Jumat, 30 Oktober 2015

Hidup Hanya Sekali - Berarti - Lalu Mati



Setiap berlalu 1 hari, maka berlalu pulalah segala cerita hari. Yang kini segera berganti nama menjadi tadi. Waktu dengan mudah menukar semua kondisi sesukanya. Dan, tidak ada yang tersisa dari KENANGAN kecuali KENANG-KENANGAN. Memotret setiap momen adalah caraku mengabadikan kenangan dalam ingatan. Supaya ada gambar yang selalu bisa ku lihat sesukaku. Supaya ada ingat yang tersemat disetiap lihatku. Aku memang Penulis Kenangan. Buktinya adalah BLOG yang sedang KAMU baca ini. Mana mungkin aku setekun ini men-diari-kan hari-hariku jika aku tidak mencintainya? Kamu beruntung berteman denganku, karena semoga saja namamu pun ikut terabadikan di sini. ^_^

***
“Ada acara apa hari ini El?” tanya mami di seberang telpon.
“Mau ngajak Nilam ke masjid Agung An-Nur Miii. Ada kajian gitu tentang remaja dari Polres.”
“Awas nanti dirazia pula kalian di sanaaa.”
“La jadii? Hahaa.”
Aku menyerahkan lagi HP kepada Nilam. Selanjutnya, ia yang mengobrol dengan mami dengan loudspeaker.
“Masak apa Mi pagi ini?”
“Kemarin masak sambal ikan Gembung. Hari ini masak tumis Pare, diiris agak besar-besar gitu.”
“Pareee? Ihhh… pasti pahitlah tuu Miii.”
“Masih pahitlah kata-katamu lagi Laaam,” sahut mami, ngasal tapi lucu.
“Alaaheeekk Mi.. hahaaa.. bisa pula nemu kata-kata itu Miii.”
Aku pun ikut tertawa mendengarnya. Setelah mami selesai menelvon, aku dan Nilam tidak langsung bersiap-siap. Nilam memutar video stand up comedy dan aku ikut-ikutan menonton di sebelahnya. Kami baru selesai bersiap-siap pukul 09.00wib. Well, aku tahu ini sudah meleset dari jam hadir yang ku baca di broifsur yang dibagikan Lia di wall FBku.

“Apa kata si Cek Lam?” tanyaku kepada Nilam setelah sholat Duha.
“Katanya tunggu dia dulu sebleum kita pergi. Dia mau ngantarkan cas HPnya.”
“Terus, kenapa Nilam ketawa setelah ditelvonnya? Apa yang lucu?” selidikku penasaran.
“Lucu aja. Dia bilang; ‘Tunggu Abang mau ke sana ya!’ padahal suaranya aja kayak perempuan gitu.”
Awalnya aku nggak ngeh dengan kalimat yang dianggap Nilam lucu itu. Barulah kemudiaann… “Hahaaa… iya yaa, lucu. Memang kayak gitu suaranya, mau digimanakan lagi? Dia kan memang ‘abang’, Lam.”
Ternyata Okta tak hanya mengembalikan cas, dia pun memberiku jilbab bermotif floral berwarna biru dengan latar kecoklatan. Ternyata benar feelingku, jilbab yang kemarin ditanyakannya kepadaku lewat BBM adalah untukku. Awalnya, Okta udah ngatain aku kepedean karena aku mengira dia akan memberikan jilbab itu kepadaku. Tapi, ternyata benar pemirsaaaa… Alhamdulillah.. nambah lagi koleksi jilbabku.
“Kapan pula baju I-YES itu diantarkan Cek?” tanyaku ketika menyadari baju yang dipakai Okta ini.
“Ada dehhhh. Okeee yaa, pergi tak ngajak-ngajak. Ada pengajian tak bilang-bilang Okta yaaa.”
“Yuhuuuuu.. Eke pergi dulu yaw Cekkk.”
“Hati-hati Cek. Sedang marak Razia Zebra loh sekarang.”
“Iyaaa.. tahu. Daaa.”
Sebenarnya aku pengen minjam uang Okta Rp 10.000 karena khawatir minyak bensinku nggak cukup. Ternyata Okta pun bawa uang pas-pasan untuk sarapan. Ya udah deh, aku langsung narik uang ke ATM dulu. Alhamdulillah minyaknya cukup setelah ku check dan akhirnya nggak langsung ku isi.

***
“Kalau ada teman-teman yang mengajak untuk mencoba narkoba atau berbuat maksiat, jangan sampai Adik-adik mauu. Jangan ikut-ikutan menempuh jalan ke neraka yaa karena nanti Adek-adek yang akan menyesal kemudian. Hingga tiba masanya kalian akan saling menyalahkan di akhirat nanti, padahal yang salah adalah Adik-adik karena mau menuruti ajakan ituu.”
Aku mendengar gema suara penceramah dari parkiran motor masjid Agung An-Nur ini.
“Besaaar Kali ya Mbak masjidnya,” gumam Nilam.
“Ini belum kelihatan semua Lam. Yuk kita kelilingi, biar Nilam tahu!”
Aku mengedarkan pandangan ke segenap penjuru. Di mana-mana terlihat anak-anak berseragam muslim khas sekolahnya masing-masing. Ada yang SMP dan ada juga yang SMA, menurut pengamatanku. Ah, jadi segan kalau masuk ke dalam, karena isinya pasti anak sekolahan semua.
Memang sih Ciin, kita ini masih disebut anak muda. Tapi, anak muda yang dimaksud di brosur itu ya memang anak sekolahaan. Howalaahh… gumamku teringat brosus di FB itu lagi.
“Lammm.. anak sekolahan semua nih isinya kayaknya. Kita duduk di sini aja lah yuk! Kan kedengaran juga suara pak ustadnya dari sini.” Aku dan Nilam duduk di bangku taman di sisi kanan masjid.

 “Lah, Mbakk? Pak Ustadnya ternyata kepala sekolah SMP Al-Bayyinahh tuh! Dengeriinn!”
Aku menajamkan pendengaranku lagi.
“Iya yaa Lam.. ciyeee… calon sekolahan Nilam yang nggak kesampaian.”
“Iyaa. La jadiii?” Nilam tersenyum.
“Mohon maaf atas kekeliruan yang ada dalam penyampaian saya. Assalamualaikum.. warohmatullahi wabarokatuhh.”
“Yaahhh.. Lamm… udah selesai tuh ceramahnya. Ehmmm… nggak apa-apalah ya, yang penting ada kedengaran sedikit tadi.”
“Kedengaran apa Mbak? Kedengaran tentang Al-Bayyinah tu?” tanya Nilam
“Hehhheee… iyaaaa.”
Apa lagi selanjutnya kalau bukan berjalan-jalan mengelilingi masjid ini sambil berfoto-foto?
“Ih, Mbak Ela ni kok pede kali sih? Banyak orang loh Mbak. Banyak anak-anak sekolah loh Mbak.”
“Hemmm.. jadi gini Lam. Berani tampil beda itu adalah salah satu cara untuk melatih diri supaya bisa lebih pede. Biasanya nggak pernah pakai jilbab warna orange, sesekali coba dipakai, misalnya gitu. Coba deh, berani nggak Nilam berpose di dekat kerumuman anak-anak itu untuk Mbak foto?”
“Ih, maluuuu naa Mbaaakkk.”
“Nah, itu dia. Dulunya Mbak juga gitu. Terus, Mbak coba nantangin diri Mbak sendiri; ‘Berani nggak
El kamu berpenampilan kayak gini hari ini?’ gitu. dan.. lama kelamaan memang terasa pedenya. Sekarang, kalau harus tampil di depan banyak orang pun Mbak udah berani deh. Insya Allah.”

Okta menelvon…
“Iya Cek?”
“Cek, Kak Lia daftar Mahasiswa Berprestasi yang versi rektorat ini ya?”
“Iya, kemarin dia sama Novi ngantar berkasnya bareng. Kenapa?”
“Dia menaaaang loh Cekkkk.”
“Tahu dari mana?”
“Yang daftar ya, Novi, Kak Lia, Anggi, Adli sama satu lagi ntah anak mana ni.”
“5 orang? Siapa yang menang rupanya?”
“Belum tahu juga sih, tapi Okta sedang lihat-lihat berkas orang ini di rektorat nih. Cek ngapa nggak daftar kemarin sih? Ah!”
“Ehhh… biarlah yang lainnya lagi Cek.”
“Besok malam senin datanglah pas puncak Milad yaa.”
“Di mana? PKM Gobah? Nggak ah. Jauh!”
“Ya udah deh. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Makasih ya jilbabnya Cek.”

***
“Oke, kita beli buku ini, buku ini dan ini.”
“Aiih Mbak? Banyak kaliii. Langsung habislah uang kita,” kata Nilam, terheran.
“Nggak apa-apa. Insya Allah, ini adalah pembelanjaan di jalan yang benar Lam dan buku ini adalah investasi yang ilmu. Semoga Allah mengganti dengan rezeki yang lebih baik lagi yaa.”
“Aamiiin.”
“Ginilah makanya uang Mbak sering cepet habis. Kalau udah beli buku, biasanya sampai ratusan gini.”
Nilam diam saja, menyimakku. Semoga ia mengerti dan kebiasaan membaca buku tertular juga kepadanya.
“Nggak ada diskon memangnya Mbak?” tanya Nilam.
“Ada diskon nggak Mbak?” tanyaku kepada mbak kasir.
“Maaf Mbak, nggak ada diskonnya sekarang Mbak,” jawabnya ramah. “Rp 174.000,” lanjutnya sambil menstaples check billnya pada plastik tersebut.
Aku dan Nilam turun ke lantai 1 dan ke luar menuju tempat pengambilan tas. Tapi mendadak, mataku melihat gambar Dinosaurus di tembok di depan tempat penitipan tas. Aku pernah melihat seseorang berfoto di depan gambar tersebut di Instagram dan aku sudah tahu harus bergaya seperti apa di sana.”
“Lam, cepat bergaya di sana, biar Mbak foto! Ekspresi ketakutan ya seolah-olah dikejar si Dino.”
Gantian aku sekarang yang difotokan oleh Nilam. Beberapa SPG dan pengunjung Gramedia melihat ke arahku. Aku mana peduli. Hehe.

“Kita sholat di sini dulu ya Laammm..barulah nanti kita makan siangnya di luar yaa,” ajakku kepada Nilam sambil menuruni tangga menuju baseman.
“Emangnya ada mushola di sini Mbak?”
“Tuh!” aku menunjuk ke sudut parkiran.”
Kami sholat berjamaah karena nggak ada cowok dan hanya kami berdua yang sholat sekarang.
Tidak ada yang lebih aku cintai daripada sholat. Lalu, adakah hal lain yang pantas ku fikirkan di dalam sholat?
Penggalan di salah satu buku tadi terngiang kembali olehku sebelum takbiratul ihram.
“Allahuakbar.”
Setelah selesai sholat…
“Lam, mau main ke mana lagi kita? Atau pulang aja?” tanyaku.
“Ngapain pulang? Kangen sama si ganteng?”
“La jadiii?” aku tiba-tiba berfikir mengajak Nilam ke Mall Ciputra. Tapi, untuk apa? Lebih asyik juga main di SKA sebenarnya. Lagian itu-itu juga pemandangannya. “Ahaaa! Ke Alam Mayang aja yuuukk?” ajakku, bersemangat.
“Ayuuukkkk!” jawab Nilam, tak kalah semangat.
“Mari kita berangkat! Yeeeee.! Tolong pegangkan kertas ini Lam dan keluarkan uang kecil untuk bayar parkir ya.”
“Ini dibayarnya di mana Mbak?” tanyanya.
DEGGG! Ya Allah, aku baru sadar, ternyata Nilam belum pernah masuk ke tempat parkir seperti ini sebelumnya; Yang
harus menekan tombol karcis terlebih dahulu sebelum masuk dan membayar karcis di loket sebelum ke luar. Semoga perjalanan hari ini banyak mengajarnya berbagai pengalaman.

“Duh, udah mau habis nih kayaknya bensinnya!” pekikku saat mesin motorku terasa agak turun gasnya. Ya Allah, jangan sampai mogok di tengah jalaaannn…, mohonku di dalam hati sambil terus menarik gas melintasi fly over pertama di depan Gramedia. Pas ngelihat tempat jual bensin, gasku terlalu kencang dan kelewatan. Ya allah, bagaimana ini? tolong tunjukkan kepadaku penjual bensin terdekaaat! Mohonku lagi. Dan… tepat banget, mesinku berhenti tepat di depan penjual bensin.
“Kenapa Dek?” tanya penjualnya.
“Beli bensin Bang. 1 liter!” teriakku dari pinggir jalan.
Ia langsung datang ke arahku dan menuangkan sebotol bensin ke dalam tangki minyak. Aku memutuskan untuk makan siang di Harapan Raya saja supaya searah ke Alam Mayang. Supaya lebih praktis. Alhamdulillah, kami menemukan rumah makan Minang yang uenaaak dan banyak porsinya, harganya cuma Rp 10.000 pula.
“Nilam yang bayar ya. Latihan ngomong! Buk, ‘makan 2 porsi’, bilang aja gituu.”
Nilam beranjak menuju kasir sementara aku langsung mengemasi tas.
“Murah Mbak yaa, cuma Rp 10.000, banyak gitu.”
“Alhamdulillah. Semoga berkah ya makanan kita hari ini. aamiin.”

***
“Kemarin waktu Nilam dan teman-teman Nilam ke sini rame nggak?”
“Ya sepilah Mbak. Kami kan ke sininya waktu hari aktif sekolah, bukan hari libur.”
Ketika melewati pintu masuk, aku nggak melihat seorang penjaga pun di meja karcis, akhirnya aku nyelonong masuk aja. Nanti aja bayarnya sewaktu ke luar dari sini deh!
“Lam… kemarin Mbak tu lihat teman Mbak ada yang foto di bawah payung-payung gituu. Cantiiik loh! Di mana ya tempat ituuu?” aku celingukan, mengira-ngira jalan yang akan ku pilih.
Dann….
“itu nggak Mbakkk?” tunjuk Nilam ke arah sebelah kanan.
“Mana Lam?”
“Ituu looohh.. lihat ke atasnya!”
“Ohhh… iyaaaaaaa.. Ya ampuuunnn, cantikk kali kaaan?” sahutku, histeris.
“Apa cantiknya? Biasa aja puun,” sahut Nilam lagi.
“Lah? Secantik itu dibilang biasa ajaa? Hemmm… kayaknya Mbak memang punya jiwa seni deh kalau gitu Lam.”
Ku parkirkan motorku di tepian danau dengan deretan perahu-perahu bebek, supaya lebih dekat ke taman dengan payung melayang itu. Lagi, aku harus mengambilkan foto Nilam terlebih dahulu sebagai contoh sebelum dia mengambilkan fotoku. Selain menyenangkan hatinya, juga supaya lebih fair karena mengajarinya dengan mencontohkannya.
“Lam… gantian fotoin Mbak kayak gini yaa!”
Setelah beberapa kali jepretan, aku menge-check hasilnya.
“Sinih,, satu ciuman untuk adikku yang pintar inii,” kataku. Berbahagia.

Nilam menyodorkan pipi kirinya kepadaku. Aku menciumnya.
Setelah taman berpayung, kami bergerak ke bangunan mirip candi di sebelah baratnya. Candi ini awalnya berwarna kuning keorenan, tapi hari ini kok jadi hitam semua yaaa? Nggak apa-apa deh, more black, more etnic. Hehe.
“Lammm.. nggak kayak ginii loh cara ngambilnya. Coba deh Nilam perhatikan foto Nilam ini, cantik kan? Lihat foto Mbak ini, beda kan sama punya Nilam tadi?”
“Ah, Mbak Ela nih gitu kali puuun! Cuma beda aja dipermasalahkan!” gerutunya.
“Eh, dikasih tahu kok malah ngeyel. Biar Nilam tu faham gimana sudut pengambilan gambar ituu Lam. Jadi nanti kalau memfotokan orang pun bagus, nggak asal-asalan aja. Makanya Mbak kasih tahu nih!” tegasku. Akhirnya Nilam bersedia mengambilkan fotoku lagi.
Karena dibalik foto yang bagus, ada photographer yang menderita. Hehehe. Ntah dapat inspirasi kalimat darimana nih barusan!
“Kita langsung ke Masjid aja yuk Lam? Udah panas banget nih!” ajakku. Karena sayup-sayup aku mendengar suara murothal, sepertiny sebentar lagi akan azan Ashar.
Dan… sesampainya di halaman mushola Alam Mayang…
“Eh, kok baru jam setengah tiga ya Lam? Hehehe,” sadarku.
“Ah Mbak Elaa niii!” Nilam membatalkan langkahnya ke kamar mandi dan langsung mengikutiku masuk ke dalam masjid.

“Kita baca surat Al-Kahfi dulu yuk! Belum ada baca kan tadi Pagi Lam?”
Lagi-lagi aku nggak selesai membaca surat Al-Kahfi ini. Jumlahnya memang lebih banyak daripada Yasin. Nilam pun nggak selesai. Selanjutnya, aku mengajak Nilam membaca buku yang kami beli tadi. Aku membaca buku LAKUKAN DENGAN HATI dan Nilam membaca buku HIDUP SEKALI, BERARTI, LALU MATI.
“Mbak, Kakak tidur dulu yaa menjelang azan.”
Aku mengangguk. Lalu kembali meneruskan bacaan. Setiap halaman yang ku baca dari buku ini benar-benar seperti angin segar yang meniupiku. Sekarang, aku menarik laptop yang ku pergunakan untuk mengecas HP untuk mulai mengangsurkan tulisan hari ini.
Kita, --terutama aku, seringkali dibuat bingung oleh banyaknya pilihan-pilihan hidup (kegiatan, kesibukan, ajakan, tawaran de el el) dan akhirnya itu justru membuat kita kehilangan defenisi lalu parahnya kita justru semakin menjauhi apa yang mestinya kita dekati. Contohnya adalah aku. Ketika aku dihadapkan dengan beraneka ragam cara menghasilkan uang dari blog, aku justru larut dalam perburuan informasi tentangnya lalu perlahan-lahan lalai meneruskan kedisiplinan menulis diary yang sudah beberapa bulan ini ku bangun. Karena tujuan awal aku menulis di blog adalah sebagai sarana ekspresi diri dan aku merasa sangat enjoy melakukannya. Tapi, semenjak aku beralih arah mendapatkan uang dari internet, ntah kenapa kenikmatan tadi memudar –padahal masih sama-sama dengan menggunakan blog jalannya. Hemmm… mungkinkah itu bukan passionku? Atau akunya aja yang belum ngerti gimana cara menikmatinya keduanya?

“Lam, Lam, bangun. Udah azan tuh!” ajakku, sambil menepuk-nepuk tangan Nilam.
Nilam berwudhu bergantian denganku karena tas dan barang-barang berharga ini tidak bisa ditinggalkan. Setelah Nilam sholat, aku baru selesai berwudhu. Dan, setelah aku selesai holat, ada 2 orang anak kecil yang masuk ke dalam masjid sambil mencari-cari mukena yang pas diwajahnya. Si Kakak sudah menemukan mukenanya sedangkan si adek masih belum juga.
“Mbak, kasihan kali Adek ituu, nggak ada yang pas mukenahnya sama dia. Bantuin ngapa Mbak!” pinta Nilam.
Aku mendekatinya sambil meraih mukan yang tadi ku pakai. Ternyata kebesaran juga. Lalu aku berinisiatif menggunakan jarumku untuk mengecilkan lingkar mukenanya tapi malah nggak sengaja mengenai lehernya dan membuatnya merengek-rengek kesakitan.
“Huhuu.. akiitt.. aakiitt.”
“Udah… nggak apa-apaa Naaakk. Duduk aja ya Nak, nggak usah sholat duluuu,” bujuk ayahnya yang baru memasuki mesjid sambil mengelus-ngelus lehernya. Aku mundur perlahan.
“Hih, Mbak Ela niii.. sembrono kalii pun.”
“Ya..namanya nggak sengaja. Lagian cuma kena dikitnya, bukannya kecucuk puuun!”
“Anak orang nggak jadi ibadah gara-gara Mbak Ela tuh! Hahaa,” ejek Nilam lagi.
“Nilam mau es kelapa muda nggak?”

“Ya mauuuu kali laaahh.. haus nih Mbak!”
“Di mana ya yang jual kelapa muda di sini?”
“Eh, nggak usah lah Mbak. Lagian mahal juga es kelapa muda tuh. Yang lain aja deh.”
Akhirnya aku membali 1 botol Mirai Ocha dan 1 botol air mineral sejuk. Aku dan Nilam menikmati minuman itu di taman di belakang mesjid. Nilam sibuk bermain android sementara aku kembali mengetik. Kami sama-sama duduk di atas ayunan berbentuk bangku ini. Benar-benar sebuah sore yang indah pemirsaaaa.
“Mbak Ela nanti malam ngajar les?”
“Nggak.”
“Alhamdulillah, kirain Mbak akan ninggalin Nilam sendirian lagi di kama,” ujar Nilam, lega.
Suara murothal Al-Quran dari warung di seberang taman ini menjadi nada syahdu penenang jiwa.
“Lam, kok tumben ya ada yang mutar murothal Al-Quran di warung sini?”
“Emmm.. mungkin karena masih jam sholat Ashar.”
Aku kembali mengetik sambil memberikan gaya pada pijakan kaki supaya ayunan ini tetap bergoyang pelan.
Ya Allah, menulis cerita harian seperti ini sungguh sangat ku nikmati dan membuatku merasa lega. Jika memang ini adalah ‘jalan’ untuk kesuksesanku melalui Passion, maka tunjukilah arahnya. Aamiin. Aku memang belum tahu apa-apa, tapi Engkau tahu segalanya. Menulis diary adalah upaya untuk menghidupkan kembali kisah diri, hari ini.

***
“Loh Lam, kita nggak bayar nih?” sadarku ketika telah sampai di penghujung pintu ke luar.
“Nggak bayar kok Mbak. Udahlah! Begegeh ha (baca: banyak tingkah).”
Aku tak menghiraukan kata-kata Nilam. Motor langsung ku putar kembali ke tempat pembayaran karcis.
“Nggak bisa gitu Lam. Kita nggak jujur namanya kalau gini. Kita udah menikmati keindahan di dalam sana, tapi ke luarnya malah nggak mau bayar.”
Dan… ketika sampai di tempat pembayaran, ternyata tutup dan nggak ada orangnya. Hemmm… ya udah deh kalau begini ceritanya. Yang penting, aku udah berniat membayar. Ku putar kembali motorku dan mulai melaju lagi, meninggalkan Alam Mayang.
“Lam, kita malam ini makan lauk teri lagi ya kayak tadi pagi. Hari ini kan kita udah makan enak dan habis uang banyak.”
“Hemmm…terserah aja.”
Ketika memasuki jalan SM. Amin, rintik hujan mulai jatuh ke pangkuan bumi. Aku terkena tetesannya. Hiruk pikuk kendaraan semakin menjadi-jadi saja.

“Mbak! Kelewataaann!” teriak Nilam ketika aku melewati UNRI.
“Memang sengaja, mau lewat jalan pintas ini,” kataku, menuju jalan berpasir di samping Toyota.
“Sengaja? Lewat jalan jelek kayak gini? Apa bagusnya?”
“Kan semakin cepat sampai kosannya. Kalau lewat UNRI tu muter-muter lagi,” jawabku. “Eh, kalau kita beli mie goreng, Nilam mau?” tawarku pula.
“Mauuu bangeeeeeeet,” jawab Nilam, kesenangan.
Ya Allah, walaupun Nilam adalah adikku sendiri, aku pun harus memuliakannya seperti tamuku. Aku ingin menyenangkan hatinya. Semoga melalui bahagianya ini, Engkau lebihkan pula yang kurang dariku, Engkau tegaskan hatiku dari segala keraguan pilihan dan Engkau dekatkan aku dengan tujuan. Aamiin.

***
Tepat sekali ketika kami memasuki kamar, azan maghrib berkumandang.
“Lam, kita sholat dulu atau makan dulu nih?” tanyaku.
“Emmm… kan katanya nggak boleh sholat kalau makanan udah tersaji. Kita kan udah beli mie goreng Mbak! Jadi…”
“Jadiii… kita makan dulu. Ya udah, yuk!”
“Yeyeeee.”
Setelah sholat maghrib, kami menghebohkan kamar ini dengan alunan kalam Illahi. Aku masih sekedar membaca, sedangkan Nilam sudah setia dengan hafalannya. Ya Allah, jaga adikku. Setelah mengaji, Nilam melihat-lihat hasil foto tadi sementara aku…
“Lam, Nilam tahu nggak Mbak mau ngapain ini?” tanyaku kepada Nilam sambil mengambil jilbab dari hangernya.
“Mau nyoba-nyoba makai jilbab kan?”
“Kok tahu?”
“Apalagi kalau bukan itu,” jawabnya, cuek.
Ehehe, ternyata bukan Rini aja yang hafal hal init oh!
“Mbak, foto yang di masjid An-Nur tadi mana? Cepatlah hidupkan laptop Mbaak.”
“Ngapain pula nanyain laptop kan fotonya ada di HP itu.”
“Tapi tadi udah Mbak salin, bukan?”
“Belum. Ada semuanya di situ pokoknya.”
Aku melanjutkan kreasiku, ide-ideku bersama jilbab.
“Ih, cantiiik kali ya ternyata,” gumam Nilam.

Aku meliriknya. “Tulaahhh. Tadi sok-sok males foto. Sempat nggak ada foto-foto itu apa Nilam nggak menyesal? Semuanya akan menjadi kenangan, makanya kita butuh berfoto. Itulah yang akan abadi.”
“Iyaa yaa. Eh, yang ini cantik kali Kakak fotonya. Wiihh, Mbak Ela memang pinter!” gumam Nilam lagi.
“Hemmm.. baru ngaku kan? Tadi asik marah-mara yoo. Iko baru sadar naa.”
“Nggak juga kok,” jawab Nilam dengan nada flat. “Mbak, kata ustad Kakak, kita tu harus berani merantau ke negeri orang, supaya dapat pengalaman baru, teman baru, ilmu baru. Kakak udah bilang sama Ummi, nanti SMAnya jangan di sini lagi.”
“Serius Lam?”
“Iya. Kalau SMAnya di sini lagi, berarti temannya itu-itu lagi lah. Kakak pengennya sekolah di Jawa.”
“Bagussss!” aku mengacungi jempol kepada Nilam. “Tapi… yaa.. resikonya nggak akan sering-sering dijenguk lah. Siap?”
“Iyaa.. Kakak tahu. Nggak apa-apa.”
“Bagusss! Ini baru Adek Mbak Ela. Kereeen.”
“Mbak, ntah kenapa Kakak selalu terbangun jam 2 loh selama di sini. Semalam juga terbangun jam 2, ada dengar-dengar suara aneh gitu.”
“Koe bangun jam 2 setiap malam?”
“Iya.”

“Kok nggak bangunin Mbak Ela?”
“Mana Kakak tahu kalau Mbak Ela minta bangunkan. Mbak Ela nii pun kalau tidur ntah ngapa nggak dimatian lampunya.”
“Pokoknya bangunkan besok ya! Awas kalau bangun tapi nggak mbangunkan orang.”
“Oke. Mbak, si Cek itu mirip kayak Ummi loh. Kan tadi waktu Mbak tanya; ‘Berapa nih harga jilbabnya?’ dia jawabnya kayak Ummi; ‘Ngapa nanya-nanya? Mau diganti memangnya uangnya?’ ya kan Mbak?”
“Hehhe..iya juga yaa!”
Aku teringat, akhir-akhir ini aku kurang produktif di waktu malam. Aku menyadari bahwa beberapa aktifitas menulisku tergantikan oleh ketikan 2 jempol di layar android. Ahhh! Agaknya aku harus membuat peraturan baru untuk diriku; Jangan buka Instagram sebelum selesai menuli diary. Bismillah, harus konsis dan komit!

Tidak ada komentar: