Rabu, 09 September 2015

Kado Lama yang Kembali Baru



“Rin, Yudi ngepost pengumuman nih di FB. Pagi ini, ada seminar di puswil tentan Riau Merdeka Asap. Gratis dan dapat makan siang juga.”
“Pergi kita?”
“Yuklah!”
“Cepatlah El siap-siap. Aku tinggal pakai jilbab aja nya ni!”
“Emangnya Rini nggak mandi?”
“Udah loh tadi subuh. Ah, macam mana nyaa! Cepatlah El siap-siap, udahlah pakai jilbab aja 2 jam lamanya. El tu kan nggak mau waktu El terbuang-buang, janganlah buang-buang waktuku juga!”
“Hiksss..terus Rin, aku yang salah?”
“Tengoklah El tu genduut kali haaa! Howalahhh…70 kilo. Bulattt!”
“Biarlah aku bulat, dari pada Rini..”
“Apa?”
“Jajaran genjang.”
“El kayak layang-layang tu!”
“Eh, iya juga Rin. Kan kata Rini kepalaku kecil, bahuku lebar dan kakiku kecil. Udah pas lah tu kayak layang-layang.”
“Hhahaa.a..iya nyaa? Makanya, El tuu berhentilah korupsi sama makananku. Biar kurusan El!”
“Iya. Aku akan diet besok Rin!”
“Selalapnyaa! Diet, diettt… tapi korupsi makanan tetap lanjut. Huh!”
***
Mak? Di mana?
"Rin, Teguh nanya aku udah di mana nih. hehe, padahal tadi pagi-pagi banget aku yang ngabarin Teguh, Lia, Novi dan Okta, tapi malah sampek jam segini akunya yang belum nongol."
Mak sedang sarapan Dek. Tadi motor mogok. Kecapekan kali mak ngengkolnya.
"Ah, paling-paling jam 10 baru dimulai nya tuhh!" kata Rini.
Ku lirik jam di HP, ternyata sudah pukul 9.35wib.
Sarapan di mana Mak?
"Bah, Teguh nanya aku sarapan di mana pula nih. Aku takut dia shock nanti kalau ku bilang aku masih di Panam. hahaa."
Aku menikmati pecalku dengan nikmat. Kayaknya warung di dekat kosanku ini bakal jadi langgananku dan Rini sarapan deh! Habisnya tempat idola kami kemarin sampai saat ini belum buka juga. Ntah pengen nambah libur atau memang nggak buka lagi.

"Rin, aku harus nyiapin kadonya Teguh sekarang. Gimana cara ngasihinnya belum ku fikirkan sih, yang jelas kadonya harus ready dulu.Pokoknya kado ini harus dia terima hari ini juga. Aku nggak mau telat."
"Arassooh."
Setelah membayar total biaya percetakan sekaligus dengan bukunya Okta yang kemarin, aku memikirkan bagaimana caranya membungkus buku ini.
"Enngggg... Bang, ada koran bekas nggak?"
"Nggak ada Dek."
"Ya udah, HVS bekas. Ada?"
Si Abang celingukan dan ternyata nggak nemukan HVS bekas. Akhirnya dia menyodorkan 5 lembar kertas jilidan berwarna biru. Ah, ini mah sayang banget kalau dipake semua, aku hanya mengambil 2. Sekarang, gimana cara ngikatnya nih?
"Bang, ada karet gelang nggak?"
Si abang celingukan lagi dan...
"Ini boleh nggak kalau saya pake?" Aku meraih tali bed name berwarna hitam di dekat pemotong kertas.
"Boleh. Pakai aja Dek."
"Bang, ada gunting nggak?"
Si abang celingukan lagi. Duh, kasihan banget nih abangnya. Baik amat. Sejak waktu aku ngasih kado ke Okta juga aku ngerepotin begini. Minta koran bekaslah, minta karet gelang atau pita lah. hehe.

"Kak, pinjam guntingnya sebentar boleh?" pintaku kepada Kakak di sebelahku, buru-buru. Tak peduli dia siapa; sama-sama pelanggan, atau keluarganya pemilik ruko ini.
"Untuk kado ya? Kok kayaknya buru-buru banget?"
"Iya Kak," jawabku singkat dengan tawa kecil. Ku potong pengait bed name itu dan.....jadilah pita hitam dadakan. ye yeee. Ku ikat secantik mungkin kado mungil ini.
"Rin, numpang foto dulu ya!" ku letakkan kado ini di atas roknya Rini. "Rokmu bagus motifnya soalnya, ehehe."
"Fotoin aku jugalah sama kadonya."
"Pailah paiii," ku persilahkan Rini.
Huaaahhhh...ternyata udah jam 10 lebih pemirsaaa. Ini mau ikut seminar atau mau mampir ke tempat seminar sih?
"Kayaknya El lah orang yang paling nggak peduli sama jam."
"Ciyusss Rin?"
"Iyaaa. Ini aja El nyantai aja. Biasa aja."
"Aku gitu orangnya Rin orangnya.

***
“Jangan pegang-pegang aku!”
“Aku nggak megang Rini kok! Aku megang tas Rini.”
“Iya, jangan dipegang-pegang tasku. Lepas nggak? Lepas nggak!” Rini menghempaskan tanganku yang sekarang sudah mampir di lengan tangannya.
“Nggak, nggak mau!”
“Lepasing nggak? ha!”
Kami pukul-pukulan di depan pintu masuk audit Soeman HS. Tak sadar, seorang cowok berbaju panitia terbengong di belakang kami. Aku dan Rini langsung ngacir ke dalam dengan wajah memerah. Berikutnya kami celingukan nyariin Lia.
“Cin!” sapanya dari tempat duduk terbelakang. Aku menoleh. “Tolong tanda tangan di buku kita ni Cin. Aku mau ngasih ke Bang Yopi. Dari kemarin belum jadi-jadi juga. Udah ku kasihkan pula buku yang bertanda tangan kemarin tu ke orang lain. Ehhe.”
Aku menandatangani back covernya dan membubuhkan quotes dadakan di sana; “Berhenti berkarya, berarti mati!” hehe… *sok-sok jadi orator gicuuu. Hehe.
“Rin, cewek berjilbab merah di depanku ini loh yang ku bilang punya utang sama aku tuu.”
“Berapa utangnya?”
“Rp 100.000.”
“Udah 2 kali loh ku minta uangnya tadi, tapi dia selalu bilang; ‘Tunggulah dulu yaa. Kan dapat sertifikat nih kitaa’ apa hubungannya coba? Aku pasti akan sangat kesal kalau akhirnya nanti gagal nerima uangnya Rin, padahal uda ketemu sama orangnya. Udah 2 tahun loh utangnya nii.”
“Kok gitu sih dia?”
“Mungkin dia malu ngasihkan uangnya di depan temannya. Ya, tapi kan sebenarnya dia bisa ke belakang bentar untuk ngasihin ke aku,” jelasku setengah berbisik kepada Rini. “Padahal, dia tu dekat kali sama aku loh waktu SMP Rin. Dia tulah sahabat SMPku.”
“Ngerii yaa, gara-gara hutang kalian jadi jauh kayak gini.”
“Nggak gara-gara utang juga sih Rin. Memang udah lama nggak dekat lagi, waktu SMA dia pindah ke Pekanbaru dan sampek kuliah sekarang udah nggak pernah lagi bareng. Udah beda kesibukan juga.”
Aku menunjukkan ke Lia review-anku tentang Bicara Cinta. Dia membacanya kemudian mengaku takjub dengan tulisanku itu. Sihiyyyyy… pas mau ku tunjukkan tulisanku yang lain, dia ditelvon seseorang.
“Berarti Rini tanggal 20 nanti nggak di sini lagi ya?” tanya Lia ke Rini.
Ah, aku lupa bilang ke Lia ternyata kalau Rini akan pulang tanggal 15 ini dan dia udah mengundurkan diri sebagai LO.
“Eh, ada MUN (Model United Nation) loh di Bangladesh.”
“Hemmm… kalau MUN, aku nggak berminat. Kenapa sih nggak acara yang kemarin aja kita perjuangkan Cin?” tanyaku.
“Yuklah kita bikin proposal lagi Cin ke PR 3?”
“Ayukk!”
Siapa yang akan menolak Cin untuk mengulang masa-masa gila itu? Masa-masa ketika hanya ada aku dan kamu yang ngos-ngosan mengejar peluang dan dana. Aku mau banget lah!
 “Yuklah nyoba MUN?”
Aku yang sedang mengetik, menghentikan jemariku. “Aku bilang, nggak mauu Cin. Cukup yang kemarin aja diperjuangkan duluu.”
“Bukan ngajak mu kok. Aku ngajak Rinii niih haaa.”
Apalagi Rini Ciinnn.. sedangkan aku aja udah ngajak dia memperjuangkan Bangladesh dan menunda pulangnya pun nggak mempan. Buat apa mu ngajak dia ikutan MUN? mubazir. Dia akan tetap pulang. Pulang, pulang dan pulang saja yang ada difikirannya. Dia terlalu yakin ntah terlalu positif bahwa perpisahan itu bukan apa-apa. Beda banget denganku yang menganggap perpisahan itu kalau bisa diminalisir. Hikss...
“Mana mau diaaa Cin. Tinta For aja kemarin nggak ikutt.” Ya Allah, kok aku sewot gini ya?
“Ehhh..kemarin itu karena bentrok ya dengan PPRU.”
“Yaahh.. tapi Rini aja tanggal 20 ni udah balik yaa,” kata Lia.
“Iya… soalnya kan tanggal 24nya udah lebaran Idul Adha. Aku disuruh bantu-bantu di rumah Liii.”
Bantu-bantu apa? Nyembelih hewan kurban rupanya? Kan kagak toh!
“Ohhh..gitu yaa. Hemmm..” kata Liaa.
Idiihh, ini Lia kok legowo banget ya? Gampang banget memaklumi orang lain sih..!
“Tanggal 15 dengan tanggal 24 itu jauh jaraknya Rin!”
celetukku.
“Ya biarlah. Kok El sewot pula?”
“Ya nggak perlu jadikan Idul Adha sebagai alasanmu pulang lah! Pulang aja kalau mau pulang,” suaraku agak meninggi.
“Biarlah. Yang sibuk an El nii.”
“Ya udah, pulanglah sanaa..!” ucapku perlahan. Bukan sebuah kalimat mempersilahkan sebenarnya, tapi melarang dengan cara mempersilahkan. Berikutnya, kami bertiga sama-sama terdiam.
Maaf ya Allah, mungkin aku terlalu tidak ingin secepat ini berpisah dengan Rini. Hemm..sebenarnya baik aku ataupun Rini sama-sama egois. Kalau aku, egoisnya kelihatan karena prilakuku mencolok. Kamu Egois Rin! Tapi berbeda cara.

***
“Enak banget ya nasi bungkusnya Ciiinnn..” kata Lia.
“Iya nih. Sambalnya juga gurih banget dan segar.”
“Nggak nyangka ada rasa cabe sesegar ini ya.”
“Ukurannya pun pas buat perutku nih. Nggak berlebihan,” sahut Rini.
Kami kembali fokus melahap nasi bungkus. Aku, seperti biasa, berbunyi-bunyi ketika makan.
“Jangan kayak kucing Ell,” kata Rini.
“Bukan kucing Rin kalau kata Titin, kayak ambulan katanya. Hehe.”
“Tulah kaaann. Pulaknya ribut kali pun.”
Aku, Lia dan Rini makan bertiga di teras Puswil. Nikmat banget rasanya seperti ini. padahal, Lia tadi udah niat banget untuk pulang duluan karena kelamaan nungguin nasinya datang. Tapi, Alhamdulillah nasi bungkus ini memang rezekinya dan rezeki untuk kami bisa ngumpul bertiga gini. Sihiiyyyy! Setelah makan, aku dan Lia ngobrolin workshop keliling dunia yang udah semakin dekat aja dengan hari H. Ada kemungkinan acara akan diundur seminggu karena asap ini dan beberapa hal teknis lainnya.
“Hati-hati yaa Ciiinn,” kataku kepada Lia. Kami berpisah di parkiran motor.
“KANNNNNNN….!”
“Apa nya El?” tanya Rini. Heran melihatku panik.
“Nggak jadi akhirnya kawanku tadi bayar hutangnya ah! Udah ku minta pun dari tadi nggak dikasih-kasihkannya juga. Udah pulang orangnya pasti nii!”
“Lihat aja lagi ke atas El. Siapa tahu dia masih di atas.”
“Inilah yang aku khawatirkan sejak tadi! Geram aku jadinya Riiiinn.. grrr…” keluhku. Lalu bergegas naik ke lantai 2, ke aula perpus dan ternyata dia udah nggak ada lagi di sana. Hiksss.. aku kembali ke parkiran dengan wajah kesal.
“Ada dia?”
“Nggak ada. Huh… marah-marah pula aku nanti. Ah, ku minta ajalah dia transfer uangnya. Nggak mau tahu aku gimana caranya. Kalau alasannya nggak ada ATMnya, aku nggak mau tahu yang penting uang itu harus sampek ke aku. Terserah pinjam ATM siapa.”
“Sabar Bukk.”
“Iya Rin. Loh Rin, itu kan Dek Gompar. Kok masih di sini sih? Apa Teguh belum juga jemput dia?”
“Udah El titipkan kado El tu ke dia?”
“Udah Rin. Dia nggak yakin bisa gitu. Tapi aku bilang; ‘Kakak nggak mau tahu, pokoknya Adek harus nemuin caranya kado ini bisa masuk ke tasny tanpa dia tahu’ semoga berhasil dia Rin.”
“Hhaha.. belum terbiasa dia jadi psikopat kayak El tuu.”
“Kayaknya sih gitu. Sepertinya dia adalah orang yang lurus Rin. Atau, ini hanya mimpi?”
“Halaaahhh.. ngigau lagi! Yuk cusss jalan!” pinta Rini yang udah nangkring di atas motorku.
Tujuan kami selanjutnya adalah beli bantal kecil untuk Nilam. Kemarin mami cerita kalau Nilam kepengen bantal kecil yang bisa dibawa diperjalanan. Hemm… baru sekarang kesampean. Soalnya terakhir kali aku nanya-nanya harga bantal ini ternyata uangku nggak cukup. Eh, ternyata sekarang dapat yang murah; Rp 35.000, padahal di kemarin tu Rp 45.000. Alhamdulillah…

***
Seorang gadis kecil membuka pintu. Ia melongokkan sedikit wajahnya dari pintu…
“Nilamnya sedang ngapain Dek? Belajar?”
“Sedang tidur siang Kak.”
Oh iya, aku lupa kalau anak-anak di pesantren ini diwajibkan tidur siang setiap harinya.
“Ya udah deh, titip ini kasihkan ini ke Nilam ya. Makasih..” aku menyerahkan bantal, 2 potong ayam pop kesukaannya dan 1 plastik pakaiannya yang ketinggalan di kosanku.
“Pasti nanti Nilam seneng banget tuh Rin.”
“Arasoooh…”
“Orang baru azan ya Rin? Atau udah azan?” tanyaku dalam lajuku.
“Baru azan tuh!”
“Haaa… sebentar lagi Nilam pasti dibangunkan sholat Ashar tuh. Pasti surprise banget dia dapat bantal itu.”
Seperti biasa, aku memotong jarak lewat jalan tanah di samping Agung Toyota Mall. Rini kurang suka lewat sini karena jalannya bergelombang dan banyak debunya.
“Rin, tiba-tiba aku berfikir, ntah direktur atau managernya yang penting petinggi perusahaan Agung Toyota ini tiba-tiba datang kepadaku dan memintaku menjadi pendamping hidupnya. Sihiiiyyy..”
“Emang parah kali khayalan si kawan ini bah!” kata Rini.
“Hehehe.. ntah kenapa tiba-tiba terfikir gitu Rin karena kita kan sering kali lewat sini.”
“El mau nikah sama orangnya atau sama mobilnya nih?”
“Sama mobilnya lah! Hahaaa.”
“Udah gilak nyaa?!”
Aku mengajak Rini beli choco changer. Udah lama juga kami nggak minum nih minuman yang nggak disukai Teguh karena pahitnya. Hehe.
“Rin, rasakuuu Rin. Rasakuuu…”
“Selalap nya lama kali pun ngomognyaa!”
BRAKKKKK..
“Huhuuu, kandas El. Kasihan motor El ni haaa.. pelan-pelan napaa!”
“Hikss,, iya, kasihan motorku kandas,” aku mulai khawatir bakal bocor lagi saluran bensinnya kayak kemarin. Wahhh, gawat nih! Banyak  juga uang yang harus ku keluarkan kemarin tuh. Semoga tidak ya Allah.
“Sakit perut Adek Baaaang,” keluh Rini.
“Kaaaaaaaaaan! Aku jadi lupa kelanjutan ‘rasaku’ tadi apaa! Huaaahhhh… padahal idenya tuh keren banget loh. Arrrrggghhhh..gara-gara Rini nih!”
“Loh? Makannya naik motor tu jangan kayak pembalap!”
“Dek, choco changernya 2 ya yang ori,” pintaku.
Setelah ini kami nggak mau ke mana-mana lagi. Pulang ke kosan adalah tujuan terakhir untuk hari ini.
“Hemmmm… syudahlah!” ucap Rini, lemah, ketika mendapati kamar yang bentuknya kayak kapal pecah kena bom nuklir ini.
“Beserak kali pun kamar kita nii!”
“Barang-barang siapa tuh coba?”
“Terus, aku yang salah Rin?”
“Iyalaah.”
Kami melepas lelah bersama teguk demi teguk choco changer. Ya Allah, lezaaaaat banget. We love it. Ternyata, choceng ini membuat kami kenyang. Padahal, tadi sewakti di jalan pengen kali langsung makan setelah sampai di kosan.
“Ah, aku nonton Jai Ho lahhh! Nggak sabar.”
Segera ku nyalakan laptop. Sementara Rini nonton film Koreanya. Kami memang bersebrangan yang kadang bersebelahan.

***
“Haloo?”
“Lis, ke luarlah cepat! Kami ke kosmu ni haaa.”
“Kakak sedang makan loh. Bentar ya dikit lagi nih!”
“Cepat ajalah ke luar! Jangan banyak cito kauuu..”
Huh, apa-apakah ini pemirsaaa! Aku nggak punya pilihan lain selain cuci tangan dan cepat-cepat ke luar sebelum teraiakan mereka semakin menjadi-jadi.
“Ada apa nyaa?”
“Cekk, uang Joni hilangg loh!” kata Okta, memelas.
“Loh? Kok bisa? Di mana hilangnya?” tanyaku, mengiba.
“Diambil sama polisi Cekk. Hahhaaa..” kata Okta lagi.
“Kalian ditilang?”
“Iya, ni haa gara-gara si Okta!” jawab Joni.
“Emang apa masalahnya?”
“Okta nggak pake helm Cek. Ya namanya aja kami mau pergi makan, mana ada kami lengkap-lengkap. 1 juta dua ratus loh Cek total denda kami. Tapi, kalau kami bayar Rp 100.000 langsung di tempat dibebaskannya. Daripada kami disidang mendinglah kami bayar lagi.”
“Dan yang dipakai untuk bayar itu uangku untuk pulang kampung Lisss. Inilah kami ke sini mau pinjam uangmu Lisss.”
“Ngapain sih pulang kampung?”
“Mamak aku nyuruh pulang bantu-bantu di sanaa. Aku pun udah bilang mau pulang sama Mamakku.”
“Kapan ke sini lagi?”
‘Sekitar tanggal 25 lah laahh.”
“Lama amat?”
Loh, ini kok aku pula yang ngatur anak orang yak? Huh, sama aja kamu dek sama Rini. Kalian kok sekongkolan sih ninggali aku? Hiksss…
“Nih..” ku serahkan uang itu ke Joni langsung. Kasihan juga dia kalau nggak jadi pulang. Meskipun bisa aja sih nggak udah ku pinjemin aja uang itu. hehe *Otak jahatku kambuh.

***
“Rin, si Teguh ni kan sedang SMSan sama aku. Tapi, kok dia nggak ada tanda-tanda terkejut ya? Kayaknya belum dibuka deh kadonya. Atau, don’t-don’t (baca: Jangan-jangan) Dek Gompar gagal masukin kado itu ke dalam tasnya Teguh. Arrgghhh…kacau nih!”
“Mending El pastiin dulu ke Gompar tuu.”
Aku minta nomor Gompar ke Risky BEM. Udah ku SMS berulang kali tapi nggak dibalasnya. Ku coba menelvon, ternyata nomornya nggak aktif. Kata Risky sih HPnya Gompar sedang rusak. Grrrrrr… terus, gimana aku bisa tahu tentau kado itu?
“Ah, atau ku posting aja sekarang ya Rin Coomin Soon-nya di FB? Terserahlah si Teguh udah tahu apa belum, yang jelas udah selesai tugasku. Karena, modem ni bentar lagi habis paketnya. Nggak mungkin besok kan? Udah nggak special lagi ntar.”
“Iya, sekarang aja El. Biar kaget si Teguh tuu.”
COOMING SOON
Sebuah karya anak muda yang penuh gelora…………
Mak… apa maksud postingan terbaru Mak di FB tuu?
“Rin, Rin, Teguh kayaknya baru baca di FB nih postku. Gimana nih? Dia nggak ngerti loh. Pasti dia belum buka kadonya. Gimana nih? Gimana nih? Caranya biar dia buka tasnya!”
“Suruhlah dia buka tasnya.”
“Ya mana mungkin gitu Rin. Nggak seru donk! Masa tiba-tiba ku bilang; Dek, lihatlah kado di dalam tasmu! Nggak surprise lah Riiin. Aha! SMS dia Rin pake nomormu.”
“Eh, jangan HP yang itu, dia udah tahu kayaknya sama nomor yang itu El. pake yang ini aja,” kata Rini sambil menunjukkan Androidnya.
“Eee…ketikkanlah Rin! Nggak pandai aku ngetik pake HP ituuu. Salah-salah nanti.”
“Ya udahhh.. apa nih yang mau dibilang.”
“Bilang gini; Guh, ada buku-ku terbawa di tasmu? Aku kecarian nih! Eh, tapi nanyain buku atau pena ya? atau sertifikat seminar tadi aja?”
“Emang dia dapat sertifikat?”
“Iya ya, kayaknya nggak dapat deh Rin. Dia kan udah kabur duluan sebelum acara selesai tadi tuu. Duh, tanya apa ya yang kira-kira nggak mencurigakan? Ahaaaa! Power bank aja Rin. Cepat, ganti yang buku tadi tu dengan power bank.”
“Udah ku kirim nihh.”
“Ya Allah, semoga berhasill.. kok rasaku nggak ada yang beres ya dari rencanaku? Kemarin waktu ngasih ke Okta pun ribet juga prosesnya.”
Sambil menunggu hasil dari usaha ini, kami menunaikan sholat Isya. Dan, setelah selesai…
“Ada dibalasnya Rinnn?”
“Nggak ada nih.”
Aku melanjutkan sholat sunnahku. Sambil tetap harap-harap cemas. Dan setelah selesa…
“Loh? Rini nggak sholat sunnah?” tanyaku. Aku baru nyadar kalau setelah sholat Isya tadi dia langsung rebahan.
“Oh iyaa yaa..”
“Hayooo.. Rini masih punya hutang target ibadah harian kalau gituuu..” aku mengingatkannya.
Nanti kalau Rini udah pulang, nggak ada lagi loh yang ngingatkan Rini… cuma Rinilah yang akan jadi pengingat bagi diri Rini sendiri… Lanjutku dalam hati tapi terungkap kepada Rini.
Waktu ku cek HP, ternyata ada 2 panggilan tak terjawab dari Teguh. Hemmm..dia pasti udah buka kadonya nih.
Emaaakkkk… sumpah terharu. Sukses banget ni bikin air mata terjun bebass..
“Rin, Rinn.. Teguh SMS nih. Katanya dia terharu. Berarti udah dibacanya kan bukunya tuu?”
“Iya,, udah tuu.”
Waktu Teguh kembali menelvon, aku segera mengangkatnya dan terdengarla bekas isakan tangis di sana. Dia menebak orang yang memasukkan kado itu adalah Okta. Waktu ku jelaskan bahwa Gomparlah orangnya, dia benar-benar nggak nyangka. Katanya, lelahnya seharian ini berubah jadi bahagia setelah membuka kadoku. Sihiiiyyyy…
“Kok bisa kefikiran sih Mak ngasih giniaan?”
“Hahahaa.. pertanyaan yang sama dengan yang pernah Okta tanyakan kemarin Dek. Ya bisalah. Itu bahkan udah 2 bulan yang lalu Mak garap. Rencananya mau ngasih ke kalian sebelum kalian KKN. Tapi, Teguh sama Okta aja beda tanggal berangkatnya kan. Makanya, Mak putuskan untuk beda-beda timing aja ngasihinnya. Rencana awal tuh ada 3 orang yang mau Mak bikini buku; Adek, Okta dan Joni. Tapi, si Joni aja nggak pernah nulis, apa yang mau mak stalkingin coba? Hehe. Makanya, cuma kalian berdua aja deh jadinya.”
“Sumpahlah Mak, Adek nggak nyangka loh. Terbersit pun nggak, bakal di kasih kado seistimewa ini. Ya Allah Mak, makasih banget ya. Tadi sempat geram loh! Adek mikir Mak sedang maksa Adek bikin tulisan dan udah dibuatkan covernya. Adek mikir, mana mungkin di saat-saat sibuk gini sempat nulis buku! Eh, ternyata ini jawabannya. Makasih ya Mak.”
Hanya 3 menit kami bicara karena Teguh harus kembali lagi kepada rapat dengan teman-teman BEM Se-Riau.
“Rin, nih dengerin!”
Aku memutar rekaman obrolanku dengan Teguh barusan. Rini senyum-senyum. Lalu tertawa di bagian salah kaprahnya Teguh menganggap bahwa SMS tentang power bank tadi itu adalah dari Gompar. Padahal kan Rini yang ngirimin. Ehhe. Berarti aksiku dan Rini ini sukses pemirsaaa… Alhamdulillah. Aku lupa bilang ke Teguh ini; Kalau Adek merasa Mak udah memberikan kebahagiaan buat Adek, maka bahagiakanlah 3 orang lagi dan mintalah orang itu untuk membahagiakan 3 orang lagi. *Inspirasi dari film Jai Hoo.
Setelah Rini tertidur, aku terfikir tentang sesuatu. Tentang Edo yang lebih cepat pulangnya dari prediksi mami. Saat itu, aku yakin yang mami rasakan sama dengan apa yang ku rasakan sekarang. Berat memang. Tapi, ada sebuah pesan yang tidak akan pernah ku lupakan dari cerita mami kala ituu…
“Mami kok nggak bilang aja sama Edo sejujurnya kalau Mami sesungguhnya masih ingin dia lebih lama lagi di sini? Tanyaku.
“El, kalau orang udah berniat untuk pergi, untuk apa kita cegah? Walaupun sebenarnya kita ingin, tapi prinsip Mami; Kalau memang mau pergi, silahkan pergi. Aku tidak akan menghalangi. Mana enak rasanya membuat orang terpaksa menetap lebih lama gara-gara kita El.”
Terdengar sepele memang. Tapi, tidak sesepele itu nilai dibaliknya. Sekarang, sudah saatnya aku menggunakan prinsip mami itu sebagai bentengku tentang perpisahan dengan Rini. Tak lama lagi.

Tidak ada komentar: