“Rin, Yudi ngepost pengumuman nih di FB. Pagi ini, ada
seminar di puswil tentan Riau Merdeka Asap. Gratis dan dapat makan siang juga.”
“Pergi kita?”
“Yuklah!”
“Cepatlah El siap-siap. Aku tinggal pakai jilbab aja nya
ni!”
“Emangnya Rini nggak mandi?”
“Udah loh tadi subuh. Ah, macam mana nyaa! Cepatlah El
siap-siap, udahlah pakai jilbab aja 2 jam lamanya. El tu kan nggak mau waktu El
terbuang-buang, janganlah buang-buang waktuku juga!”
“Hiksss..terus Rin, aku yang salah?”
“Tengoklah El tu genduut kali haaa! Howalahhh…70 kilo.
Bulattt!”
“Biarlah aku bulat, dari pada Rini..”
“Apa?”
“Jajaran genjang.”
“El kayak layang-layang tu!”
“Eh, iya juga Rin. Kan kata Rini kepalaku kecil, bahuku
lebar dan kakiku kecil. Udah pas lah tu kayak layang-layang.”
“Hhahaa.a..iya nyaa? Makanya, El tuu berhentilah korupsi
sama makananku. Biar kurusan El!”
“Iya. Aku akan diet besok Rin!”
“Selalapnyaa! Diet, diettt… tapi korupsi makanan tetap
lanjut. Huh!”
***
Mak? Di mana?
"Rin, Teguh nanya aku udah di mana nih. hehe, padahal tadi pagi-pagi banget aku yang ngabarin Teguh, Lia, Novi dan Okta, tapi malah sampek jam segini akunya yang belum nongol."
Mak sedang sarapan Dek. Tadi motor mogok. Kecapekan kali mak ngengkolnya.
"Ah, paling-paling jam 10 baru dimulai nya tuhh!" kata Rini.
Ku lirik jam di HP, ternyata sudah pukul 9.35wib.
Sarapan di mana Mak?
"Bah, Teguh nanya aku sarapan di mana pula nih. Aku takut dia shock nanti kalau ku bilang aku masih di Panam. hahaa."
Aku menikmati pecalku dengan nikmat. Kayaknya warung di dekat kosanku ini bakal jadi langgananku dan Rini sarapan deh! Habisnya tempat idola kami kemarin sampai saat ini belum buka juga. Ntah pengen nambah libur atau memang nggak buka lagi.
"Rin, aku harus nyiapin kadonya Teguh sekarang. Gimana cara ngasihinnya belum ku fikirkan sih, yang jelas kadonya harus ready dulu.Pokoknya kado ini harus dia terima hari ini juga. Aku nggak mau telat."
"Arassooh."
Setelah membayar total biaya percetakan sekaligus dengan bukunya Okta yang kemarin, aku memikirkan bagaimana caranya membungkus buku ini.
"Enngggg... Bang, ada koran bekas nggak?"
"Nggak ada Dek."
"Ya udah, HVS bekas. Ada?"
Si Abang celingukan dan ternyata nggak nemukan HVS bekas. Akhirnya dia menyodorkan 5 lembar kertas jilidan berwarna biru. Ah, ini mah sayang banget kalau dipake semua, aku hanya mengambil 2. Sekarang, gimana cara ngikatnya nih?
"Bang, ada karet gelang nggak?"
Si abang celingukan lagi dan...
"Ini boleh nggak kalau saya pake?" Aku meraih tali bed name berwarna hitam di dekat pemotong kertas.
"Boleh. Pakai aja Dek."
"Bang, ada gunting nggak?"
Si abang celingukan lagi. Duh, kasihan banget nih abangnya. Baik amat. Sejak waktu aku ngasih kado ke Okta juga aku ngerepotin begini. Minta koran bekaslah, minta karet gelang atau pita lah. hehe.
"Kak, pinjam guntingnya sebentar boleh?" pintaku kepada Kakak di sebelahku, buru-buru. Tak peduli dia siapa; sama-sama pelanggan, atau keluarganya pemilik ruko ini.
"Untuk kado ya? Kok kayaknya buru-buru banget?"
"Iya Kak," jawabku singkat dengan tawa kecil. Ku potong pengait bed name itu dan.....jadilah pita hitam dadakan. ye yeee. Ku ikat secantik mungkin kado mungil ini.
"Rin, numpang foto dulu ya!" ku letakkan kado ini di atas roknya Rini. "Rokmu bagus motifnya soalnya, ehehe."
"Fotoin aku jugalah sama kadonya."
"Pailah paiii," ku persilahkan Rini.
Huaaahhhh...ternyata udah jam 10 lebih pemirsaaa. Ini mau ikut seminar atau mau mampir ke tempat seminar sih?
"Kayaknya El lah orang yang paling nggak peduli sama jam."
"Ciyusss Rin?"
"Iyaaa. Ini aja El nyantai aja. Biasa aja."
"Aku gitu orangnya Rin orangnya.
***
“Jangan pegang-pegang aku!”
"Rin, Teguh nanya aku udah di mana nih. hehe, padahal tadi pagi-pagi banget aku yang ngabarin Teguh, Lia, Novi dan Okta, tapi malah sampek jam segini akunya yang belum nongol."
Mak sedang sarapan Dek. Tadi motor mogok. Kecapekan kali mak ngengkolnya.
"Ah, paling-paling jam 10 baru dimulai nya tuhh!" kata Rini.
Ku lirik jam di HP, ternyata sudah pukul 9.35wib.
Sarapan di mana Mak?
"Bah, Teguh nanya aku sarapan di mana pula nih. Aku takut dia shock nanti kalau ku bilang aku masih di Panam. hahaa."
Aku menikmati pecalku dengan nikmat. Kayaknya warung di dekat kosanku ini bakal jadi langgananku dan Rini sarapan deh! Habisnya tempat idola kami kemarin sampai saat ini belum buka juga. Ntah pengen nambah libur atau memang nggak buka lagi.
"Rin, aku harus nyiapin kadonya Teguh sekarang. Gimana cara ngasihinnya belum ku fikirkan sih, yang jelas kadonya harus ready dulu.Pokoknya kado ini harus dia terima hari ini juga. Aku nggak mau telat."
"Arassooh."
Setelah membayar total biaya percetakan sekaligus dengan bukunya Okta yang kemarin, aku memikirkan bagaimana caranya membungkus buku ini.
"Enngggg... Bang, ada koran bekas nggak?"
"Nggak ada Dek."
"Ya udah, HVS bekas. Ada?"
Si Abang celingukan dan ternyata nggak nemukan HVS bekas. Akhirnya dia menyodorkan 5 lembar kertas jilidan berwarna biru. Ah, ini mah sayang banget kalau dipake semua, aku hanya mengambil 2. Sekarang, gimana cara ngikatnya nih?
"Bang, ada karet gelang nggak?"
Si abang celingukan lagi dan...
"Ini boleh nggak kalau saya pake?" Aku meraih tali bed name berwarna hitam di dekat pemotong kertas.
"Boleh. Pakai aja Dek."
"Bang, ada gunting nggak?"
Si abang celingukan lagi. Duh, kasihan banget nih abangnya. Baik amat. Sejak waktu aku ngasih kado ke Okta juga aku ngerepotin begini. Minta koran bekaslah, minta karet gelang atau pita lah. hehe.
"Kak, pinjam guntingnya sebentar boleh?" pintaku kepada Kakak di sebelahku, buru-buru. Tak peduli dia siapa; sama-sama pelanggan, atau keluarganya pemilik ruko ini.
"Untuk kado ya? Kok kayaknya buru-buru banget?"
"Iya Kak," jawabku singkat dengan tawa kecil. Ku potong pengait bed name itu dan.....jadilah pita hitam dadakan. ye yeee. Ku ikat secantik mungkin kado mungil ini.
"Rin, numpang foto dulu ya!" ku letakkan kado ini di atas roknya Rini. "Rokmu bagus motifnya soalnya, ehehe."
"Fotoin aku jugalah sama kadonya."
"Pailah paiii," ku persilahkan Rini.
Huaaahhhh...ternyata udah jam 10 lebih pemirsaaa. Ini mau ikut seminar atau mau mampir ke tempat seminar sih?
"Kayaknya El lah orang yang paling nggak peduli sama jam."
"Ciyusss Rin?"
"Iyaaa. Ini aja El nyantai aja. Biasa aja."
"Aku gitu orangnya Rin orangnya.
***
“Jangan pegang-pegang aku!”
“Aku nggak megang Rini kok! Aku megang tas Rini.”
“Iya, jangan dipegang-pegang tasku. Lepas nggak? Lepas
nggak!” Rini menghempaskan tanganku yang sekarang sudah mampir di lengan
tangannya.
“Nggak, nggak mau!”
“Lepasing nggak? ha!”
Kami pukul-pukulan di depan pintu masuk audit Soeman HS. Tak
sadar, seorang cowok berbaju panitia terbengong di belakang kami. Aku dan Rini
langsung ngacir ke dalam dengan wajah memerah. Berikutnya kami celingukan
nyariin Lia.
“Cin!” sapanya dari tempat duduk terbelakang. Aku menoleh.
“Tolong tanda tangan di buku kita ni Cin. Aku mau ngasih ke Bang Yopi. Dari
kemarin belum jadi-jadi juga. Udah ku kasihkan pula buku yang bertanda tangan
kemarin tu ke orang lain. Ehhe.”

“Rin, cewek berjilbab merah di depanku ini loh yang ku
bilang punya utang sama aku tuu.”
“Berapa utangnya?”
“Rp 100.000.”
“Udah 2 kali loh ku minta uangnya tadi, tapi dia selalu
bilang; ‘Tunggulah dulu yaa. Kan dapat sertifikat nih kitaa’ apa hubungannya
coba? Aku pasti akan sangat kesal kalau akhirnya nanti gagal nerima uangnya
Rin, padahal uda ketemu sama orangnya. Udah 2 tahun loh utangnya nii.”
“Kok gitu sih dia?”
“Mungkin dia malu ngasihkan uangnya di depan temannya. Ya,
tapi kan sebenarnya dia bisa ke belakang bentar untuk ngasihin ke aku,” jelasku
setengah berbisik kepada Rini. “Padahal, dia tu dekat kali sama aku loh waktu
SMP Rin. Dia tulah sahabat SMPku.”
“Ngerii yaa, gara-gara hutang kalian jadi jauh kayak gini.”
“Nggak gara-gara utang juga sih Rin. Memang udah lama nggak
dekat lagi, waktu SMA dia pindah ke Pekanbaru dan sampek kuliah sekarang udah
nggak pernah lagi bareng. Udah beda kesibukan juga.”
Aku menunjukkan ke Lia review-anku tentang Bicara Cinta. Dia
membacanya kemudian mengaku takjub dengan tulisanku itu. Sihiyyyyy… pas mau ku
tunjukkan tulisanku yang lain, dia ditelvon seseorang.
“Berarti Rini tanggal 20 nanti nggak di sini lagi ya?” tanya
Lia ke Rini.
Ah, aku lupa bilang ke Lia ternyata kalau Rini akan pulang
tanggal 15 ini dan dia udah mengundurkan diri sebagai LO.
“Eh, ada MUN (Model United Nation) loh di Bangladesh.”
“Hemmm… kalau MUN, aku nggak berminat. Kenapa sih nggak
acara yang kemarin aja kita perjuangkan Cin?” tanyaku.
“Yuklah kita bikin proposal lagi Cin ke PR 3?”
“Ayukk!”
Siapa yang akan menolak Cin untuk mengulang masa-masa gila
itu? Masa-masa ketika hanya ada aku dan kamu yang ngos-ngosan mengejar peluang
dan dana. Aku mau banget lah!
“Yuklah nyoba MUN?”
Aku yang sedang mengetik, menghentikan jemariku. “Aku
bilang, nggak mauu Cin. Cukup yang kemarin aja diperjuangkan duluu.”
“Bukan ngajak mu kok. Aku ngajak Rinii niih haaa.”
Apalagi Rini Ciinnn.. sedangkan aku aja udah ngajak dia
memperjuangkan Bangladesh dan menunda pulangnya pun nggak mempan. Buat apa mu
ngajak dia ikutan MUN? mubazir. Dia akan tetap pulang. Pulang, pulang dan
pulang saja yang ada difikirannya. Dia terlalu yakin ntah terlalu positif bahwa
perpisahan itu bukan apa-apa. Beda banget denganku yang menganggap perpisahan
itu kalau bisa diminalisir. Hikss...
“Mana mau diaaa Cin. Tinta For aja kemarin nggak ikutt.” Ya Allah, kok aku sewot gini ya?
“Ehhh..kemarin itu karena bentrok ya dengan PPRU.”
“Yaahh.. tapi Rini aja tanggal 20 ni udah balik yaa,” kata
Lia.
“Iya… soalnya kan tanggal 24nya udah lebaran Idul Adha. Aku
disuruh bantu-bantu di rumah Liii.”
Bantu-bantu apa?
Nyembelih hewan kurban rupanya? Kan kagak toh!
“Ohhh..gitu yaa. Hemmm..” kata Liaa.
Idiihh, ini Lia kok
legowo banget ya? Gampang banget memaklumi orang lain sih..!
“Tanggal 15 dengan tanggal 24 itu jauh jaraknya Rin!”
celetukku.
“Ya biarlah. Kok El sewot pula?”
“Ya nggak perlu jadikan Idul Adha sebagai alasanmu pulang
lah! Pulang aja kalau mau pulang,” suaraku agak meninggi.
“Biarlah. Yang sibuk an El nii.”
“Ya udah, pulanglah sanaa..!” ucapku perlahan. Bukan sebuah
kalimat mempersilahkan sebenarnya, tapi melarang dengan cara mempersilahkan.
Berikutnya, kami bertiga sama-sama terdiam.
Maaf ya Allah, mungkin aku terlalu tidak ingin secepat ini
berpisah dengan Rini. Hemm..sebenarnya baik aku ataupun Rini sama-sama egois.
Kalau aku, egoisnya kelihatan karena prilakuku mencolok. Kamu Egois Rin! Tapi berbeda cara.
***
“Enak banget ya nasi bungkusnya Ciiinnn..” kata Lia.
“Iya nih. Sambalnya juga gurih banget dan segar.”
“Nggak nyangka ada rasa cabe sesegar ini ya.”
“Ukurannya pun pas buat perutku nih. Nggak berlebihan,”
sahut Rini.
Kami kembali fokus melahap nasi bungkus. Aku, seperti biasa,
berbunyi-bunyi ketika makan.
“Jangan kayak kucing Ell,” kata Rini.
“Bukan kucing Rin kalau kata Titin, kayak ambulan katanya.
Hehe.”
“Tulah kaaann. Pulaknya ribut kali pun.”
Aku, Lia dan Rini makan bertiga di teras Puswil. Nikmat
banget rasanya seperti ini. padahal, Lia tadi udah niat banget untuk pulang
duluan karena kelamaan nungguin nasinya datang. Tapi, Alhamdulillah nasi
bungkus ini memang rezekinya dan rezeki untuk kami bisa ngumpul bertiga gini.
Sihiiyyyy! Setelah makan, aku dan Lia ngobrolin workshop keliling dunia yang
udah semakin dekat aja dengan hari H. Ada kemungkinan acara akan diundur
seminggu karena asap ini dan beberapa hal teknis lainnya.
“Hati-hati yaa Ciiinn,” kataku kepada Lia. Kami berpisah di
parkiran motor.
“KANNNNNNN….!”
“Apa nya El?” tanya Rini. Heran melihatku panik.
“Nggak jadi akhirnya kawanku tadi bayar hutangnya ah! Udah
ku minta pun dari tadi nggak dikasih-kasihkannya juga. Udah pulang orangnya
pasti nii!”
“Lihat aja lagi ke atas El. Siapa tahu dia masih di atas.”
“Inilah yang aku khawatirkan sejak tadi! Geram aku jadinya
Riiiinn.. grrr…” keluhku. Lalu bergegas naik ke lantai 2, ke aula perpus dan
ternyata dia udah nggak ada lagi di sana. Hiksss.. aku kembali ke parkiran
dengan wajah kesal.
“Ada dia?”
“Nggak ada. Huh… marah-marah pula aku nanti. Ah, ku minta
ajalah dia transfer uangnya. Nggak mau tahu aku gimana caranya. Kalau alasannya
nggak ada ATMnya, aku nggak mau tahu yang penting uang itu harus sampek ke aku.
Terserah pinjam ATM siapa.”
“Sabar Bukk.”
“Iya Rin. Loh Rin, itu kan Dek Gompar. Kok masih di sini
sih? Apa Teguh belum juga jemput dia?”
“Udah El titipkan kado El tu ke dia?”
“Udah Rin. Dia nggak yakin bisa gitu. Tapi aku bilang;
‘Kakak nggak mau tahu, pokoknya Adek harus nemuin caranya kado ini bisa masuk
ke tasny tanpa dia tahu’ semoga berhasil dia Rin.”
“Hhaha.. belum terbiasa dia jadi psikopat kayak El tuu.”
“Kayaknya sih gitu. Sepertinya dia adalah orang yang lurus
Rin. Atau, ini hanya mimpi?”
“Halaaahhh.. ngigau lagi! Yuk cusss jalan!” pinta Rini yang
udah nangkring di atas motorku.
Tujuan kami selanjutnya adalah beli bantal kecil untuk
Nilam. Kemarin mami cerita kalau Nilam kepengen bantal kecil yang bisa dibawa
diperjalanan. Hemm… baru sekarang kesampean. Soalnya terakhir kali aku
nanya-nanya harga bantal ini ternyata uangku nggak cukup. Eh, ternyata sekarang
dapat yang murah; Rp 35.000, padahal di kemarin tu Rp 45.000. Alhamdulillah…
***
Seorang gadis kecil membuka pintu. Ia melongokkan sedikit
wajahnya dari pintu…
“Nilamnya sedang ngapain Dek? Belajar?”
“Sedang tidur siang Kak.”
“Ya udah deh, titip ini kasihkan ini ke Nilam ya. Makasih..”
aku menyerahkan bantal, 2 potong ayam pop kesukaannya dan 1 plastik pakaiannya
yang ketinggalan di kosanku.
“Pasti nanti Nilam seneng banget tuh Rin.”
“Arasoooh…”
“Orang baru azan ya Rin? Atau udah azan?” tanyaku dalam
lajuku.
“Baru azan tuh!”
“Haaa… sebentar lagi Nilam pasti dibangunkan sholat Ashar
tuh. Pasti surprise banget dia dapat bantal itu.”
Seperti biasa, aku memotong jarak lewat jalan tanah di
samping Agung Toyota Mall. Rini kurang suka lewat sini karena jalannya
bergelombang dan banyak debunya.
“Rin, tiba-tiba aku berfikir, ntah direktur atau managernya
yang penting petinggi perusahaan Agung Toyota ini tiba-tiba datang kepadaku dan
memintaku menjadi pendamping hidupnya. Sihiiiyyy..”
“Emang parah kali khayalan si kawan ini bah!” kata Rini.
“Hehehe.. ntah kenapa tiba-tiba terfikir gitu Rin karena
kita kan sering kali lewat sini.”
“El mau nikah sama orangnya atau sama mobilnya nih?”
“Sama mobilnya lah! Hahaaa.”
“Udah gilak nyaa?!”
Aku mengajak Rini beli choco changer. Udah lama juga kami
nggak minum nih minuman yang nggak disukai Teguh karena pahitnya. Hehe.
“Rin, rasakuuu Rin. Rasakuuu…”
“Selalap nya lama kali pun ngomognyaa!”
BRAKKKKK..
“Huhuuu, kandas El. Kasihan motor El ni haaa.. pelan-pelan
napaa!”
“Hikss,, iya, kasihan motorku kandas,” aku mulai khawatir
bakal bocor lagi saluran bensinnya kayak kemarin. Wahhh, gawat nih! Banyak juga uang yang harus ku keluarkan kemarin
tuh. Semoga tidak ya Allah.
“Sakit perut Adek Baaaang,” keluh Rini.
“Kaaaaaaaaaan! Aku jadi lupa kelanjutan ‘rasaku’ tadi apaa!
Huaaahhhh… padahal idenya tuh keren banget loh. Arrrrggghhhh..gara-gara Rini
nih!”
“Loh? Makannya naik motor tu jangan kayak pembalap!”
“Dek, choco changernya 2 ya yang ori,” pintaku.
Setelah ini kami nggak mau ke mana-mana lagi. Pulang ke
kosan adalah tujuan terakhir untuk hari ini.
“Hemmmm… syudahlah!” ucap Rini, lemah, ketika mendapati
kamar yang bentuknya kayak kapal pecah kena bom nuklir ini.
“Beserak kali pun kamar kita nii!”
“Barang-barang siapa tuh coba?”
“Terus, aku yang salah Rin?”
“Iyalaah.”
Kami melepas lelah bersama teguk demi teguk choco changer.
Ya Allah, lezaaaaat banget. We love it. Ternyata, choceng ini membuat kami
kenyang. Padahal, tadi sewakti di jalan pengen kali langsung makan setelah
sampai di kosan.
“Ah, aku nonton Jai Ho lahhh! Nggak sabar.”
Segera ku nyalakan laptop. Sementara Rini nonton film
Koreanya. Kami memang bersebrangan yang
kadang bersebelahan.
***
“Haloo?”
“Lis, ke luarlah cepat! Kami ke kosmu ni haaa.”
“Kakak sedang makan loh. Bentar ya dikit lagi nih!”
“Cepat ajalah ke luar! Jangan banyak cito kauuu..”
Huh, apa-apakah ini pemirsaaa! Aku nggak punya pilihan lain
selain cuci tangan dan cepat-cepat ke luar sebelum teraiakan mereka semakin
menjadi-jadi.
“Ada apa nyaa?”
“Cekk, uang Joni hilangg loh!” kata Okta, memelas.
“Loh? Kok bisa? Di mana hilangnya?” tanyaku, mengiba.
“Diambil sama polisi Cekk. Hahhaaa..” kata Okta lagi.
“Kalian ditilang?”
“Iya, ni haa gara-gara si Okta!” jawab Joni.
“Emang apa masalahnya?”
“Okta nggak pake helm Cek. Ya namanya aja kami mau pergi
makan, mana ada kami lengkap-lengkap. 1 juta dua ratus loh Cek total denda
kami. Tapi, kalau kami bayar Rp 100.000 langsung di tempat dibebaskannya.
Daripada kami disidang mendinglah kami bayar lagi.”
“Dan yang dipakai untuk bayar itu uangku untuk pulang
kampung Lisss. Inilah kami ke sini mau pinjam uangmu Lisss.”
“Ngapain sih pulang kampung?”
“Mamak aku nyuruh pulang bantu-bantu di sanaa. Aku pun udah
bilang mau pulang sama Mamakku.”
“Kapan ke sini lagi?”
‘Sekitar tanggal 25 lah laahh.”
“Lama amat?”
Loh, ini kok aku pula yang ngatur anak orang yak? Huh, sama
aja kamu dek sama Rini. Kalian kok sekongkolan sih ninggali aku? Hiksss…
“Nih..” ku serahkan uang itu ke Joni langsung. Kasihan juga
dia kalau nggak jadi pulang. Meskipun bisa aja sih nggak udah ku pinjemin aja
uang itu. hehe *Otak jahatku kambuh.
***
“Rin, si Teguh ni kan sedang SMSan sama aku. Tapi, kok dia
nggak ada tanda-tanda terkejut ya? Kayaknya belum dibuka deh kadonya. Atau,
don’t-don’t (baca: Jangan-jangan) Dek Gompar gagal masukin kado itu ke dalam
tasnya Teguh. Arrgghhh…kacau nih!”
“Mending El pastiin dulu ke Gompar tuu.”
Aku minta nomor Gompar ke Risky BEM. Udah ku SMS berulang
kali tapi nggak dibalasnya. Ku coba menelvon, ternyata nomornya nggak aktif.
Kata Risky sih HPnya Gompar sedang rusak. Grrrrrr… terus, gimana aku bisa tahu
tentau kado itu?
“Ah, atau ku posting aja sekarang ya Rin Coomin Soon-nya di
FB? Terserahlah si Teguh udah tahu apa belum, yang jelas udah selesai tugasku.
Karena, modem ni bentar lagi habis paketnya. Nggak mungkin besok kan? Udah
nggak special lagi ntar.”
“Iya, sekarang aja El. Biar kaget si Teguh tuu.”
COOMING SOON
Sebuah karya anak muda yang penuh gelora…………
Mak… apa maksud
postingan terbaru Mak di FB tuu?
“Rin, Rin, Teguh kayaknya baru baca di FB nih postku. Gimana
nih? Dia nggak ngerti loh. Pasti dia belum buka kadonya. Gimana nih? Gimana
nih? Caranya biar dia buka tasnya!”
“Suruhlah dia buka tasnya.”
“Ya mana mungkin gitu Rin. Nggak seru donk! Masa tiba-tiba
ku bilang; Dek, lihatlah kado di dalam tasmu! Nggak surprise lah Riiin. Aha!
SMS dia Rin pake nomormu.”
“Eh, jangan HP yang itu, dia udah tahu kayaknya sama nomor
yang itu El. pake yang ini aja,” kata Rini sambil menunjukkan Androidnya.
“Eee…ketikkanlah Rin! Nggak pandai aku ngetik pake HP ituuu.
Salah-salah nanti.”
“Ya udahhh.. apa nih yang mau dibilang.”
“Bilang gini; Guh,
ada buku-ku terbawa di tasmu? Aku kecarian nih! Eh, tapi nanyain buku
atau pena ya? atau sertifikat seminar tadi aja?”
“Emang dia dapat sertifikat?”
“Iya ya, kayaknya nggak dapat deh Rin. Dia kan udah kabur
duluan sebelum acara selesai tadi tuu. Duh, tanya apa ya yang kira-kira nggak
mencurigakan? Ahaaaa! Power bank aja Rin. Cepat, ganti yang buku tadi tu dengan
power bank.”
“Udah ku kirim nihh.”
“Ya Allah, semoga berhasill.. kok rasaku nggak ada yang
beres ya dari rencanaku? Kemarin waktu ngasih ke Okta pun ribet juga prosesnya.”
Sambil menunggu hasil dari usaha ini, kami menunaikan sholat
Isya. Dan, setelah selesai…
“Ada dibalasnya Rinnn?”
“Nggak ada nih.”
Aku melanjutkan sholat sunnahku. Sambil tetap harap-harap
cemas. Dan setelah selesa…
“Loh? Rini nggak sholat sunnah?” tanyaku. Aku baru nyadar
kalau setelah sholat Isya tadi dia langsung rebahan.
“Oh iyaa yaa..”
“Hayooo.. Rini masih punya hutang target ibadah harian kalau
gituuu..” aku mengingatkannya.
Nanti kalau Rini udah
pulang, nggak ada lagi loh yang ngingatkan Rini… cuma Rinilah yang akan jadi
pengingat bagi diri Rini sendiri… Lanjutku dalam hati tapi terungkap kepada
Rini.
Waktu ku cek HP, ternyata ada 2 panggilan tak terjawab dari
Teguh. Hemmm..dia pasti udah buka kadonya nih.
Emaaakkkk… sumpah
terharu. Sukses banget ni bikin air mata terjun bebass..
“Rin, Rinn.. Teguh SMS nih. Katanya dia terharu. Berarti
udah dibacanya kan bukunya tuu?”
“Iya,, udah tuu.”
Waktu Teguh kembali menelvon, aku segera mengangkatnya dan
terdengarla bekas isakan tangis di sana. Dia menebak orang yang memasukkan kado
itu adalah Okta. Waktu ku jelaskan bahwa Gomparlah orangnya, dia benar-benar
nggak nyangka. Katanya, lelahnya seharian ini berubah jadi bahagia setelah membuka
kadoku. Sihiiiyyyy…
“Kok bisa kefikiran sih Mak ngasih giniaan?”
“Hahahaa.. pertanyaan yang sama dengan yang pernah Okta
tanyakan kemarin Dek. Ya bisalah. Itu bahkan udah 2 bulan yang lalu Mak garap.
Rencananya mau ngasih ke kalian sebelum kalian KKN. Tapi, Teguh sama Okta aja
beda tanggal berangkatnya kan. Makanya, Mak putuskan untuk beda-beda timing aja
ngasihinnya. Rencana awal tuh ada 3 orang yang mau Mak bikini buku; Adek, Okta
dan Joni. Tapi, si Joni aja nggak pernah nulis, apa yang mau mak stalkingin
coba? Hehe. Makanya, cuma kalian berdua aja deh jadinya.”
“Sumpahlah Mak, Adek nggak nyangka loh. Terbersit pun nggak,
bakal di kasih kado seistimewa ini. Ya Allah Mak, makasih banget ya. Tadi sempat geram loh! Adek mikir Mak sedang maksa Adek bikin tulisan dan udah dibuatkan covernya. Adek mikir, mana mungkin di saat-saat sibuk gini sempat nulis buku! Eh, ternyata ini jawabannya. Makasih ya Mak.”
Hanya 3 menit kami bicara karena Teguh harus kembali lagi
kepada rapat dengan teman-teman BEM Se-Riau.
“Rin, nih dengerin!”
Aku memutar rekaman obrolanku dengan Teguh barusan. Rini
senyum-senyum. Lalu tertawa di bagian salah kaprahnya Teguh menganggap bahwa
SMS tentang power bank tadi itu adalah dari Gompar. Padahal kan Rini yang
ngirimin. Ehhe. Berarti aksiku dan Rini ini sukses pemirsaaa… Alhamdulillah. Aku lupa bilang ke Teguh ini; Kalau Adek
merasa Mak udah memberikan kebahagiaan buat Adek, maka bahagiakanlah 3 orang
lagi dan mintalah orang itu untuk membahagiakan 3 orang lagi. *Inspirasi
dari film Jai Hoo.
Setelah Rini tertidur, aku terfikir tentang sesuatu. Tentang
Edo yang lebih cepat pulangnya dari prediksi mami. Saat itu, aku yakin yang
mami rasakan sama dengan apa yang ku rasakan sekarang. Berat memang. Tapi, ada
sebuah pesan yang tidak akan pernah ku lupakan dari cerita mami kala ituu…
“Mami kok nggak bilang aja sama Edo sejujurnya kalau Mami
sesungguhnya masih ingin dia lebih lama lagi di sini? Tanyaku.
“El, kalau orang udah berniat untuk pergi, untuk apa kita
cegah? Walaupun sebenarnya kita ingin, tapi prinsip Mami; Kalau memang mau pergi, silahkan pergi. Aku tidak akan menghalangi.
Mana enak rasanya membuat orang terpaksa menetap lebih lama gara-gara kita El.”
Terdengar sepele memang. Tapi, tidak sesepele itu nilai
dibaliknya. Sekarang, sudah saatnya aku menggunakan prinsip mami itu sebagai
bentengku tentang perpisahan dengan Rini. Tak lama lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar