Berjalan.. berlari..
hati tertindih.
Sulit tapi harus aku
putuskan
Jalanmu, jalanku belum
sempruna
Biar masa depan yang
sempurnakan
Suara-suara bathinku
melepaskanmu
Lirih-lirih jiwaku
membasuh pilu…
Takdir yang Kau beri
menguji hatiku
Terasa menyesakkan kehilangan
ini
Tangis yang Kau beri
membuka mataku
Bahwa cinta yang
sebenar cinta hanya ada Satu
Karena kehilangan ini,
ku mampu medekat kepada-Mu
Alunan lagu berjudul Mencintai
Kehilangan ini menemani pagiku. Masih dini. Sholat Subuh baru saja ku
tunaikan. Sendirian. Dan, di menit ini aku kembali merindukan Rini. Semoga di
sana, ia tetap sama dalam ibadahnya. Aamiin
Bububuyuuu
banguunnnn… Aku mau adek! Auk auk auk auk..
Sayangnya aku belum ada pulsa dan harus membalas pesan Rini
dengan membebankan biaya kepadanya. Hehe.
Eke tadi bangunnya jam 04.10wib loh cuyyy. Aku mau adek!
Kayaknya aku udah terbiasa bangun cepat nih. Dia udah nelvon? Udah nelvon dia?
Simpanse. Bububuyu. Eh, btw flasdis eke di mindring?
Tentang
kalimat Dia udah nelvon? Udah nelvon dia?
masih ingat kan dengan pembuka di awal cerita ini http://elysarizka.blogspot.co.id/2015/09/one-additional-day-with-you.html ?
Di tas hitamku yang
cantik itu, di dalamnya. Isilah pulsa itu wooyyy!
Hahaha.. aku terkekeh membaca balasan Rini ini. hemm.. Iya
Cuy, aku akan beli pulsa nanti.
***
Melihat asap yang begitu tebal di luar jendela kamar, aku
jadi ragu untuk melangkah ke luar rumah. Tapi… emm… aku butuh pulsa. Aku butuh
bertemu beberapa orang hari ini. hemmm… ya
Allah.. bismillahi tawakaltuu. Tujuan pertamaku adalah counter pulsa supaya
nggak nyusahin orang terus, hehe. Selanjutnya, ke biro FKIP. Tapi, aku baru
nyadar kalau yang pertama kali harus ku lengkapi sebelum ngajuin surat
permohonan penambahan SKS adalah tanda tangan pak Suarman. Well, biar nggak
bolak-balik kerjanya, aku akan nyelesaikan yang satu ini dulu; Beberapa
pertanyaan tentang KOPMA.
“Ini Lisa mana?” tanya ketua KOPMA di seberang telvon.
“Lisa FKIP,” jawabku.
“Lisa FKIP?”
“Pokoknya aku anak UNRI juga. Kamu nggak kenal siapa aku,”
tegasku segera supaya aku bisa segera sampai ke poin pembicaraan. Tadi, aku
udah sempat nelvon pengurus KOPMA, tapi nggak dapat kejelasan sama sekali. “Aku
mau nanya beberapa hal tentang KOPMA. Riski ada waktu kan?”
“Ya adaa.”
“Kemarin waktu PKA di Universitas, KOPMA ada sosialisasi
nggak?”
“Kalau waktu di Venu Panjat Tebing nggak ada. Tapi waktu di
Gedung Gasing, ada.”
“Oh gituuu. Aku mau tanya lagii tentang usaha KOPMA yaa.”
“Eh, tunggu dulu, langsung aja ke sekre kalau gitu. Biar
lebih jelas.”
“Kamu ada di sekre sekarang?”
“Sekarang nggak ada.”
GUBRAKKK! Aku butuhnya sekarang loh Brooo. “Nggak apa-apa
lewat telvon aja ya. Ini pertanyaan terakhir kok, aku butuhnya cepat soalnya.”
“Tunggu dulu, ini buat apa pertanyaannya?”
“Buat… ennggg…… pra riset.”
Aku mulai takut Riski akan menolak memberikan informasi atau
malah meminta surat risetku dulu. Hiksss..
“Tugas?”
“Iii…iyaa.”
“Tugas apa?”
“Tugas mata kuliah.”
“Oh,,, untuk tugas mata kuliah.”
Huftt,..untung aja dia nggak nanya lagi, tugas mata kuliah
apa? Hehehe.
“Apa bidang usaha utama dari KOPMA saat ini, Ki?”
Aku mendapat cukup kejelasan dari Riski. Atas beberapa hal
yang masih ku ragukan, akhirnya ku putuskan untuk menghubungi Romcek.
Alhamdulillah, darinya aku berhasil mendapatkan keyakinanku untuk tetap maju bersama
judul proposalku ini. Hasla la vista
beibeehhh!
***
“Ibuuuukkkk! Apa kabar Buuukk?” pekikku kepada Ibu kantin
BEM FKIP.
“Baikk Lisss.. kemarin udah jualan Ibukk, tapi kan libur
lagi seminggu gara-gara mahasiswa diliburkan karena asap ni.”
“Harusnya Ibuk jualan aja Buk, soalnya kampus tetap rame
juga walaupun diliburkan.”
“Itulah Ibuk fikir, jualan aja lah seterusnya nih.”
Aku masih punya banyak TM. Niat hati ingin menelvon Teguh,
tapi bingung ntah apa yang mau ku tanyakan atau ku bicarakan? *Ada ya emak yang
bingung mau ngomong sama anaknya? hhaaah. Akhirnya ku exitkan lagi layar HPku.
Tapi…
Mak di mana? Kita
ketemu yuk di tempat biasa. Ada projek nih.
Bah! Baru ku fikirkan, langsung masuk SMSnya.
“Demi Allah Dek, Mak tadi mau nelvon dan SMSmu langsung
masuk saat itu juga.”
“Hhaaaa. Emanglah ya kalau hati udah terkonek nihhh! Haha.
Oke ya Mak nanti ketemu di Taman Digital. Tempat kita biasa diskusii.”
“Okee.. Tapi Mak sarapan dulu ya!”
“Oke, Mak sarapan aja dulu. Nanti kalau Adek udah di TKP,
Adek hubungi lagi.”
Kemarin-kemarin, Okta yang harus sabar nungguin aku
bersiap-siap, hari ini giliran aku. Udah sejak setengah jam yang lalu ku telvon
dia buat sarapan bareng di kantin ini, tapi sampai sekarang belum juga nongol
batang telinganya. Huh!
10 menit kemudian –ketika aku sudah putus asa dan mau makan
duluan aja, Okta datang bersama Mario Maurer (ket: sepupunya Okta). Kami
menikmati brunch (breakfast and lunch) bertiga di sini. Setelah selesai, aku
mengajak Okta ikut menemui Teguh di perpus. Eh, dia malah ogah-ogahan kayak
berkecil hati gituu…
“Katanya mau jadi dutaaa….? Ya harus pandai menyesuaikan
dirilah Dek. Ya udah ya, Kakak langsung pergi nih. Daa….”
“Oke Lisss, pergilah Lissss,” Okta mempersilahkan yang
sebenarnya sedang mengancam. Hahaaa.
***
“Ini Mak, udah Adek bikin Visi-Misi program kita ini, Mak
tolong nyusun kata-kata untuk profil komunitasnya yaa. Mak kan rajin nulisss.”
“Okehhh.. kopikan aja ke sini,” aku menyodorkan flasdisku
kepada Teguh.
“Heh, minta film Haji Bacpacker! Dasar ya, nggak bilang-bilang
kalau udah punya filmnya. Untung aku baca blog. Huh!”
“Hahahaa.. iya ya, Adek kan mau juga film itu. Tapi Mak
nggak kefikiran pula mau ngasih. Wkwkwk. Emosi ntar Adek nontonnya. Mak aja
emosi banget. Lihat kan tulisan Mak tu dongkolnya kayak apa?”
“Bacalah! Sampek Adek mikir, nih Mak kayak dia aja yang jadi
sutradaranya. Mueehhhhh!”
“Cobalah tonton! Buktikan omongan Mak. Terkesan banget kalau
kisah cinta di film itu dipaksakan Dek. Hilang gagahnya si Mada gara-gara ‘bumbu’
yang nggak pas itu. Sampai terakhir nggak terjelaskan kenapa dia membenci orang
tuanya, Kakaknya dan nggak mau pulang lagi ke Indonesia hanya gara-gara cewek
itu? Bah! Lebay amat.”
“Hehehe…tapi buruan Mak diangsur tuh bikin profilnya.”
“Loh? Adek maunya sekarang nih Mak kerjakan.”
“Ya iyalah.”
“Mak nggak bisa mikir loh kalau di tempat kayak gini. Mak
butuh sendiri.”
“Alaaah ngarang! Mak kan emang gittuuu orangnya!”
Bah! Pandai pula dia memaksaku sekarang. Berguru dari mana
pula?
“Ada jumpa **di Dek?”
“Ada. Kemarin Adek ke kosannya.”
“Dia ada nanyain Mak?”
Okehhh pemirsaaa, kalau ada Okta di sini, dia pati akan
bilang; “Pede kali si Elis ini kalau orang nanyain dia!” hahaha. Untungnya dia
nggak ikut.
“Enggg… dia bilang; ‘Gimana Kak Elis? Apa kesibukannya
sekarang?’ Adek jawab aja; ‘Ya gituu, dia semangat banget ngeramein blognya’.
Weww Mak, dia manggil Mak Kak Elis
sekarang. Udah berubah ya.”
“Semuanya memang udah berubah Dek, sejak dia merubah
dirinya!”
nyiptain quotes baru loh Mak di ujung kata sambutan; ‘Percayalah kawan-kawan,
hasil selalu sepakat dengan proses’ heheee. Dadakan banget tuh mikirnya. Di
ujung waktu.”
“Sihiyyyyyyyy. Keyeeenn dank!”
“Lagi belajar sok puitis sekarang, Mak, hehe.”
Ibnu sempat datang menjelang Zuhur dan syukurlah aku sudah
menyelesaikan profil komunitas yang digagas olehnya ini. Dalam acara-acara
lain, terutama ketika seleksi KPN, aku sangat segan kepada Ibnu. Tapi siang
ini, aku mengaggapnya sama seperti Teguh; sama-sama Adek.
***
Aku mendekati Teguh yang duduk di bibir mushola Rektorat.
Dia pasti sedang menungguku selesai sholat.
“Adek udah tahu di mana aja alamatnya?”
“Udah. Tadi search di Google Map Mak. Emang lah ya, apa-apa
nanya ke Google dan sedikit banyaknya mempengaruhi penurunan interaksi sosial,
hehe.”
“Bener tuh Dek. Hemmm.. Adek berani nggak kalau sendirian ke
sana?”
“Berani aja sih Mak. Kenapa? Mak nggak bisa ikutan ya?”
“Iya. Mak ada janji mau ketemu dosen siang ini soalnya Dek.
Gimana?”
“Ya udah deh, nggak apa-apa.”
“Maaf ya Dek. Hati-hati!”
Sebelum menyalakan motor, aku jadi teringat bahwa aku harus
sekaligus meminta tanda tangan lembar konsultasi bimbingan kepada pak Sua. Dan,
itu belum ku lengkapi. Ku putuskan untuk duduk di potongan batang pohon di
depan mushola rektorat ini. ku nyalakan laptop dan mulai ku telusuri koleksi
foto-fotoku. Dan, akhirnya ku dapatkan 3 fase itu! Inilah hikmahnya rajin
mengabadikan moment setiap harinya. Buat kamu semua, Keep capture, evribadehhh!.
Aku mampir lagi ke warung Ibuk. Habisnya nggak tahu ke mana
lagi sambil nunggu pak Sua yang masih di Gobah.
“Buk, sotonya satu ya!”
Ah… akhirnya aku makan lagi. Hiksss, gimana mau kurus nih?
Gaswat!
Sambil menikmati soto, aku ngobrol dengan keponakan Ibuk
yang baru masuk kuliah di jurusan PPKN.
“Loh? Adek pake almamater ya setiap hari?”
“Ia Kak. Diwajibkan.”
“Sama siapa?”
“Sama senior.”
Yeeaahhhh! Welcome here all newbie. Untungnya di Pekon nggak
pernah diwajibkan pakai almamater atau baju hitam putih waktu tahunku dulu.
Dengan senioritas yang satu ini sih aku no problem karena perintahnya positif,
meskipun mungkin bikin adek-adek ini nggak nyaman. Hehe.
“Kalau gerah, buka aja almamaternya Dek. Kan udah selesai
kuliahnya.”
“Iya sih Kak, tapi baju Adek nggak nyambung nih warnanya
sama jilbabnya. Ini pula enaknya pakai almamater Kak, terserah mau apa aja
warna jilbabnya bisa. Kira-kira lucu nggak ya Kak dilihat orang kalau Adek
pakai almamater terus?”
“Tenang aja, nggak bakal ada yang ngetawain Adek di sini.”
Kakak di mana? Laili
di kosan Kakak nih.
Aku langsung ngacir ke kosan untuk nyerahi uang finalis
MAWAPRES ke Laili. Tinggal Laili aja nih yang belum ngambil. Kebetulan, memang
ada beberapa barang yang ketinggalan di kamar dan ingin ku jemput. Berikutnya,
aku ke kosan Nila. Katanya dia mau minta film Korea dan mau ngembalikan bukuku.
*Aku tegaskan ya para hadiriiin, aku kurang suka dengan Korea. Tapi di
hardisk-ku ini ada beberapa film Korea punya temanku dan aku dilarang
menghapusnya. Hihii, judul foldernya aja;
Film TITIN. Jangan dihapus ya Cin!, kurang kece apa coba?
“Dek Nila, Kakak mau ketemu dosen Kakak nih! Ntar kalau Adek
nggak ada yang jemput waktu rapat, SMS aja Kakak ya biar Kakak balik lagi ke
sini.”

***
“Loh Kak Ciin? Udah selesai bimbingannya?”
“Udah. Makanya Kakak langsung balik aja ke sini.”
Ternyata Nila belum juga selesai ngopi film-filmku sejak
tadi. Huaaahhh… sebanyak apakah yang dia minati? Ada waktu sekitar sejam lagi
menjelang rapat. Aku memanfaatkan waktu untuk mengetik.
“Kak Ciiinnn… Nila mau ya minta novel Kakak yang judulnya Air Mata Gadis Dermaga ini!”
“Loh, Adek lihat di mana rupanya?”
“Ini dari kumpulan soft file prestasi Kak Ciinn. Iihhh,
banyak kali sih sertifikat Kak Ciiin iniii!”
Ternyata dibongkar-bongkarnya file sertifikatku bah!
“Siniin flasdisk Nila.” Sambil mengopikan filenya, aku
menceritakan bahwa sebenarnya judulnya bukan yang tadi, karena itu pemberian
editorku. Judul asalnya; Air Mata di Penghujung Sujud. Tapi ternyata Nila malah
sepakat dengan yang pertama daripada judulku. Hiksss.. lebih unik dan segar
katanya. Kalau tentang sujud-sujud itu udah banyak. Hohoooo…
“Itu jumlah halamannya 360an dan Kakak menyelesaikannya
dalam waktu kurang dari 2 bulan Dek, di tahun 2012. Agak alay gitu ceritanya.
Dan, sampai sekarang kemurnian alaynya masih terjaga, nggak ada Kakak ubah
sedikitpun sampai sekarang.”
“Terbitkanlah lagi Kak Cinnn.”
“Iya, jadi sebenarnya itu udah siap terbit Dek. Tapi,
ternyata kata editor Kakak itu penerbitnya gadungan. Makanya terbengkalai. Jadi
benda pusaka aja tuh novel akhirnya. Hahaa.”
“Nila punya teman FLP Kak Cinn, dia anak UIN. Tapi, Nila
lupa namanya. Dia udah nerbitin buku juga.”
“Suci?”
“Ahaaaa! Iya bener Kak. Dia udah ujian kompre loh Kak
Ciiinn, padahal dia seangkatan sama Nila, keren kan? Ihhh, pinter banget lah tu
anakkkk.”
“Itu nggak melulu tentang pintar Dek.”
“Iya sih Kak Cinnn, prosedur mereka kalau Nila lihat tu
nggak seribet di UNRI.”
“Bener. mereka itu bahkan diperbolehkan daftar yudisium
barulah revisi skripsinya nyusul.”
“Ihhhh,, enak banget ya mereka. Kalau kita justru harus udah
sampai diburn ke CD dan udah dijilid lux kan Kak Cin baru boleh daftar?”
“Bener buangeeetttsss. Temen Kakak di FISIP kemarin ada yang
nggak terkejar daftar yudisium padahal dia udah sidang 4 hari sebelum hari H.
Tapi ya karena banyak yang diurus, akhirnya begitu deh!”
Ada sesuatu yang tadi sempat hadir, ketika Nila mulai
menceritakan tentang Suci. Ada desiran di lubuk hatiku sana. Hadirnya hanya
sebentar dan untunglah aku sempat menyadarinya. Mungkin bernama penyesalan.
Tapi mungkin bisa disebut pemakluman. Ah, terserah kepada hati saja apa
namanya. Aku hanya penerjemah yang kadang pun keliru menerjemahkan hati
sendiri.
***
“Duh! Di mana sih warnet Arrafah tuh Kak Ciinn?”
“Nggak tahu nih Dek. Yang jelas ini kosan Arrafah. Ini
musholat Arrafah. Terus, warnetnya mana?”
Ku putuskan untuk berhenti saja di depan ruko yang beradu
sudut dari Arrafah dan mengajak Nila foto-foto dengan latar belakang kepulan
asap. Kapan lagi kan dapat pemandangan se-ekstrem ini?
“Kak, kita lihat-lihat jilbab ke dalam yuk? Nila nggak bawa
banyak uang juga sih Kak Cin, tapi daripada suntuk nungguin Aldi di sini.”
“Ayuk, yuk!”
Ada jilbab dan baju yang ku suka di sini. Tapi harganya
belum berjodoh dengan kantongku,
hikssss. HPku tiba-tiba berdering. Aldi yang menelvon…
“Kak, kita pindah tempat di komplek Giant ya. Di Merpati
sakti.”
“Whaatttt? Merpati Sakti? Itu beda jauh dari Giant loh Dek.
Di mana nya sih?”
“Pokoknya Kakak ke Manyar aja, nanti jumpa tuh,” Aldi
terdengar bertanya ke seseorang di sebelahnya. “Setelah Darel Hikmah Kak.”
“Dek Nilaaa… Yukk?!”
“Bentar Kak Ciiinn, Nila beli ini dulu.”
Ia lalu berlarian ke arahku dan segera ku bawa melaju.
“Nila beli jarum pentul tadi Kak Ciinn. Segan kalau nggak
beli apa-apa soalnya udah banyak yang kita lihat-lihat. Hehe, untunglah cuma
seribu harganya.”
“Wah! Murah tuh Dek, biasanya setidaknya dua ribu tuh!”
“Itulah makanya Nila beli.. heheh.”
***
Aku, Nila dan Lia memasuki komplek Panam Square, ke Cangkir
Café, langsung ke lantai 2. Di atas, saudah ada Joshua, Hari, Aldi dan Mila.
Kami segera bergabung dan say hallo
dengan mereka. Setelah kami duduk, seorang waiter menyodorkan menu makanan dan
minuman kepada kami. Kami segera memesannya agar rapat bisa segera di mulai.
Alhamdulillah ketika Aldi membuka acara, hujan turun dengan derasnya. Ucapan
syukur pun terucap bersamaan dari bibir-bibir kami.
“Nah, karena rundownnya udah disusun oleh Kak Lia, jadi kita
persilahkan Kak Lia untuk menyampaikannya,” pinta Aldi.
“Eheemmmmmmm,” Lia mendehem. “Jadi Kakak presentase nih
sekarang?”
Kami mengangguk, mempersilahkan Lia.
“…… nah setelah Bang Fahmi menyampaikan beasiswa
Fulbrightnya, workshop ditutup oleh Bang Put. Beliau akan membedah bukunya dan
menyampaikan gimana caranya bisa ke luar negeri gratis. Karena, dia memang
bener-bener gratis kan terbangnya.”
“Nah, ini nih ada yang mau aku sampaikan juga!” aku menyela omongan
Lia. “Jadi, kemarin itu ada salah satu peserta yang nanya, ‘Apakah udah dijamin
kalau ikutan workshop ini bakal dapat vocher gratis keliling dunia?’ Lah, dia
kira kita ini agen tour and travel rupanya.”
Sontak, semua orang tertawa mendengar penjelasanku. Ternyata
bukan aku saja yang ditanyai seperti itu. huaaahhh.. banyak yang salah faham
rupanya. Lia menyarankan kepada Aldi untuk mengklarifikasi hal tersebut ketika
besok ia memberikan kata sambutan sebagai ketua pelaksana.
“Teman-teman, kalau menurut Mila, gimana kalau Bang Putra
aja duluan yang bicara, barulah ditutup dengan Bang Fahmi. Soalnya kan
kebanyakan peserta itu menanti-nanti Bang Fahmi karena pengen dengar tentang
beasiswanya itu.”
“Ah masa iya? Teman-teman di UNRI justru pengennya lihat
Bang Put. Soalnya dia kan penulis buku Gratis Keliling Dunia itu. ya, menurut
aku sih tranding topic itu harus diletakkan di akhir supaya penonton tetap
konstan emosinya untuk menunggu,” usulku.
“Guys, aku kasih pandangan ya. Well, ini pertama kalinya aku
nge-EO-in acara sosial begini sedangkan sebelumnya aku selalu ke money oriented
targetnya, jadi aku melihat ada perbedaan dari berbagai sisi nih. Oke, begini,
aku selalu berusaha memposisikan diriku seperti peserta. Nggak masalah sih
siapa yang duluan bicara, tapi yang terpenting itu bukan how do we, tapi what they
get. Ekstremnya, aku sampai ngebayangin kalau pesertanya adalah orang yang
tolol, miskin nggak punya duit. Nah…”
Penjelasan Joshua terhenti ketika semua orang tertawa geli
mendengar penjelasannya yang excited itu.
“Iya, ini beneran loh. Jadi, kita jangan sampai terlalu
sibuk membahas mana konsep yang terkeren, tapi lupa mempertimbangkan apa yang
akan peserta dapatkan setelah dari acara ini. Kita harus bisa memberikan
sesuatu yang ‘ngena’ banget sesuati keinginan mereka. bahkan, mereka harus
sampai bersemangat ‘Aku pokoknya harus segera ke luar negeri bagaimana pun
caranya!’ Bener kan? Bayangkan kalau ternyata pesertanya adalah orang yang
bener-bener nggak tahu apa-apa, jangan dulu bahas tentang gimana S2, S3, yang
penting ke luar negeri aja dulu gimana pun caranya!”
Kami manggut-manggut mendengarkan penjelasan Joshua. Hemmm
kelihatan banget EOnya nih orang.
“Cin, Joshua ini ternyata seorang EO. Okta juga punya bakat
itu, tapi sayang kurang terasah,” bisikku kepada Lia.
“Kalau bisa, kita juga harus menentukan point-point apa aja
yang harus disampaikan oleh masing-masing pembicara, biar lebih fokus dan nggak
timpang tindih penjelasannya. Gimana?”
“Setuju. Jadi, setiap pembicara itu kayak punya quotesnya
sendiri kan?”
Semua orang sepakat dan mulailah kami berfikir keras untuk
menemukan Quotes untuk 2 orang pembicara seminar (Harry dan Haggy) dan 2 orang
pembicara workshop (bang Put dan bang Fahmi). Sementara 3 orang yang
teleconference hanya akan diberikan TOR secara resmi oleh Harry.
“Gimana kalau shoul we
go abroad aja untuk pembicara seminarnya?” usul Nila.
“Bagus sih. Tapi kurang ringan bahasanya.”
“Kenapa kita harus ke
luar negeri, gimana?” usul Lia.
“AHAAAAA! Ke luar
negeri modal dengkul!, gimana?” usulku sambil terkekeh sendiri.
“Waaahh, ngeri Kak Elis ini,” kata Hari.
“Atau ini aja; Kenapa harus keliling dunia?” usul yang
lainnya.
“Ahhh… yang dengkul aja!” kata Hari lagi.
“Hagy kemarin berangkat ke Nepal juga Dek?” tanyaku.
“Nggak Kak. Dia itu lebih ke program –program nasionalnya,
gratis juga.”
“Ya udah, quotes untuk Haggy; Keliling Indonesia modal dengkul! Aja gimana?”
“Setujuuuuuuu.”
Berikutnya penentuan tema untuk workshop.
“Untuk Bang Fahmi, gimana kalau kita minta dia bahas tentang
esay? Soalnya, masing-masing Negara tujuan itu punya kriteria yang unik.
Bahkan, ada yang nggak mau tes interview atau toefel yang ribet-ribet, tapi
cukup dari tulisannya aja. Nah, Bang Fahmi harus jelasin tentang trik itu. gimana?
Yah, semacam hypnotic writing gitu lah.” jelas Joshua.
“Setuju. Gimana kalau Menulis
Essay yang Menghipnotis?” usulku. Semuga orang manggut-manggut.
“Nah, ada usulan nih, gimana kalau yang peserta reguler itu
kita kasih kalender beasiswa aja? Jadi, sekalipun mereka nggak dapat buku,
mereka tetap prestise dengan dapat kalender itu. ntar kita emailkan aja ke
mereka. aku punya nih file rahasia dari UI. Di sini lengkap banget mulai dari
tanggalnya, persyaratannya, websitenya sampai alamatnya langsung.”
“Waaahhhh… tapi sama kami gratis kan Joo? Boleh donk Nila
mintaaa? Yeeee…”
“Enak ajaa! Bayaarrr yaaa!” balas Joshua, sok sewot.
“Joshua masih mau jadi anggota I-YES nggak?” ancam Nila.
“Waahhh… ngeri nih ancamannyaa,” kata Joshua sambil memandang
ke Hary yang juga sedang tertawa.
“Oke, sekarang kita bahasa tema untuk Bang Put ya.”
Semua kami berfikir keras kali ini. Ingin yang cetar dan
bisa mencakup 2 hall bedah buku dan bedah cara berangkat gratis.”
“AHAAAAAAAAA!” lagi-lagi aku. “Gimana kalau ini aja; Ke luar
negeri gratis. Pulang, punya buku. Siapa
yang mauuuu?” jelasku layaknya anak kecil.
Semua orang tertawa. Termasuk aku. Memang nggak salah lagi
kalau yang ini beneran bikin ngakak.
“Kak Elisss..plis jangan bahasa Blog!” pinta Mila.
“Eh, jangan salah loh! Tulisan-tulisannya Kak Elis itu
memang sangat cocok untuk dibaca. Sembarangaaan! Sepeleee diaaa,” kata Joshua
kepada Mila. “Lucu kok Kak! Emang harus ringan gitu.”
“Ciyeee, ternyata ada follower rahasia,” bisik Lia kepadaku.
Yap, itu yang sedang ku fikirkan. Joshua dan Mila. How they knew? Lagi-lagi, aku kembali
mempersilahkan kenyataan ini berlaku sebagai sebuah misteri. Beberapa hal memang sengaja ku izinkan tak
terjelaskan. Dan, apapun itu, saat ini aku semakin bahagia.
“Ini ada anak Pendidikan Bahasa Jepang UNRI yang lanjut di
Jepang dengan seleksi yang gampaaang banget. Penilaian yang utama itu adalah
disuruh memperkenalkan diri dalam bahasa Jepang. Mereka kan sangat suka kalau
ada pendatang yang bisa berbahasa Jepang. Sama kayak kita, karena Bahasa Inggris
itu bukan mother language kita, maka ketika ada orang yang bisa bahasa inggris
meskipun masih blepotan itu aku hargai banget. Nah, kalau soal essay, USA itu
sangat selektif banget. Jordan melalui teleconference-nya nanti harus
menjelaskan hal itu juga sebagai orang USA. Terutama Bang Fahmi, kita harus
minta dia bicara tentang formula yang ‘ngena’ banget. Daaaannnn… Kak Elisssaaa
tolong bagi juga ilmu menulisnyaa yaaaa!” pinta Joshua di ujung penjelasan
panjangnya.
Beuhhh! Aku yang tadinya serius menyimak Joshua mendadak
jadi salah tingkah, pemirsaaa.
“Eh, eh awas Kak Elis terbang nanti! Hhaaha.”
“Heh, itu beda pembahasan lah Dek. Nanti ya, kita adakan
bincang-bincang rahasiaaa!” kataku. Mirip si Ojan dalam acara SKETSA. "AHAAAAAAA!" kataku lagi. Tiba-tiba.
"Haaa... ada apa tu Kak?" mereka penasaran semua.
"Setelah dengar penjelasan Joshua tadi, gimana kalau quotes untuk Bang Fahminya kita ubah jadi; Formula Esay yang Menghipnotis, gimana?"
"Keren Kak. Lebih ngena. Sip, langsung kita sepakati aja!"
"Haaa... ada apa tu Kak?" mereka penasaran semua.
"Setelah dengar penjelasan Joshua tadi, gimana kalau quotes untuk Bang Fahminya kita ubah jadi; Formula Esay yang Menghipnotis, gimana?"
"Keren Kak. Lebih ngena. Sip, langsung kita sepakati aja!"
“Eh, kayaknya Joshua sangat cocok deh jadi moderator ya
teman-teman?” balasku.
“Aduuhhh!... plis Kak, aku di bagian acara aja ya, ngurusin
peserta. Kak Elisa ajalah yang jadi moderatornya.”
“Ngapain ngurusin peserta? Orang pesertanya aja udah pada
masuk ruangan kok waktu acara,” ledek Hari. “Udah sejak kemarin sebenarnya kami
minta Kak. Tapi, dia nggak mau katanya.”
“Nah, loh! Semua orang udah percaya ke Adek, tolong jangan
menolak kepercayaan ini ya,” pintaku sok anggun. “Kapan lagi kita makai jasanya
Joshua dengan gratis kan?” kataku sok berbisik kepada yang lain.
Rapat dipending setelah azan magrib berkumandang dan kembali
dilanjutkan hingga pukul 19.45wib. Terakhir, kami berfoto bersama di ruangan
ini beberapa kali jepretan.
“Ihhh, bagus, bagusss fotonyaaa.. ye yeeee!” pekikku.
“Hayoo… ini ketahuan siapa yang narsis sebenarnya,” kata
Joshua.
Setelah membayar makanan di kasir, di lantai 1, kami saling
berpamitan. Lia pamit lebih awal.
“Kakak duluan ya semuanyaaa… Tunggu aja beberapa jam lagi,
cerita kita pasti udah nongol ajaa!” kata Lia.
“Hahaa, betul tuh Kak Liaa!”
Berikutnya aku dan Nila yang izin duluan.
“Kak Ciiinnn… ih lucu ya lilinnya. Ternyata makan di luar
lebih romantis. Jadi kayak candle light dinner gitu Kak Cinnnn? Fotoin-fotoin
Kak Ciinn!” pinta Nila.
“Wah, ini namanya Kakak rangkap jabatan ya? Haha.”
Writer+photographer.
***
Di perjalanan menuju kosan Nilaa….
“Dek, Alhamdulillah ya rapat kita se-nyambung dan se-seseru
tadi. Jujur, tadi waktu lihat Joshua, Kakak mikir; Eh, ada Joshua juga ya! karena beberapa kali ketemu dia, Kakak
ngerasa nggak nemu kliknya aja. Tapi, setelah yang tadi, sekarang Kakak
menyimpulkan sesuatu Dek!”
“Haa..apakah itu Kak Ciin?”
“Temannya seorang perampok, tidak akan menganggap temannya
sebagai orang jahat kan? Dia tetap menganggap temannya sebagai teman. Bener kan
Dek?”
“Bener. Terus, maksudnya apa Kak Cin?”
“Gini, kita nggak belum sempurna menilai seseorang sebelum
kita bergaul dengannya. Karena, kemungkinan besar akan berbeda. Dan, Kakak
nggak nyangka Joshua bisa selawak tadi.”
“Bener banget Kak Ciinnn. Hemmm.. ternyata nggak rugi kita
datang rapat tadi. Hehe.”
“Iya, awalnya Kakak jadi malas karena tempatnya
dipindah-pindah dan ngaret gitu. untung aja kita tetap maksain diri untuk
datang ya Dek. Kak Lia pun sampai bela-belain bertahan rapat sampai jam segini
padahal biasanya dia harus pulang sebelum jam 6 sore.”
Setelah sampai di luar pagar koran Nila, aku berpamitan.
Fikiranku beralih tentang kamarku. Bukan kamarnya, tapi esensinya. Biasanya,
selalu ada SMS; Ente di mana?
Ketika aku terlambat pulang atau seharian ngeluyur nggak ngabarin dia.
Ku buka pintu kamar. Dan…
Rasanya benar-benar lengang. Posisi kamar tetap seperti
semula. Untung saja ku tinggalkan dalam keadaan rapi. Tapi, meskipun ku
syukuri, ada juga hal yang ku sedihi; tidak ada Rini di sini. Hanya aroma asap
yang mendominasi. Tersebab, jendela kamar belum terkunci.
*Special Snapshoot for today http://elysapict.blogspot.co.id/
Have a nice rest, guys...
*Special Snapshoot for today http://elysapict.blogspot.co.id/
Have a nice rest, guys...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar