Aku kembali pulang dalam kesendirian. Bahkan, kali ini dalam
kegelapan juga. Lampu baru saja padam ketika aku baru pulang les. Nilam yang
selama seminggu lalu menemaniku di kamar ini telah kembali pada hunian
Al-Qurannya. Alhamdulillah, kamar ini sudah sangat nyaman karena setelah
mengantarkan Nilam tadi sore langsung ku rapikan. Cara yang sama dalam membunuh
sepi seperti ketika kemarin Rini pergi. Sendiri adalah benar-benar diri.
Sekarang atau nanti, bukankah pada akhirnya kita pun akan sendiri?
***
Aku kembali galau. Pergi. Nggak. pergi. Nggak. pergi. Nggak.
pergi. Nggak. Aku harus memutuskan sesuatu! Jangan sampai peluang orang lain
terhalangi lantaran aku terlambat memutuskan!
Ku buka Whatsap dan ku tekan tombol record untuk mengirim
voice note…
“Assalamualaikum Kak. Ini Elysa. Elysa sudah
mempertimbangkan dan memutuskan untuk nggak jadi berpartisipasi di acara KKP
Kak. Rencananya kan kalau berangkat, Elysa nggak akan pulang ke Riau dan
langsung dilanjutin sampai hari H. Kalau pulang, ongkosnya berat juga Kak.
Sementara di rentang tanggal 9-21
november itu kemungkinan besar akan ada jadwal ujian SKRIPSI Elysa Kak. Mohon
maaf sekali ya Kak.”
Send…
Pesanku seketika
dibalas… Hiksss.. tapi kalau tanggal 9-10 misalnya bisa diizinin ke panitia,
tetap gak bisa ikut pelatihannya full ya?
Burung yang
berkicauan di luar jendela memberiku inspirasi sekaligus semangat dan keyakinan
baru. Sedih memang rasanya melepaskan kesempatan ini, tapi akan lebih sedih
rasanya kalau aku tidak maksimal dalam pilihanku. Alhamdulillah, ku lihat langitku sudah membiru.
Justru kemungkinan besar, jadwalnya ada di rentang tanggal di
hari H itu Kak. Tapi belum pasti tanggal berapanya. Sementara kalau Elysa ikut
yang tanggal 9-10 itu nggak mungkin bolak-balik ke sini lagi karena ongkosnya
berat Kak. Pilihannya sulit banget memang.
Iya juga sih. Oke,
aku konfirmasi dulu ya ke koor.
Ya Allah, hamba yakin
se yakin-yakinnya, hamba pasti bisa ke istana Negara, bisa ke puncak Bogor
dan ke Yogya lagi dengan cara-Mu yang lainnya. Hamba memutuskan untuk tidak berangkat pun karena takut menzalimi diri hamba sendiri dan juga orang-orang yang membutuhkan hamba. Sementara di acara itu, insya Allah sudah sangat banyak orang luar biasa yang bisa berkontribusi. Peluk mimpi hamba ini ya Allah.. aamiiinnn.
dan ke Yogya lagi dengan cara-Mu yang lainnya. Hamba memutuskan untuk tidak berangkat pun karena takut menzalimi diri hamba sendiri dan juga orang-orang yang membutuhkan hamba. Sementara di acara itu, insya Allah sudah sangat banyak orang luar biasa yang bisa berkontribusi. Peluk mimpi hamba ini ya Allah.. aamiiinnn.
Tiba-tiba terbayang wajah Indah, wajah Keysa, wajah Tasya.
Nggak kebayang kalau aku harus cuti selama 2 minggu dari mengajar mereka. Ini
bukan hanya tentan g propfesionalitas kerja, tapi juga tentang cinta dan
tanggungjawab. Teringat pula dengan BAT 9 yang akan diadakan tanggal 7 nanti
dan bang Wira sudah sejak jauh hari memintaku menjadi fasilitator. Teringat
pula tentang resiko kalau aku tidak bisa ikut ujian nanti, tentu akan semakin
lama penyelesaian SKRIPSIku ini. Bismillah, semoga inilah yang terbaik ya
Allah. Aamiiiinn… Jika waktu mengizinkan, semoga aku berkesempatan ke Yogya
lagi.
“Nilam mau ikut ke sana atau dibungkus dan dimakan di sini
aja sarapannya?”
“Emmm… dibungkus ajalah Mbak, lemes kali badan Kakak nii.
Baru kali ini kelaparan sampai segininya.”
Lalu aku bersiap-siap karena kemungkinan besar aku nggak
sempat sarapan dan akan langsung ke FAPERIKA saja.
Mil, jadi nih kita
sama-sama pakai baju merah mawapres? Tanyaku kepada Yaumil lewat
Whatsap,
Iya mamake, jadi.
Ini pertama kalinya aku memakai baju pemberian adik-adik
MAWAPRES 2014 kepadaku. Akhirnya tiba juga masa yang tepat untuk memakainya.
“Lam, yuklah ikut aja ke sana! Coba bayangkan, dibungkus
atau dimakan langsung di sana sama aja waktunya. Mending makan langsung aja kan
kalau gitu. Mbak pun buru-buru nih. Ntar habis sarapan, Nilam langsung Mbak
antarkan lagi ke sini.”
Nilam beranjak dengan malas dari atas kasur. Sembari
menunggunya bersiap-siap, aku merapikan tempat tidur dan barang-barang yang
berserakan di lantai. Lalu segera mengeluarkan motor dan memanaskan mesinnya.
“Aihh Lam? Itu kebalik loh dressnya!” aku tertawa melihat
Nilam dengan dress hitam milikku itu.
Ia masih belum sadar, mencoba menyelidi.
“Itu loh, roknya aja kelihata beda warnanya! Hahaa.. gimana
nya makainya tadi tuu?”
“Ohh..hohooo.. Nggak nyadar loh Kakak kalau ini kebalik.
Hahaa,” sadarnya kemudian.
Ternyata kantin di dekat kosan buka hari ini, aku putuskan
untuk sarapan di sini saja supaya lebih praktis dan nggak jauh-jauh.
“Sana! Nilam bilangin gih ke Ibu itu, pesan pecel dan soto
yaa. Mbak mau beli kerupuk dulu.”
Aku ke warung di sebelahnya sementara Nilam langsung
memesan.
“Di sinilah Mbak sama si Cek sering sarapan Lam.”
Nilam hanya menggerakkan kedua bola matanya. “Pipi Mbak Ela
itu haaa tembem kali. Majukan lagi kenapa sih jilbabnya tuu!” geramnya.
“Loh, justru inilah seninya Lam!” elakku.
Nilam menarik lipatan jilbab di bagian pipiku, supaya lebih
maju lagi.
“Nggak rapi tuh Mbak! Yang satunya lagi terlalu mundur, yang
satunya lagi terlalu maju. Jadi kelihatan jelas kali pipinya. Issshhh… pipi
Mbak Ela tuu haa bulat kaliiii!” geramnya lagi.
Pesananku yang datang pertama kali. Aku mulai menyantapnya
tanpa menunggu sotonya Nilam datang. Lagipula, aku sudah lapar dan porsi pecal
ini lumayan butuh waktu untuk menghabiskannya. Nilam pun ikut-ikutan menyuap.
Semenit kemudian, barulah soto Nilam tersaji.
“Kok nggak ada rasanya ya Mbak?” tanyanya.
Ku coba mencicipi sotonya. Lumayan kok! Memang nggak terlalu
jelas asinnya.
Aku menurutinya. Setelah diberikan sedikit garam, barulah
Nilam mengaku pas.
“Mbak Ela kok mau sih diburu-buru gini setiap hari?”
tanyanya.
“Maksudnya?”
“Ya kayak sekarang ini, diminta jadi pembicara di sanalah,
disitulah. Bukannya dapat uang. Paling-paling dapat buah-buahan aja kayak
kemarin.”
“Namanya aja udah hobi, Lam. Mana ada terpaksanya. Lah? Buah
juga adalah rezeki kan? Ya lumayanlah.”
“Cuma buah nyo. Semua orang juga bisa dapat buah atau kue.”
“Ya bedalah. Beli dengan pemberian itu beda nikmatnya.
Memang sekarang Mbak belum dibayar, tapi suatu saat nanti Mbak yakin orang akan
membayar Mbak sangat MAHAL, Lam,” tuturku penuh keyakinan.
Tidak ada jawaban lagi dari Nilam. Ntah dia mengerti atau
malah kebingungan. Heehe. Setelah sarapan, aku langsung mengantarkan Nilam ke
depan kosan.
“Kunci pintu kamarnya dari dalam ya. Nggak usah dijemuri
pakaiannya, biar Mbak aja nanti. Kalau nanti setelah zuhur Mbak belum pulang
juga, makan aja dengan lauk yang ada yaa.”
Nilam berlarian ke kosan. ku putarkan motor dan kembali
melaju.
“Dekkk, yuk bareng!” ajakku kepada dek Wiwik, yang sekosan
denganku dan sedang jalan kaki.
Ia mau ku ajak berbarengan denganku. Lagian, jalan pintas
yang dulu juga sering ku lewati itu pasti basah lantaran hujan semalam.
“Adek jurusan Matematika kan?”
“Iya Kak. Sama kayak Resi, Icun, Lisa. Adek kan pindah ke
kosan itu ya karena mereka Kak.”
“Oh gituuu. Tapi Adek nggak mau sekamar berdua gitu dengan
salah satu dari mereka? Memang mau sendirian ya?”
Aku pernah mengajak dek Wiwik untuk sekamar juga denganku
kemarin, tapi ia mengaku memang ingin sendirian saja.
“Iya Kak. Memang mau sendirian aja. Lagian, Kakaknya Adek
kan sering juga ke sini Kak, jadi ya lebih leluasa aja Kak. Dulu, sebelum kos
di sini kan Adek pernah sekamar berdua dengan senior yang baru Adek kenal dan
rasanya nggak enak banget.”
“Kenapa dengan Kakak itu Dek?”
”Emm… pokoknya nggak enaklah Kak.”
“Nggak cocok ya lebih tepatnya?”
“Haa…bener tuh Kak!”
Aku menurunkan dek Wiwik tepat di depan gedung kuliah
Pendidikan Matematika. Kemudian aku segera menuju FAPERIKA.
***
Duh, di mana ya
tempatnya?
Mendadak, aku ingat kemarin Yaumil ke luar menuju tempat
parkiran itu dari arah mushola. Barangkali ruangannya nggak jauh dari sini. Aku
celingukan dari parkiran ini dan Alhamdulillah sepertinya aku sudah tahu di
mana acaranya berlangsung.
“Haaiiii… Mamakeee. Langsung masuk yuk!” ajak Yaumi yang
baru nongol dari dalam ruangan.
Kami duduk paling belakang. “Mil, ini masih pembukaan kan?”
“Iya Mamake. Tuh, yang sedang ngasih kata sambutan tu Ketum
PKRI. Eh, Mamake ada bawa selempang kan?”
“Nggak bawaa, Mil.”
“Loh? Kok nggak dibawa sih Mamake, biasanya Mamake yang
rajin pakai ini. Yaahhh… padahal ini bisa memotivasi Adik-adik loh Mamakeee.”
“Iyaaa siihhh.. jadi gimana nih Mil? Mamake jemput sekarang?
Ah… tapi nggak apa-apa deh Mil, Umil aja yang pakai, kan Umil memang tahun ini
dianugerahinya. Eceknya Mamake ni udah demisioner. Hehe.”
“Ohh,, ya udah lah nggak apa-apa. Nanti juga di slidenya
Umil ada foto-foto Mamake pakai selempang, semoga cukup mewakili juga. Eh,
Mamake ada bikin CV di kertas nggak?”
“Buat apa? Kan udah ada di slide itu Mil.”
“Iya, yang itu nanti ditayangin juga, tapi yang dicatat di
kertas ni untuk dibacakan sekilas sama moderatornya, Mamakee.”
Aku segera menuliskannya di atas kertas HVS. Tak sampai
setengah halaman. Hanya yang penting-penting saja. Setelah acara pembukaan
berakhir, acara langsung diserahkan kepada moderator. Satu per satu nama dari 4
pembicara hari ini pun dipanggil. Yang pertama adalah Deddy Haryadi (MAWAPRES 3
FAPERIKA 2015). Yang kedua adalah Rahmat (FINALIS MAWAPRES UR 2015). Yang
ketiga Yaumil (MAWAPRES 3 UR 2015). Dan, yang keempat barulah aku. Satu-satunya
dari FKIP. Hehee…
“…nah, Bang Deddy ini kabarnya sangat bagus bahasa
inggrisnya loh teman-teman. Jadi, boleh tolong berikan kami tips-tips untuk
bisa berbahasa inggris juga Bang? Silahkan Bang dijelaskan..” moderator
mempersilahkan dek Deddy untuk berbicara.
“Deddy ini bagus banget loh Mamakee bahasa inggrisnya
kemarin waktu presentase,” bisik Umil kepadaku.
“Ohh.. pantasan dia dipercaya nyampaikan materi tentang
bahasa inggris ya.”
“Iyaa. Eh, kemarin peserta sosialisasi MAWAPRES di FKIP
lebih banyak atau lebih sedikit daripada ini Mamake?”
“Enggg…. 2 kali lipat lebih banyak ini Mil.”
“Masa iya Mamakee??? Ya Allah, Alhamdulillah kalau gitu.
lumayan juga ya berarti yang ikut hari ini.”
“Iya Mil, banyakan ini. Mungkin karena waktu itu banyak yang
masuk kuliah juga pesertanya.”
Kami tampil berdasarkan urutan pemanggilan tadi. Dek Deddy
fokus memberikan ilmu tentang caranya berbahasa inggris dengan baik untuk
presentase. Dek Rahmat memberikan ilmu tentang KTI. Yaumil tentang prestasi dan
aku menyimpulkan sekaligus menegaskan kembali poin-poin penting dari ketiga
pembicara sebelumku.
“… Intinya tidak ada yang tidak mungkin Dek. Selama kita mau
mencoba membuktikan bahwa yang tidak mungkin itu adalah mungkin. Yang
terpenting itu adalah kita mau mencoba. Kalau kalah ya paling-paling malu, kalau
menang ya bakal senang. Gitu aja. Tapi kita nggak akan mendapat keduanya kalau
kita nggak mau mencoba.”
Lagi-lagi aku menyampaikan tentang trik jitu untuk
memperluas jaringan di FB yaitu dengan THE POWER OF ADD FRIENDS. Aku
menganjurkan adik-adik ini untuk meng-add akun FBku dan 3 pembicara lainnya
lalu meng-add pula teman-teman lain yang luar biasa sehingga pertemanan di FB
menjadi bergizi.
***
“Mamake nggak buru-buru pergi kan?” tanya Umil
“Nggak kok Mil.”
“Pinjam cas android Mamake lah.”
Ku sodorkan casanku. Kami baru saja selesai sholat zuhur.
Kami sudah mendapatkan 2 memory card dari 2 kamera yang menjadi seksi
dokumentasi tadi. Aku memang nggak pengen buru-buru pulang, masih pengen baca
buku sambil main HP dulu di sini. Di luar dugaan, ternyata ada kajian islam di
sini sebentar lagi. Alhamdulillah, kalau nggak kebetulan seperti ini belum
tentu aku menyempat.
“…Banyak sekali orang-orang yang dulunya aktif berdakwah
ketika masih kuliah. Tapi, setelah selesai kuliah, akhirnya ia berhenti dari jalan
dakwah ini. Memang sudah sunatullah bahwa orang-orang yang berada di jalan ini
jumlahnya sangat sedikit. Tantangan yang kita hadapi di sini belum terlalu
besar jika dibandingkan dengan saudara-saudara kita di Palestina, Irak, Syiria
sana yang sudah mempertaruhkan nyawanya demi tetap berpegang teguh pada Laa
illa ha illallah. Allah sudah menunjuki kita jalan dakwah ini, maka yakinlah
ini adalah yang terbaik. Tentu kita tidak mau menjadi orang-orang yang kembali
kepada kemaksiatan seperti sebelum menerima hidayah ini, kan? Kita berdoa,
supaya kelak di Syurga-Nya kita kembali dipertemukan dengan teman-teman
se-LIQO’an kita lagi yaa..”
“Aamiiinn..” kata seluruh peserta KILAS.
Aku mendengar dan menyimak terus apa yang disampaikan oleh
pak Ustad di balik tirai. Tidak hanya menyimak, berbagai pertanyaan pun sudah
bermunculan sejak tadi, ketika kalimatnya pertama kali dimula. Pertanyaan yang tidak akan ku pertanyakan
kecuali kepada orang yang ku anggap layak menjawabnya.
“Umil mau pulang bareng Mamake?”
“Bolehlah Mamake. Yuk!”
Setelah acara ditutup secara resmi, aku dan Yaumil bergegas
meninggalkan mushola FAPERIKA ini. *aku lupa apa namanya. Setelah ku antarkan
Yaumil ke kosannya, aku kembali ke kosku.
***
“Lam… nih! Ada buah. Lumayan.”
“Ihh.. ini tadi dikasih ya Mbak?”
“Iya. Dan Mbak terharu banget waktu tadi Kak Yaumil bilang,
yang dikasih parcel buah itu cuma Mbak aja, karena dana mereka minim. Ambillah
untuk Nilam semua. Bawa ke pondok nanti.”
“Heh, nggak boleh kayak gitu lah Mbak! Kita bagi 2 ya. Masa
Mbak Ela nggak dapat!”
Sambil menunggu waktu Ashar, aku mengupdate kabar di
Instagram. Semalam aku belum sempat menyelesaikan diariku, tapi nggak mungkin
juga Instagramku nggak ku update-update juga kan? Karena setiap harinya selalu
ada momen dan kalau aku menundanya berarti akan ada TUMPUKAN MOMEN di HPku dan
membuatku kewalahan juga nanti kalau mengupdatenya sekaligus.
“Ih, pakaiannya udah dijemurin ya semuanya Lam? Ih, pinter
banget sih Adik Mbak niii..”
“Lamo kalau menunggu Mbak Elaaa.”
Ketika aku sedang melihat-lihat foto kemarin di HP, Nilam
nongol dari belakangku, ikutan ngelihat.
“Tengoklah tu ha! Walaupun difoto dari jauh, muka Mbak Ela
tetap aja kelihatan.”
“Emang itu artinya apa Lam?”
“Ya pipi Mbak Ela tu haa besar kali, makanya kelihatan dari
jauh.”
“Loh, ya justru baguslah. Hhhee.”
“Majukan lagi jilbab Mbak Ela tu, biar pipinya agak
sembunyi.”
“Mau dimajukan sampai ke hidung pun tetap aja muka Mbak ni
akan terlihat lebar, Laam. Lagian kan justru unik. Orang-orang pengen tirus
wajahnya, sementara Mbak pede dengan si bakpao. La jadi?”
Setelah sholat Ashar, Nilam memintaku segera
mengantarkannya. Ia takut didenda kalau terlambat.
“Laam… misalnya kalau naik pesawat ke Jakarta harganya Rp
500.000, sedangkan kalau naik bus ke Jakarta Rp 400.000, Nilam mau pilih yang
mana?”
“Emmm… naik bus.”
“Heee… naik pesawatlah! Masa naik bus sih? Tau nggak kenapa
naik pesawat itu harganya jauh lebih tinggi daripada mobil?”
“Ya, karena dia cepat.”
“Karena kita sedang MEMBELI WAKTU Lam. Naik bus 2 hari 2
malam, sedangkan naik pesawat nggak sampai 2 jam. Barulah kita sadar betapa
mahalnya waktu kalau kita di bandara Lam. Semua orang serba ingin cepat dan
tepat waktu. Begitu juga diri kita, kalau kita semakin HEBAT, semakin mahal lah
bayaran kita. Bahkan mungkin dibayarnya dihitung pe detik. Bayangkanlah! Jadi,
tugas kita sekarang tu berusaha gimana caranya kita dibayar MAHAL seperti itu.”
Tiba-tiba motorku nggak stabil lajunya..
“Duh, ini kayaknya mau habis deh bensinnya!”
Ku hentikan motorku di dekat warung, di sebelah gereja.
Sudah ku kodekan kepada penjualnya untuk membeli minyak 1 liter.
“Lama kali sih orang tu geraknya Mbak!” gerutu Nilam
Mungkin karena kami berhentinya tidak tepat di depan
warungnya, tapi agak ke depan sedikit. Tapi, apakah itu menjadi alasan untuk
menolak rezeki?
“Kalau dia nggak juga ke sini Lam, kita lanjut ke depan
sedikit lagi. Ada juga tuh yang jual bensin! Semoga dia sadar bahwa mengabaikan
pembeli itu harus ia sesali.”
Tapi, belum sempat aku melaksanakan niatku itu, seorang
bapak dengan bahu bertato mendekat ke arah kami. Aku sudah bersiap-siap kalau
seandainya si bapak berkata; ‘Jauh kali berhenti hondanya!’ aku akan
menjawabnya; ‘Mana kami tahu kalau motornya akan mogok di sini Pak!’
“Mbak, wajahnya orang Kristen dengan orang Islam itu Nampak
bedanya ya!” kata Nilam setelah kami kembali melanjutkan perjalanan.
“Iya donk. Jelas terlihat. Eh, maaf ya uang Nilam yang Rp
100.000 tu jadi terpakai deh!”
“Ya nggak apa-apa berarti Mbak ada utang sama Kakak.
Hehehe.”
“Sodaaap Neeekk?!”
“Jadi nanti malam Mbak Ela tidur sama siapa Mbak?”
“Sendirian lah.”
“Ih, kasihan kali lah Mbak Ela. Ajak kek teman Mbak tidur di
situ jugaa.”
“Ya kalau Mbak bener-bener nggak berani, paling-paling Mbak
ajak aja si Cek (baca: Okta).”
“Alaheeek Mbak!”
***
“Assalamualaikum… hai cantikkk? Apakabar?” tanyaku kepada
Indah ketika baru sampai.
“Waalaikumsalam Nteee… Sehat. Ante sehat?”
“Ante sedang batuk nih Ndah. Kemarin waktu Ante nggak
datang, Indah ada PR nggak?”
“Nggak ada Nte. Main-main aja kemarin kami sama nonton GGS
(baca: Ganteng-ganteng Srigala).”
“Sholat Isya nggak kemarin?”
“Si Tasya sholat di rumahnya.”
“Indah? Sholat?”
“Sholat Nte..”
Indah dikasih sepiring pecal oleh tetangga sebelah dan aku
ikutan nimbrung makan juga. Soalnya Indah nggak suka sayur-sayurannya dan hanya
milihin mie dan lontongnya. Kan mubazir ya pemirsaaa? hihii. Setelah kami
selesai makan, Tasya baru datang dan Kesya baru bangun dari tidurnya.
“Ada PR?”
“Ada Nteee… PR Matematika,” jawab mereka bersamaan.
“Guru Matematika kami ni aneh loh Nteee. Dalam sehari itu
kan ada 4 mata pelajaran, masa kami dikasih tugas dan harus dikumpul hari itu
juga. Nggak mungkin kan Nte waktu pelajaran IPA kami tetap ngerjakan soal MTK?”
tutus Indah.
“Iya Nteee.. pas njelasin pun ngebut kali. Kami sampai nggak
ngerti ntah apa yang dibilang Ibu itu. Misalnya kan Ntee… ada soal nih, Ibu tu
pasti dicatatnya soal itu langsung di papan tulis dan jawabannya sekalian.
Setelah Ibu tu selesai, barulah dijelaskannya sama kami. Laju-laju pula tuh!”
kata Tasya pula.
“Terus, setelah selesai, Ibu tu nanya; ‘Ada yang belum
mengerti?’ kami angkat tanganlah Nte. Eh, malah dibilangnya pula; ‘Apa lagi
yang nggak kalian ngerti ni haaa!’ kuat-kuat suaranya Nte. Aneh kan? Tadi Ibu
tu nanya, makanya kami angkat tangan. Setelah kami angkat tangan, dimarah pula.
Grrrrrrrr!” tutur Indah pula.
“Kalian banyak ya yang angkat tangan?” tanyaku.
“Banyak Nteee.. dari 30 an murid, ada 20an yang angkat
tangan.”
Aku tertawa mendengarnya.
“Nah, inilah tugas Ante. Menjelaskan apa yang nggak kalian
faham tu supaya kalian jadi faham,” bujukku. Supaya mereka tidak semakin
menjadi-jadi dengan amarahnya itu.
Mereka memang sering bercerita tentang kejadian yang dialami
di sekolah. Aku, sebagai pendengar, juga bisa mengambil hikmah dari cerita
mereka. Miris juga mendengar cerita mereka tentang guru-guru pemarah, tak ramah
dan kadang mengasari juga secara fisik. Apakah hidup terlalu menekan mereka
sehingga seperti itu jadinya? Atau hidup juga tutur mengecewakan mereka
sehingga tak pandai lagi meramah?
“Nteee… kemarin kan Tasya lihat Ustazah Tasya bilang gini
sama Ustad **; ‘Pak, saya titip buku saya ya. Bapak nggak sholat kan?’. Loh!
Kok nggak sholat sih Nte pertanyaan Ibuk itu? Jadi, Ustad itu nggak sholat ya Nte maksudnya?”
“Bukaaannn. Mungkin, Bapak itu belum sholat saat itu aja,
karena masih ada pekerjaan dan nungguin buku yang dititipkan guru Tasya tadi
tu.”
“Tapi nggak juga kok Nte. Udah Tasya perhatikan terus,
karena Tasya penasaraann. Memang Ustad tu nggak juga sholat Nte beberapa jam
kemudian. Aneh kali loh! Kok. Tasya kan perhatikan sambil ngerjain soal.
Lama-lama Tasya malas lagi memperhatikannya. Toh, itu kan dosanya Bapak itu,
bukan urusanku,” tutur Tasya, polos.
Satu hal lagi yang membuatku miris. Ternyata, seorang guru
setiap harinya selalu diperhatikan oleh muridnya. Bahkan, ketika terlihat ia
tidak sedang diperhatikan, ternyata ada mata dan telinga yang diam-diam secara
tajam memperhatikan. Harus hati-hati menjadi pendidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar