Aku sangat menghargai orang yang sedang berbicara. Apalagi
jika pembicaraannya itu adalah sebuah curhat, tentu ia bukan hanya membutuhkan
telinga untuk mendengar, tetapi juga hati untuk memahami. Demikianlah aku pun
ingin diperlakukan. Aku paling tidak suka ketika aku sedang curhat, orang yang
sedang ku ajak cerita itu tidak fokus memandangku. Seperti aku memperlakukan,
seperti itulah aku ingin diperlakukan. Makanya, tidak ke sembarang orang aku
tertarik bercerita. Aku lebih menyukai komunikasi interpersonal daripada
kelompok. Karena ya itu tadi… karena aku
tidak suka tidak diperhatikan.
Dan… sore ini aku marah pada Okta. Bisa-bisanya ketika aku
sedang serius bercerita, matanya melihat keberbagai arah, sempat pula dia
menertawakan tingkah laku orang lain yang menurutnya lucu. Bahkan, ia pun
sempat mengusili mbak-mbak yang phobia pada ayam. Grrrrrrrr! Sekali, masih ku
biarkan. Dua kali, masih ku biarkan. Yang ketiga kalinya…
Okta berusaha membuatku tertawa, tapi terlambat. Moodku
sudah terlanjut rusak!
“Bahkan Kakak tega nggak ngangkat telvon kalau sedang
mendengarkan orang bercerita Dek! Ada teman Kakak yang melintas di depan mata
pun tega nggak Kakak sapa. Kalau dia melihat Kakak, dia pasti akan menyapa
Kakak dan barulah Kakak akan membalasnya. Karena orang yang bercerita ini jauh
lebih penting untuk Kakak dengarkan! Begitulah Kakak, begitu menghargai orang
yang sedang bercerita!”
Okta menarik HP dari tanganku. Ternyata ia mengubah PMku
dengan fotonya. Aku nggak peduli. Aku biarkan saja. Tidak ku ubah lagi.
“Seperti Kakak memperlakukan orang lain, seperti itulah
Kakak ingin diperlakukan pula. Makanya, nggak setiap saat dan nggak ke semua
orang Kakak mau bercerita.”
“Ciyeeeeee… maraaaah beneran nih?” tanyanya.
Kejadian ini persis sekali seperti yang pernah terjadi
antara aku dan Rini. Memang, tak mudah mengubah orang lain seperti yang kita
inginkan. Tapi, Alhamdulillah Rini yang sekarang bukan Rini yang dulu. Dia
sudah pandai menjadi pendengar. Aku bahagia.
***
Ini masih pukul 06.47wib. Dan, kabar dari bang Tyo ini hadir
begitu menyedak..
Dek, Eko udah duluan
dipanggil. Maafin ya kalau ada salah…
WHAT? Dipanggil apa
maksudnya? Aku mencoba berfikir keras. Setahu aku, Eko yang ku kenal di
perkuliahan hanya bang Eko Sadam Husein, seniorku di Pekon 2009. Ya Allah..
apakah dia?
Ekoooooo? Bang Ekooo ya Bang?
Iya dek. Eko 09.
Innalillahi wainna ilaihi roji’uun. Ya Allah, pagi ini Engkau kembali mengingatkanku pada pulangku pada-Mu.
Panggilan ini benar-benar tak kenal waktu, tak kenal tunggu. Bisa jadi
selanjutnya adalah aku.
“Ya Allah, aku harus segera bertaubat dari menunda-nunda
menulis nih! Karena, seorang Penulis yang menunda menulis adalah sebuah KEJAHATAN.
Ampuni aku ya Allah.”
Aku jadi ingat kata-kata mbak Sugi setahun yang lalu; “Orang
yang diberi kemampuan menulis tapi tidak menulis adalah sebuah kezaliman.”
Dek, Kakak ada ide
nih! Pengen bikin blog khusus tentang Duta Lingkungan ini. nanti, kalau
seandainya pas malam final ditanya juri; “Apa yang akan kamu lakukan dalam
mengajak pemuda untuk turut menjaga lingkungan?” maka Kakak udah punya
jawabannya Dek. Bukan omdo.
Teringat lagi olehku percakapan semalam dengan Okta. Hemmm…
aku harus segera mewujudkannya! Jadilah pagiku ini berubah sebagai designer
blog. Aku selalu betah berlama-lama seperti ini kalau sudah keasyikan menulis
dan mendesign blog. Kalaupun aku tidak menang nantinya, blog ini akan terus ku
hidupkan supaya semua orang bisa belajar dari sana dan tergerak juga untuk lingkungan.
Kak? Jam berapa
nanti perginya ke BLH? Tanya Yona lewat BBM
Jam 08 Dek. Kayak biasa.
Serius kak?
Loh? Kok Yona keheranan gini ya? Aku jadi curiga.
Jangan-jangan aku nih yang salah fokus lagi. Langsung aja ku tanya dengan
teman-teman di grup LINE. Huahhhh… ternyata benar, aku salah fokus nih! Ke
BLHnya nggak jadi dan langsung aja fiting baju untuk yang terakhir kalinya di
SMK 3.
Teman-teman ada yang
punya nomor Jufri? Dia udah ku jerumuskan berarti. Semalam ku bilang kalau
acaranya jam setengah Sembilan seperti biasanya. Huahhhh! Kasihan diaaa.
Ketikku langsung di LINE. Setahuku, dek Jufri juga belum
bergabung di LINE. Semoga dia nggak ‘terjerumus’ ya Allah. Hemmm… aku
melanjutkan pencarianku lagi. Aku sedang melihat-lihat di google image gambar
yang cocok sebagai template bakal blogku ini. Selalu saja seperti ini,
berjam-jam ku habiskan untuk duduk anteng
di depan laptop demi sempurnanya hasil sesuai keinginanku. And…. Finally…
blog dengan alamat duta-lingkungan.blogspot.co.id ini sudah selesai!!! Yeeeee…
templatenya cantik banget karena ada siluet bunga tulis berwana merah dan
hijau. Love it! Perpaduan warnanya gueee banget dah!
Ku awali postingan di blog berjudul Environment Ambassador ini dari pengumuman pemilihan Duta
Lingkungan yang kala itu tak sengaja ku lihat pengumumannya di mading FISIP.
Aku berkisah dari sana. Masih sama konsepnya seperti tulisanku sebelumnya;
FEATURE. Aku berkisah tentang kenyataan dengan cara nyastra karena feature itu adalah gabungan antara fakta dan sastra
dalam penulisan. Intinnya, supaya tulisanku ini mudah diterima dan dicerna oleh
anak muda.
“Ohhh! Aku tahu sekarang!” tiba-tiba aku menemukan 1 lagi
rumusan dari diriku. “ Ternyata aku bukan tipe PEMIKIR. Tapi, PENGKHAYAL.
Hahaa, sekilas seperti sama. Karena dalam kondisi fokus, ekspresiku terlihat
seperti sedang berfikir keras. Padahal, yang ku fikirkan bukan hal-hal yang
keras, hhiihi.”
Ya Allah, semoga, seiring dengan berjalannya waktu dan proses
ini, aku akan menemukan ke-khasan tulisanku sendiri. Supaya aku bisa ‘dibayar’
tinggi.
“Galoooonnn! Kak, galooonn?!” teriak si abang galon dari
tangga menuju lantai 2.
Ulalaaa! Aku baru ingat kalau galonku kosong melompong. Dan,
aku juga baru ingat kalau sejak semalam aku belum juga memesan air galon. Pucuk
dicinta ulam pun tiba!
“Bang, ini satu yaaa!” pintaku. Ah, syukurlah, aku pun
sedang nggak ada pulsa. Hihhii.
Aku kembali masuk kamar dan melanjutkan nulis. Waaahhh..ini
Novi kalau ku kabari, dia pasti akan berkomentar; “Banyak kalii puun blognya.
Untuk apa nyaaa?” Hemmm… aku baru sadar, ternyata aku belum sarapan. Ini sudah
jam 10.00wib ternyata. Untung aja sambal teri dari kampung masih ada, pas
banget untuk penghabisan nih! Sambil makan, ku nyalakan vide lawakan dari pada
comic. Yeeahhh… inilah selingan seorang penulis. Kadang, suka ndengerin lawakan
nggak penting demi bisa tertawa lepas sebebas-bebasnya. Demikianlah aku di
pertengahan hari ini.
“Lanjut lagiii Elll!” pintaku lagi kepada diri, setelah
sarapan selesai. Dan, aku baru sadar kalau jam sudah menunjukkan pukul 12.30wib
ketika Fajri mengetuk pintu kamarku.
“Kak? Udah siap?”
“Be…beeluuumm, Fajriiii. Bentar yaaa!” teriakku dari kamar.
Fajri sudah ready dengan seragam merah-putih dan tas rangselnya. Buru-buru ku
keluarkan motor dan segera melaju bersamanya.
***
Opsss… di depan rumah sakit UR…
“Kenapa Kak motornya?” tanyaku kepada seorang wanita yang
mendorong motornya.
“Ini Kak, kehabisan bensin,” jawabnya. Keringat sudah
membutir di keningnya.
“Sini biar saya belikan ke depan. Tapi, saya nggak bawa duit
nih! Kakak ada duitnya? Biar saya belikan,” aku menawarkan diri.
“Beneran nih Kak? Nggak apa-apa ngerepotin?” tanyanya sambil
menyodorkan uang Rp 50.000 kepadaku.
“Nggak apa-apa Kak. Kakak berteduh aja di sini dulu. Kan
jauh juga kalau ndorong motor ke depaan.”
Aku harus mengantarkan Fajri terlebih dahulu supaya dia
nggak terlambat masuk kelas. Aku sudah berusaha selaju mungkin mengendarai,
tapi kok rasanya perjalanan ini terasa sangat jauh ya? Kasihan cewek tadi kalau
kelamaan menunggu.
“Sekolah yang bener ya Fajriii!”
Fajri mengangguk sambil menyalamiku. Kemudian ia berlarian
masuk ke pekarangan sekolah, membaur bersama yang lainnya. Aku langsung memutar
motor dan membelikan bensin di dekat jalan Elang Sakti. Subhanallah, ini kedua
kalinya aku terharu dengan kemurahan hati penjual bensin setelah berkali-kali
kecewa. Kemarin, aku diperbolehkan beli bensin separuh karena uangku hanya Rp
5000. Hari ini, aku diperbolehkan membawa 1 liter bensin di dalam botol Aqua
besar dan tidak perlu mengembalikannya lagi.
“Biar nggak susah-susah nanti Adek ke sini ngembalikannya,”
kata si bapak yang bermurah hati.
“Makasih ya Pak.”
Memasuki gerbang UR, mendadak aku merasa khawatir cerek tadi
mencurigaiku karena aku terlalu lama kembalinya. Huahhh… mana uangnya Rp 50.000
pula yang ku bawa nih! Dari kejauhan, aku melihatnya sedang mendorong motornya
ke arahku. Sepertinya dia baru memulai kembali menodorongnya. Mungkin karena
aku kelamaan kali ya? hiksss.
“Kakkkkk… maaf lamaa. Soalnya tadi ngantar Adek ke sekolah
duluuuu,” kataku sambil mendekat.
“Iyaa Kak, nggak apa-apaaa,” katanya.
Aku menyodorkan bensin dan juga kembaliannya kepadanya. Dan
aku pun segera berlalu.
“Kak, makasih banyak yaaa!” teriaknya.
“Iyaaa… sama-samaaa,” balasku sambil berlalu.
Ya Allah, aku nggak minta banyak atas kebaikanku ini. Aku
hanya berharap, semoga ketika nanti aku sangat kesulitan dan butuh pertolongan,
akan ada seseorang yang Engkau kirimkan untukku. Dan, semoga diantara orang
yang Engkau kirimkan untukku salah satunya itu adalah JODOHku. Amiiin. So sweet
deh pastinya! *ini kok jadi baperan gini yaa?hihiii…
***
Sudah pukul 14.00wib. Sudah saatnya aku beranjak dari semua
tulisan ini. Well, aku belum mandi dari tadi pagi loh pemirsaaa. Jorki kann?
Hiiiiuuuh! Ini adalah aku yang ter-JORKI sepanjan abad sepertinya. Karena
sebelumnya aku tidak pernah seterlambat ini mandinya. Huahhhh… jadi ingat di
film Raditya Dika ada yang bilang gini; “Eh,, Dika itu penulis ya? Penulis itu
kan jorok! Malas mandiii, malas ngerawat diriii. Iyuuhh!” huahahhh.. ya Allah…
aku nggak mau jadi kayak yang di film ituuu.. huwekkksss!
….menjadikan cinta itu halal, untuk 1000 masa bersama.. ho hooo
Lagu VC Gema yang baru saja ku
nyalakan menandakan bahwa aktivitas menulisku sudah berakhir dan saatnya
bersiap-siap pergi ke SMK 3. Karena ku lihat langit mulai gelap, ku angkat
pakaian terlebih dahulu supaya nggak berabe kalau ternyata beneran hujan.
3 panggilan tak terjawab. Okta.
Huahhh… ni bocah pasti ngajak
bareng perginya. Tapi, setelah ku mc berulang kali, dia nggak balik menelvon
lagi. Hiksss.. don’t-don’t (baca: jangan-jangan) dia udah duluan pula. Segera
ku selesaikan persiapanku dan bergegas meninggalkan kosan. Takut terlambat.
Dari jauh, ku lihat seorang laki-laki ber-helm, menggunakan kaos kuning dan
rompi mendekat ke arahku. Nggak salah lagi, itu si Oktacek!
“Ciyeee…ngambeekkk! Telvonnya
nggak diangkaaat,” ledekku padanya yang memanyunkan mulut.
“Cekkk… ada dosen Okta loh sedang
jalan kaki. Tapi, dia agak lain sikittt. Okta sebenarnya mau ngantarin, tapi
Okta takut.”
“Yuk kita antarin!”
“Dia agak gilaa loh Cek! Nanti
dibilangnya; ‘Udahlah nggak usah lagi!’ gimana coba?”
“Ya udah, kalau dia bilang gitu,
kita langsung aja capcusss pergi. Tapi, kalau seandainya dia mau gimana?
Berarti kita udah zolim donk. Kita mampu ngantarin, tapi kita nggak mau
ngantariin. Emmm.. tapi terserah Cek aja deh! Cek lebih tahu gimana dosen Cek
tuu!”
Di ujung Bina Krida, aku
meneriaki Okta di mana posisi dosennya itu sekarang. Okta mengkodeku ke arah
jalan Manyar Sakti. Ada sosok laki-laki bertubuh kurus dan menggunakan peci
putih sedang berjalan cepat membelakangi kami.
“Itu Bapak tu?”
Okta mengangguk. Akhirnya kami
tetap lurus ke depan, tidak melewati jalan Manyar dan tidak melintasi dosennya
Okta itu. Lagian, ini sudah pukul 15.00wib, kami khawatir kehujanan atau
terlambat sampainya.
“Nanti kita main ke kampus gobah
yuk Cek?” ajak Okta.
“Ngapain?”
“Lihat gimana kondisi kampus
Gobah karena kasus HMI tuh. Huh, pasti nggak tahu berita yaa?”
“Tahu kok! Tapi nggak ngerti
persisnya kayak apa kronologinya.”
“Nantiklah ceritanya ya!”
Di jalan Nangka, gerimis mulai
merintik, menjatuhi raga. Rintiknya masih lembut, sehingga kami masih bisa
lanjut. Tapi, di ujung Nangka, rintiknya bertambah deras. Okta menepi di bawah
jembatan fly over. Aku juga ikut menepi di belakangnya.
“Cek, emangnya boleh berteduh di
sini?”
“Nggak tahu juga! Hehee.
Orang-orang pada berteduh, kita ikut jugalah! Hahaa.”
“Eh, bentar. Kita ambil momen
duluuu!” aku menjepret masjid Ar-Rahman yang tepat berada di seberang kami.
Berikutnya gilian kami yang berselfie. Yeee… barulah perjalanan dilanjutkan
kembali.
“Masih ingat jalan ke SMK 3 Cek?”
“Ingat!” jawab Okta.
Aku mempersilahkannya duluan.
Sesampainya di sana, pak satpam langsung menghampiri kami supaya kami mengisi
buku tamu terlebih dahulu. Ia meminta kami dengan sangat berhati-hati, seolah
ragu apakah kami mau atau tidak. Ya
ampuuun Pak, doakan kami ya semoga kelak ketika kami menjadi orang besar, kami
tetap rendah hatii. Aamiin… Yona pun ternyata baru sampai. Kami berbarengan
masuk ke dalam, ke ruangan fiting. Ternyata tak ada perubahan apa-apa pada
bajuku. Aku hanya diminta kembali memakai rok gaunku kembali.
“Kakak nanti pakai jilbab
hitamnya polos atau ada motifnya?”
“Bagusnya apa Dek?”
“Polos ajalah Kak, soalnya kan
ini udah kami buatkan hiasannya.”
“Kakak ntar jadi pakai topi Dek”
“Emmm..rencananya mau kami
buatkan mahkota aja dari kawat ini Kak. Kakak mau?” tanya dek Yuni, salah satu
designer di SMK 3 ini.
“Mauuu bangettt Dekkkk!” jawabku,
antusias.
“Tapi Kak, kalau ternyata
kawatnya nggak cukup, Kakak pakai topi aja nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa kok Dek! Mana
baiknya aja. Tapi, tolong usahakan ya mahkotanyaaa,” bisikku ke telinganya.
“Hehe..sip, sip Kak!”
Okta menunjukkan baju dan topi
daur ulangnya kepadaku dan minta difotokan. Keyeeenn deh bajunya; berbahan
dasar koran dan dipernis. Sisi kiri bajunya dikedut-kedutkan seperti bunga
sementara sisi kanannya dilipat-lipat rapi. Jadi nggak sabar nih bagaimana di
hari H nanti ya pemirsaaaa.
“Cek, kuncruk dulu yuk! Udah azan
soalnya.”
Kuncruk itu maknanya apa ya? Aku
jadi agak mikir sebentar. Oh! Sholat nih pasti!
“Kakak sedang nggak kuncruk! Yuk
Kakak temenin Cek Kuncruk!”
Ternyata musholanya berada di
ujung sekolah, di dekat ruang kelas Tata Boga. Sekilas melihat ke dalam ruangan
masak memasak yang mirip banget kayak di dapur-dapur restoran gitu, aku jadi
ingat film Final Destination. Hiiii… sereeemmm.
Setelah sholat, Okta
menghampiriku yang sedang makan gorengan di warung di dekat mushola.
“Buk, ini Kakak tu yang bayarin
yaa!” kata Okta sesuka hatinya saja.
Eh, pas lihat piscok yang dijual
di warung sebelah, Okta malah kepengen itu juga. Piscoknya memang menggiurkan
banget. Pisang gorengnya potong-potong menjadi 4 potongan kemudian ke celupkan
ke dalam lumeran cokelat dan terakhir barulah ditaburi mises. Siapa pun yang
melihatnya dijamin akan tergoda juga.
“Berapa 1 tusuknya nih Buk?”
tanyaku.
“2 ribuu Dek.”
Okta mengambil 2 tusuk, aku pun
mengambil 2 tusuk. Ya Allah, makasihh… ini enak banget rasanyaaa.
“Cek, nanggung loh! Sekaligus aja
Rp 10.000 ya!” Okta mengodeku untuk mengambil 1 tusuk lagi.
“Ya dehhh! Ambillah satu lagi
tuh!”
“Yeee..yeee.. makasih Cek!”
Oh ya, ada Nova juga bersama
kami. Tapi, dia sama sekali nggak ketularan rakusnya kami. Hehhee. Dia tetap
kalem dan stay cool ngelihat kegilaan kami.
“Lah? Ini orang-orang udah pada
pulang ya?” kami bertanya-tanya ketika di ruang fiting udah kosong melompong.
Akhirnya kami pun langsung capcusss. Eh, pas sedang memutar motor, dek Jufri
baru nongol.
“Udah pada pulang ya Kak?”
“Kami udah selesai Dek soalnya,
tapi di dalam masih ada kok Adik-adik tuu! Masuk aja langsung.”
“Oh yalah Kak, makasih ya Kak.”
Jufri dijuluki oleh kak Tami
sebagai Duta Muliplayer, karena berbagai gelar Duta yang telah disandangnya.
Huahhh, keyeen! Tapi, pada pemilihan Duta Anti Narkoba beberapa hari yang lalu
di mall SKA, dia ternyata nggak menang. *semangat ya Dekk Jufriii!”
***
“Cek? Main dulu yukk?!” ajakku
pada Okta saat kami tiba di jalan Pattimura. Oh ya, kampus gobah memang
terlihat sedang dalam penjagaan ketat oleh aparat. Banyak banget polisi di
pinggir jalannya.
“Ke mana Cek?”
“Nggak tahu juga.”
“Udah pernah ke Klapper Pie?” tanya
Okta.
“Belum.”
“Bagus banget tempatnya! Yuk ke
sanaa! Tapi Okta nggak ada uaaang.”
“Berapaan memangnya Klappernya?”
“8 ribu per satuannya nggak salah
Cek.”
“Ya udah yuk! Kita beli satu
ajaa. Hehehe. Yang penting mampir dan tahu tempatnya.”
“Hahhaaa.. Yuk!”
Aku memilih Klapper bertabur
kismis dan irisan kacang almond sementara Okta bertoping lumran cokelat.
“Kok cepat muak Okta ya Cek?”
tanyanya sambil meletakkan cidukan terakhirnya ke cup-ku.
“Mungkin karena cokelatnya
terlalu banyak tuuu! Kayak punya Kakka ini donk, gurih dan nggak ngebosenin!”
jelasku sambil menciduk satu per satu almond ke dalam mulut.
Mulailah kami
bercerita tentang salah satu orang terdekat yang sedang kurang rukun dengan
temannya.
“…Cek, dia itu
faham loh kalau sebenarnya dia yang salah. Tapi, kadang dia itu nggak mau tahu
dengan kefahamannya itu! Ngerti Cek?” tanya Okta.
“Ngerti.
Artinya, pengendalian itu belum ada di dirinya Cek. Dia itu seperti kertas
putih. Bagaimana dirinya sangat tergantung pada lingkungan yang mewarnainya!”
Mata Okta
membulat, kepalanya manggut-manggut. “Ulang lagi Cek, biar Okta post ke
Instagram!”
Setelah selesai
memposting, ia memintaku lagi untuk mengeluarkan kata-kata bijak.
“Nggak bisa
diminta Cek! Itu tu ngalir dengan sendirinya. Nggak bisa dipaksa.”
“Cek, itulah
yang ingin Okta ubah dari dirinya Cek. Gimana kira-kira Cek?” tanya Okta.
“Cek, nggak ada
seorang pun yang bisa mengubah diri kita kalau kita nggak mau memutuskan untuk
berubah. Dia yang seharusnya belajar sendiri dari semua ini Cek!”
“Nanti, kalau
dia udah tua, dia pasti akan sadar sendiri Cek kesalahannya.”
“Belum tentu
Cek!” selaku. “Kedewasaan itu bukan tentang umur, tapi tentang KEPUTUSAN. Cek,
hidup ini bukan tentang mewahnya KENDARAAN, tapi tentang indahnya
PENGENDALIAN.”
“Eh, tolong ulang
lagi Cek, Okta mau bikin status dulu!”
“Di Instagram
lagi?”
“Nggak lah! Di
Facebook nih!”
Kami duduk di
sofa berwarna ungu yang sangat elegan ini. Satu per satu cerita terus mengalir
seiring dengan suap demi suap pie.
“…Intinya,
sewaktu dia curhat ke Kakak, Kakak hanya bilang gini; ‘Sabar ya Dekkk,’ Kakak
sama sekali nggak nyuruh dia supaya maafin kesalahan temennya itu atau berusaha
normal lagi. Karena, munafik banget rasanya Dek kalau Kakak menyarankan itu
sementara Kakak bisa membayangkan kalau Kakak diposisinya belum tentu Kakak
bisa melakukannya. Kakak yakin, dia pun faham kok kalau kita harus saling
bermaafan. Tapi, Kakak menyadari bahwa setiap orang punya cara memaafkan
masing-masing,” tuturku.
“Iya, bener.
Tapi, kita sebagai teman harus berusaha mengingatkannya juga kan Kak. Okta
selalu memegang teguh nasehat guru Okta di pesantren dulu; ‘Jangan mau masuk
syurga sendirian..’ Itulah makanya Okta berusaha mengingatkannya Cek.”
“Iya… Kakak
faham Dek. Emmm..mungkin karena Kakak orang Feeling ya, makanya setiap kali
mendengar orang curhat, Kakak bisa terhanyut. Kalau dia nangis, Kakak bisa
nangis juga dan kalau dia marah, Kakak bisa ikutan marah. Meskipun nggak selalu
seperti itu juga sih. Tapi, di kasus ini, Kakak berfikir temannya itu memang
parah banget!”
“Dia kemarin
bilang gini ke Okta Cek; ‘Taa.. aku udah maafin dia kok! Tapi, aku nggak bisa
kembali lagi kayak dulu’ terus Okta bilanglah; ‘Itu namanya belum memaafkan
loh. Karena memaafkan itu seharusnya tanpa syarat,’ gitu Okta bilang ke dia
Cek.”
“Cek salah!
Maaf itu urusan keikhlasan, urusan hati Cek. Sedangkan kepuutusan kita untuk
menjaga jarak dengan orang itu udah beda urusan. Ya, bisa jadi karena dia nggak
mau yang dulu terulang lagi berkali-kali. Kalau terulang, dampaknya kan nggak
bagus juga untuk persahabatan mereka. Setelah itu, bisa saja bukan hanya nggak
saling sapa, tapi juga saling membenci. Beda Cekkk. Setiap orang punya cara
untuk memaafkan. Contohnya nih, orang Feeling, kemarin Kakka baru baca bahwa
ternyata tipe ini baru bisa move on ketika ia menemukan CINTA yang lebih besar
daripada CINTA yang mengecewakannya sebelumnya. Tuh!”
“Itu Oktaaa
banget loh Kak!”
“Ada lagi yang
tipe Insting kalau nggak salah ya, dia itu baru bisa move on kalau udah
‘berjarak’ dengan sumber masalah.”
“Ituuu Okta
bangettt Kak!”
“Ah, semuanya
aja diborong! Tipe apa sih sebenarnya Adek nii!”
“Hhahaaa.”
***
Azan baru
selesai berkumandang dan Alhamdulillah aku telah sampai di rumah Indah. Aku
langsung menyuruhnya sholat dan mengaji. Sementara dia sedang sholat dan
mengaji, aku mencuri kesempatan untuk nulis diary.
“Ada PR apa
Ndah besok?” tanyaku.
“Nggak ada doh
Nteee,” jawab Indah sambil mendekat ke arahku.
“Coba Indah
baca ketika Ante nii!”
Tulisan
sepanjang 2 halaman itu dibaca oleh Indah dengan nada polosnya anak-anak.
Banyak yang tak tepat dengan ekspresi orang dewasa ketika berbicara. Hihiii.
“…lalu seketika
aku pun berubah raut. Raut tu apa Nte?” tanya Indah, tak mengerti.
“Raut itu
ekspresi wajah kita loh Ndaaah.”
“Ooohh..” Indah
kembali melanjutkannya.
Alhamdulillah
hari ini bundanya Indah masak sambal Ikan Nila plus Jengkol dan cabai hijau.
Weewww… love it! Hehee. Selesai makan, aku mengetik lagi. Indah menawarkan diri
untuk mengajarkan Tasya mengerjakan PRnya karena kebetulan semalam Indah udah
mengerjakan PR yang sama.
“Oke deh, malam
ini Indah yang jadi guru yaa!” kataku.
“Iya
Nteee..biar Indah hajar habis-habisan si Tasya ini. hahaa.”
Ini kesempatan
emas untukku terus mengetik. Malah aku semakin cari posisi PEWE; Ambil kursi di
teras dan ngetik di meja dekat TV. Hehee. Nggak nyangka udah 9 halaman aja
cerita hari ini. huaaahhh.
“Anteee…kok
kipas anginnya jadi pendek gini? Ante ubah ya?” tanya Indah.
“Nggak ada Ante
ubahhh kok! Sejak tadi aja Ante nulisss.”
“Nteee
bantuuiiin negakkannya lagi. Nanti Indah dimarahhh.”
Aku berusaha
membantu Indah. Ternyata agak susah memang, karena ini bukan kipas angin biasa,
tapi kipas angin tornado (karena anginnya kenceng buangetss).
“Makasih
Nteee..huft! pucat langsung muka Indah Nteee. Takut kali Indah kena marah Bunda.”
“Alhamdulillah.
Sekarang udah lega kann?”
“Legaaaaaa
Ntee,” kata Indah sambil menenangkan nafasnya yang terengah-engah. Hahaa..kasihan
dia.
Malam ini
Indah, Tasya dan Keysa ku bebaskan bermain balon dan berlompat-lompatan sesuka
ria setelah PR mereka selesai. Mereka pasti sudah sangat capek sekolah sampai
sore dan malamnya harus belajar lagi. Makanya, this time for free! Yeeee. Dan… Ku
fikir, ini lebih baik daripada mereka nonton GGS. Huhuuuu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar