Kuncinya hanya KESUNGUHAN.
Man Jadda Wa jadaa
Belajar menulis KTI itu ku akui memang sangat membosankan. Bagaimana tidak? Kita dituntut untuk kreatif menggagas ide solutif atas permasalahan yang ada. Itu sih kalau ingin menjadi juara. Kalau hanya ingin menulis KTI ala kadarnya juga monggo. Tuliskanlah tentang idemu yang masih ngambang dan nggak jelas apakah bisa dilaksanakan atau tidak. Itu terserah padamu. Yang sekarang kembali dipertanyakan itu adalah niatmu; 'Benarkan ingin bisa menulis KTI?' Karena memang sangat sedikit mereka yang bertahan dalam bidang yang satu ini. So, kalau kamu ingin menjuarai KTI tingkat nasional, seriuslah, fokuslah, bertahanlah! Karena aku nggak bisa menjanjikan apapun kecuali PROSES PANJANG.
***
Rin… ikut ke acara
FLP yuk di Puswil…
Nggak bisa El.. nanti aku mau ke rektorat lagi. Huhuu.. ke FISIP
juga ngurus berkas. Nanti sore aku balik ke Siantar El. da daaaa…
Tadinya, kalau Rini bisa ikutan, aku akan meninggalkan
Nilam. Karena aku ingin Q-time-an dengan Rini. Kemarin Rini pengen foto di
depan kantor Gubernur ketika melihat fotoku dan anak-anak MAWAPRES di sana, dan
rencananya aku akan mengajaknya ke sana. Tapi… sepertinya tidak berkesempatan
lagi.
“Lam, mau tinggal di rumah aja atau ikut ke acara FLP?”
“Pakaian kotor banyak kali loh tuh Mbak.”
“Pakaian aman. Nanti sore pun masih bisa kan nyuci. Mau ikut
atau nggak nih?”
“Ah, ikutlah. Daripada Kakak sendirian di rumah.”
“Yuhuuu.. siapa tahu kita akan dapat kenangan baru kayak
kemarin!”
Kemarin, aku janji untuk membantu mbak sugi ngepak-ngepak
makanan dan membawanya ke Puswil, makanya aku buru-buru ke rumahnya pagi ini.
“Jam berapa sih acaranya Mbak?”
“Jam 9.” Ku lihat jam di tangan, sudah pukul 08.10wib.
Kebetulan banget ketemu sama bang Alam, Hanisa dan mbak Sugi
di gang Cahaya. Mereka mengarah ke luar sementara aku masuk ke dalam. Bang Alam
menyerahkan kunci rumahnya kepadaku. Ada beberapa kotak buku dan kue yang harus
diangkut. Sesampainya aku di halaman rumah bang Alam, dek Nadia dan dek Afifah
tiba pula dengan menggunakan mobi. Wah… kebetulan banget nih, aku dan Nilam
nggak jadi kesempitan karena bawaan ini.
***
Bang?”
“Sehat, Alhamdulillah. Elis sehat?”
“Sehat Bang. Alhamdulillah. Ciyeee… yang baru pulang dari
Malaka.”
“Iya, kemarin ngantar nenek Abang berobat.”
“Abang jadi MC ya hari ini?”
“Nggak. Nggak ada Abang diminta jadi MC, kemarin ada sih
Bang Alam minta Abang jadi moderator. Tapi kemarin aja Abang nggak ada ikut
gladi Lis. Karena kemarin itu kan Abang masih capek soalnya baru sampai.”
“Ohhh gitu. Jadi, apa nih planning selanjutnya Bang?”
“Menikah lagi, Lis.”
“Hahaha.a… aamiin Bang. Aamiin,” sahutku.
Aku mengikuti langkah bang Hendra, karena sepertinya dia
tahu di mana tempatnya. Ternyata dek Suci dan teman-temanya pun kebingungan.
“Adekkk… jadi MC ya?” tanyaku kepada dek Suci.
“Kan kita berdua Kak kata Bang Alamm.”
“WHATTTT?! Jadi Kakak juga nih? Hiksss… kok mendadak gini
ya?”
“Kemarin memangnya nggak ada diSMS sama Bang Alam, Kak?”
“Ada sih, tapi nggak terlihat seperti meminta Kakak yang
nge-MC. Soalnya sebelumnya kami sedang membahas tentang Bang Hendra.”
Aku dan Suci menggunakan waktu yang tinggal 15 menit lagi
ini untuk latihan. Konsep sudah clear dari bang Alam, sudah difotokopi juga
untukku dan Suci. Sekarang, tinggal tugasku membumbuinya dengan pantun supaya
lebih menarik dan cantik.
“Elysa, yuk dimulai lagi!” pinta bang Alam.
“Lam, tolong fotokan Mbak. banyak-banyak ya,” bisikku kepada
Nilam.
Mulailah aku memula bicara dengan sebuah pantun sebelum
salam. Puji syukur, ketenangan ini benar-benar aku rasakan. Aku telah berhasil
menaklukkan ketakutanku sendiri dengan latihan ‘rahasia’ku di setiap kesempatan
tampil di publik. Alhamdulillah, sama sekali tidak ada rasa dag-dig-dug ketika
bicara. Sehingga kata-kata yang ke luar dari mulut pun bisa ku kendalikan
dengan baik.
“…Tersebab kata-kata adalah keindahan, ucapan adalah
titipan. Maka, puisi adalah KEAJAIBAN. Saksikanlah sebuah persembahan puisi
oleh Hendra Dermawan…” panggilku. Aku mendadak terinspirasi dengan kalimat yang
ku ciptakan sebagai prolog sebelum Novi membaca puisi di workshop MAWAPRES 2
minggu lalu. Dan, sepertinya seluruh hadirin terpesona. ^_^
Setelah pembacaan puisi oleh 6 orang penyair Riau, acara
dilanjutkan dengan Talkshow ‘Sastra Hijau’ yang dimoderatori oleh Arlen Ara
Guci dan diisi oleh 2 pembicara; pak Bambang Karyawan dan Fakhrunnas MA Jabbar.
Kami pun kembali ke tempat duduk.
“Lam, apalah ini! Kok fotonya nggak jelas gini. Berdiri
sebentar kek supaya bagus hasil fotonya. Demi Mbak nya pun, sekali-kaliii.
Hemmm,” gumamku ketika menge-check hasil jepretannya.
Ada bang Asqolani juga ternyata di sini. Aku menghampirinya,
berbasa-basi dengannya tentang puisiku yang terbit kemarin. Dia sangat
mengapresiasiku ternyata dan langsung menyuguhkan nomor HP redakturnya supaya
aku bisa segera mencairkan honorku. Makasih bang Asqol, aku seperti ini karena kamu seperti itu. ^_^
Kemudian aku beralih lagi duduk di samping Nilam. “Lam…
dicatat ilmu yang sedang disampaikan itu. Meskipun ini nggak Nilam pelajari di
sekolah, tapi ini bermanfaat juga buat Nilam ketahui,” pintaku kepadanya yang
sedari tadi tekun membuka FB.
“Dek, Dekk Elisss,” tepuk seseorang pada pundaku.
Aku menoleh. Ternyata kak Kavita. “Iya Kak? Ada apa?”
“Tolong beli nasi Dek ke jalan Pepaya ni ajaaa. Sama Putri.
Bisa Liss? Kaki Kakak sedang bengkak soalnya.”

“Kakak tadi lewat mana sih Kak? Kok nggak ada ngelihat Kakak
ya tadi di jalan Durian?” tanya dek Afifah.
“Lah, Kakak tadi nggak lewat sana Dek, Kakak lanjut terus ke
jalan Riau. hehe.”
“Ya ampuun Kak, jauuuh amaat. Pantesan aja kita nggak
ketemu. Hahaa. Lewat jalan Durian kan lebih dekat Kak.”
“Itulah Kakak nggak tahu Dek. Nggak apa-apa deh, kan jadinya
tadi jalan-jalan. Hehee.”
***
“Di mana nih kita beli nasinya Dek? Di warung yang pertama
kali kita temui aja ya! Biar nggak repot-repot.”
“Ya udah Kak. Nggak apa-apa,” jawab dek Putri, singkat. Dan
kembali melanjutkan membaca puisinya Fakhrunnas MA Jabbar.
“Adek mau bacain puisi itu di mana rupanya?”
“Di FKIP Bahasa Indonesia Kak.”
“Oh, ikutan Pekan Bahasa ya Dek? Semoga menang yaa.”
Rumah Makan pilihan kami akhirnya jatuh ke warung di
seberang jalan. Terlihat sederhana saja tempatnya, namun masakannya sepertinya
sangat lezat dan menggoda. Kami memesan 15 bungkus nasi bungkus dan ternyata
memakan waktu lebih dari setengah jam menunggunya. Di sela tunggu, dek Putri
memintaku untuk mengoreksi tekanan suaranya dalam puisinya. Aku salut juga
padanya! Nggak ada malu dan sungkannya berekspresi sekalipun orang lalu-lalang
di tempat ini. *plok plok plok! Tepuk tangan.
“Putri suka banget loh Kak dengan puisinya pak Fakhrunnas
iniii.. ya ampuuun. Sejak dulu lagi Kak.”
Ternyata dek Putri sama dengan dek Suci. Sama-sama ngefans
sama pak Fakhrunnas. Yang lebih beruntung ya aku, nggak pernah kenal
karya-karyanya pak Fakhrunnas, tapi tadi sudah memanggil namanya untuk tampil
membaca puisi. *sihiiyyy. Aku jadi teringat tadi sempat berbisik kepada dek
Suci sewaktu nge-MC…
“Dek, apa sih sebenarnya ukuran penobatan seseorang sebagai
Sastrawan atau budayawan?”
“Itulah Kak. Suci pun penasaran loh Kak.”
Aku jadi punya tambahan referensi MIMPI BARU; Keliling Dunia
dengan Puisi. Karena tadi sudah mendengar penjelasannya bang Abeba bahwa ia
sudah pernah manggung di antara Amerika Latin dan Amerika. WAW! Amazing banget.
Dan beberapa Negara lain yang disebutkan oleh penyair lainnya. Aku iriiiiii
banget! Yang ku sadari adalah; Aku nggak boleh setengah-setengah kalau mau
mendapatkan yang seutuhnya.
“Duh, masih lama nggak ya ni nasinya Kak. Soalnya Putri
nomor urut tampilnya 32. Sekarang udah ke 15.”
“Masih lama tuh Dek. Tenang. Kalaupun terlambat, peserta
yang setelah Adiklah yang akan didahulukan tuh. Ada berapa total pesertanya?”
“Ada 50 an lah Kak.”
“Nah, apalagi sebanyak itu jumlahnya.”
Sekembalinya kami ke ruang Ismail Suko, Mbak sugi yang ku
fikir akan marah karena terlalu lama rupanya malah tersenyum.
“Mbak, pembicaranya udah pada pulang ya? nggak dapat nasi
bungkus donk mereka Mbak?”
“Memang ini buat kita aja kok Lis.”
Ah, syukurlah kalau begitu! Aku langsung mengajak Nilam
sholat di mushola. Agak jauh juga jalannya. Setelah sholat, aku dan Nilam masih
sempat berfoto-foto di dalam ruangan ini sebelum makan siang bersama.
Subhanallah, nasinya enak banget ya Allah. Lembut, gurihnya pas dan nggak
terlalu pedas.
Ketika aku mencuci tangan…
“Lis?” panggil mbak Sugi.
“Iya Mbak?”
“Beli nasinya di mana sih? Kok enak banget rasanya.”
“Iya kan mbakkk… enak banget rasanya. Kami tadi mampir ke
rumah makan yang pertama kali kami temui pokoknya Mbak. Nama rumah makannya aja
udah lupa kami Mbak. Heheee.”
Kan… ternyata benar. Bukan hanya aku, Nilam dan Putri aja
yang merasa nasi ini sangat lezat. Setelah makan, aku dan Nilam permisi lebih
dulu kepada yang lainnya. Rencananya mau ngajak Nilam ke dalam perpus bahkan
sampai ke lantai ter atas. Tapi, sayangnya udah tutup karena ini hari Sabtu,
hanya buka sampai tengah hari saja. Nilam masih penasaran dengan bagaimana rupa
perpus ini sehingga dinobatkan sebagai perpus terbagus se-ASEAN. How could it?
“Ya udah, kita foto-foto aja yuk, Lam!”
Seperti biasa, aku terlebih dulu memfotonya supaya bisa
mencontohkan bagaimana angle yang ku mau. Dan, seperti biasanya juga, Nilam
jadi marah ketika aku banyak maunya. Hehe. ya, gimana nggak banyak maunya kalau
hasil jepretannya belum sesuai mauku coba?
“Jangan marah-marah Lam. Nanti kalau Mbak marah, nggak akan
Mbak ajak lagi Nilam jalan-jalan baru tahu rasa. Ah! Senyumlah. Nikmatilah
perjalanan ini. Jangan sampai nanti udah di rumah barulah bilang; ‘Ih, ternyata
cantik ya foto-foto kita tadi. Emang pintar kali Mbak Ela ni’, kayak kemarin.”
Sekitar pukul 15.00wib, kami mulai meninggalkan Sudirman.
Mendung sudah merajai langit, jangan sampai kami terjebak hujan di sini dan
kesulitan pulangnya ntar.
***
“Udah lama ya nggak minum Chocho canger ni Mbaakk..” kata
Nilam. Aku hanya membeli satu gelas saja untuk Nilam dan mencicip sedikit
miliknya. Hehehe.
“La jadi?”
“Mbak Ela mau pergi ke mana lagi memangnya ni?”
“Ke kampus. Ada kelas menulis yang harus Mbak isi.”
“Mbak Ela nanti ngajar les?”
“Nggak.”
“Huh, syukurlah! Kirain Kakak bakal ditinggal sendirian
lagi.”
Aku datang lebih cepat daripada adik-adik itu. Memang ku
sengaja menunggu. Biasanya, ketika menunggu, otakku menjadi sangat cerdas dan
kerjaku jadi sangat efisien. Sambil menunggu, aku membaca buku, mengecas laptop
dan sesekali melihat BBM, WA atau IG.
“Kakkk, Adik-adik yang untuk kelas ilmiahnya banyak yang
nggak bisa datang hari ini Kak. Semalam padahal mereka bilang bisa. Gimana ini
Kak?”
Aku melihat dek Fitri. “Ya udah, nggak apa-apa kita
cerita-cerita aja sini tentang apa aja yang kalian minta Kakak untuk
nyeritaain.”
Dek Fitri ingin sekali membaca KTI YOGYA dan cerpen UNIBRAW.
Aku menyodorinya sambil menceritakan kisah haru dan bahagia di balik prosesnya.
Mereka pun jadi jauh lebih terharu. Setelah itu, datang pula dek Sri. Ia ku
tugasi membuat latar belakang masalah seperti tugas minggu kemarin karena dia
nggak datang. Setelah selesai, dia memintaku untuk mengoreksi KTI yang sudah
ditulisnya tapi belum memenangkan perlombaan. Aku mencoba memperbaikinya
semampuku.
“Hallo Mil?”
“Iya Mamakee.. Mamake di mana?”
“Mau ke sana nih Mil. Di mana tempatnya sih?”
“Di ruangan di samping mushola FAPERIKA kemarin Mamake. Udah
pada bubar kami Mamake. Udah hampir maghrib soalnya.”
“Nggak apa-apa deh, yang penting tahu apa yang mau Mamake sampaikan
besokk. Mamake susul ke sana yaaa.”
Setelah kelas ini selesai, aku langsung bergegas menuju
FAPERIKA. Tepat banget, Yaumil terlihat sedang menuju parkiran.
“Apa nih Mil yang harus Mamake sampaikan besok?”
“Mamake pokoknya yang terakhir ngomong. Jadi, Mamake tu
menyimpulkan semua materi dari kami itu. Ngerti kan? Ngerti tuh pastinya
Mamakeee.”
“Oh,,,oke, oke.”
“Ah, enak kali lah ngomong sama orang pintar nih. Cepat
nyambungnya,” jelas Yaumil dengan terburu-buru dan langsung ngacir.
Aku faham. Aku pun harus menyusulnya, ngacir. Karena
sebentar lagi azan maghrib berkumandang. Aku harus segera pulang dan berjamaah
dengan Nilam.
Ya Allah, aku pengen
punya teman sekamar supaya setiap kali sholat bisa berjamaah. Aamiinn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar