Rabu, 09 Desember 2015

Ini Proposalku, Mana Proposalmu?



Well, aku tahu ini adalah hari pentingku. Tapi, tetap aja aku terlambat. Aku sadar ini sudah hampir jam 9.00wib. Untung saja ketika aku tiba di ruang C7, belum ada 1 penguji pun yang datang.
“Howalaah Mbaak! Orang udah selesai ujian daah!” kata Romi.
“Hhahaa.. Masih ngerasa kayak mau belajar di kelas seperti biasa Cek, kayak nggak sedang mau ujian nih! Hehee.”
“Udah selesai kan Slide Mbak?”
“Udah Cek. Tadi habis subuh baru Mbak kerjain, hehee. Makanya terlambat, karena setelah selesai bikin slide, Mbak lihat jam, ternyata udah jam setengah 9 aja. ehhee.”
“Huh! Kebiasaan! Untung aja nasib Mbak baik hari ini. Kumpulinlah slidenya sama Kak Rona sana!”
Aku segera memasuki ruangan dan menyerahkan file slideku kepada Rona. Ada 7 orang yang akan ujian di ruangan ini dan di ruangan sebelah ada 8 orang. 10 menit kemudian ujian dimulai dengan dosen seadanya yang bisa hadir hari ini. Acara dibuka oleh pak Gani sebagai moderator. Lalu dipanggillah peserta ujian pertama. *untung aja bukan aku, huhuu. Ternyata tanya-jawab berlangsung cukup lama, sehingga aku berinisiatif untuk membuka laptop dan melanjutkan tulisan.

“Nulis apa Lis?” tanya Suzi yang duduk di sebelahku.
“Emmm…. Nulis apa yaaa?” tanyaku balik.
“Cerpen ya?”
“Yuhuuuu.”
“Kok kecil kali sih tulisannya? Emang kelihatan sama Elis tu?” tanya Suzi lagi.
“Emang sengaja. Biar Suzi nggak bisa baca. Hehehehee.”
“Tega!”
“Bercanda, Zi! Kelihatan kok Zi. Aku selalu ngetik dengan huruf sekecil ini emang.”
Peserta kedua sudah dipanggil. Aku mulai suntuk. Ku alihkan pandangan ke deretan kursi sebelah kanan. Eh, ternyata ada mami Dyah di sini. Dia ingin melihat kami ujian. Setelah tersenyum kepadanya, pandanganku beralih kepada peserta ketiga yang menyodorkan map kuning kepada pak Gani setelah namanya dipanggil. Karena penasaran, aku langsung bertanya ke Suzi..

“Map apa sih yang dikasih ke Pak Gani tu, Zi?”
“Astagaaaa! Itu berita acara Lis. Elis belum ngisi yaaa? Ya Allah Lisss,” Suzi panik.
“Berita acara? Buat apa?”
“Itu blangko penilaian untuk penampilan kita loh Lis. Elis kok nggak bilang dari tadi kalau belum dapat blangkonya?”
“Tulah terlambat juga lagi!” sahut Romi.
Suzi berusaha mendapatkan 7 lembar berita acara itu lagi. Untung saja Rona masih punya 1 rangkap lagi. Huahhhh… makasih ya Allah.
“Cepeten diisi Liss! Habis ini Elis loh yang tampil!”
“Masa iya Zii?” tanyaku, panik.
“Iya. Kan Zi nomor 5. Setelah Elis. Map kuningnya udah ada Lis?”
“Duh! Aku nggak bawa map apapun Zi. Tolongin donk Zi beliin. Ini uangnya. Maaf ya Ziiii,” mohonku.

Suzi ternyata meminta junior untuk membelikannya karena dia masih butuh mengulang membaca naskah proposalnya. Aku terus saja fokus dan secepat mungkin menyelesaikan tulisanku di blangko-blangko ini. Alhamdulillah semuanya selesai sebelum namaku dipanggil. Huft! Nyaris.
“Lis, panggillah Pak Suarman. Bilang sama Bapak, sebentar lagi giliran Elis yang nampil,” saran Suzi.
“Emmm… mesti ya gitu Zi? Emangnya kalau Pak Suarman nggak ada kenapa?” tanyaku, polos.
“Ya harus adalah Lis. Nanti kalau Elis kesulitan jawab pertanyaan penguji gimana?”
“Oh…iya ya.. ehee. Oke, ku panggil nih!”
Aku segera ke luar menuju ruang ujian di sebelah. Tapi, tak ada wajah pak Suarman di dalam sana. Dan, ketika aku kembali… Eh, ternyata pak Suarman sudah ready di depan. *loh? Kapan masuknya, Pak?
“Aku tadi ngira; ‘Eh, kok cepat kali Elis manggil Bapak?’ Karena setelah Elis ke luar, Bapak langsung masuk loh! Rupanya Elis malah nggak tahu ya. hehe.”
“Iya Zi. Aku udah panik kali loh kalau sempat Pak Suarman pergi ntah ke mana. Huft!”
“Selanjutnya adalah.. Elysa Rizka Armala. Silahkan!” kata pak Suarman.
“Semangat Liss!” kata Mami. Lalu ia ke luar ruangan.

Ah… jangan-jangan ada Lia dan yang lainnya di luar sana dan mereka sudah berkoordinasi dengan Dyah untuk menyemangatiku. Akankah ini jadi surprise kedua untukku? So sweet..
Aku maju ke depan, menyerahkan map kuningku terlebih dahulu sebelum ke meja presentase. Sebenarnya, aku lebih nyaman untuk presentase sambil berdiri, tapi karena aku tahu bahwa penampilan tidak menjadi penilaian, maka aku nggak pengen buang-buang tenaga. Mulailah aku presentase sambil duduk dan tanganku ready pada tombol NEXT di keyboard.
“Singkat saja ya, tidak usah terlalu panjang,” sela pak Suarman.
Aku meneruskan penjelasanku. Aku pun merasa tidak terlalu penting menjelaskan dengan jelas, karena toh baik penguji maupun teman-teman yang lain terlihat sibuk pada fokusnya masing-masing. Ketika aku akan menjelaskan BAB II yang berisi kajian teoritis, pak Suarman memintaku untuk langsung menjelaskan metode penelitian. Alhasil, presentasiku menjadi presentasi yang tersingkat dalam waktu kurang dari 5 menit.

“Silahkan kepada Pak Gani terlebih dahulu untuk berkomentar,” kata pak Suarman.
Aku mulai deg-degan. Ada rasa sedikit rasa pesimis terhadap proposalku ini karena teringat beberapa orang yang mengatakan ini terlalu mudah.
“Elysa?”
“Ya Pak.”
“Menurut saya, penelitian kamu ini terlalu sederhana. Persepsi itu adalah penilaian yang paling rendah dan sangat mudah berubah. Contohnya seperti ini, hari ini saya diberi gaji tambahan oleh bos saya sebesar Rp 1000.000, maka persepsi saya terhadap bos saya saat itu sangat baik. Tapi, pada bulan berikutnya ketika saya tidak lagi diberi bonus, maka persepsi saya kepada bos saya menjadi buruk. Semudah itulah persepsi berubah. Nah, apalagi mengingat dengan kiprah kamu dalam mewakili universitas ini berkali-kali di luar sana, maka sangat disayangkan kalau hanya ini yang kamu teliti.”

Mataku beralih kepada pak Riadi yang duduk di sebelah pak Gani. Aku khawatir pak Riadi akan lebih parah lagi
mengomentariku karena apa yang dikomentari oleh pak Gani barusan pun adalah komentarnya. Hiksss. Ya Allah, tolong..
“Kalau saya boleh menyarankan, ubahlah persepsi ini dengan KETERLIBATAN. Nah, keterlibatan ini ada 2 sisi; Psikis dan Fisik. Secara psikis, termasuklah di dalamnya persepsi, kalau secara fisik, bisa jadi dipengaruhi oleh manfaat yang mereka dapat, keaktifan KOPMA itu sendiri dan eksistensinya. Demikian.”
“Terimakasih Pak,” kataku.
Kini, giliran pak Riadi.

“Di proposal kamu ini saya membaca angka 3000-an, dalam tulisan ilmiah, angka ini tidak pasti dan masih rancu. Coba kamu perbaiki lagi ya, cari data yang lebih riil. Kemudian, di sini kamu tulis bahwa jumlah mahasiswa aktif Pendidikan Ekonomi adalah 372, sementara data yang saya punya ada sekita 500 mahasiswa.  Darimana kamu dapat data ini?”
“Saya bertanya ke ruang kemahasiswaan Pak. Dengan Pak Faisal kemarin.”
“Kamu bertanya dengan orang yang tahu ya gitu.”
*Loh? Orang kemahasiswaan kok dibilang nggak tahu sih? Aneh.
Selanjutnya adalah komentar dari pak Ngadlan.
“Saya setuju dengan saran Pak Gani tadi ya. Kalau bisa ini diubah menjadi KETERLIBATAN supaya yang kamu teliti lebih luas lagi. Sekarang, di mana letak KOPMA ini?”
“Sektretariatnya ada di stadion mini Pak.”
“Oohhh…di sana. Saya nggak tahu apakah sekarang pun secara otomatis mahasiswa ini sudah menjadi anggota KOPMA ya, karena sistem sekarang kan sudah pakai UKT. Coba nanti dicari tahu lagi pastinya seperti apa. Supaya dalam penamaan anggota aktif dan anggota pasif itu lebih jelas lagi.”
“Baik Pak. Terimakasih.”

Pak Suarman mempersilahkanku untuk menutup presentasi. Alhamdulillah… legaaaanyaaaaa. Ternyata segala sesuatunya nggak serumit dan sesulit yang aku kira. Terimakasih ya Allah. Hanya 10 menit saja, aku sudah selesai dengan tahap I ini. Justru, proposalnya dek Romi yang ku kira akan mudah diterima malah cukup lama juga dipertanyakan. Dan, ujung-ujungnya penguji menyarankan Romi untuk mengganti objek penelitiannya.
Ya Allah, terimakasih. Akhirnya aku bisa meneliti teman-teman di PEKON saja, seperti niatku sejak awal. Supaya nggak ribet ngurus surat penelitian dan supaya nggak disulitkan dengan birokrasi kalau aku meneliti di instansi. Alhamdulillah…

“Selamat ya Lissss.. Udah selesai tahap pertama,” kata mami sambil menyalamiku.
Ternyata kejutan yang ku khayalkan tadi memang benar hanya khayalan. Lia memang nggak datang. Tak apalah. Yang penting semuanya berjalan lancar dan doa mereka yang menyayangiku sudah sampai di sini.
Kami makan siang bersama, di ruang C9, dengan nasi bungkus yang sudah termasuk juga dengan uang konsumsi yang kami bayarkan kemarin. Aku dan Dyah mengganggu lauknya Romi yang enak banget; Ayam Filet saus. Nggak tahu gimana ceritanya kok si Romi dapat lauk yang beda gitu. huhuu. Setelah makan siang, mami main ke kosanku. Dia mau lihat kafe di kamarku katanya. Hehe.



***

Atas permintaanku, akhirnya mami menceritakan tentang *esi, teman sekelas kami dulu. Mami pun menceritakan kronologi sedetil-detilnya, mulai dari cinta mendalam *esi kepada tetangganya yang bekerja sebagai kuli bangunan hingga bagaimana *esi sakit yang diduga karena diguna-guna oleh laki-laki itu. Tapi, melalui penjelasan Dyah ini, akhirnya kami sama-sama bingung.
“Buat apa coba Lis cowok itu guna-gunain si *esi? Toh setelah mereka dinikahkan pun ternyata *esi nggak sembuh juga,” jelas Dyah.
“Loh? Kapan mereka nikah Mi?”

“Udah setahun yang lalu Lis. Mami juga nggak ingat ngabarin kalian karena Mami pun tahu hari itu juga dan hanya ngasih tahu teman-teman SMK aja. Dalam fikiran Mami, *esi ni seolah nggak pernah kuliah, makanya Mami nggak ada ngundang teman-teman kuliah. Karena selama berkali-kali Mami jenguk dia ke rumahnya, ingatan dan pertanyaan-pertanyaan dia itu stagnan cuma seputar masa-masa SMK, bahkan waktu Widut, Alan, dan yang lainnya datang, dia nggak kenal loh sama mereka Lis.”
“Astaghfirullah. Kok bisa gitu ya diaa. Ya ampuuunn.. kangen kali sama *si yang duluuu, Mi.”
“Orang tuanya udah bawa dia berobat ke mana-mana Lis. Pengobat dia yang terakhir itulah yang bilang; ‘Nikahkanlah dia ni Pak. Udah nggak ada obat untuk dia lagi’, Eh ternyata dia nggak sembuh juga. Sekarang dia bahkan udah punya anak dan yang ngurusin anaknya itu ya Mamaknya. Ngomongnya makin aneh, manja-manja gitu. Tiap kali Mami nanya; ‘Suami *esi mana?’, dia selalu tutup telinga kayak nggak suka ditanya tentang suaminya. Waktu hari pernikahannya aja dia tu pandangannya kosong Lis, teman-teman SMK pada datang tapi dia nggak kenal juga dan waktu diajak foto, matanya ntah ke mana-mana ngelihatnya. Kayaknya ada ‘kekuatan’ yang mengendalikan dia sekarang, Lis. Dan itu hanya dia yang bisa ngelawannya. Beruntunglah kita jadi orang yang suka cerita Lis, daripada kayak gitu kejadiannya.”

Usai Dyah bercerita, aku baru sadar kalau keningku berkerut sepanjang mendengar penjelasannya. Aku berusaha berfikir keras sambil menganalisa semua peristiwa yang dialami *esi.
“Elis menyimpulkan sesuatu Mi. Benar yang Mami bilang kalau ada ‘kekuatan’ lain yang mengendalikannya, karena jiwa dan fikirannya kosong Mi. Di SMA Elis dulu kan pernah ada KESURUPAN MASAL, sampai 120 an orang kesurupan pagi-pagi tu di sekolah. Dari sana Elis banyak memperhatikan, ternyata orang yang emosi, bengong dan sedih adalah orang yang gampang banget dirasuki. Pernah ada senior cewek yang berantem sampai jambak-jambakan rambut waktu itu dan setelah itu langsung lah di pemicu perkelahian itu kesurupan. Parahnya, kalau udah ada yang kesurupan 1 orang, biasanya nular tuh ke yang lainnya lewat teriakannya tadi. Tapi, yang terjadi sama *esi ini bukan kesurupan yang  yang histeris kayak gitu. Intinya **si itu depresi. Meskipun orang tuanya nggak pernah memaksakan kehendak, tapi *esi itu nggak pernah mau ngomong apa yang sebenarnya diinginkan dan selama ini semua yang dijalaninya adalah kehendak orang tuanya. Mungkin puncak ‘tumpukan perasaan’nya adalah ketika orang tuanya melarang dia pacaran sama cowok itu, yang bikin *esi akhirnya depresi. Wajar, kalau orang tuanya heran kenapa dia bisa kayak gitu, karena mereka berdua nggak pernah maksa *esi maunya apa. hemmm… intinya nurutnya *esi itu nggak sebenar-benarnya nurut. Masih ada hasrat lain yang dia simpan dalam hati dan akhirnya bertumpuk-tumpuk,” jelasku panjang lebar tanpa berhenti.

“Setuju, Lis! Tapi, kenapa cuma ingatan semasa SMK aja yang diingatnya ya?”
“Hemmm… kurang tahu kenapa itu terjadi Mi. Mungkin karena di kampus pun dia kuliahnya belum genap 1 tahun kan? Tapi yang jelas, ingatan *esi itu udah BERHENTI MI. Sekarang, pola fikirannya itu bergerak MUNDUR, nggak ke DEPAN lagi pergerakannya. Makanya, yang muncul itu adalah kenangan-kenangan lama, bahkan mungkin yang udah terlupa oleh Mami sebagai sahabatnya waktu SMK.”
“Bener jugaa yaaa.
Ya Allah. Bantu kami, ajari kami untuk merawat hati ini dengan KEIKHLASAN. Kalau ada hal-hal yang bisa kami kendalikan sesuai harapan kami, maka bantu kami melakukannya.. Tapi, kalau memang hal tersebut harus kami terima dengan IKHLAS, maka bantu kami untuk MENGIKHLASKANNYA. Agar jangan sampai ada beban, amarah, atau kebencian yang tertinggal di hati. Bantu kami memiliki hati yang BEBAS dan MERDEKA ya Allah. Aamiin. 

Tidak ada komentar: