Minggu, 20 September 2015

Workshop Gratis Keliling Dunia; Gagal itu Gratis. Kenapa Takut Mencoba?



Sepi. Sendiri lagi. Di kamar ini. Sepi ini kembali mengajakku merenung, meresapi segala hal yang telah bersebut tadi; tadi pagi, tadi ketika workshop, tadi ketika bahu membahu bersama teman-teman, tadi ketika pulang dan tadi yang tak mungkin terulang. Inilah beragam hikmah ranum yang ku rangkum hari ini;
1.       Ada saatnya kita harus memposisikan diri sebagai orang yang tidak tahu apa-apa tapi ingin tahu segalanya
2.       Berkah hidupmu tak jauh-jauh asalnya; Ibumu
3.       Belajarlah berlapang dada dan ikhlas menerima kritikan. Orang besar harus memiliki hati yang besar
4.       Orang yang berilmu akan selangkah lebih tahu. Tapi orang yang bertindak akan selangkah lebih maju
5.       Kadang, kita harus melebihkan pendengaran dan mengurangi ucapan. Melebihkan pemakluman dan mengurangi tuntutan. Melebihkan penyambutan dan mengurangi pengacuhan.
Selanjutnya, hanya suara tuts keyboard yang terdengar. Hanya ada aku dan kata. Jemariku yang bekerja. Menulis tentang hari yang hampir pergi. 

***
Kak ceekk. Kata kak Lia, bawa buku Tentang Januari 20 buah…
Aku kira Novi bakal SMS; Kak, udah hampir jam 7 nih, kakak udah siap-siap belum?
Setelah membaca SMS Novi barusan, aku membathin sendiri; Bukunya udah habis yang sama aku Ciinnn.. Tiba-tiba aku punya inisiatif mengSMS Yudi. Kalau buku di tangannya masih ada, aku akan menjemputnya. Tapi, ternyata SMS College-ku nggak terbiayai olehnya. Mungkin dia juga sama kondisi pulsanya denganku. heheeh.
“Okta mau ke kos Kakak. Cepat. Siap-siap. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Kali ini, aku bener-bener tahu waktu. Aku nggak boleh terlambat.
“Tumben kau diam Nisss? Apa yang terjadi denganmu?” tanyaku kepada si ganteng (baca: kucing). Terus ku pandangi kucing yang ntah sejak kapan udah mapan di atas tempat tidurku.
“Hey Nisss… kau kok beda pagi ini? Kenapa? Bergadang semalam? Ngantuk yaa?” tanyaku sambil berbedak dan memasang jilbab.
Kucing ini benar-benar berbeda. Nggak biasa-biasanya dia kalem, biasanya dia selalu bergelayut, mengikutiku ke mana pergi sambil menjilat-jilat kaki atau tanganku. Sampai-sampai mau ngetik pun susah. Tapi, pagi ini kucingku bukan kucingku. Begitu ku lihat lagi, eh dia udah tidur aja. Karena aku mau pergi, ku gendong dia sambil menenteng helm, tas dan kunci motor.
“Kucing siapa ini Kak?” dek Eri ternyata udah nunggu di depan.
“Kucing kosan ini Dek. Suka kucing juga ya Dek?”
“Banget Kak.”
Ternyata udah ada Okta di luar pagar kosan. Kami bertiga menuju kosan Novi dan berangkat berempat ke TKP.
Ya Allah, izinkanlah acaraku kali ini sukses. Aamiin…

***
Aku lega, ketika sampai di sini, panitia registrasi sudah standby di tempat. Alhamdulillah, jarang banget aku terlibat dalam acara yang se-ontime ini. Masing-masing orang sudah tahu tugas dan kewajibannya. Aku, Okta, Novi dan Romi langsung menyesuaikan suara, lagu dan tempo di meja operator. Kali ini Novi dan Romi (bukan Romi UR –red) menjadi operatornya dan Okta membacakan prolog untuk memanggil MC; aku dan Bela.
Peserta terus berdatangan, memenuhi satu per satu kursi kosong yang tersisa. Sempat terjadi kekagawatan tadi; Aku lupa menempelkan voucher dari Azzwars Parfume dibawah bangku peserta. Untung saja Nila bergerak cepat ketika peserta masih sedikit. Ia menempelkan doorprise tersebut di berbagai sisi kursi dan nanti aku akan meminta mereka menemukannya.
Tepat pukul 0845wib setelah pak Kadispora –Bapak Edi Yusti dan dekan FIKOM –Bapak Jupendri tiba, acara segera dibuka. Okta mulai membacakan prolognya dan…
“…sambutlah pembaca acara kitaaa… Elysa Rizka Armala dan Bela Yunitaaa..”
Aku dan Bela muncul dari tengah-tengah deretan bangku penonton, disambut dengan tepuk tangan dan diiringi musik opening yang luar biasa semaraknya. Acara dibuka dengan pantun yang mendahului salam sembah. Dari posisiku saat ini, aku bisa melihat senyum Lia merekah menyaksikanku. Aku ingin dia bangga memiliki sahabat sepertiku. Eyaakkk.
“Beee,,, nyadar nggak kalau kita salah?” bisikku ketika Kadispora sedang memberikan kata sambutan.
“Apa yang salah Ciinn?”
“Seharusnya kan Aldi dulu yang ngasih kata sambutan sebagai ketua pelaksana, bukannya Pak Edi duluuu.”
“Astaghfirullah, iyaaaaa.”

Loh, kok nggak ada yang nyadar ya kalau kami baru saja keliru. Aku lihat dek Hari dan pantiia yang lainnya pun tak terlihat seolah mengkode bahwa kami salah.
“Cin, minta si Hari bisikkan ke Aldi setelah ini dia yang kita panggil dan minta dia untuk berterimakasih ke pak Edi atas sambutannya ya.”
Bela segera melaksanakan ideku.
“Cekkk! Cek keliruuu looohh,” kata Okta. Mungkin dia baru menyadari setelah membaca draft MCku.
“Iya. Tau!” cegahku langsung tanpa menunggu Okta berkata lagi.
“Hhahaaa,” Okta malah tertawa.
“Cin, kata Joshua kita harus mencegah Pak Edi turun dari podium untuk langsung menandatangi sertifikat acara secara simbolis.”
“Terus gimanaa? Perlu disampaikan lewat mic?” tanyaku.
“Nggak usah, langsung bisik-bisik aja kita.”
“Hah, masa Iyaa Ciin?”
“Iya, kata Joshua dibisikin aja, terus nanti mejanya langsung diletakkan di depan untuk tempat Bapak tu menandatangani.”
“Ahhaaa, gini aja, setelah Pak Edi menutup sambutannya,
Bela langsung bisik-bisik ke Bapak dan aku menjelaskan lewat mic. Jadinya, tetap cantik konsepnya Cin, gimana?”
“Okeeehh!”

Kok jadi rempong gini sih ya? hahaa.. ini namanya perubahan teknis in the middle of process hehe.
“Selanjutnya, penandatanganan sertifikat acara secara simbolis oleh Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Riau, Bapak Edi Yusti,” kataku dengan penekanan suara dan tempo yang pas.
Memang iya, ketika kami memanggil Aldi untuk memberikan kata sambutan, penonton baru menyadari bahwa ada yang keliru tadi. Kami hanya membathin, Tipe pemanggilan yang baru, random. Hehehe.
“Cin, mau lihat calon istrinya Bang Fahmi nggak?” bisik Bela.
“Mau. Mana dia?”
“Tuh, yang pakai jilbab kunig bercorak cokelat.”
“Ohhh..dia, biasa aja pun. Kok Bang Fahmi mau ya sama dia? Hehehe,” candaku dan Bela.
“Tenang Cinn, kita pasti akan mendapatkan Bang Fahmi-Bang Fahmi yang lain. Aamiin.”
*sempat-sempatnya ngomongi jodoh di sela-sela break nih orang ya. haha.
“…Sungguh beruntung si orang baik
Perginya dirindu, hadirnya din anti
Apa Nan tak eloh bawalah balik
Nan tak eloh tinggallah di sini.
Assaalamualaikum warohmatullahi wabarokatuuhh,” ucapku dan Bela bersamaan. Closing Backsound segera bergema setelahnya. Alhamdulillah acara pembukaan telah usai.

Hanya berselang 10 menit, acara dilanjutkan dengan seminar yang diisi oleh si kembar Hari dan Hagi. Aku mempersilahkan Hari yang pertama kali bicara, dengan tema ‘Ke negeri dengan modal dengkul’ barulah setelah tanya jawab aku beralih kepada hagi untuk berbicara dengan tema ‘Keliling Indonesia dengan modal dengkul’. Sejauh ini, di samping Hari, sambil menikmati ilmu yang disampaikan oleh Hagi, aku merasa bersyukur karena ternyata aku mampu menjadi MC dan moderator hari ini.
Tiba-tiba Joshua mengkodeku untuk ke samping panggung sebentar. Ternyata aku diminta melanjutkan ke workshopnya bang Putra setelah ini supaya menghemat waktu dan setelah zuhur, barulah dilanjutkan oleh bang Fahmi. Akhirnya, setelah penyerahan plakat kepada Hari dan hagi, aku langsung memanggil Bang Putra untuk maju ke depan.
“Mari kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah pembicara pertama dalam workshop gratis keliling gunia; Ahmad Anhar syaputraa…” panggilku dengan nada tinggi.
Bang Put meminta peserta untuk praktik membuat CV yang menarik dan komunikatif diujung materinya. Ia juga sudah mengklarifikasi tentang keterlambatan stok buku hari ini sehingga hanya 24 orang yang mendapatkannya. Semoga penjelasan tersebut bisa diterima dan dimaklumi oleh seluruh peserta.

***
“Bang, gimana novel Abang yang kemarin tuu?” tanyaku kepada bang Put ketika Ishoma.
“Ternyata diterima sama penerbitnya Lis, keuntungannya 30-35%, tapi mereka menjualnya dalam bentuk e-book. Nggak mau lah Abang.”
“Iya juga sih Bang, agak rentan kalau pakai E-book tuh.”
“Apalagi sekarang kan udah canggih banget, bisa aja e-book itu diconvert ke ms.word kan.”
“Bener tuh Bang.”
Ternyata workshop tentang beasiswa ke luar negeri oleh bang Fahmi siang ini nggak kalah seru dengan bang Put tadi, meskipun pesertanya sedikit berkurang.
“Bang Fahmi ini orangnya kharismatik. Mulai dari cara jalannya, cara duduknya, cara ngomongnya. Apalagi suara tu Cin, nge-bass banget kan?” bisik Bela kepadaku.
“Iya, kayak bule banget gitu. Emang dia sejak gitu suaranya atau setelah dari Manchester ini Cin?”
“Emang kayak gitu suaranya sejak dulu.”
“Oh, kalau gitu memang udah bawaannya ya, aku kira setelah pulang ini suaranya jadi berwibawa gitu.
“…kalau dihitung gagalnya, saya juga banyak sekali gagalnya. Saya pernah 4 kali ikut Duta Bahasa dan yang ke empat itu barulah saya menang. Juara 3,” jelas bang Fahmi.
“Ohhhh…Cekkk, pantesan Okta kok merasa kenal dengan
Abang ini Cek. Ternyata dia memang pernah ikut Duta Bahasa.”
“Itupun cuma juara 3 Cek setelah 4 kali nyobaa. Hikss,” jawabku.
“Tulahh..kalian harus nyoba lagi! Kan baru sekali, masa udah nyerah siihh?” kata Lia.
“Nggak Cin, Duta Bahasa yang beberap tahun belakangan ini udah agak ‘berbeda’ dan kami nggak mau berjuang di sana lagi. Kami pengen cari tempat lagi Ciinn.”

Lia manggut-manggut.
“Kak, jam berapa acaranya selesai?” tanya seorang laki-laki di belakangku.
“Emmm..kayaknya 10 menit lagi selesai Dek. Ada apa? Ada acara lain?”
“Nggak sih Kak, tapi udah sore dan mau sholat Ashar juga.”
Yap, sekarang udah jam 16.35wib. udah waktunya sholat Ashar. Ternyata prediksi Joshua benar, kalau nggak dimajukan bang Putnya tadi, ntah jam berapa acara ini bakal kelar? Ya Allah, adek ini bukan hanya ganteng dan rapi, dia juga cinta pada-Mu. Jaga dia ya Allah… aamiin. ^_^
“Cin, kami mau berangkat lagii,” kata Bela.  Ternyata dek Hari dan dek Arif juga sudah bersiap-siap ke bandara. Sebelum mereka turun ke bawah, kami berfoto bersama di depan aula. Aku tadi sempat dengar bang Put memprediksi uang saku mereka bisa jadi mencapat 2jt an. Ah, beruntung sekali mereka pemirsaaa. Tugasku sekarang; harus lebih peka terhadap informasi!
“Adek ikut ngantarkan mereka?” tanyaku kepad Heldi.
“Iya Kak. nanti kami balik lagi ke sini kok!”
“Iya Cin, kami sengaja mesan tiketnya yang sore, supaya kalaupun delay sampai malam nggak masalah. Daripada pesan tiket malam dan didelay sampai pagi, kan gawat.”
“Bener banget tuh Ciinnn. Hati-hati ya Ciinn. Oleh-olehnya juga hati-hati. Hheheh.”
Setelah mereka berangkat, kami kembali ke dalam ruangan. Bang Fahmi sedang menampilkan essay LPDPnya melalui proyektor. Aku membacanya dengan seksama.
 “Ih, lama kali lah orang gladiresik untuk Yudisium nii!” kata Okta sambil mematut HPnya.
“Yudisium?”
“Iya loh Cek, udah sore gini mereka belum selesai juga gladinya dan belum pada makan siang loh. Kasihan kali kannnn..”
“Heemmm..untung aja Kakak belum Yudisium ya!” kataku dengan lega. *kelegaan macam hapaaa ini?
“Ih, bangga pulak tuu? Dasar nggak waras!” kata Okta.

***
Dalam perjalanan pulang bersama Novi…
“Cek, waktu itu Kakak pernah bilang kan bahwa minat membaca di Indonesia ini masih sangat rendah kalau dibandingkan Negara ASEAN lainnya?”
“He’eehh.”
“Diukur dari rendahnya angka penerbitan buku per tahunnya. Nah, baru-baru ini Kakak terfikir bahwa pastinya penelitian itu nggak melibatkan tulisan yang ada di internet. Coba sekarang Cek bayangkan, apa sih yang kita cari nggak ada jawabannya di internet tuu? Sebagian besar informasi kita dapatkan di sana jawabannya. Kakak kagum banget loh Dek dengan para blogger di Indonesia nii, ternyata mereka jumlahnya sangat banyak. Belum lagi kalau ternyata 1 orang bisa punya puluhan blog. Nah, semua informasi yang kita dapatkan itu karena ada yang menuliskan dan mempublikasikannya kan? Kalau nggak, mana mungkin bisa kita semudah sekarang mendapatkan informasi. Makanya, sekarang, Kakak tu sangat ingin membangun blog Kakk Cek, Kakak ingin seperti mereka yang andil membagikan tulisan yang bermanfaat lewat blog,” jelasku panjang lebar.
“Bener juga ya Cek. Oh, itulah sebabnya Cek sampai punya 4 blog? gitu?” tanya Novi.

“Hahhaaa… itu salah satu alasannya Cek. Bener banget. Bahkan, kemarin Kakak sampai terfikir untuk membuat 1 blog yang isinya 1 novel. Konsepnya itu ya menulis novel, tapi langsung dipublikasikan ke blog dalam bentuk sub-sub judul gitu Cek. Tapi, Kakak berfikir lagi kalau itu pasti rentan banget kan? Harusnya novel itu bisa dijual secara professional, ini bisa dibaca orang aja sesuka hati.”
“Iya, lagian bahayanya kalau diplagiat Cek.”
“Itulah Kakak berfikir, novel itu adalah karya yang mahal sama halnya kayak KTI. Kakak pernah nyari contoh-contoh KTI pemenang LKTI nasional gitu, tapi nggak pernah nemu. Yang ada cuma KTI-KTI biasa aja sebagai contoh. Disitulah Kakak berfikir bahwa nggak ada orang yang mau mempublikasikan KTInya di internet karena itu memang mahal idenya.”
Detik ini aku menyadari bahwa aku sangat membutuhkan teman berbagi dan sekaligus bisa memberikan ide segar atas segala rencana-rencana besarku. Siapakah dia? Aku butuh diyakinkan untuk segera mengeksekusi tapi bukan sembarang eksekusi.

Tidak ada komentar: