Setiap berlalu 1 hari, maka berlalu pulalah segala cerita
hari. Yang kini segera berganti nama menjadi tadi. Waktu dengan mudah menukar
semua kondisi sesukanya. Dan, tidak ada yang tersisa dari KENANGAN kecuali
KENANG-KENANGAN. Memotret setiap momen adalah caraku mengabadikan kenangan dalam ingatan. Supaya ada gambar yang selalu bisa ku lihat sesukaku. Supaya
ada ingat yang tersemat disetiap lihatku. Aku memang Penulis Kenangan. Buktinya adalah BLOG yang sedang KAMU baca ini. Mana mungkin aku setekun ini men-diari-kan hari-hariku jika aku tidak mencintainya? Kamu beruntung berteman denganku, karena semoga saja namamu pun ikut terabadikan di sini. ^_^
***
“Ada acara apa hari ini El?” tanya mami di seberang telpon.
“Mau ngajak Nilam ke masjid Agung An-Nur Miii. Ada kajian
gitu tentang remaja dari Polres.”
“Awas nanti dirazia pula kalian di sanaaa.”
“La jadii? Hahaa.”
Aku menyerahkan lagi HP kepada Nilam. Selanjutnya, ia yang
mengobrol dengan mami dengan loudspeaker.
“Masak apa Mi pagi ini?”
“Kemarin masak sambal ikan Gembung. Hari ini masak tumis
Pare, diiris agak besar-besar gitu.”
“Pareee? Ihhh… pasti pahitlah tuu Miii.”
“Masih pahitlah kata-katamu lagi Laaam,” sahut mami, ngasal
tapi lucu.
“Alaaheeekk Mi.. hahaaa.. bisa pula nemu kata-kata itu
Miii.”
Aku pun ikut tertawa mendengarnya. Setelah mami selesai
menelvon, aku dan Nilam tidak langsung bersiap-siap. Nilam memutar video stand
up comedy dan aku ikut-ikutan menonton di sebelahnya. Kami baru selesai
bersiap-siap pukul 09.00wib. Well, aku tahu ini sudah meleset dari jam hadir
yang ku baca di broifsur yang dibagikan Lia di wall FBku.
“Katanya tunggu dia dulu sebleum kita pergi. Dia mau
ngantarkan cas HPnya.”
“Terus, kenapa Nilam ketawa setelah ditelvonnya? Apa yang
lucu?” selidikku penasaran.
“Lucu aja. Dia bilang; ‘Tunggu Abang mau ke sana ya!’
padahal suaranya aja kayak perempuan gitu.”
Awalnya aku nggak ngeh dengan kalimat yang dianggap Nilam
lucu itu. Barulah kemudiaann… “Hahaaa… iya yaa, lucu. Memang kayak gitu
suaranya, mau digimanakan lagi? Dia kan memang ‘abang’, Lam.”
Ternyata Okta tak hanya mengembalikan cas, dia pun memberiku
jilbab bermotif floral berwarna biru dengan latar kecoklatan. Ternyata benar
feelingku, jilbab yang kemarin ditanyakannya kepadaku lewat BBM adalah untukku.
Awalnya, Okta udah ngatain aku kepedean karena aku mengira dia akan memberikan
jilbab itu kepadaku. Tapi, ternyata benar pemirsaaaa… Alhamdulillah.. nambah
lagi koleksi jilbabku.
“Kapan pula baju I-YES itu diantarkan Cek?” tanyaku ketika
menyadari baju yang dipakai Okta ini.
“Ada dehhhh. Okeee yaa, pergi tak ngajak-ngajak. Ada
pengajian tak bilang-bilang Okta yaaa.”
“Yuhuuuuu.. Eke pergi dulu yaw Cekkk.”
“Hati-hati Cek. Sedang marak Razia Zebra loh sekarang.”
“Iyaaa.. tahu. Daaa.”
Sebenarnya aku pengen minjam uang Okta Rp 10.000 karena
khawatir minyak bensinku nggak cukup. Ternyata Okta pun bawa uang pas-pasan
untuk sarapan. Ya udah deh, aku langsung narik uang ke ATM dulu. Alhamdulillah
minyaknya cukup setelah ku check dan akhirnya nggak langsung ku isi.
***
“Kalau ada teman-teman yang mengajak untuk mencoba narkoba
atau berbuat maksiat, jangan sampai Adik-adik mauu. Jangan ikut-ikutan menempuh
jalan ke neraka yaa karena nanti Adek-adek yang akan menyesal kemudian. Hingga
tiba masanya kalian akan saling menyalahkan di akhirat nanti, padahal yang
salah adalah Adik-adik karena mau menuruti ajakan ituu.”
Aku mendengar gema suara penceramah dari parkiran motor
masjid Agung An-Nur ini.
“Besaaar Kali ya Mbak masjidnya,” gumam Nilam.
“Ini belum kelihatan semua Lam. Yuk kita kelilingi, biar
Nilam tahu!”
Aku mengedarkan pandangan ke segenap penjuru. Di mana-mana
terlihat anak-anak berseragam muslim khas sekolahnya masing-masing. Ada yang
SMP dan ada juga yang SMA, menurut pengamatanku. Ah, jadi segan kalau masuk ke
dalam, karena isinya pasti anak sekolahan semua.
Memang sih Ciin, kita
ini masih disebut anak muda. Tapi, anak muda yang dimaksud di brosur itu ya
memang anak sekolahaan. Howalaahh… gumamku teringat brosus di FB itu lagi.
“Lammm.. anak sekolahan semua nih isinya kayaknya. Kita
duduk di sini aja lah yuk! Kan kedengaran juga suara pak ustadnya dari sini.”
Aku dan Nilam duduk di bangku taman di sisi kanan masjid.
“Lah, Mbakk? Pak
Ustadnya ternyata kepala sekolah SMP Al-Bayyinahh tuh! Dengeriinn!”
Aku menajamkan pendengaranku lagi.
“Iya yaa Lam.. ciyeee… calon sekolahan Nilam yang nggak
kesampaian.”
“Iyaa. La jadiii?” Nilam tersenyum.
“Mohon maaf atas kekeliruan yang ada dalam penyampaian saya.
Assalamualaikum.. warohmatullahi wabarokatuhh.”
“Yaahhh.. Lamm… udah selesai tuh ceramahnya. Ehmmm… nggak
apa-apalah ya, yang penting ada kedengaran sedikit tadi.”
“Kedengaran apa Mbak? Kedengaran tentang Al-Bayyinah tu?”
tanya Nilam
“Hehhheee… iyaaaa.”
Apa lagi selanjutnya kalau bukan berjalan-jalan mengelilingi
masjid ini sambil berfoto-foto?
“Ih, Mbak Ela ni kok pede kali sih? Banyak orang loh Mbak.
Banyak anak-anak sekolah loh Mbak.”
“Hemmm.. jadi gini Lam. Berani tampil beda itu adalah salah
satu cara untuk melatih diri supaya bisa lebih pede. Biasanya nggak pernah
pakai jilbab warna orange, sesekali coba dipakai, misalnya gitu. Coba deh,
berani nggak Nilam berpose di dekat kerumuman anak-anak itu untuk Mbak foto?”
“Ih, maluuuu naa Mbaaakkk.”

El kamu berpenampilan kayak gini hari ini?’ gitu. dan.. lama kelamaan memang terasa pedenya. Sekarang, kalau harus tampil di depan banyak orang pun Mbak udah berani deh. Insya Allah.”
Okta menelvon…
“Iya Cek?”
“Cek, Kak Lia daftar Mahasiswa Berprestasi yang versi
rektorat ini ya?”
“Iya, kemarin dia sama Novi ngantar berkasnya bareng.
Kenapa?”
“Dia menaaaang loh Cekkkk.”
“Tahu dari mana?”
“Yang daftar ya, Novi, Kak Lia, Anggi, Adli sama satu lagi
ntah anak mana ni.”
“5 orang? Siapa yang menang rupanya?”
“Belum tahu juga sih, tapi Okta sedang lihat-lihat berkas
orang ini di rektorat nih. Cek ngapa nggak daftar kemarin sih? Ah!”
“Ehhh… biarlah yang lainnya lagi Cek.”
“Besok malam senin datanglah pas puncak Milad yaa.”
“Di mana? PKM Gobah? Nggak ah. Jauh!”
“Ya udah deh. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Makasih ya jilbabnya Cek.”
***
“Oke, kita beli buku ini, buku ini dan ini.”
“Aiih Mbak? Banyak kaliii. Langsung habislah uang kita,”
kata Nilam, terheran.
“Nggak apa-apa. Insya Allah, ini adalah pembelanjaan di
jalan yang benar Lam dan buku ini adalah investasi yang ilmu. Semoga Allah
mengganti dengan rezeki yang lebih baik lagi yaa.”
“Aamiiin.”
“Ginilah makanya uang Mbak sering cepet habis. Kalau udah
beli buku, biasanya sampai ratusan gini.”
Nilam diam saja, menyimakku. Semoga ia mengerti dan
kebiasaan membaca buku tertular juga kepadanya.
“Nggak ada diskon memangnya Mbak?” tanya Nilam.
“Ada diskon nggak Mbak?” tanyaku kepada mbak kasir.
“Maaf Mbak, nggak ada diskonnya sekarang Mbak,” jawabnya
ramah. “Rp 174.000,” lanjutnya sambil menstaples check billnya pada plastik
tersebut.
Aku dan Nilam turun ke lantai 1 dan ke luar menuju tempat
pengambilan tas. Tapi mendadak, mataku melihat gambar Dinosaurus di tembok di
depan tempat penitipan tas. Aku pernah melihat seseorang berfoto di depan
gambar tersebut di Instagram dan aku sudah tahu harus bergaya seperti apa di
sana.”
“Lam, cepat bergaya di sana, biar Mbak foto! Ekspresi
ketakutan ya seolah-olah dikejar si Dino.”
Gantian aku sekarang yang difotokan oleh Nilam. Beberapa SPG
dan pengunjung Gramedia melihat ke arahku. Aku mana peduli. Hehe.
“Kita sholat di sini dulu ya Laammm..barulah nanti kita
makan siangnya di luar yaa,” ajakku kepada Nilam sambil menuruni tangga menuju
baseman.
“Emangnya ada mushola di sini Mbak?”
“Tuh!” aku menunjuk ke sudut parkiran.”
Kami sholat berjamaah karena nggak ada cowok dan hanya kami
berdua yang sholat sekarang.
Tidak ada yang lebih
aku cintai daripada sholat. Lalu, adakah hal lain yang pantas ku fikirkan di
dalam sholat?
Penggalan di salah satu buku tadi terngiang kembali olehku
sebelum takbiratul ihram.
“Allahuakbar.”
Setelah selesai sholat…
“Lam, mau main ke mana lagi kita? Atau pulang aja?” tanyaku.
“Ngapain pulang? Kangen sama si ganteng?”
“La jadiii?” aku tiba-tiba berfikir mengajak Nilam ke Mall
Ciputra. Tapi, untuk apa? Lebih asyik juga main di SKA sebenarnya. Lagian
itu-itu juga pemandangannya. “Ahaaa! Ke Alam Mayang aja yuuukk?” ajakku,
bersemangat.
“Ayuuukkkk!” jawab Nilam, tak kalah semangat.
“Mari kita berangkat! Yeeeee.! Tolong pegangkan kertas ini
Lam dan keluarkan uang kecil untuk bayar parkir ya.”
“Ini dibayarnya di mana Mbak?” tanyanya.

harus menekan tombol karcis terlebih dahulu sebelum masuk dan membayar karcis di loket sebelum ke luar. Semoga perjalanan hari ini banyak mengajarnya berbagai pengalaman.
“Duh, udah mau habis nih kayaknya bensinnya!” pekikku saat
mesin motorku terasa agak turun gasnya. Ya
Allah, jangan sampai mogok di tengah jalaaannn…, mohonku di dalam hati
sambil terus menarik gas melintasi fly over pertama di depan Gramedia. Pas
ngelihat tempat jual bensin, gasku terlalu kencang dan kelewatan. Ya allah,
bagaimana ini? tolong tunjukkan kepadaku penjual bensin terdekaaat! Mohonku
lagi. Dan… tepat banget, mesinku berhenti tepat di depan penjual bensin.
“Kenapa Dek?” tanya penjualnya.
“Beli bensin Bang. 1 liter!” teriakku dari pinggir jalan.
Ia langsung datang ke arahku dan menuangkan sebotol bensin
ke dalam tangki minyak. Aku memutuskan untuk makan siang di Harapan Raya saja
supaya searah ke Alam Mayang. Supaya lebih praktis. Alhamdulillah, kami
menemukan rumah makan Minang yang uenaaak dan banyak porsinya, harganya cuma Rp
10.000 pula.
“Nilam yang bayar ya. Latihan ngomong! Buk, ‘makan 2 porsi’,
bilang aja gituu.”
Nilam beranjak menuju kasir sementara aku langsung mengemasi
tas.
“Murah Mbak yaa, cuma Rp 10.000, banyak gitu.”
“Alhamdulillah. Semoga berkah ya makanan kita hari ini.
aamiin.”
***
“Kemarin waktu Nilam dan teman-teman Nilam ke sini rame
nggak?”
“Ya sepilah Mbak. Kami kan ke sininya waktu hari aktif
sekolah, bukan hari libur.”
Ketika melewati pintu masuk, aku nggak melihat seorang
penjaga pun di meja karcis, akhirnya aku nyelonong masuk aja. Nanti aja
bayarnya sewaktu ke luar dari sini deh!
“Lam… kemarin Mbak tu lihat teman Mbak ada yang foto di
bawah payung-payung gituu. Cantiiik loh! Di mana ya tempat ituuu?” aku
celingukan, mengira-ngira jalan yang akan ku pilih.
Dann….
“itu nggak Mbakkk?” tunjuk Nilam ke arah sebelah kanan.
“Mana Lam?”
“Ituu looohh.. lihat ke atasnya!”
“Ohhh… iyaaaaaaa.. Ya ampuuunnn, cantikk kali kaaan?”
sahutku, histeris.
“Apa cantiknya? Biasa aja puun,” sahut Nilam lagi.
“Lah? Secantik itu dibilang biasa ajaa? Hemmm… kayaknya Mbak
memang punya jiwa seni deh kalau gitu Lam.”
Ku parkirkan motorku di tepian danau dengan deretan
perahu-perahu bebek, supaya lebih dekat ke taman dengan payung melayang itu.
Lagi, aku harus mengambilkan foto Nilam terlebih dahulu sebagai contoh sebelum
dia mengambilkan fotoku. Selain menyenangkan hatinya, juga supaya lebih fair
karena mengajarinya dengan mencontohkannya.
“Lam… gantian fotoin Mbak kayak gini yaa!”
Setelah beberapa kali jepretan, aku menge-check hasilnya.
“Sinih,, satu ciuman untuk adikku yang pintar inii,” kataku.
Berbahagia.
Nilam menyodorkan pipi kirinya kepadaku. Aku menciumnya.
Setelah taman berpayung, kami bergerak ke bangunan mirip
candi di sebelah baratnya. Candi ini awalnya berwarna kuning keorenan, tapi
hari ini kok jadi hitam semua yaaa? Nggak apa-apa deh, more black, more etnic.
Hehe.
“Lammm.. nggak kayak ginii loh cara ngambilnya. Coba deh
Nilam perhatikan foto Nilam ini, cantik kan? Lihat foto Mbak ini, beda kan sama
punya Nilam tadi?”
“Ah, Mbak Ela nih gitu kali puuun! Cuma beda aja
dipermasalahkan!” gerutunya.
“Eh, dikasih tahu kok malah ngeyel. Biar Nilam tu faham
gimana sudut pengambilan gambar ituu Lam. Jadi nanti kalau memfotokan orang pun
bagus, nggak asal-asalan aja. Makanya Mbak kasih tahu nih!” tegasku. Akhirnya
Nilam bersedia mengambilkan fotoku lagi.
Karena dibalik foto
yang bagus, ada photographer yang menderita. Hehehe. Ntah dapat inspirasi
kalimat darimana nih barusan!
“Kita langsung ke Masjid aja yuk Lam? Udah panas banget
nih!” ajakku. Karena sayup-sayup aku mendengar suara murothal, sepertiny
sebentar lagi akan azan Ashar.
Dan… sesampainya di halaman mushola Alam Mayang…
“Eh, kok baru jam setengah tiga ya Lam? Hehehe,” sadarku.
“Ah Mbak Elaa niii!” Nilam membatalkan langkahnya ke kamar
mandi dan langsung mengikutiku masuk ke dalam masjid.
“Kita baca surat Al-Kahfi dulu yuk! Belum ada baca kan tadi
Pagi Lam?”
Lagi-lagi aku nggak selesai membaca surat Al-Kahfi ini.
Jumlahnya memang lebih banyak daripada Yasin. Nilam pun nggak selesai.
Selanjutnya, aku mengajak Nilam membaca buku yang kami beli tadi. Aku membaca
buku LAKUKAN DENGAN HATI dan Nilam
membaca buku HIDUP SEKALI, BERARTI, LALU
MATI.
“Mbak, Kakak tidur dulu yaa menjelang azan.”
Aku mengangguk. Lalu kembali meneruskan bacaan. Setiap
halaman yang ku baca dari buku ini benar-benar seperti angin segar yang
meniupiku. Sekarang, aku menarik laptop yang ku pergunakan untuk mengecas HP
untuk mulai mengangsurkan tulisan hari ini.
Kita, --terutama aku, seringkali dibuat bingung oleh
banyaknya pilihan-pilihan hidup (kegiatan, kesibukan, ajakan, tawaran de el el)
dan akhirnya itu justru membuat kita kehilangan defenisi lalu parahnya kita
justru semakin menjauhi apa yang mestinya kita dekati. Contohnya adalah aku.
Ketika aku dihadapkan dengan beraneka ragam cara menghasilkan uang dari blog,
aku justru larut dalam perburuan informasi tentangnya lalu perlahan-lahan lalai
meneruskan kedisiplinan menulis diary yang sudah beberapa bulan ini ku bangun.
Karena tujuan awal aku menulis di blog adalah sebagai sarana ekspresi diri dan
aku merasa sangat enjoy melakukannya. Tapi, semenjak aku beralih arah
mendapatkan uang dari internet, ntah kenapa kenikmatan tadi memudar –padahal
masih sama-sama dengan menggunakan blog jalannya. Hemmm… mungkinkah itu bukan
passionku? Atau akunya aja yang belum ngerti gimana cara menikmatinya keduanya?
“Lam, Lam, bangun. Udah azan tuh!” ajakku, sambil
menepuk-nepuk tangan Nilam.
Nilam berwudhu bergantian denganku karena tas dan
barang-barang berharga ini tidak bisa ditinggalkan. Setelah Nilam sholat, aku
baru selesai berwudhu. Dan, setelah aku selesai holat, ada 2 orang anak kecil
yang masuk ke dalam masjid sambil mencari-cari mukena yang pas diwajahnya. Si
Kakak sudah menemukan mukenanya sedangkan si adek masih belum juga.
“Mbak, kasihan kali Adek ituu, nggak ada yang pas mukenahnya
sama dia. Bantuin ngapa Mbak!” pinta Nilam.
Aku mendekatinya sambil meraih mukan yang tadi ku pakai.
Ternyata kebesaran juga. Lalu aku berinisiatif menggunakan jarumku untuk
mengecilkan lingkar mukenanya tapi malah nggak sengaja mengenai lehernya dan
membuatnya merengek-rengek kesakitan.
“Huhuu.. akiitt.. aakiitt.”
“Udah… nggak apa-apaa Naaakk. Duduk aja ya Nak, nggak usah
sholat duluuu,” bujuk ayahnya yang baru memasuki mesjid sambil mengelus-ngelus
lehernya. Aku mundur perlahan.
“Hih, Mbak Ela niii.. sembrono kalii pun.”
“Ya..namanya nggak sengaja. Lagian cuma kena dikitnya,
bukannya kecucuk puuun!”
“Anak orang nggak jadi ibadah gara-gara Mbak Ela tuh!
Hahaa,” ejek Nilam lagi.
“Nilam mau es kelapa muda nggak?”
“Ya mauuuu kali laaahh.. haus nih Mbak!”
“Di mana ya yang jual kelapa muda di sini?”
“Eh, nggak usah lah Mbak. Lagian mahal juga es kelapa muda
tuh. Yang lain aja deh.”
Akhirnya aku membali 1 botol Mirai Ocha dan 1 botol air
mineral sejuk. Aku dan Nilam menikmati minuman itu di taman di belakang mesjid.
Nilam sibuk bermain android sementara aku kembali mengetik. Kami sama-sama
duduk di atas ayunan berbentuk bangku ini. Benar-benar sebuah sore yang indah
pemirsaaaa.
“Mbak Ela nanti malam ngajar les?”
“Nggak.”
“Alhamdulillah, kirain Mbak akan ninggalin Nilam sendirian
lagi di kama,” ujar Nilam, lega.
Suara murothal Al-Quran dari warung di seberang taman ini
menjadi nada syahdu penenang jiwa.
“Lam, kok tumben ya ada yang mutar murothal Al-Quran di
warung sini?”
“Emmm.. mungkin karena masih jam sholat Ashar.”
Aku kembali mengetik sambil memberikan gaya pada pijakan
kaki supaya ayunan ini tetap bergoyang pelan.
Ya Allah, menulis
cerita harian seperti ini sungguh sangat ku nikmati dan membuatku merasa lega.
Jika memang ini adalah ‘jalan’ untuk kesuksesanku melalui Passion, maka
tunjukilah arahnya. Aamiin. Aku memang belum tahu apa-apa, tapi Engkau tahu
segalanya. Menulis diary adalah upaya untuk menghidupkan kembali kisah diri,
hari ini.
***
“Loh Lam, kita nggak bayar nih?” sadarku ketika telah sampai
di penghujung pintu ke luar.
“Nggak bayar kok Mbak. Udahlah! Begegeh ha (baca: banyak
tingkah).”
Aku tak menghiraukan kata-kata Nilam. Motor langsung ku
putar kembali ke tempat pembayaran karcis.
“Nggak bisa gitu Lam. Kita nggak jujur namanya kalau gini.
Kita udah menikmati keindahan di dalam sana, tapi ke luarnya malah nggak mau
bayar.”
Dan… ketika sampai di tempat pembayaran, ternyata tutup dan
nggak ada orangnya. Hemmm… ya udah deh kalau begini ceritanya. Yang penting,
aku udah berniat membayar. Ku putar kembali motorku dan mulai melaju lagi,
meninggalkan Alam Mayang.
“Lam, kita malam ini makan lauk teri lagi ya kayak tadi
pagi. Hari ini kan kita udah makan enak dan habis uang banyak.”
“Hemmm…terserah aja.”
Ketika memasuki jalan SM. Amin, rintik hujan mulai jatuh ke
pangkuan bumi. Aku terkena tetesannya. Hiruk pikuk kendaraan semakin
menjadi-jadi saja.
“Mbak! Kelewataaann!” teriak Nilam ketika aku melewati UNRI.
“Memang sengaja, mau lewat jalan pintas ini,” kataku, menuju
jalan berpasir di samping Toyota.
“Sengaja? Lewat jalan jelek kayak gini? Apa bagusnya?”
“Kan semakin cepat sampai kosannya. Kalau lewat UNRI tu
muter-muter lagi,” jawabku. “Eh, kalau kita beli mie goreng, Nilam mau?”
tawarku pula.
“Mauuu bangeeeeeeet,” jawab Nilam, kesenangan.
Ya Allah, walaupun Nilam
adalah adikku sendiri, aku pun harus memuliakannya seperti tamuku. Aku ingin
menyenangkan hatinya. Semoga melalui bahagianya ini, Engkau lebihkan pula yang
kurang dariku, Engkau tegaskan hatiku dari segala keraguan pilihan dan Engkau
dekatkan aku dengan tujuan. Aamiin.
***
Tepat sekali ketika kami memasuki kamar, azan maghrib
berkumandang.
“Lam, kita sholat dulu atau makan dulu nih?” tanyaku.
“Emmm… kan katanya nggak boleh sholat kalau makanan udah
tersaji. Kita kan udah beli mie goreng Mbak! Jadi…”
“Jadiii… kita makan dulu. Ya udah, yuk!”
“Yeyeeee.”
Setelah sholat maghrib, kami menghebohkan kamar ini dengan
alunan kalam Illahi. Aku masih sekedar membaca, sedangkan Nilam sudah setia
dengan hafalannya. Ya Allah, jaga adikku.
Setelah mengaji, Nilam melihat-lihat hasil foto tadi sementara aku…
“Lam, Nilam tahu nggak Mbak mau ngapain ini?” tanyaku kepada
Nilam sambil mengambil jilbab dari hangernya.
“Mau nyoba-nyoba makai jilbab kan?”
“Kok tahu?”
“Apalagi kalau bukan itu,” jawabnya, cuek.
Ehehe, ternyata bukan Rini aja yang hafal hal init oh!
“Mbak, foto yang di masjid An-Nur tadi mana? Cepatlah
hidupkan laptop Mbaak.”
“Ngapain pula nanyain laptop kan fotonya ada di HP itu.”
“Tapi tadi udah Mbak salin, bukan?”
“Belum. Ada semuanya di situ pokoknya.”
Aku melanjutkan kreasiku, ide-ideku bersama jilbab.
“Ih, cantiiik kali ya ternyata,” gumam Nilam.
Aku meliriknya. “Tulaahhh. Tadi sok-sok males foto. Sempat
nggak ada foto-foto itu apa Nilam nggak menyesal? Semuanya akan menjadi
kenangan, makanya kita butuh berfoto. Itulah yang akan abadi.”
“Iyaa yaa. Eh, yang ini cantik kali Kakak fotonya. Wiihh,
Mbak Ela memang pinter!” gumam Nilam lagi.
“Hemmm.. baru ngaku kan? Tadi asik marah-mara yoo. Iko baru
sadar naa.”
“Nggak juga kok,” jawab Nilam dengan nada flat. “Mbak, kata ustad Kakak, kita tu
harus berani merantau ke negeri orang, supaya dapat pengalaman baru, teman
baru, ilmu baru. Kakak udah bilang sama Ummi, nanti SMAnya jangan di sini
lagi.”
“Serius Lam?”
“Iya. Kalau SMAnya di sini lagi, berarti temannya itu-itu lagi
lah. Kakak pengennya sekolah di Jawa.”
“Bagussss!” aku mengacungi jempol kepada Nilam. “Tapi… yaa..
resikonya nggak akan sering-sering dijenguk lah. Siap?”
“Iyaa.. Kakak tahu. Nggak apa-apa.”
“Bagusss! Ini baru Adek Mbak Ela. Kereeen.”
“Mbak, ntah kenapa Kakak selalu terbangun jam 2 loh selama
di sini. Semalam juga terbangun jam 2, ada dengar-dengar suara aneh gitu.”
“Koe bangun jam 2 setiap malam?”
“Iya.”
“Kok nggak bangunin Mbak Ela?”
“Mana Kakak tahu kalau Mbak Ela minta bangunkan. Mbak Ela
nii pun kalau tidur ntah ngapa nggak dimatian lampunya.”
“Pokoknya bangunkan besok ya! Awas kalau bangun tapi nggak
mbangunkan orang.”
“Oke. Mbak, si Cek itu mirip kayak Ummi loh. Kan tadi waktu
Mbak tanya; ‘Berapa nih harga jilbabnya?’ dia jawabnya kayak Ummi; ‘Ngapa
nanya-nanya? Mau diganti memangnya uangnya?’ ya kan Mbak?”
“Hehhe..iya juga yaa!”
Aku teringat, akhir-akhir ini aku kurang produktif di waktu
malam. Aku menyadari bahwa beberapa aktifitas menulisku tergantikan oleh
ketikan 2 jempol di layar android. Ahhh! Agaknya aku harus membuat peraturan
baru untuk diriku; Jangan buka Instagram
sebelum selesai menuli diary. Bismillah, harus konsis dan komit!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar