Minggu, 01 November 2015

Langitku Kembali Membiru


Aku kembali pulang dalam kesendirian. Bahkan, kali ini dalam kegelapan juga. Lampu baru saja padam ketika aku baru pulang les. Nilam yang selama seminggu lalu menemaniku di kamar ini telah kembali pada hunian Al-Qurannya. Alhamdulillah, kamar ini sudah sangat nyaman karena setelah mengantarkan Nilam tadi sore langsung ku rapikan. Cara yang sama dalam membunuh sepi seperti ketika kemarin Rini pergi. Sendiri adalah benar-benar diri. Sekarang atau nanti, bukankah pada akhirnya kita pun akan sendiri?

***
Aku kembali galau. Pergi. Nggak. pergi. Nggak. pergi. Nggak. pergi. Nggak. Aku harus memutuskan sesuatu! Jangan sampai peluang orang lain terhalangi lantaran aku terlambat memutuskan!
Ku buka Whatsap dan ku tekan tombol record untuk mengirim voice note…
“Assalamualaikum Kak. Ini Elysa. Elysa sudah mempertimbangkan dan memutuskan untuk nggak jadi berpartisipasi di acara KKP Kak. Rencananya kan kalau berangkat, Elysa nggak akan pulang ke Riau dan langsung dilanjutin sampai hari H. Kalau pulang, ongkosnya berat juga Kak. Sementara di rentang tanggal  9-21 november itu kemungkinan besar akan ada jadwal ujian SKRIPSI Elysa Kak. Mohon maaf sekali ya Kak.”
Send…
Pesanku seketika dibalas… Hiksss.. tapi kalau tanggal 9-10 misalnya bisa diizinin ke panitia, tetap gak bisa ikut pelatihannya full ya?
Burung yang berkicauan di luar jendela memberiku inspirasi sekaligus semangat dan keyakinan baru. Sedih memang rasanya melepaskan kesempatan ini, tapi akan lebih sedih rasanya kalau aku tidak maksimal dalam pilihanku. Alhamdulillah, ku lihat langitku sudah membiru.

Justru kemungkinan besar, jadwalnya ada di rentang tanggal di hari H itu Kak. Tapi belum pasti tanggal berapanya. Sementara kalau Elysa ikut yang tanggal 9-10 itu nggak mungkin bolak-balik ke sini lagi karena ongkosnya berat Kak. Pilihannya sulit banget memang.
Iya juga sih. Oke, aku konfirmasi dulu ya ke koor.
Ya Allah, hamba yakin se yakin-yakinnya, hamba pasti bisa ke istana Negara, bisa ke puncak Bogor
dan ke Yogya lagi dengan cara-Mu yang lainnya. Hamba memutuskan untuk tidak berangkat pun karena takut menzalimi diri hamba sendiri dan juga orang-orang yang membutuhkan hamba. Sementara di acara itu, insya Allah sudah sangat banyak orang luar biasa yang bisa berkontribusi. Peluk mimpi hamba ini ya Allah.. aamiiinnn.
Tiba-tiba terbayang wajah Indah, wajah Keysa, wajah Tasya. Nggak kebayang kalau aku harus cuti selama 2 minggu dari mengajar mereka. Ini bukan hanya tentan g propfesionalitas kerja, tapi juga tentang cinta dan tanggungjawab. Teringat pula dengan BAT 9 yang akan diadakan tanggal 7 nanti dan bang Wira sudah sejak jauh hari memintaku menjadi fasilitator. Teringat pula tentang resiko kalau aku tidak bisa ikut ujian nanti, tentu akan semakin lama penyelesaian SKRIPSIku ini. Bismillah, semoga inilah yang terbaik ya Allah. Aamiiiinn… Jika waktu mengizinkan, semoga aku berkesempatan ke Yogya lagi.

“Nilam mau ikut ke sana atau dibungkus dan dimakan di sini aja sarapannya?”
“Emmm… dibungkus ajalah Mbak, lemes kali badan Kakak nii. Baru kali ini kelaparan sampai segininya.”
Lalu aku bersiap-siap karena kemungkinan besar aku nggak sempat sarapan dan akan langsung ke FAPERIKA saja.
Mil, jadi nih kita sama-sama pakai baju merah mawapres? Tanyaku kepada Yaumil lewat Whatsap,
Iya mamake, jadi.
Ini pertama kalinya aku memakai baju pemberian adik-adik MAWAPRES 2014 kepadaku. Akhirnya tiba juga masa yang tepat untuk memakainya.
“Lam, yuklah ikut aja ke sana! Coba bayangkan, dibungkus atau dimakan langsung di sana sama aja waktunya. Mending makan langsung aja kan kalau gitu. Mbak pun buru-buru nih. Ntar habis sarapan, Nilam langsung Mbak antarkan lagi ke sini.”
Nilam beranjak dengan malas dari atas kasur. Sembari menunggunya bersiap-siap, aku merapikan tempat tidur dan barang-barang yang berserakan di lantai. Lalu segera mengeluarkan motor dan memanaskan mesinnya.

“Aihh Lam? Itu kebalik loh dressnya!” aku tertawa melihat Nilam dengan dress hitam milikku itu.
Ia masih belum sadar, mencoba menyelidi.
“Itu loh, roknya aja kelihata beda warnanya! Hahaa.. gimana nya makainya tadi tuu?”
“Ohh..hohooo.. Nggak nyadar loh Kakak kalau ini kebalik. Hahaa,” sadarnya kemudian.
Ternyata kantin di dekat kosan buka hari ini, aku putuskan untuk sarapan di sini saja supaya lebih praktis dan nggak jauh-jauh.
“Sana! Nilam bilangin gih ke Ibu itu, pesan pecel dan soto yaa. Mbak mau beli kerupuk dulu.”
Aku ke warung di sebelahnya sementara Nilam langsung memesan.
“Di sinilah Mbak sama si Cek sering sarapan Lam.”
Nilam hanya menggerakkan kedua bola matanya. “Pipi Mbak Ela itu haaa tembem kali. Majukan lagi kenapa sih jilbabnya tuu!” geramnya.
“Loh, justru inilah seninya Lam!” elakku.
Nilam menarik lipatan jilbab di bagian pipiku, supaya lebih maju lagi.

“Nggak rapi tuh Mbak! Yang satunya lagi terlalu mundur, yang satunya lagi terlalu maju. Jadi kelihatan jelas kali pipinya. Issshhh… pipi Mbak Ela tuu haa bulat kaliiii!” geramnya lagi.
Pesananku yang datang pertama kali. Aku mulai menyantapnya tanpa menunggu sotonya Nilam datang. Lagipula, aku sudah lapar dan porsi pecal ini lumayan butuh waktu untuk menghabiskannya. Nilam pun ikut-ikutan menyuap. Semenit kemudian, barulah soto Nilam tersaji.
“Kok nggak ada rasanya ya Mbak?” tanyanya.
Ku coba mencicipi sotonya. Lumayan kok! Memang nggak terlalu jelas asinnya.
“Ih, sama sekali nggak ada asin-asinnya loh Mbak.
Tolong mintakan garam halus lah Mbak!” pintanya.
Aku menurutinya. Setelah diberikan sedikit garam, barulah Nilam mengaku pas.
“Mbak Ela kok mau sih diburu-buru gini setiap hari?” tanyanya.
“Maksudnya?”

“Ya kayak sekarang ini, diminta jadi pembicara di sanalah, disitulah. Bukannya dapat uang. Paling-paling dapat buah-buahan aja kayak kemarin.”
“Namanya aja udah hobi, Lam. Mana ada terpaksanya. Lah? Buah juga adalah rezeki kan? Ya lumayanlah.”
“Cuma buah nyo. Semua orang juga bisa dapat buah atau kue.”
“Ya bedalah. Beli dengan pemberian itu beda nikmatnya. Memang sekarang Mbak belum dibayar, tapi suatu saat nanti Mbak yakin orang akan membayar Mbak sangat MAHAL, Lam,” tuturku penuh keyakinan.
Tidak ada jawaban lagi dari Nilam. Ntah dia mengerti atau malah kebingungan. Heehe. Setelah sarapan, aku langsung mengantarkan Nilam ke depan kosan.
“Kunci pintu kamarnya dari dalam ya. Nggak usah dijemuri pakaiannya, biar Mbak aja nanti. Kalau nanti setelah zuhur Mbak belum pulang juga, makan aja dengan lauk yang ada yaa.”
Nilam berlarian ke kosan. ku putarkan motor dan kembali melaju.
“Dekkk, yuk bareng!” ajakku kepada dek Wiwik, yang sekosan denganku dan sedang jalan kaki.
Ia mau ku ajak berbarengan denganku. Lagian, jalan pintas yang dulu juga sering ku lewati itu pasti basah lantaran hujan semalam.

“Adek jurusan Matematika kan?”
“Iya Kak. Sama kayak Resi, Icun, Lisa. Adek kan pindah ke kosan itu ya karena mereka Kak.”
“Oh gituuu. Tapi Adek nggak mau sekamar berdua gitu dengan salah satu dari mereka? Memang mau sendirian ya?”
Aku pernah mengajak dek Wiwik untuk sekamar juga denganku kemarin, tapi ia mengaku memang ingin sendirian saja.
“Iya Kak. Memang mau sendirian aja. Lagian, Kakaknya Adek kan sering juga ke sini Kak, jadi ya lebih leluasa aja Kak. Dulu, sebelum kos di sini kan Adek pernah sekamar berdua dengan senior yang baru Adek kenal dan rasanya nggak enak banget.”
“Kenapa dengan Kakak itu Dek?”
”Emm… pokoknya nggak enaklah Kak.”
“Nggak cocok ya lebih tepatnya?”
“Haa…bener tuh Kak!”
Aku menurunkan dek Wiwik tepat di depan gedung kuliah Pendidikan Matematika. Kemudian aku segera menuju FAPERIKA.

***
Duh, di mana ya tempatnya?
Mendadak, aku ingat kemarin Yaumil ke luar menuju tempat parkiran itu dari arah mushola. Barangkali ruangannya nggak jauh dari sini. Aku celingukan dari parkiran ini dan Alhamdulillah sepertinya aku sudah tahu di mana acaranya berlangsung.
“Haaiiii… Mamakeee. Langsung masuk yuk!” ajak Yaumi yang baru nongol dari dalam ruangan.
Kami duduk paling belakang. “Mil, ini masih pembukaan kan?”
“Iya Mamake. Tuh, yang sedang ngasih kata sambutan tu Ketum PKRI. Eh, Mamake ada bawa selempang kan?”
“Nggak bawaa, Mil.”
“Loh? Kok nggak dibawa sih Mamake, biasanya Mamake yang rajin pakai ini. Yaahhh… padahal ini bisa memotivasi Adik-adik loh Mamakeee.”
“Iyaaa siihhh.. jadi gimana nih Mil? Mamake jemput sekarang? Ah… tapi nggak apa-apa deh Mil, Umil aja yang pakai, kan Umil memang tahun ini dianugerahinya. Eceknya Mamake ni udah demisioner. Hehe.”

“Ohh,, ya udah lah nggak apa-apa. Nanti juga di slidenya Umil ada foto-foto Mamake pakai selempang, semoga cukup mewakili juga. Eh, Mamake ada bikin CV di kertas nggak?”
“Buat apa? Kan udah ada di slide itu Mil.”
“Iya, yang itu nanti ditayangin juga, tapi yang dicatat di kertas ni untuk dibacakan sekilas sama moderatornya, Mamakee.”
Aku segera menuliskannya di atas kertas HVS. Tak sampai setengah halaman. Hanya yang penting-penting saja. Setelah acara pembukaan berakhir, acara langsung diserahkan kepada moderator. Satu per satu nama dari 4 pembicara hari ini pun dipanggil. Yang pertama adalah Deddy Haryadi (MAWAPRES 3 FAPERIKA 2015). Yang kedua adalah Rahmat (FINALIS MAWAPRES UR 2015). Yang ketiga Yaumil (MAWAPRES 3 UR 2015). Dan, yang keempat barulah aku. Satu-satunya dari FKIP. Hehee…
“…nah, Bang Deddy ini kabarnya sangat bagus bahasa inggrisnya loh teman-teman. Jadi, boleh tolong berikan kami tips-tips untuk bisa berbahasa inggris juga Bang? Silahkan Bang dijelaskan..” moderator mempersilahkan dek Deddy untuk berbicara.

“Deddy ini bagus banget loh Mamakee bahasa inggrisnya kemarin waktu presentase,” bisik Umil kepadaku.
“Ohh.. pantasan dia dipercaya nyampaikan materi tentang bahasa inggris ya.”
“Iyaa. Eh, kemarin peserta sosialisasi MAWAPRES di FKIP lebih banyak atau lebih sedikit daripada ini Mamake?”
“Enggg…. 2 kali lipat lebih banyak ini Mil.”
“Masa iya Mamakee??? Ya Allah, Alhamdulillah kalau gitu. lumayan juga ya berarti yang ikut hari ini.”
“Iya Mil, banyakan ini. Mungkin karena waktu itu banyak yang masuk kuliah juga pesertanya.”
Kami tampil berdasarkan urutan pemanggilan tadi. Dek Deddy fokus memberikan ilmu tentang caranya berbahasa inggris dengan baik untuk presentase. Dek Rahmat memberikan ilmu tentang KTI. Yaumil tentang prestasi dan aku menyimpulkan sekaligus menegaskan kembali poin-poin penting dari ketiga pembicara sebelumku.

“… Intinya tidak ada yang tidak mungkin Dek. Selama kita mau mencoba membuktikan bahwa yang tidak mungkin itu adalah mungkin. Yang terpenting itu adalah kita mau mencoba. Kalau kalah ya paling-paling malu, kalau menang ya bakal senang. Gitu aja. Tapi kita nggak akan mendapat keduanya kalau kita nggak mau mencoba.”
Lagi-lagi aku menyampaikan tentang trik jitu untuk memperluas jaringan di FB yaitu dengan THE POWER OF ADD FRIENDS. Aku menganjurkan adik-adik ini untuk meng-add akun FBku dan 3 pembicara lainnya lalu meng-add pula teman-teman lain yang luar biasa sehingga pertemanan di FB menjadi bergizi.

***
“Mamake nggak buru-buru pergi kan?” tanya Umil
“Nggak kok Mil.”
“Pinjam cas android Mamake lah.”
Ku sodorkan casanku. Kami baru saja selesai sholat zuhur. Kami sudah mendapatkan 2 memory card dari 2 kamera yang menjadi seksi dokumentasi tadi. Aku memang nggak pengen buru-buru pulang, masih pengen baca buku sambil main HP dulu di sini. Di luar dugaan, ternyata ada kajian islam di sini sebentar lagi. Alhamdulillah, kalau nggak kebetulan seperti ini belum tentu aku menyempat.
“…Banyak sekali orang-orang yang dulunya aktif berdakwah ketika masih kuliah. Tapi, setelah selesai kuliah, akhirnya ia berhenti dari jalan dakwah ini. Memang sudah sunatullah bahwa orang-orang yang berada di jalan ini jumlahnya sangat sedikit. Tantangan yang kita hadapi di sini belum terlalu besar jika dibandingkan dengan saudara-saudara kita di Palestina, Irak, Syiria sana yang sudah mempertaruhkan nyawanya demi tetap berpegang teguh pada Laa illa ha illallah. Allah sudah menunjuki kita jalan dakwah ini, maka yakinlah ini adalah yang terbaik. Tentu kita tidak mau menjadi orang-orang yang kembali kepada kemaksiatan seperti sebelum menerima hidayah ini, kan? Kita berdoa, supaya kelak di Syurga-Nya kita kembali dipertemukan dengan teman-teman se-LIQO’an kita lagi yaa..”

“Aamiiinn..” kata seluruh peserta KILAS.
Aku mendengar dan menyimak terus apa yang disampaikan oleh pak Ustad di balik tirai. Tidak hanya menyimak, berbagai pertanyaan pun sudah bermunculan sejak tadi, ketika kalimatnya pertama kali dimula. Pertanyaan yang tidak akan ku pertanyakan kecuali kepada orang yang ku anggap layak menjawabnya.
“Umil mau pulang bareng Mamake?”
“Bolehlah Mamake. Yuk!”
Setelah acara ditutup secara resmi, aku dan Yaumil bergegas meninggalkan mushola FAPERIKA ini. *aku lupa apa namanya. Setelah ku antarkan Yaumil ke kosannya, aku kembali ke kosku.

***
“Lam… nih! Ada buah. Lumayan.”
“Ihh.. ini tadi dikasih ya Mbak?”
“Iya. Dan Mbak terharu banget waktu tadi Kak Yaumil bilang, yang dikasih parcel buah itu cuma Mbak aja, karena dana mereka minim. Ambillah untuk Nilam semua. Bawa ke pondok nanti.”
“Heh, nggak boleh kayak gitu lah Mbak! Kita bagi 2 ya. Masa Mbak Ela nggak dapat!”
Sambil menunggu waktu Ashar, aku mengupdate kabar di Instagram. Semalam aku belum sempat menyelesaikan diariku, tapi nggak mungkin juga Instagramku nggak ku update-update juga kan? Karena setiap harinya selalu ada momen dan kalau aku menundanya berarti akan ada TUMPUKAN MOMEN di HPku dan membuatku kewalahan juga nanti kalau mengupdatenya sekaligus.
“Ih, pakaiannya udah dijemurin ya semuanya Lam? Ih, pinter banget sih Adik Mbak niii..”
“Lamo kalau menunggu Mbak Elaaa.”
Ketika aku sedang melihat-lihat foto kemarin di HP, Nilam nongol dari belakangku, ikutan ngelihat.
“Tengoklah tu ha! Walaupun difoto dari jauh, muka Mbak Ela tetap aja kelihatan.”
“Emang itu artinya apa Lam?”

“Ya pipi Mbak Ela tu haa besar kali, makanya kelihatan dari jauh.”
“Loh, ya justru baguslah. Hhhee.”
“Majukan lagi jilbab Mbak Ela tu, biar pipinya agak sembunyi.”
“Mau dimajukan sampai ke hidung pun tetap aja muka Mbak ni akan terlihat lebar, Laam. Lagian kan justru unik. Orang-orang pengen tirus wajahnya, sementara Mbak pede dengan si bakpao. La jadi?”
Setelah sholat Ashar, Nilam memintaku segera mengantarkannya. Ia takut didenda kalau terlambat.
“Laam… misalnya kalau naik pesawat ke Jakarta harganya Rp 500.000, sedangkan kalau naik bus ke Jakarta Rp 400.000, Nilam mau pilih yang mana?”
“Emmm… naik bus.”
“Heee… naik pesawatlah! Masa naik bus sih? Tau nggak kenapa naik pesawat itu harganya jauh lebih tinggi daripada mobil?”
“Ya, karena dia cepat.”

“Karena kita sedang MEMBELI WAKTU Lam. Naik bus 2 hari 2 malam, sedangkan naik pesawat nggak sampai 2 jam. Barulah kita sadar betapa mahalnya waktu kalau kita di bandara Lam. Semua orang serba ingin cepat dan tepat waktu. Begitu juga diri kita, kalau kita semakin HEBAT, semakin mahal lah bayaran kita. Bahkan mungkin dibayarnya dihitung pe detik. Bayangkanlah! Jadi, tugas kita sekarang tu berusaha gimana caranya kita dibayar MAHAL seperti itu.”
Tiba-tiba motorku nggak stabil lajunya..
“Duh, ini kayaknya mau habis deh bensinnya!”
Ku hentikan motorku di dekat warung, di sebelah gereja. Sudah ku kodekan kepada penjualnya untuk membeli minyak 1 liter.
“Lama kali sih orang tu geraknya Mbak!” gerutu Nilam
Mungkin karena kami berhentinya tidak tepat di depan warungnya, tapi agak ke depan sedikit. Tapi, apakah itu menjadi alasan untuk menolak rezeki?

“Kalau dia nggak juga ke sini Lam, kita lanjut ke depan sedikit lagi. Ada juga tuh yang jual bensin! Semoga dia sadar bahwa mengabaikan pembeli itu harus ia sesali.”
Tapi, belum sempat aku melaksanakan niatku itu, seorang bapak dengan bahu bertato mendekat ke arah kami. Aku sudah bersiap-siap kalau seandainya si bapak berkata; ‘Jauh kali berhenti hondanya!’ aku akan menjawabnya; ‘Mana kami tahu kalau motornya akan mogok di sini Pak!’
“Mbak, wajahnya orang Kristen dengan orang Islam itu Nampak bedanya ya!” kata Nilam setelah kami kembali melanjutkan perjalanan.
“Iya donk. Jelas terlihat. Eh, maaf ya uang Nilam yang Rp 100.000 tu jadi terpakai deh!”
“Ya nggak apa-apa berarti Mbak ada utang sama Kakak. Hehehe.”
“Sodaaap Neeekk?!”
“Jadi nanti malam Mbak Ela tidur sama siapa Mbak?”
“Sendirian lah.”
“Ih, kasihan kali lah Mbak Ela. Ajak kek teman Mbak tidur di situ jugaa.”
“Ya kalau Mbak bener-bener nggak berani, paling-paling Mbak ajak aja si Cek (baca: Okta).”
“Alaheeek Mbak!”

***
“Assalamualaikum… hai cantikkk? Apakabar?” tanyaku kepada Indah ketika baru sampai.
“Waalaikumsalam Nteee… Sehat. Ante sehat?”
“Ante sedang batuk nih Ndah. Kemarin waktu Ante nggak datang, Indah ada PR nggak?”
“Nggak ada Nte. Main-main aja kemarin kami sama nonton GGS (baca: Ganteng-ganteng Srigala).”
“Sholat Isya nggak kemarin?”
“Si Tasya sholat di rumahnya.”
“Indah? Sholat?”
“Sholat Nte..”
Indah dikasih sepiring pecal oleh tetangga sebelah dan aku ikutan nimbrung makan juga. Soalnya Indah nggak suka sayur-sayurannya dan hanya milihin mie dan lontongnya. Kan mubazir ya pemirsaaa? hihii. Setelah kami selesai makan, Tasya baru datang dan Kesya baru bangun dari tidurnya.
“Ada PR?”
“Ada Nteee… PR Matematika,” jawab mereka bersamaan.

“Guru Matematika kami ni aneh loh Nteee. Dalam sehari itu kan ada 4 mata pelajaran, masa kami dikasih tugas dan harus dikumpul hari itu juga. Nggak mungkin kan Nte waktu pelajaran IPA kami tetap ngerjakan soal MTK?” tutus Indah.
“Iya Nteee.. pas njelasin pun ngebut kali. Kami sampai nggak ngerti ntah apa yang dibilang Ibu itu. Misalnya kan Ntee… ada soal nih, Ibu tu pasti dicatatnya soal itu langsung di papan tulis dan jawabannya sekalian. Setelah Ibu tu selesai, barulah dijelaskannya sama kami. Laju-laju pula tuh!” kata Tasya pula.
“Terus, setelah selesai, Ibu tu nanya; ‘Ada yang belum mengerti?’ kami angkat tanganlah Nte. Eh, malah dibilangnya pula; ‘Apa lagi yang nggak kalian ngerti ni haaa!’ kuat-kuat suaranya Nte. Aneh kan? Tadi Ibu tu nanya, makanya kami angkat tangan. Setelah kami angkat tangan, dimarah pula. Grrrrrrrr!” tutur Indah pula.
“Kalian banyak ya yang angkat tangan?” tanyaku.
“Banyak Nteee.. dari 30 an murid, ada 20an yang angkat tangan.”
Aku tertawa mendengarnya.

“Nah, inilah tugas Ante. Menjelaskan apa yang nggak kalian faham tu supaya kalian jadi faham,” bujukku. Supaya mereka tidak semakin menjadi-jadi dengan amarahnya itu.
Mereka memang sering bercerita tentang kejadian yang dialami di sekolah. Aku, sebagai pendengar, juga bisa mengambil hikmah dari cerita mereka. Miris juga mendengar cerita mereka tentang guru-guru pemarah, tak ramah dan kadang mengasari juga secara fisik. Apakah hidup terlalu menekan mereka sehingga seperti itu jadinya? Atau hidup juga tutur mengecewakan mereka sehingga tak pandai lagi meramah?
“Nteee… kemarin kan Tasya lihat Ustazah Tasya bilang gini sama Ustad **; ‘Pak, saya titip buku saya ya. Bapak nggak sholat kan?’. Loh! Kok nggak sholat sih Nte pertanyaan Ibuk itu? Jadi, Ustad  itu nggak sholat ya Nte maksudnya?”
“Bukaaannn. Mungkin, Bapak itu belum sholat saat itu aja, karena masih ada pekerjaan dan nungguin buku yang dititipkan guru Tasya tadi tu.”

“Tapi nggak juga kok Nte. Udah Tasya perhatikan terus, karena Tasya penasaraann. Memang Ustad tu nggak juga sholat Nte beberapa jam kemudian. Aneh kali loh! Kok. Tasya kan perhatikan sambil ngerjain soal. Lama-lama Tasya malas lagi memperhatikannya. Toh, itu kan dosanya Bapak itu, bukan urusanku,” tutur Tasya, polos.
Satu hal lagi yang membuatku miris. Ternyata, seorang guru setiap harinya selalu diperhatikan oleh muridnya. Bahkan, ketika terlihat ia tidak sedang diperhatikan, ternyata ada mata dan telinga yang diam-diam secara tajam memperhatikan. Harus hati-hati menjadi pendidik.

Tidak ada komentar: