Senin, 23 November 2015

Sebagaimana aku Memperlakukan, Seperti itu aku ingin Diperlakukan



Aku sangat menghargai orang yang sedang berbicara. Apalagi jika pembicaraannya itu adalah sebuah curhat, tentu ia bukan hanya membutuhkan telinga untuk mendengar, tetapi juga hati untuk memahami. Demikianlah aku pun ingin diperlakukan. Aku paling tidak suka ketika aku sedang curhat, orang yang sedang ku ajak cerita itu tidak fokus memandangku. Seperti aku memperlakukan, seperti itulah aku ingin diperlakukan. Makanya, tidak ke sembarang orang aku tertarik bercerita. Aku lebih menyukai komunikasi interpersonal daripada kelompok.  Karena ya itu tadi… karena aku tidak suka tidak diperhatikan.

Dan… sore ini aku marah pada Okta. Bisa-bisanya ketika aku sedang serius bercerita, matanya melihat keberbagai arah, sempat pula dia menertawakan tingkah laku orang lain yang menurutnya lucu. Bahkan, ia pun sempat mengusili mbak-mbak yang phobia pada ayam. Grrrrrrrr! Sekali, masih ku biarkan. Dua kali, masih ku biarkan. Yang ketiga kalinya…

“Udahlah! Nggak usah dilanjutkan ceritanya!” kataku. Wajahku langsung berubah raut.
Okta berusaha membuatku tertawa, tapi terlambat. Moodku sudah terlanjut rusak!
“Bahkan Kakak tega nggak ngangkat telvon kalau sedang mendengarkan orang bercerita Dek! Ada teman Kakak yang melintas di depan mata pun tega nggak Kakak sapa. Kalau dia melihat Kakak, dia pasti akan menyapa Kakak dan barulah Kakak akan membalasnya. Karena orang yang bercerita ini jauh lebih penting untuk Kakak dengarkan! Begitulah Kakak, begitu menghargai orang yang sedang bercerita!”
Okta menarik HP dari tanganku. Ternyata ia mengubah PMku dengan fotonya. Aku nggak peduli. Aku biarkan saja. Tidak ku ubah lagi.
“Seperti Kakak memperlakukan orang lain, seperti itulah Kakak ingin diperlakukan pula. Makanya, nggak setiap saat dan nggak ke semua orang Kakak mau bercerita.”
“Ciyeeeeee… maraaaah beneran nih?” tanyanya.
Kejadian ini persis sekali seperti yang pernah terjadi antara aku dan Rini. Memang, tak mudah mengubah orang lain seperti yang kita inginkan. Tapi, Alhamdulillah Rini yang sekarang bukan Rini yang dulu. Dia sudah pandai menjadi pendengar. Aku bahagia.

***
Ini masih pukul 06.47wib. Dan, kabar dari bang Tyo ini hadir begitu menyedak..
Dek, Eko udah duluan dipanggil. Maafin ya kalau ada salah…
WHAT? Dipanggil apa maksudnya? Aku mencoba berfikir keras. Setahu aku, Eko yang ku kenal di perkuliahan hanya bang Eko Sadam Husein, seniorku di Pekon 2009. Ya Allah.. apakah dia?
Ekoooooo? Bang Ekooo ya Bang?
Iya dek. Eko 09.
Innalillahi wainna ilaihi roji’uun. Ya Allah, pagi ini Engkau kembali mengingatkanku pada pulangku pada-Mu. Panggilan ini benar-benar tak kenal waktu, tak kenal tunggu. Bisa jadi selanjutnya adalah aku.
“Ya Allah, aku harus segera bertaubat dari menunda-nunda menulis nih! Karena, seorang Penulis yang menunda menulis adalah sebuah KEJAHATAN. Ampuni aku ya Allah.”
Aku jadi ingat kata-kata mbak Sugi setahun yang lalu; “Orang yang diberi kemampuan menulis tapi tidak menulis adalah sebuah kezaliman.”
Dek, Kakak ada ide nih! Pengen bikin blog khusus tentang Duta Lingkungan ini. nanti, kalau seandainya pas malam final ditanya juri; “Apa yang akan kamu lakukan dalam mengajak pemuda untuk turut menjaga lingkungan?” maka Kakak udah punya jawabannya Dek. Bukan omdo.
Teringat lagi olehku percakapan semalam dengan Okta. Hemmm… aku harus segera mewujudkannya! Jadilah pagiku ini berubah sebagai designer blog. Aku selalu betah berlama-lama seperti ini kalau sudah keasyikan menulis dan mendesign blog. Kalaupun aku tidak menang nantinya, blog ini akan terus ku hidupkan supaya semua orang bisa belajar dari sana dan tergerak juga untuk lingkungan.
Kak? Jam berapa nanti perginya ke BLH? Tanya Yona lewat BBM
Jam 08 Dek. Kayak biasa.
Serius kak?
Loh? Kok Yona keheranan gini ya? Aku jadi curiga. Jangan-jangan aku nih yang salah fokus lagi. Langsung aja ku tanya dengan teman-teman di grup LINE. Huahhhh… ternyata benar, aku salah fokus nih! Ke BLHnya nggak jadi dan langsung aja fiting baju untuk yang terakhir kalinya di SMK 3.
Teman-teman ada yang punya nomor Jufri? Dia udah ku jerumuskan berarti. Semalam ku bilang kalau acaranya jam setengah Sembilan seperti biasanya. Huahhhh! Kasihan diaaa.
Ketikku langsung di LINE. Setahuku, dek Jufri juga belum bergabung di LINE. Semoga dia nggak ‘terjerumus’ ya Allah. Hemmm… aku melanjutkan pencarianku lagi. Aku sedang melihat-lihat di google image gambar yang cocok sebagai template bakal blogku ini. Selalu saja seperti ini, berjam-jam ku habiskan untuk duduk anteng di depan laptop demi sempurnanya hasil sesuai keinginanku. And…. Finally… blog dengan alamat duta-lingkungan.blogspot.co.id ini sudah selesai!!! Yeeeee… templatenya cantik banget karena ada siluet bunga tulis berwana merah dan hijau. Love it! Perpaduan warnanya gueee banget dah!

“Langsung diisi El! Nunggu apa lagi?” dorongku kepada diriku
sendiri.
Ku awali postingan di blog berjudul Environment Ambassador ini dari pengumuman pemilihan Duta Lingkungan yang kala itu tak sengaja ku lihat pengumumannya di mading FISIP. Aku berkisah dari sana. Masih sama konsepnya seperti tulisanku sebelumnya; FEATURE. Aku berkisah tentang kenyataan dengan cara nyastra karena feature itu adalah gabungan antara fakta dan sastra dalam penulisan. Intinnya, supaya tulisanku ini mudah diterima dan dicerna oleh anak muda.
“Ohhh! Aku tahu sekarang!” tiba-tiba aku menemukan 1 lagi rumusan dari diriku. “ Ternyata aku bukan tipe PEMIKIR. Tapi, PENGKHAYAL. Hahaa, sekilas seperti sama. Karena dalam kondisi fokus, ekspresiku terlihat seperti sedang berfikir keras. Padahal, yang ku fikirkan bukan hal-hal yang keras, hhiihi.”
Ya Allah, semoga, seiring dengan berjalannya waktu dan proses ini, aku akan menemukan ke-khasan tulisanku sendiri. Supaya aku bisa ‘dibayar’ tinggi.
“Galoooonnn! Kak, galooonn?!” teriak si abang galon dari tangga menuju lantai 2.
Ulalaaa! Aku baru ingat kalau galonku kosong melompong. Dan, aku juga baru ingat kalau sejak semalam aku belum juga memesan air galon. Pucuk dicinta ulam pun tiba!
“Bang, ini satu yaaa!” pintaku. Ah, syukurlah, aku pun sedang nggak ada pulsa. Hihhii.
Aku kembali masuk kamar dan melanjutkan nulis. Waaahhh..ini Novi kalau ku kabari, dia pasti akan berkomentar; “Banyak kalii puun blognya. Untuk apa nyaaa?” Hemmm… aku baru sadar, ternyata aku belum sarapan. Ini sudah jam 10.00wib ternyata. Untung aja sambal teri dari kampung masih ada, pas banget untuk penghabisan nih! Sambil makan, ku nyalakan vide lawakan dari pada comic. Yeeahhh… inilah selingan seorang penulis. Kadang, suka ndengerin lawakan nggak penting demi bisa tertawa lepas sebebas-bebasnya. Demikianlah aku di pertengahan hari ini.
“Lanjut lagiii Elll!” pintaku lagi kepada diri, setelah sarapan selesai. Dan, aku baru sadar kalau jam sudah menunjukkan pukul 12.30wib ketika Fajri mengetuk pintu kamarku.
“Kak? Udah siap?”
“Be…beeluuumm, Fajriiii. Bentar yaaa!” teriakku dari kamar. Fajri sudah ready dengan seragam merah-putih dan tas rangselnya. Buru-buru ku keluarkan motor dan segera melaju bersamanya.

***
Opsss… di depan rumah sakit UR…
“Kenapa Kak motornya?” tanyaku kepada seorang wanita yang mendorong motornya.
“Ini Kak, kehabisan bensin,” jawabnya. Keringat sudah membutir di keningnya.
“Sini biar saya belikan ke depan. Tapi, saya nggak bawa duit nih! Kakak ada duitnya? Biar saya belikan,” aku menawarkan diri.
“Beneran nih Kak? Nggak apa-apa ngerepotin?” tanyanya sambil menyodorkan uang Rp 50.000 kepadaku.
“Nggak apa-apa Kak. Kakak berteduh aja di sini dulu. Kan jauh juga kalau ndorong motor ke depaan.”
Aku harus mengantarkan Fajri terlebih dahulu supaya dia nggak terlambat masuk kelas. Aku sudah berusaha selaju mungkin mengendarai, tapi kok rasanya perjalanan ini terasa sangat jauh ya? Kasihan cewek tadi kalau kelamaan menunggu.
“Sekolah yang bener ya Fajriii!” 

Fajri mengangguk sambil menyalamiku. Kemudian ia berlarian masuk ke pekarangan sekolah, membaur bersama yang lainnya. Aku langsung memutar motor dan membelikan bensin di dekat jalan Elang Sakti. Subhanallah, ini kedua kalinya aku terharu dengan kemurahan hati penjual bensin setelah berkali-kali kecewa. Kemarin, aku diperbolehkan beli bensin separuh karena uangku hanya Rp 5000. Hari ini, aku diperbolehkan membawa 1 liter bensin di dalam botol Aqua besar dan tidak perlu mengembalikannya lagi.
“Biar nggak susah-susah nanti Adek ke sini ngembalikannya,” kata si bapak yang bermurah hati.
“Makasih ya Pak.”
Memasuki gerbang UR, mendadak aku merasa khawatir cerek tadi mencurigaiku karena aku terlalu lama kembalinya. Huahhh… mana uangnya Rp 50.000 pula yang ku bawa nih! Dari kejauhan, aku melihatnya sedang mendorong motornya ke arahku. Sepertinya dia baru memulai kembali menodorongnya. Mungkin karena aku kelamaan kali ya? hiksss.
“Kakkkkk… maaf lamaa. Soalnya tadi ngantar Adek ke sekolah duluuuu,” kataku sambil mendekat.
“Iyaa Kak, nggak apa-apaaa,” katanya.
Aku menyodorkan bensin dan juga kembaliannya kepadanya. Dan aku pun segera berlalu.
“Kak, makasih banyak yaaa!” teriaknya.
“Iyaaa… sama-samaaa,” balasku sambil berlalu.
Ya Allah, aku nggak minta banyak atas kebaikanku ini. Aku hanya berharap, semoga ketika nanti aku sangat kesulitan dan butuh pertolongan, akan ada seseorang yang Engkau kirimkan untukku. Dan, semoga diantara orang yang Engkau kirimkan untukku salah satunya itu adalah JODOHku. Amiiin. So sweet deh pastinya! *ini kok jadi baperan gini yaa?hihiii…

***
Sudah pukul 14.00wib. Sudah saatnya aku beranjak dari semua tulisan ini. Well, aku belum mandi dari tadi pagi loh pemirsaaa. Jorki kann? Hiiiiuuuh! Ini adalah aku yang ter-JORKI sepanjan abad sepertinya. Karena sebelumnya aku tidak pernah seterlambat ini mandinya. Huahhhh… jadi ingat di film Raditya Dika ada yang bilang gini; “Eh,, Dika itu penulis ya? Penulis itu kan jorok! Malas mandiii, malas ngerawat diriii. Iyuuhh!” huahahhh.. ya Allah… aku nggak mau jadi kayak yang di film ituuu.. huwekkksss!
….menjadikan cinta itu halal, untuk 1000 masa bersama.. ho hooo
Lagu VC Gema yang baru saja ku nyalakan menandakan bahwa aktivitas menulisku sudah berakhir dan saatnya bersiap-siap pergi ke SMK 3. Karena ku lihat langit mulai gelap, ku angkat pakaian terlebih dahulu supaya nggak berabe kalau ternyata beneran hujan.
3 panggilan tak terjawab. Okta.

Huahhh… ni bocah pasti ngajak bareng perginya. Tapi, setelah ku mc berulang kali, dia nggak balik menelvon lagi. Hiksss.. don’t-don’t (baca: jangan-jangan) dia udah duluan pula. Segera ku selesaikan persiapanku dan bergegas meninggalkan kosan. Takut terlambat. Dari jauh, ku lihat seorang laki-laki ber-helm, menggunakan kaos kuning dan rompi mendekat ke arahku. Nggak salah lagi, itu si Oktacek!
“Ciyeee…ngambeekkk! Telvonnya nggak diangkaaat,” ledekku padanya yang memanyunkan mulut.
“Cekkk… ada dosen Okta loh sedang jalan kaki. Tapi, dia agak lain sikittt. Okta sebenarnya mau ngantarin, tapi Okta takut.”
“Yuk kita antarin!”
“Dia agak gilaa loh Cek! Nanti dibilangnya; ‘Udahlah nggak usah lagi!’ gimana coba?”
“Ya udah, kalau dia bilang gitu, kita langsung aja capcusss pergi. Tapi, kalau seandainya dia mau gimana? Berarti kita udah zolim donk. Kita mampu ngantarin, tapi kita nggak mau ngantariin. Emmm.. tapi terserah Cek aja deh! Cek lebih tahu gimana dosen Cek tuu!”
Di ujung Bina Krida, aku meneriaki Okta di mana posisi dosennya itu sekarang. Okta mengkodeku ke arah jalan Manyar Sakti. Ada sosok laki-laki bertubuh kurus dan menggunakan peci putih sedang berjalan cepat membelakangi kami.
“Itu Bapak tu?”

Okta mengangguk. Akhirnya kami tetap lurus ke depan, tidak melewati jalan Manyar dan tidak melintasi dosennya Okta itu. Lagian, ini sudah pukul 15.00wib, kami khawatir kehujanan atau terlambat sampainya.
“Nanti kita main ke kampus gobah yuk Cek?” ajak Okta.
“Ngapain?”
“Lihat gimana kondisi kampus Gobah karena kasus HMI tuh. Huh, pasti nggak tahu berita yaa?”
“Tahu kok! Tapi nggak ngerti persisnya kayak apa kronologinya.”
“Nantiklah ceritanya ya!”
Di jalan Nangka, gerimis mulai merintik, menjatuhi raga. Rintiknya masih lembut, sehingga kami masih bisa lanjut. Tapi, di ujung Nangka, rintiknya bertambah deras. Okta menepi di bawah jembatan fly over. Aku juga ikut menepi di belakangnya.
“Cek, emangnya boleh berteduh di sini?”
“Nggak tahu juga! Hehee. Orang-orang pada berteduh, kita ikut jugalah! Hahaa.”
“Eh, bentar. Kita ambil momen duluuu!” aku menjepret masjid Ar-Rahman yang tepat berada di seberang kami. Berikutnya gilian kami yang berselfie. Yeee… barulah perjalanan dilanjutkan kembali.
“Masih ingat jalan ke SMK 3 Cek?”
“Ingat!” jawab Okta. 

Aku mempersilahkannya duluan. Sesampainya di sana, pak satpam langsung menghampiri kami supaya kami mengisi buku tamu terlebih dahulu. Ia meminta kami dengan sangat berhati-hati, seolah ragu apakah kami mau atau tidak. Ya ampuuun Pak, doakan kami ya semoga kelak ketika kami menjadi orang besar, kami tetap rendah hatii. Aamiin… Yona pun ternyata baru sampai. Kami berbarengan masuk ke dalam, ke ruangan fiting. Ternyata tak ada perubahan apa-apa pada bajuku. Aku hanya diminta kembali memakai rok gaunku kembali.
“Kakak nanti pakai jilbab hitamnya polos atau ada motifnya?”
“Bagusnya apa Dek?”
“Polos ajalah Kak, soalnya kan ini udah kami buatkan hiasannya.”
“Kakak ntar jadi pakai topi Dek”
“Emmm..rencananya mau kami buatkan mahkota aja dari kawat ini Kak. Kakak mau?” tanya dek Yuni, salah satu designer di SMK 3 ini.
“Mauuu bangettt Dekkkk!” jawabku, antusias.
“Tapi Kak, kalau ternyata kawatnya nggak cukup, Kakak pakai topi aja nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa kok Dek! Mana baiknya aja. Tapi, tolong usahakan ya mahkotanyaaa,” bisikku ke telinganya.

“Hehe..sip, sip Kak!”
Okta menunjukkan baju dan topi daur ulangnya kepadaku dan minta difotokan. Keyeeenn deh bajunya; berbahan dasar koran dan dipernis. Sisi kiri bajunya dikedut-kedutkan seperti bunga sementara sisi kanannya dilipat-lipat rapi. Jadi nggak sabar nih bagaimana di hari H nanti ya pemirsaaaa.
“Cek, kuncruk dulu yuk! Udah azan soalnya.”
Kuncruk itu maknanya apa ya? Aku jadi agak mikir sebentar. Oh! Sholat nih pasti!
“Kakak sedang nggak kuncruk! Yuk Kakak temenin Cek Kuncruk!”
Ternyata musholanya berada di ujung sekolah, di dekat ruang kelas Tata Boga. Sekilas melihat ke dalam ruangan masak memasak yang mirip banget kayak di dapur-dapur restoran gitu, aku jadi ingat film Final Destination. Hiiii… sereeemmm.
Setelah sholat, Okta menghampiriku yang sedang makan gorengan di warung di dekat mushola.
“Buk, ini Kakak tu yang bayarin yaa!” kata Okta sesuka hatinya saja.
Eh, pas lihat piscok yang dijual di warung sebelah, Okta malah kepengen itu juga. Piscoknya memang menggiurkan banget. Pisang gorengnya potong-potong menjadi 4 potongan kemudian ke celupkan ke dalam lumeran cokelat dan terakhir barulah ditaburi mises. Siapa pun yang melihatnya dijamin akan tergoda juga.

“Berapa 1 tusuknya nih Buk?” tanyaku.
“2 ribuu Dek.”
Okta mengambil 2 tusuk, aku pun mengambil 2 tusuk. Ya Allah, makasihh… ini enak banget rasanyaaa.
“Cek, nanggung loh! Sekaligus aja Rp 10.000 ya!” Okta mengodeku untuk mengambil 1 tusuk lagi.
“Ya dehhh! Ambillah satu lagi tuh!”
“Yeee..yeee.. makasih Cek!”
Oh ya, ada Nova juga bersama kami. Tapi, dia sama sekali nggak ketularan rakusnya kami. Hehhee. Dia tetap kalem dan stay cool ngelihat kegilaan kami.
“Lah? Ini orang-orang udah pada pulang ya?” kami bertanya-tanya ketika di ruang fiting udah kosong melompong. Akhirnya kami pun langsung capcusss. Eh, pas sedang memutar motor, dek Jufri baru nongol.
“Udah pada pulang ya Kak?”
“Kami udah selesai Dek soalnya, tapi di dalam masih ada kok Adik-adik tuu! Masuk aja langsung.”
“Oh yalah Kak, makasih ya Kak.”
Jufri dijuluki oleh kak Tami sebagai Duta Muliplayer, karena berbagai gelar Duta yang telah disandangnya. Huahhh, keyeen! Tapi, pada pemilihan Duta Anti Narkoba beberapa hari yang lalu di mall SKA, dia ternyata nggak menang. *semangat ya Dekk Jufriii!”

***
“Cek? Main dulu yukk?!” ajakku pada Okta saat kami tiba di jalan Pattimura. Oh ya, kampus gobah memang terlihat sedang dalam penjagaan ketat oleh aparat. Banyak banget polisi di pinggir jalannya.
“Ke mana Cek?”
“Nggak tahu juga.”
“Udah pernah ke Klapper Pie?” tanya Okta.
“Belum.”
“Bagus banget tempatnya! Yuk ke sanaa! Tapi Okta nggak ada uaaang.”
“Berapaan memangnya Klappernya?”
“8 ribu per satuannya nggak salah Cek.”
“Ya udah yuk! Kita beli satu ajaa. Hehehe. Yang penting mampir dan tahu tempatnya.”
“Hahhaaa.. Yuk!”
Aku memilih Klapper bertabur kismis dan irisan kacang almond sementara Okta bertoping  lumran cokelat.
“Kok cepat muak Okta ya Cek?” tanyanya sambil meletakkan cidukan terakhirnya ke cup-ku.
“Mungkin karena cokelatnya terlalu banyak tuuu! Kayak punya Kakka ini donk, gurih dan nggak ngebosenin!” jelasku sambil menciduk satu per satu almond ke dalam mulut.
Mulailah kami bercerita tentang salah satu orang terdekat yang sedang kurang rukun dengan temannya.

“…Cek, dia itu faham loh kalau sebenarnya dia yang salah. Tapi, kadang dia itu nggak mau tahu dengan kefahamannya itu! Ngerti Cek?” tanya Okta.
“Ngerti. Artinya, pengendalian itu belum ada di dirinya Cek. Dia itu seperti kertas putih. Bagaimana dirinya sangat tergantung pada lingkungan yang mewarnainya!”
Mata Okta membulat, kepalanya manggut-manggut. “Ulang lagi Cek, biar Okta post ke Instagram!”
Setelah selesai memposting, ia memintaku lagi untuk mengeluarkan kata-kata bijak.
“Nggak bisa diminta Cek! Itu tu ngalir dengan sendirinya. Nggak bisa dipaksa.”
“Cek, itulah yang ingin Okta ubah dari dirinya Cek. Gimana kira-kira Cek?” tanya Okta.
“Cek, nggak ada seorang pun yang bisa mengubah diri kita kalau kita nggak mau memutuskan untuk berubah. Dia yang seharusnya belajar sendiri dari semua ini Cek!”
“Nanti, kalau dia udah tua, dia pasti akan sadar sendiri Cek kesalahannya.”
“Belum tentu Cek!” selaku. “Kedewasaan itu bukan tentang umur, tapi tentang KEPUTUSAN. Cek, hidup ini bukan tentang mewahnya KENDARAAN, tapi tentang indahnya PENGENDALIAN.”
“Eh, tolong ulang lagi Cek, Okta mau bikin status dulu!”
“Di Instagram lagi?”
“Nggak lah! Di Facebook nih!”

Kami duduk di sofa berwarna ungu yang sangat elegan ini. Satu per satu cerita terus mengalir seiring dengan suap demi suap pie.
“…Intinya, sewaktu dia curhat ke Kakak, Kakak hanya bilang gini; ‘Sabar ya Dekkk,’ Kakak sama sekali nggak nyuruh dia supaya maafin kesalahan temennya itu atau berusaha normal lagi. Karena, munafik banget rasanya Dek kalau Kakak menyarankan itu sementara Kakak bisa membayangkan kalau Kakak diposisinya belum tentu Kakak bisa melakukannya. Kakak yakin, dia pun faham kok kalau kita harus saling bermaafan. Tapi, Kakak menyadari bahwa setiap orang punya cara memaafkan masing-masing,” tuturku.
“Iya, bener. Tapi, kita sebagai teman harus berusaha mengingatkannya juga kan Kak. Okta selalu memegang teguh nasehat guru Okta di pesantren dulu; ‘Jangan mau masuk syurga sendirian..’ Itulah makanya Okta berusaha mengingatkannya Cek.”
“Iya… Kakak faham Dek. Emmm..mungkin karena Kakak orang Feeling ya, makanya setiap kali mendengar orang curhat, Kakak bisa terhanyut. Kalau dia nangis, Kakak bisa nangis juga dan kalau dia marah, Kakak bisa ikutan marah. Meskipun nggak selalu seperti itu juga sih. Tapi, di kasus ini, Kakak berfikir temannya itu memang parah banget!”

“Dia kemarin bilang gini ke Okta Cek; ‘Taa.. aku udah maafin dia kok! Tapi, aku nggak bisa kembali lagi kayak dulu’ terus Okta bilanglah; ‘Itu namanya belum memaafkan loh. Karena memaafkan itu seharusnya tanpa syarat,’ gitu Okta bilang ke dia Cek.”
“Cek salah! Maaf itu urusan keikhlasan, urusan hati Cek. Sedangkan kepuutusan kita untuk menjaga jarak dengan orang itu udah beda urusan. Ya, bisa jadi karena dia nggak mau yang dulu terulang lagi berkali-kali. Kalau terulang, dampaknya kan nggak bagus juga untuk persahabatan mereka. Setelah itu, bisa saja bukan hanya nggak saling sapa, tapi juga saling membenci. Beda Cekkk. Setiap orang punya cara untuk memaafkan. Contohnya nih, orang Feeling, kemarin Kakka baru baca bahwa ternyata tipe ini baru bisa move on ketika ia menemukan CINTA yang lebih besar daripada CINTA yang mengecewakannya sebelumnya. Tuh!”
“Itu Oktaaa banget loh Kak!”
“Ada lagi yang tipe Insting kalau nggak salah ya, dia itu baru bisa move on kalau udah ‘berjarak’ dengan sumber masalah.”
“Ituuu Okta bangettt Kak!”
“Ah, semuanya aja diborong! Tipe apa sih sebenarnya Adek nii!”
“Hhahaaa.”

***
Azan baru selesai berkumandang dan Alhamdulillah aku telah sampai di rumah Indah. Aku langsung menyuruhnya sholat dan mengaji. Sementara dia sedang sholat dan mengaji, aku mencuri kesempatan untuk nulis diary.
“Ada PR apa Ndah besok?” tanyaku.
“Nggak ada doh Nteee,” jawab Indah sambil mendekat ke arahku.
“Coba Indah baca ketika Ante nii!”
Tulisan sepanjang 2 halaman itu dibaca oleh Indah dengan nada polosnya anak-anak. Banyak yang tak tepat dengan ekspresi orang dewasa ketika berbicara. Hihiii.
“…lalu seketika aku pun berubah raut. Raut tu apa Nte?” tanya Indah, tak mengerti.
“Raut itu ekspresi wajah kita loh Ndaaah.”
“Ooohh..” Indah kembali melanjutkannya.
Alhamdulillah hari ini bundanya Indah masak sambal Ikan Nila plus Jengkol dan cabai hijau. Weewww… love it! Hehee. Selesai makan, aku mengetik lagi. Indah menawarkan diri untuk mengajarkan Tasya mengerjakan PRnya karena kebetulan semalam Indah udah mengerjakan PR yang sama.

“Oke deh, malam ini Indah yang jadi guru yaa!” kataku.
“Iya Nteee..biar Indah hajar habis-habisan si Tasya ini. hahaa.”
Ini kesempatan emas untukku terus mengetik. Malah aku semakin cari posisi PEWE; Ambil kursi di teras dan ngetik di meja dekat TV. Hehee. Nggak nyangka udah 9 halaman aja cerita hari ini. huaaahhh.
“Anteee…kok kipas anginnya jadi pendek gini? Ante ubah ya?” tanya Indah.
“Nggak ada Ante ubahhh kok! Sejak tadi aja Ante nulisss.”
“Nteee bantuuiiin negakkannya lagi. Nanti Indah dimarahhh.”
Aku berusaha membantu Indah. Ternyata agak susah memang, karena ini bukan kipas angin biasa, tapi kipas angin tornado (karena anginnya kenceng buangetss).
“Makasih Nteee..huft! pucat langsung muka Indah Nteee. Takut kali Indah kena marah Bunda.”
“Alhamdulillah. Sekarang udah lega kann?”
“Legaaaaaa Ntee,” kata Indah sambil menenangkan nafasnya yang terengah-engah. Hahaa..kasihan dia.

Malam ini Indah, Tasya dan Keysa ku bebaskan bermain balon dan berlompat-lompatan sesuka ria setelah PR mereka selesai. Mereka pasti sudah sangat capek sekolah sampai sore dan malamnya harus belajar lagi. Makanya, this time for free! Yeeee. Dan… Ku fikir, ini lebih baik daripada mereka nonton GGS. Huhuuuu.

Tidak ada komentar: