Rabu, 21 Oktober 2015

Karena Tulisanku Bukan Tulisan Musiman



“Rin, kapan kita ke mana?”
“Ke mana?”
“Ya, kemana ajaaa.”
“El nyaa yang sok sibuk. Aku bisa-bisa aja nyaa.”
Hal-hal kecil yang tidak terselesaikan ternyata bisa menjadi beban yang berat. Aku me-list apa saja yang bisa ku selesaikan hari ini. Ngantar lauk dan buah ke tempat Nilam, ngembalikan buku dek Nila, ketemu PD I, ngembalikan baju Vera, buang sampah yang numpuk di kamar, jual botol bekas. Hemmm… lumayan juga ternyata hal-hal kecilku yang tak segera ku selesaikan selama ini.
“El, sarapan yuk?”
“Aku udah makan roti Rin. Sarapanku selama diet ini 1 bungkus roti aja sebagai pengganti sarapan berat kayak biasanya. Tu masih ada rotinya, ambillah Rin.”
“Ah, aku sendirian ajalah ke warung nyari sarapan. Pokoknya nanti waktu aku pulang, El harus udah siap ya!”
“Lah? Aku kan sedang nyetrika iniii…. Mana bisa ngebut-ngebut selesainya.”
“Daaa….”
Aku melanjutkan nyetrika sambil mendengarkan nasehat bijaknya Mario Teguh yang berjudul ‘Keran Rezeki’. Aku selalu mendapatkan kesegaran baru dari setiap video nasehat Mario Teguh ini. Dia bukan ahli agama, tapi melaluinya aku seolah-olah sedang diajarkan agama dan selalu diingatkan tentang Allah. I wanna be like him. Sama sekali nggak menggurui, tapi semua orang dibuatnya belajar dengan sadar.

“Kalau kita mengawali segala sesuatunya dengan syukur, rezeki kita nantinya akan membaik sendiri. Membaik sendiri yang dimaksud di sini adalah perkara iman. Karena, tidak mungkin sesuatu bisa membaik sendiri tanpa campur tangan dari Tuhan. Yang dinamakan rezeki itu bukan semata-mata tentang uang, tetapi juga kesehatan, ketenangan, kemudahan urusan, ilmu. Karena uang ini tidak ada gunanya jika tidak mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Orang yang baik akan pantas dengan pembalasan yang baik sedangkan orang yang tidak baik akan pantas dengan pembalasan yang tidak baik pula.”
Aku manggut-manggut menyimak nasehat tersebut sambil tak henti menyetrika.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalaam… Eh, udah pulang nyaa?”
“Duh, kenyang kali aku El. Tadi mesan soto, ternyata lumayan banyak porsinya makanya aku lama makannya. Memang, kalau untuk sarapan aku lebih cocok makan lontong sayur aja karena porsinya pas di perutku.”
“Perasaan, nggak terlalu banyak deh porsi soto di tempat itu Riin.”
“Ya,itu bagi El,. Tapi bagi aku udah kebanyakan tuh.”
Setelah aku selesai menyetrika dan memasukkan semua pakaian ke dalam lemari….

“Loh? Loe kok tidur pula sih? Katanya mau pergi!”
“Ah, kan El belum siap lagi. Masih sejam tuh nungguin El! Mending aku tidur dulu. Badanku ntah kenapa nih masih lemah kali rasanya.”
“Bububuyuuu yaaa.”
Setelah aku bersiap-siap, Yana datang ke kos untuk konsultasi judul proposalnya. I feel proud to be her advisor. Sihiyyyyyy. Aku menyarankan 4 judul kepadanya atas gagasan yang ia utarakan.
“Rin, yuk!” ajakku kepada RIni setelah Yana pulang.
“Tunggu dulu El. 5 menit lagi, masih pusing kali rasanya. Hemmm… tadi ada yang datang ya kayaknya?”
“Iyaaa. Si Yana, konsultasi judul proposalnya tadi.”
Aku mengeluarkan motor dan langsung memanaskannya, setelah cukup panas, aku mengkode RIni dengan klakson supaya Rini ke luar dari kamar dan langsung nangkring di motorku. Hehee.. tujuannya untuk menghindari ditanya-tanyai ibu kos tentang segala kemungkinan pertanyaan yang bikin bad mood.
“Kita ke Delima dulu kan?”
“Yuhuuuuu.”

Aku hanya menitipkan lauk dan buah dari mami kepada ustahzahnya Nilam, karena Nilam sedang belajar dan nggak bisa diganggu. Setelah dari pesantren, kami melaju ke arah Subrantas. Hidungku sempat mencium bau ikan teri goreng di perjalanan tadi dan membuat perutku keroncongan tak terkendali.
“Yang lapa kali nya El?”
“Hiksss… banget. Nggak sopan kali orang yang nggoreng teri tuu, nggak tahu apa kalau aku sedang lapar?”
“Tullaahhh… sok-sok diet, nggak mau sarpaan segala!”
“Aku kan capek Rin diejek gendut teyuusss sama RIni dan yang lainnya. Aku harus kurus!”

***
Menjelang Zuhur, aku makan di Pondok Hijau sedangkan Rini beli Pokat Kocok dan makan bersamaku di sini. Katanya, dia masih kenyang karena sarapan tadi pagi.
“Rini lagi ngapain?”
“Lagi… baca novel!” jawabnya sambil menyeruput Al-pukat lumatnya.
“Ohhhh gituuu. Rin, fotoin aku donk!”
“Selalapnya!” Rini kebingungan ketika ia nggak berhasil membuka album foto di HPku. “Macam mana nya iniii!”
“Udah penuh kali memori HPku tuh Rin. Harus ku pindahkan dulu ke laptop. Terutama karena foto-foto tuh penuhnya. Hehe.”
Rini hanya geleng-geleng kepala.
“Rin, uangku cuma 6ribu loh. Pinjam yaa? Ehehe.” *gimana ceritanya aku bisa makan dengan tenang padahal uang nggak cukup? Gimana kalau ternyata uang Rini pun nggak cukup? Huahhhh...
“Eh, Rin, ntah ke mana uangku tadi tuu! Kok nggak ada pula ya di tas! Hehee, Rin, pinjam uang Rini dulu yaa.. hehee,” pintaku akhirnya.
“Arasooohh!”

Selanjutnya, aku membawa Rini sholat Zuhur di mushola Arrafah. Ternyata mukenanya hanya 1 di sini dan yang lainnya sepertinya sedang dicuci. Rini harus bersabar dulu karena mukenanya sedang dipakai oleh yang lain.
“Kak, pinjam boleh?” pinta Rini kepada salah seorang yang telah selesai sholat.
“Ini mukena pribadi,” jawab perempuan itu langsung.
Rini kembali duduk di sisiku.
“Lihatlah Kakak itu! Tadi waktu aku mau minjem nggak dibolehinnya, sekarang dipinjamkannya sama cewek yang itu! huh!” bisik Rini. Ku samakan arah pandang dengan pandangan Rini. Aku pun jadi mengiba.
Ah..! Kenapa mesti begini? Apakah kebaikan itu hanya diputar dan disebarkan dengan mereka yang sesama-sama berjilbab lebar saja? Bukankah prinsip kekayaan dan kebaikan itu sama saja; sama-sama harus diedarkan dan didistribusikan ke sebanyak mungkin orang?
Pandanganku kembali kepada Rini. Kasihan dia.
“Nah, Rin, pinjamlah sama Kakak yang satu itu! Kalau yang itu pasti mukena mushola ini deh!” saranku selanjutnya. Akhirnya Rini bisa sholat juga. Aku menunggunya sholat sambil mengangsur beberapa halaman tulisan. Sampai ketika Rini selesai sholat….
“El! Jangan autis! Yoklah kita pergi! Katanya tadi mau ke
Puskom!” ajaknya.
“Bububuyuuuuu.”
“Macam mana nyaa mau kurus kalau gerak pun susah?! El tu harus ke tempat berbeda biar dapat inspirasi untuk nulisss!” bujuknya lagi.
Aku menurutinya setelah ini.

***
Rencananya kami mau duduk di dalam ruang tunggu puskom lagi supaya lebih privat tempatnya dan lebih nyaman. Tapi, ternyata pintunya dikunci dan akhirnya mau nggak mau kami harus duduk di bangku jejer seperti biasa.
“Riiiinnnn! Profilku udah terbit rupanya di Rising Star!” pekikku, tertahan.
“Mana, mana?” Rini mendongakkan kepala ke arah HPku.
“Ini Bang Wawan ngepost foto korannya di BBM. Ihhh, aku nggak nyangka dia yang pertama kali ngasih tahu aku! Nggak nyadar sama sekali loh Rin kalau kemarin udah terbit korannya. Aku harus beli koran nanti! Harus.”
“Sihiiiyyyy.. tantik dankkk!”

Foto diriku dalam baluran kemeja cream dengan rok hitam dan jilbab coklat itu terpampang lebar di sisi kanan, kolom Rising Star edisi 20 Oktober 2015 kemarin. Aku tersipu malu memandangnya. Maka nikmat Tuhan yang mana lagikah yang aku dustakan? Alhamdulillah ya Allah, semoga bisa menginspirasi. Kolom ini berjudul Posting 3 tulisan sehari ini adalah refleksi perjalananku bersama blog dan tulisan-tulisan lain yang mengiringinya.
“Rin, nggak nyangka banget loh bakal secepat ini terbitnya. Bener-bener cepet banget!.”
“Alhamdulillah kalau gituu.”
Rini kembali fokus dengan laptopnya dan aku fokus dengan HPku. Ku coba menginstal penghemat daya, tapi selalu aja gagal padahal memori yang tersisa masih cukup banyak. Grrrr! Aku beralih ke BBM. Banyak banget pesan-pesan terdahulu yang baru masuk nih! Saking susahnya jaringan atau leletnya data yak?
“Rin, bacalah ni! Aku sedang minta seseorang untuk mengomentari postingan Instagramku!”

Rini membacanya hingga bagian akhir. Adalah kalimatku sebagai penutupnya…
Kakak nggak pandai berada diangak 50% dek. Pilihannya hanya ada 2; 0% atau 100%. Kakak emang suka banget mempost setiap halnya. Lihatlah blog kakak, lihatlah FB kakak, nggak ada yang musiman dek. Kakak memang beda dari kebanyakan orang dek, yang ngepost hanya 1 atau dua aja setiap harinya atau saat ada moment special aja. karena, bagi kakak setiap harinya adalah special dan setiap jepretannya adalah momen indah.
“Sihiyyyyy!”
Nomor tak dikenal, memanggil…
“Hallo Kak Elysa? Ini Jhon Mayer Kak.”
“Ehhh… Adekkk. Apa kabar Dekk?”
“Baik Kak. Gini Kak, Jhon kan loos IYD (Indonesian Youth Dream), jadi gimana ya caranya ngajuin proposal bantuan dana ke rektorat Kak?”
“SIhiyyyyyyy… emang ngeri Adek Kakak yang satu ini yaaa. Gampang Dek, gini caranya…. Bla bla blaa,” aku menjelaskan dengan simpel strateginya kepada dek Jhon. “Berapa orang yang lolos Dek?”
“Dari Riau cuma ada 3 orang Kak.”
Aku teringat beberapa orang luar biasa di sekitarku yang aku prediksi mereka mendaftar program ini juga.

“Dan semuanya anak UNRI. Adek, temen Adek di FISIP dan di Pertanian. Kak, kapan kita ngumpul lagi kayak dulu nih?”
Yap, memang udah cukup lama aku nggak ngumpul lagi bersama mereka yang kami namai Super Team. Kebetulan banget, setelah Jhon menutup telvon, Teguh pula yang menanyaiku kapan bisa ngumpul bareng. Huahhh… ini lagi-lagi tentang ketidaksengajaan yang diharapkan! Tak butuh waktu lama dan ba bi bu, beberapa saat kemudian Teguh menelvonku lagi, mengabariku bahwa mereka sudah standby di FMIPA. Aku segera meluncur ke sana.
“Rin, aku Sangkuriangan dulu ya ke FMIPA.”
“Pokoknya jemput aku nanti ya pas Ashar!”
“Okeee… ceme’es ceme’es aja nanti ya!”

***
Di depan FMIPA, aku linglung. Sedang ada wisuda fakultas rupanya, suasa cukup ramai dan mendadak aku jadi geram. Ngapain tuh bocah ngajak ketemuan di tempat ramai beginiii sih?
“Hallo Dek? Di mana nyaaa ini!”
“Kami di Audit FMIPA Mak.”
“Yang spesifiklah! Di mana ni persisnya!”
“Di ruang belajar di lantai 2 dari Audit itu. Ruangan nomor 208 Mak.”
“Okee.”
Aku bergegas masuk ke Audit dan langsung naik ke lantai 2. Beberapa orang melihat ke arahku. Nggak tahu kenapa. Aku aneh? Aku kece? Atau ada sesuatu yang salah dari penampilanku? Hehee. Aku tetap lanjut aja dengan penuh senyum sambil terus bergumam di dalam hati; Busyet nih orang, kok bisa sih milih ngumpul di kelas orang lain macam ini? kreatif!
“Haiiiiiiiiiiii! Apakabaarrr?” sapaku kepada Jhon, Teguh dan Yudi.

Tapi, Teguh dan Yudi malah sibuk berdua. Ntah membahas apa, sepertinya sedang ada project yang tak disengaja. Aku pun menyibukkan diri ngobrol dengan Jhon. Mendengarkan ceritanya seperti ini mengingatkanku ke beberapa bulan yang lalu ketika kami pernah syuting bersama untuk penggarapan KTI. Dia masih tetap seperti hari kemarin; Rapi, berwibawa, kadang melucu tapi tetap friendly.
“… ternyata cewek itu tetaplah cewek ya Kak. Kemarin aku ngasih puisi untuk temanku. Awalnya dia marah-marah sama aku, eh pas ku kasih puisi yang ku tulis di atas kertas itu dia malah kesenangan kali. Sampai dijadikan DP, difoto-fotonya bahkan kata temannya sampai dipajang di kamarnya. Hahaha. Lucu kali.”
“Bener banget Dek! Cewek tetaplah cewek. Ya, kayak teman Adek itulah contohnya.” Pandanganku beralih kepad aTeguh. “Eh, Dek, udah tahu belum Dek Jhon ini bakal terbang ke Yogya?” tanyaku.
“Udah tahulah Mak!”
“Bentar lagi si Teguh bakal ke Malang tuh Dek Jhooon. Emang ngeri kali lah kalian sekarang ya Adek-adekkk. Mulai terbang tinggi. Kakak cuma bisa melihat kalian dari bawah.”

“Dari bawah apaan Kak? Bukankah Kakaklah yang sekarang sedang berada di atas dan mencoba mengulurkan tangan kepada kami? Dan kami dengan tertatih berusaha meraih uluran tangan kakak ituu?”
“Hahhaa.. wooww, so sweet banget ya. Perumpamaan yang jauh lebih indah ketika dibalikkan.”
“Kami kan sedang berusaha seperti sang Armala. Haaaaa.”
Sebelum kami berpisah….
“Eitssss! Mari kita foto duluuuu!” ajakku jingkrakan.
“Hheee, di setiap momen ya Kak pokoknya. Selaluuu,” kata dek Jhon.
“Ohhh, iya donk! Karena setiap momennya akan menjadi sejarah Dek! Cissssss!”

***
“Macam hantuu El niii!” gerutu Rini sambil menyebrang jalan; dari Rumah Makan Mandiri ke Kios Pulsa Ananda. Aku sedang membeli koran di sini.
“Kok aku kayak hantu sih?”
“Menghilang tiba-tiba aja!”
“Aku sedang beli koran loh Cuyyy! Pinjam uang lagi Mak! Hehe.”
Rini membayarkan koran yang ku beli dan berikut mie ayamnya.
“Berapa Mas?”
“Rp 13.000 Mbak.”
“Loh? Kok mahal kali sekarang Mas?”
“Iyaa, dagingnya mahal Mbak. Kan biasanya Rp 12.000 toh!”
Aku berbisik kepada Rini di perjalanan pulang, sepertinya yang ku beli ini adalah mie ayam+bakso, padahal yang tadi ku pesan hanya mie ayam. Tak apalah, namanya juga rezeki, nggak boleh disesali supaya berkah.
“Eh, kayaknya aku salah faham deh sama BBMnya Bang Wawan tadi Rin,” sadarku tiba-tiba ketika menikmati santap sore di kosan.
“Apaan?”

“Gini loh, aku tuh tadi mikirnya Bang Wawan masih di Malaysia dan akan pulang ke sini tapi di delay. Tapi yang aneh, masa di Malaysia dia bisa baca koran Tribun kan? Haaa… jangan-jangan maksudnya dia tu, dia didelay dari Pekanbaru ke Malaysia. Artinya, sekarang itu dia sedang di Pekanbaruuu Riiiin!”
“Selalapnya El salah fokusss!”
“Oh, aku baru nyadar. Ternyata reporterku kemarin itu mirip kayak aku juga Rin orangnya; suka salah fokus. Lihatlah di koranku itu, cerita utamanya tentang blog, tapi alamat blogku justru nggak ada satu pun yang dicantumkannya. Huaahhh.”
“Hahhaa. Berarti kalian sama-sama salah fokus donk!”
“Rin, pengen meet up dengan Bang Wawan loh! Ajak Lia ah besok. Soalnya kami kenal Bang Wawan tuh waktu kami lihat Pameran Pendidikan oleh Ed-link connect di hotel Jatra tahun lalu. Dan, waktu itu kami terpukau kali loh Rin waktu Bang Wawan jadi pembicara, dia tu cuma nyampaikan 2 hal penting untuk meraih sukses; sholat Dhuha dan doa orang tua. Wuiihhh Rin, luar biasa banget dah Abang itu! Dan, ternyata dia memang friendly banget orangnya!”

Aku mengajak Rini untuk ikut lagi bersamaku ke tempat les.
“Huhuuu… nanti kerjaku tidur aja di sana Ell!”
“Nggak apa-apalah yang penting kan Rini nemani aku di jalan. Lagian kan Bapaknya Indah pun nggak ada nya di rumah.”
“Seganlah aku dilihatin anak-anak itu! Masa tiap kali aku ikut ke sana, aku selalu tidur. Pas El ajak aku pulang, aku terkantuk-kantuk di jalaan juga.”
“Ya udahlah nggak apa-apa. Kan aku yang nyetirrr. Yang penting Rini tu nemanin aku. Jangan kebanyakan tidur Rin. Kalau ku tinggal Rini di sini pasti bentar lagi Rini langsung selalap (baca: tidur).”
“Aku bawa laptoplah biar ada mainanku nanti di sana!”
“Bawalah. Nggak apa-apa, yang penting Rini ikut! Ye yeeee!”
“Yuhuuuu.”

Dan....bukan Elysa namanya kalau nggak kehabisan bensin. Setelah ngajar les, motorku mogok di pembelokan menuju Bangau Sakti. Rini sampai geram banget sama aku...
"Ihhhh! Kaannn! El ni selalu kayak gini ah! Geram kali aku!"
"Hihiii.. gimana ini Rin? Gelap pula di siniii niih!" aku panik. Selain gelap, posisi motorku juga bahaya karena bisa saja sewaktu-waktu ada kendaraan lain yang berputar arah dan mengenaiku. hikss.
"Bang, Baaaang! Tolongin Bang!" teriakku sekenanya kepada beberapa motor yang lewat. Untungnya sih abang baikkkk banget, dia mendorong motorku dengan kaki kanannya dari atas motornya. Rini diboncengnya di belakang. Aku diantar sampai ke jalan Bangau, tepat setelah nemu tempat bensin pertama kali.
"Rin, kok kita nggak minta nomor HP Abang baik hati itu Rin? Baik banget ya dia? Ntah siapa pun namanya nggak kita tanya. Dia pun pakai masker, nggak tahu kita wajahnya kayak apa."
"Kayaknya dia udah kerja deh El dan pakai seragam gitu. Ada bacaan PKLK tadi di jaketnya. Apa ya itu?"
"PKLK yaaa. Emmm... apa ya? PEKULAK mungkin? hehhehe."
Rini menggeleng-gelengkan kepala. Huft, untuk aja ada Rini, kalau nggak, aku nggak tahu harus gimana karena aku nggak bawa uang hikssss. Lope yuuhh Riinnncc. Nggak sia-sia aku mengajakmu malam ini, hihiii.

Tidak ada komentar: