dapat kejelasan sama sekali. “Aku mau nanya beberapa hal tentang KOPMA. Riski ada waktu kan?”
“Ya adaa.”
“Kemarin waktu PKA di Universitas, KOPMA ada sosialisasi nggak?”
“Kalau waktu di Venu Panjat Tebing nggak ada. Tapi waktu di Gedung Gasing, ada.”
“Oh gituuu. Aku mau tanya lagii tentang usaha KOPMA yaa.”
“Eh, tunggu dulu, langsung aja ke sekre kalau gitu. Biar lebih jelas.”
“Kamu ada di sekre sekarang?”
“Sekarang nggak ada.”

GUBRAKKK! Aku butuhnya sekarang loh Brooo. “Nggak apa-apa lewat telvon aja ya. Ini pertanyaan terakhir kok, aku butuhnya cepat soalnya.”
“Tunggu dulu, ini buat apa pertanyaannya?”
“Buat… ennggg…… pra riset.”
Aku mulai takut Riski akan menolak memberikan informasi atau malah meminta surat risetku dulu. Hiksss..
“Tugas?”
“Iii…iyaa.”
“Tugas  apa?”
“Tugas mata kuliah.”
“Oh,,, untuk tugas mata kuliah.”
Huftt,..untung aja dia nggak nanya lagi, tugas mata kuliah apa? Hehehe.
“Apa bidang usaha utama dari KOPMA saat ini, Ki?”
Aku mendapat cukup kejelasan dari Riski. Atas beberapa hal yang masih ku ragukan, akhirnya ku putuskan untuk menghubungi Romcek. Alhamdulillah, darinya aku berhasil mendapatkan keyakinanku untuk tetap maju bersama judul proposalku ini. Hasla la vista beibeehhh!

***
“Ibuuuukkkk! Apa kabar Buuukk?” pekikku kepada Ibu kantin BEM FKIP.
“Baikk Lisss.. kemarin udah jualan Ibukk, tapi kan libur lagi seminggu gara-gara mahasiswa diliburkan karena asap ni.”
“Harusnya Ibuk jualan aja Buk, soalnya kampus tetap rame juga walaupun diliburkan.”
“Itulah Ibuk fikir, jualan aja lah seterusnya nih.”
Aku masih punya banyak TM. Niat hati ingin menelvon Teguh, tapi bingung ntah apa yang mau ku tanyakan atau ku bicarakan? *Ada ya emak yang bingung mau ngomong sama anaknya? hhaaah. Akhirnya ku exitkan lagi layar HPku. Tapi…
Mak di mana? Kita ketemu yuk di tempat biasa. Ada projek nih.
Bah! Baru ku fikirkan, langsung masuk SMSnya.
“Demi Allah Dek, Mak tadi mau nelvon dan SMSmu langsung masuk saat itu juga.”
“Hhaaaa. Emanglah ya kalau hati udah terkonek nihhh! Haha. Oke ya Mak nanti ketemu di Taman Digital. Tempat kita biasa diskusii.”
“Okee.. Tapi Mak sarapan dulu ya!”
“Oke, Mak sarapan aja dulu. Nanti kalau Adek udah di TKP, Adek hubungi lagi.”
Kemarin-kemarin, Okta yang harus sabar nungguin aku bersiap-siap, hari ini giliran aku. Udah sejak setengah jam yang lalu ku telvon dia buat sarapan bareng di kantin ini, tapi sampai sekarang belum juga nongol batang telinganya. Huh!
10 menit kemudian –ketika aku sudah putus asa dan mau makan duluan aja, Okta datang bersama Mario Maurer (ket: sepupunya Okta). Kami menikmati brunch (breakfast and lunch) bertiga di sini. Setelah selesai, aku mengajak Okta ikut menemui Teguh di perpus. Eh, dia malah ogah-ogahan kayak berkecil hati gituu…
“Katanya mau jadi dutaaa….? Ya harus pandai menyesuaikan dirilah Dek. Ya udah ya, Kakak langsung pergi nih. Daa….”
“Oke Lisss, pergilah Lissss,” Okta mempersilahkan yang sebenarnya sedang mengancam. Hahaaa.

***
“Ini Mak, udah Adek bikin Visi-Misi program kita ini, Mak tolong nyusun kata-kata untuk profil komunitasnya yaa. Mak kan rajin nulisss.”
“Okehhh.. kopikan aja ke sini,” aku menyodorkan flasdisku kepada Teguh.
“Heh, minta film Haji Bacpacker! Dasar ya, nggak bilang-bilang kalau udah punya filmnya. Untung aku baca blog. Huh!”
“Hahahaa.. iya ya, Adek kan mau juga film itu. Tapi Mak nggak kefikiran pula mau ngasih. Wkwkwk. Emosi ntar Adek nontonnya. Mak aja emosi banget. Lihat kan tulisan Mak tu dongkolnya kayak apa?”
“Bacalah! Sampek Adek mikir, nih Mak kayak dia aja yang jadi sutradaranya. Mueehhhhh!”
“Cobalah tonton! Buktikan omongan Mak. Terkesan banget kalau kisah cinta di film itu dipaksakan Dek. Hilang gagahnya si Mada gara-gara ‘bumbu’ yang nggak pas itu. Sampai terakhir nggak terjelaskan kenapa dia membenci orang tuanya, Kakaknya dan nggak mau pulang lagi ke Indonesia hanya gara-gara cewek itu? Bah! Lebay amat.”
“Hehehe…tapi buruan Mak diangsur tuh bikin profilnya.”
“Loh? Adek maunya sekarang nih Mak kerjakan.”
“Ya iyalah.”
“Mak nggak bisa mikir loh kalau di tempat kayak gini. Mak butuh sendiri.”
“Alaaah ngarang! Mak kan emang gittuuu orangnya!”
Bah! Pandai pula dia memaksaku sekarang. Berguru dari mana pula?

“Ada jumpa **di Dek?”
“Ada. Kemarin Adek ke kosannya.”
“Dia ada nanyain Mak?”
Okehhh pemirsaaa, kalau ada Okta di sini, dia pati akan bilang; “Pede kali si Elis ini kalau orang nanyain dia!” hahaha. Untungnya dia nggak ikut.
“Enggg… dia bilang; ‘Gimana Kak Elis? Apa kesibukannya sekarang?’ Adek jawab aja; ‘Ya gituu, dia semangat banget ngeramein blognya’. Weww Mak, dia manggil Mak Kak Elis sekarang. Udah berubah ya.”
Semuanya memang udah berubah Dek, sejak dia merubah dirinya!
“Sihiyyyyy… Eh, kemarin waktu kami upgrading, Teguh ada
nyiptain quotes baru loh Mak di ujung kata sambutan; ‘Percayalah kawan-kawan, hasil selalu sepakat dengan proses’ heheee. Dadakan banget tuh mikirnya. Di ujung waktu.”
“Sihiyyyyyyyy. Keyeeenn dank!”
“Lagi belajar sok puitis sekarang, Mak, hehe.”
Ibnu sempat datang menjelang Zuhur dan syukurlah aku sudah menyelesaikan profil komunitas yang digagas olehnya ini. Dalam acara-acara lain, terutama ketika seleksi KPN, aku sangat segan kepada Ibnu. Tapi siang ini, aku mengaggapnya sama seperti Teguh; sama-sama Adek.

***
Aku mendekati Teguh yang duduk di bibir mushola Rektorat. Dia pasti sedang menungguku selesai sholat.
“Adek udah tahu di mana aja alamatnya?”
“Udah. Tadi search di Google Map Mak. Emang lah ya, apa-apa nanya ke Google dan sedikit banyaknya mempengaruhi penurunan interaksi sosial, hehe.”
“Bener tuh Dek. Hemmm.. Adek berani nggak kalau sendirian ke sana?”
“Berani aja sih Mak. Kenapa? Mak nggak bisa ikutan ya?”
“Iya. Mak ada janji mau ketemu dosen siang ini soalnya Dek. Gimana?”
“Ya udah deh, nggak apa-apa.”
“Maaf ya Dek. Hati-hati!”
Sebelum menyalakan motor, aku jadi teringat bahwa aku harus sekaligus meminta tanda tangan lembar konsultasi bimbingan kepada pak Sua. Dan, itu belum ku lengkapi. Ku putuskan untuk duduk di potongan batang pohon di depan mushola rektorat ini. ku nyalakan laptop dan mulai ku telusuri koleksi foto-fotoku. Dan, akhirnya ku dapatkan 3 fase itu! Inilah hikmahnya rajin mengabadikan moment setiap harinya. Buat kamu semua, Keep capture, evribadehhh!.
Aku mampir lagi ke warung Ibuk. Habisnya nggak tahu ke mana lagi sambil nunggu pak Sua yang masih di Gobah.
“Buk, sotonya satu ya!”
Ah… akhirnya aku makan lagi. Hiksss, gimana mau kurus nih? Gaswat!

Sambil menikmati soto, aku ngobrol dengan keponakan Ibuk yang baru masuk kuliah di jurusan PPKN.
“Loh? Adek pake almamater ya setiap hari?”
“Ia Kak. Diwajibkan.”
“Sama siapa?”
“Sama senior.”
Yeeaahhhh! Welcome here all newbie. Untungnya di Pekon nggak pernah diwajibkan pakai almamater atau baju hitam putih waktu tahunku dulu. Dengan senioritas yang satu ini sih aku no problem karena perintahnya positif, meskipun mungkin bikin adek-adek ini nggak nyaman. Hehe.
“Kalau gerah, buka aja almamaternya Dek. Kan udah selesai kuliahnya.”
“Iya sih Kak, tapi baju Adek nggak nyambung nih warnanya sama jilbabnya. Ini pula enaknya pakai almamater Kak, terserah mau apa aja warna jilbabnya bisa. Kira-kira lucu nggak ya Kak dilihat orang kalau Adek pakai almamater terus?”
“Tenang aja, nggak bakal ada yang ngetawain Adek di sini.”
Kakak di mana? Laili di kosan Kakak nih.

Aku langsung ngacir ke kosan untuk nyerahi uang finalis MAWAPRES ke Laili. Tinggal Laili aja nih yang belum ngambil. Kebetulan, memang ada beberapa barang yang ketinggalan di kamar dan ingin ku jemput. Berikutnya, aku ke kosan Nila. Katanya dia mau minta film Korea dan mau ngembalikan bukuku. *Aku tegaskan ya para hadiriiin, aku kurang suka dengan Korea. Tapi di hardisk-ku ini ada beberapa film Korea punya temanku dan aku dilarang menghapusnya. Hihii, judul foldernya aja; Film TITIN. Jangan dihapus ya Cin!, kurang kece apa coba?
“Dek Nila, Kakak mau ketemu dosen Kakak nih! Ntar kalau Adek nggak ada yang jemput waktu rapat, SMS aja Kakak ya biar Kakak balik lagi ke sini.”
Alhamdulillah ternyata prosesku minta tanda tangan dengan pak Suarman nggak lama, hanya sekitar 5 menit saja. aku meminta 2 tanda tangannya; 1 untuk lembar konsultasi, 1 lagi karena keterlambatan pengisian KRS. Well, ini memang memalukan pemirsaaa, tapi inilah aku apa adanya yang ternyata bisa lupa. Aseeekkk. Hehhe. Dan, untungnya pak Suarman nggak mengherankanku sama sekali. Beliau langsung tanda tangan aja dengna entengnya. Makasih ya Allah, udah
menganugerahiku PA sebaik ini.

***
“Loh Kak Ciin? Udah selesai bimbingannya?”
“Udah. Makanya Kakak langsung balik aja ke sini.”
Ternyata Nila belum juga selesai ngopi film-filmku sejak tadi. Huaaahhh… sebanyak apakah yang dia minati? Ada waktu sekitar sejam lagi menjelang rapat. Aku memanfaatkan waktu untuk mengetik.
“Kak Ciiinnn… Nila mau ya minta novel Kakak yang judulnya Air Mata Gadis Dermaga ini!”
“Loh, Adek lihat di mana rupanya?”
“Ini dari kumpulan soft file prestasi Kak Ciinn. Iihhh, banyak kali sih sertifikat Kak Ciiin iniii!”
Ternyata dibongkar-bongkarnya file sertifikatku bah!
“Siniin flasdisk Nila.” Sambil mengopikan filenya, aku menceritakan bahwa sebenarnya judulnya bukan yang tadi, karena itu pemberian editorku. Judul asalnya; Air Mata di Penghujung Sujud. Tapi ternyata Nila malah sepakat dengan yang pertama daripada judulku. Hiksss.. lebih unik dan segar katanya. Kalau tentang sujud-sujud itu udah banyak. Hohoooo…
“Itu jumlah halamannya 360an dan Kakak menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 2 bulan Dek, di tahun 2012. Agak alay gitu ceritanya. Dan, sampai sekarang kemurnian alaynya masih terjaga, nggak ada Kakak ubah sedikitpun sampai sekarang.”
“Terbitkanlah lagi Kak Cinnn.”

“Iya, jadi sebenarnya itu udah siap terbit Dek. Tapi, ternyata kata editor Kakak itu penerbitnya gadungan. Makanya terbengkalai. Jadi benda pusaka aja tuh novel akhirnya. Hahaa.”
“Nila punya teman FLP Kak Cinn, dia anak UIN. Tapi, Nila lupa namanya. Dia udah nerbitin buku juga.”
“Suci?”
“Ahaaaa! Iya bener Kak. Dia udah ujian kompre loh Kak Ciiinn, padahal dia seangkatan sama Nila, keren kan? Ihhh, pinter banget lah tu anakkkk.”
“Itu nggak melulu tentang pintar Dek.”
“Iya sih Kak Cinnn, prosedur mereka kalau Nila lihat tu nggak seribet di UNRI.”
“Bener. mereka itu bahkan diperbolehkan daftar yudisium barulah revisi skripsinya nyusul.”
“Ihhhh,, enak banget ya mereka. Kalau kita justru harus udah sampai diburn ke CD dan udah dijilid lux kan Kak Cin baru boleh daftar?”
“Bener buangeeetttsss. Temen Kakak di FISIP kemarin ada yang nggak terkejar daftar yudisium padahal dia udah sidang 4 hari sebelum hari H. Tapi ya karena banyak yang diurus, akhirnya begitu deh!”
Ada sesuatu yang tadi sempat hadir, ketika Nila mulai menceritakan tentang Suci. Ada desiran di lubuk hatiku sana. Hadirnya hanya sebentar dan untunglah aku sempat menyadarinya. Mungkin bernama penyesalan. Tapi mungkin bisa disebut pemakluman. Ah, terserah kepada hati saja apa namanya. Aku hanya penerjemah yang kadang pun keliru menerjemahkan hati sendiri.

***
“Duh! Di mana sih warnet Arrafah tuh Kak Ciinn?”
“Nggak tahu nih Dek. Yang jelas ini kosan Arrafah. Ini musholat Arrafah. Terus, warnetnya mana?”
Ku putuskan untuk berhenti saja di depan ruko yang beradu sudut dari Arrafah dan mengajak Nila foto-foto dengan latar belakang kepulan asap. Kapan lagi kan dapat pemandangan se-ekstrem ini?
“Kak, kita lihat-lihat jilbab ke dalam yuk? Nila nggak bawa banyak uang juga sih Kak Cin, tapi daripada suntuk nungguin Aldi di sini.”
“Ayuk, yuk!”
Ada jilbab dan baju yang ku suka di sini. Tapi harganya belum berjodoh dengan  kantongku, hikssss. HPku tiba-tiba berdering. Aldi yang menelvon…
“Kak, kita pindah tempat di komplek Giant ya. Di Merpati sakti.”
“Whaatttt? Merpati Sakti? Itu beda jauh dari Giant loh Dek. Di mana nya sih?”
“Pokoknya Kakak ke Manyar aja, nanti jumpa tuh,” Aldi terdengar bertanya ke seseorang di sebelahnya. “Setelah Darel Hikmah Kak.”
“Dek Nilaaa… Yukk?!”
“Bentar Kak Ciiinn, Nila beli ini dulu.”
Ia lalu berlarian ke arahku dan segera ku bawa melaju.
“Nila beli jarum pentul tadi Kak Ciinn. Segan kalau nggak beli apa-apa soalnya udah banyak yang kita lihat-lihat. Hehe, untunglah cuma seribu harganya.”
“Wah! Murah tuh Dek, biasanya setidaknya dua ribu tuh!”
“Itulah makanya Nila beli.. heheh.”

***
Aku, Nila dan Lia memasuki komplek Panam Square, ke Cangkir Café, langsung ke lantai 2. Di atas, saudah ada Joshua, Hari, Aldi dan Mila. Kami segera bergabung dan say hallo dengan mereka. Setelah kami duduk, seorang waiter menyodorkan menu makanan dan minuman kepada kami. Kami segera memesannya agar rapat bisa segera di mulai. Alhamdulillah ketika Aldi membuka acara, hujan turun dengan derasnya. Ucapan syukur pun terucap bersamaan dari bibir-bibir kami.
“Nah, karena rundownnya udah disusun oleh Kak Lia, jadi kita persilahkan Kak Lia untuk menyampaikannya,” pinta Aldi.
“Eheemmmmmmm,” Lia mendehem. “Jadi Kakak presentase nih sekarang?”
Kami mengangguk, mempersilahkan Lia.
“…… nah setelah Bang Fahmi menyampaikan beasiswa Fulbrightnya, workshop ditutup oleh Bang Put. Beliau akan membedah bukunya dan menyampaikan gimana caranya bisa ke luar negeri gratis. Karena, dia memang bener-bener gratis kan terbangnya.”
“Nah, ini nih ada yang mau aku sampaikan juga!” aku menyela omongan Lia. “Jadi, kemarin itu ada salah satu peserta yang nanya, ‘Apakah udah dijamin kalau ikutan workshop ini bakal dapat vocher gratis keliling dunia?’ Lah, dia kira kita ini agen tour and travel rupanya.”

Sontak, semua orang tertawa mendengar penjelasanku. Ternyata bukan aku saja yang ditanyai seperti itu. huaaahhh.. banyak yang salah faham rupanya. Lia menyarankan kepada Aldi untuk mengklarifikasi hal tersebut ketika besok ia memberikan kata sambutan sebagai ketua pelaksana.
“Teman-teman, kalau menurut Mila, gimana kalau Bang Putra aja duluan yang bicara, barulah ditutup dengan Bang Fahmi. Soalnya kan kebanyakan peserta itu menanti-nanti Bang Fahmi karena pengen dengar tentang beasiswanya itu.”
“Ah masa iya? Teman-teman di UNRI justru pengennya lihat Bang Put. Soalnya dia kan penulis buku Gratis Keliling Dunia itu. ya, menurut aku sih tranding topic itu harus diletakkan di akhir supaya penonton tetap konstan emosinya untuk menunggu,” usulku.
“Guys, aku kasih pandangan ya. Well, ini pertama kalinya aku nge-EO-in acara sosial begini sedangkan sebelumnya aku selalu ke money oriented targetnya, jadi aku melihat ada perbedaan dari berbagai sisi nih. Oke, begini, aku selalu berusaha memposisikan diriku seperti peserta. Nggak masalah sih siapa yang duluan bicara, tapi yang terpenting itu bukan how do we, tapi what they get. Ekstremnya, aku sampai ngebayangin kalau pesertanya adalah orang yang tolol, miskin nggak punya duit. Nah…”
Penjelasan Joshua terhenti ketika semua orang tertawa geli mendengar penjelasannya yang excited itu.
“Iya, ini beneran loh. Jadi, kita jangan sampai terlalu sibuk membahas mana konsep yang terkeren, tapi lupa mempertimbangkan apa yang akan peserta dapatkan setelah dari acara ini. Kita harus bisa memberikan sesuatu yang ‘ngena’ banget sesuati keinginan mereka. bahkan, mereka harus sampai bersemangat ‘Aku pokoknya harus segera ke luar negeri bagaimana pun caranya!’ Bener kan? Bayangkan kalau ternyata pesertanya adalah orang yang bener-bener nggak tahu apa-apa, jangan dulu bahas tentang gimana S2, S3, yang penting ke luar negeri aja dulu gimana pun caranya!”
Kami manggut-manggut mendengarkan penjelasan Joshua. Hemmm kelihatan banget EOnya nih orang.

“Cin, Joshua ini ternyata seorang EO. Okta juga punya bakat itu, tapi sayang kurang terasah,” bisikku kepada Lia.
“Kalau bisa, kita juga harus menentukan point-point apa aja yang harus disampaikan oleh masing-masing pembicara, biar lebih fokus dan nggak timpang tindih penjelasannya. Gimana?”
“Setuju. Jadi, setiap pembicara itu kayak punya quotesnya sendiri kan?”
Semua orang sepakat dan mulailah kami berfikir keras untuk menemukan Quotes untuk 2 orang pembicara seminar (Harry dan Haggy) dan 2 orang pembicara workshop (bang Put dan bang Fahmi). Sementara 3 orang yang teleconference hanya akan diberikan TOR secara resmi oleh Harry.
“Gimana kalau shoul we go abroad aja untuk pembicara seminarnya?” usul Nila.
“Bagus sih. Tapi kurang ringan bahasanya.”
Kenapa kita harus ke luar negeri, gimana?” usul Lia.
“AHAAAAA! Ke luar negeri modal dengkul!, gimana?” usulku sambil terkekeh sendiri.
“Waaahh, ngeri Kak Elis ini,” kata Hari.
“Atau ini aja; Kenapa harus keliling dunia?” usul yang lainnya.
“Ahhh… yang dengkul aja!” kata Hari lagi.
“Hagy kemarin berangkat ke Nepal juga Dek?” tanyaku.
“Nggak Kak. Dia itu lebih ke program –program nasionalnya, gratis juga.”
“Ya udah, quotes untuk Haggy; Keliling Indonesia modal dengkul! Aja gimana?”
“Setujuuuuuuu.”

Berikutnya penentuan tema untuk workshop.
“Untuk Bang Fahmi, gimana kalau kita minta dia bahas tentang esay? Soalnya, masing-masing Negara tujuan itu punya kriteria yang unik. Bahkan, ada yang nggak mau tes interview atau toefel yang ribet-ribet, tapi cukup dari tulisannya aja. Nah, Bang Fahmi harus jelasin tentang trik itu. gimana? Yah, semacam hypnotic writing gitu lah.” jelas Joshua.
“Setuju. Gimana kalau Menulis Essay yang Menghipnotis?” usulku. Semuga orang manggut-manggut.
“Nah, ada usulan nih, gimana kalau yang peserta reguler itu kita kasih kalender beasiswa aja? Jadi, sekalipun mereka nggak dapat buku, mereka tetap prestise dengan dapat kalender itu. ntar kita emailkan aja ke mereka. aku punya nih file rahasia dari UI. Di sini lengkap banget mulai dari tanggalnya, persyaratannya, websitenya sampai alamatnya langsung.”
“Waaahhhh… tapi sama kami gratis kan Joo? Boleh donk Nila mintaaa? Yeeee…”
“Enak ajaa! Bayaarrr yaaa!” balas Joshua, sok sewot.
“Joshua masih mau jadi anggota I-YES nggak?” ancam Nila.
“Waahhh… ngeri nih ancamannyaa,” kata Joshua sambil memandang ke Hary yang juga sedang tertawa.
“Oke, sekarang kita bahasa tema untuk Bang Put ya.”
Semua kami berfikir keras kali ini. Ingin yang cetar dan bisa mencakup 2 hall bedah buku dan bedah cara berangkat gratis.”
“AHAAAAAAAAA!” lagi-lagi aku. “Gimana kalau ini aja; Ke luar negeri gratis. Pulang, punya buku. Siapa yang mauuuu?” jelasku layaknya anak kecil.
Semua orang tertawa. Termasuk aku. Memang nggak salah lagi kalau yang ini beneran bikin ngakak.
“Kak Elisss..plis jangan bahasa Blog!” pinta Mila.
“Eh, jangan salah loh! Tulisan-tulisannya Kak Elis itu memang sangat cocok untuk dibaca. Sembarangaaan! Sepeleee diaaa,” kata Joshua kepada Mila. “Lucu kok Kak! Emang harus ringan gitu.”

“Ciyeee, ternyata ada follower rahasia,” bisik Lia kepadaku.
Yap, itu yang sedang ku fikirkan. Joshua dan Mila. How they knew? Lagi-lagi, aku kembali mempersilahkan kenyataan ini berlaku sebagai sebuah misteri.  Beberapa hal memang sengaja ku izinkan tak terjelaskan. Dan, apapun itu, saat ini aku semakin bahagia.
“Ini ada anak Pendidikan Bahasa Jepang UNRI yang lanjut di Jepang dengan seleksi yang gampaaang banget. Penilaian yang utama itu adalah disuruh memperkenalkan diri dalam bahasa Jepang. Mereka kan sangat suka kalau ada pendatang yang bisa berbahasa Jepang. Sama kayak kita, karena Bahasa Inggris itu bukan mother language kita, maka ketika ada orang yang bisa bahasa inggris meskipun masih blepotan itu aku hargai banget. Nah, kalau soal essay, USA itu sangat selektif banget. Jordan melalui teleconference-nya nanti harus menjelaskan hal itu juga sebagai orang USA. Terutama Bang Fahmi, kita harus minta dia bicara tentang formula yang ‘ngena’ banget. Daaaannnn… Kak Elisssaaa tolong bagi juga ilmu menulisnyaa yaaaa!” pinta Joshua di ujung penjelasan panjangnya.
Beuhhh! Aku yang tadinya serius menyimak Joshua mendadak jadi salah tingkah, pemirsaaa.
“Eh, eh awas Kak Elis terbang nanti! Hhaaha.”
“Heh, itu beda pembahasan lah Dek. Nanti ya, kita adakan bincang-bincang rahasiaaa!” kataku. Mirip si Ojan dalam acara SKETSA. "AHAAAAAAA!" kataku lagi. Tiba-tiba.
"Haaa... ada apa tu Kak?" mereka penasaran semua.
"Setelah dengar penjelasan Joshua tadi, gimana kalau quotes untuk Bang Fahminya kita ubah jadi; Formula Esay yang Menghipnotis, gimana?"
"Keren Kak. Lebih ngena. Sip, langsung kita sepakati aja!"
“Eh, kayaknya Joshua sangat cocok deh jadi moderator ya teman-teman?” balasku.
“Aduuhhh!... plis Kak, aku di bagian acara aja ya, ngurusin peserta. Kak Elisa ajalah yang jadi moderatornya.”

“Ngapain ngurusin peserta? Orang pesertanya aja udah pada masuk ruangan kok waktu acara,” ledek Hari. “Udah sejak kemarin sebenarnya kami minta Kak. Tapi, dia nggak mau katanya.”
“Nah, loh! Semua orang udah percaya ke Adek, tolong jangan menolak kepercayaan ini ya,” pintaku sok anggun. “Kapan lagi kita makai jasanya Joshua dengan gratis kan?” kataku sok berbisik kepada yang lain.
Rapat dipending setelah azan magrib berkumandang dan kembali dilanjutkan hingga pukul 19.45wib. Terakhir, kami berfoto bersama di ruangan ini beberapa kali jepretan.
“Ihhh, bagus, bagusss fotonyaaa.. ye yeeee!” pekikku.
“Hayoo… ini ketahuan siapa yang narsis sebenarnya,” kata Joshua.
Setelah membayar makanan di kasir, di lantai 1, kami saling berpamitan. Lia pamit lebih awal.
“Kakak duluan ya semuanyaaa… Tunggu aja beberapa jam lagi, cerita kita pasti udah nongol ajaa!” kata Lia.
“Hahaa, betul tuh Kak Liaa!”
Berikutnya aku dan Nila yang izin duluan.
“Kak Ciiinnn… ih lucu ya lilinnya. Ternyata makan di luar lebih romantis. Jadi kayak candle light dinner gitu Kak Cinnnn? Fotoin-fotoin Kak Ciinn!” pinta Nila.
“Wah, ini namanya Kakak rangkap jabatan ya? Haha.” Writer+photographer.

***
Di perjalanan menuju kosan Nilaa….
“Dek, Alhamdulillah ya rapat kita se-nyambung dan se-seseru tadi. Jujur, tadi waktu lihat Joshua, Kakak mikir; Eh, ada Joshua juga ya! karena beberapa kali ketemu dia, Kakak ngerasa nggak nemu kliknya aja. Tapi, setelah yang tadi, sekarang Kakak menyimpulkan sesuatu Dek!”
“Haa..apakah itu Kak Ciin?”
“Temannya seorang perampok, tidak akan menganggap temannya sebagai orang jahat kan? Dia tetap menganggap temannya sebagai teman. Bener kan Dek?”
“Bener. Terus, maksudnya apa Kak Cin?”
“Gini, kita nggak belum sempurna menilai seseorang sebelum kita bergaul dengannya. Karena, kemungkinan besar akan berbeda. Dan, Kakak nggak nyangka Joshua bisa selawak tadi.”
“Bener banget Kak Ciinnn. Hemmm.. ternyata nggak rugi kita datang rapat tadi. Hehe.”
“Iya, awalnya Kakak jadi malas karena tempatnya dipindah-pindah dan ngaret gitu. untung aja kita tetap maksain diri untuk datang ya Dek. Kak Lia pun sampai bela-belain bertahan rapat sampai jam segini padahal biasanya dia harus pulang sebelum jam 6 sore.”
Setelah sampai di luar pagar koran Nila, aku berpamitan. Fikiranku beralih tentang kamarku. Bukan kamarnya, tapi esensinya. Biasanya, selalu ada SMS; Ente di mana? Ketika aku terlambat pulang atau seharian ngeluyur nggak ngabarin dia.
Ku buka pintu kamar. Dan…
Rasanya benar-benar lengang. Posisi kamar tetap seperti semula. Untung saja ku tinggalkan dalam keadaan rapi. Tapi, meskipun ku syukuri, ada juga hal yang ku sedihi; tidak ada Rini di sini. Hanya aroma asap yang mendominasi. Tersebab, jendela kamar belum terkunci.

*Special Snapshoot for today http://elysapict.blogspot.co.id/
Have a nice rest, guys... 

Tidak ada komentar: