Well, aku tahu ini adalah hari
pentingku. Tapi, tetap aja aku terlambat. Aku sadar ini sudah hampir jam 9.00wib. Untung saja ketika aku tiba di ruang
C7, belum ada 1 penguji pun yang datang.
“Howalaah Mbaak! Orang udah
selesai ujian daah!” kata Romi.
“Hhahaa.. Masih ngerasa kayak mau
belajar di kelas seperti biasa Cek, kayak nggak sedang mau ujian nih! Hehee.”
“Udah selesai kan Slide Mbak?”
“Udah Cek. Tadi habis subuh baru
Mbak kerjain, hehee. Makanya terlambat, karena setelah selesai bikin slide,
Mbak lihat jam, ternyata udah jam setengah 9 aja. ehhee.”
“Huh! Kebiasaan! Untung aja nasib
Mbak baik hari ini. Kumpulinlah slidenya sama Kak Rona sana!”
Aku segera memasuki ruangan dan
menyerahkan file slideku kepada Rona. Ada 7 orang yang akan ujian di ruangan
ini dan di ruangan sebelah ada 8 orang. 10 menit kemudian ujian dimulai dengan
dosen seadanya yang bisa hadir hari ini. Acara dibuka oleh pak Gani sebagai
moderator. Lalu dipanggillah peserta ujian pertama. *untung aja bukan aku, huhuu.
Ternyata tanya-jawab berlangsung cukup lama, sehingga aku berinisiatif untuk
membuka laptop dan melanjutkan tulisan.
“Emmm…. Nulis apa yaaa?” tanyaku
balik.
“Cerpen ya?”
“Yuhuuuu.”
“Kok kecil kali sih tulisannya? Emang
kelihatan sama Elis tu?” tanya Suzi lagi.
“Emang sengaja. Biar Suzi nggak
bisa baca. Hehehehee.”
“Tega!”
“Bercanda, Zi! Kelihatan kok Zi. Aku
selalu ngetik dengan huruf sekecil ini emang.”
Peserta kedua sudah dipanggil. Aku
mulai suntuk. Ku alihkan pandangan ke deretan kursi sebelah kanan. Eh, ternyata
ada mami Dyah di sini. Dia ingin melihat kami ujian. Setelah tersenyum
kepadanya, pandanganku beralih kepada peserta ketiga yang menyodorkan map
kuning kepada pak Gani setelah namanya dipanggil. Karena penasaran, aku
langsung bertanya ke Suzi..
“Map apa sih yang dikasih ke Pak
Gani tu, Zi?”
“Astagaaaa! Itu berita acara Lis.
Elis belum ngisi yaaa? Ya Allah Lisss,” Suzi panik.
“Berita acara? Buat apa?”
“Itu blangko penilaian untuk penampilan
kita loh Lis. Elis kok nggak bilang dari tadi kalau belum dapat blangkonya?”
“Tulah terlambat juga lagi!”
sahut Romi.
Suzi berusaha mendapatkan 7
lembar berita acara itu lagi. Untung saja Rona masih punya 1 rangkap lagi. Huahhhh…
makasih ya Allah.
“Cepeten diisi Liss! Habis ini
Elis loh yang tampil!”
“Masa iya Zii?” tanyaku, panik.
“Iya. Kan Zi nomor 5. Setelah Elis.
Map kuningnya udah ada Lis?”
“Duh! Aku nggak bawa map apapun
Zi. Tolongin donk Zi beliin. Ini uangnya. Maaf ya Ziiii,” mohonku.
Suzi ternyata meminta junior
untuk membelikannya karena dia masih butuh mengulang membaca naskah
proposalnya. Aku terus saja fokus dan secepat mungkin menyelesaikan tulisanku
di blangko-blangko ini. Alhamdulillah semuanya selesai sebelum namaku
dipanggil. Huft! Nyaris.
“Lis, panggillah Pak Suarman. Bilang
sama Bapak, sebentar lagi giliran Elis yang nampil,” saran Suzi.
“Emmm… mesti ya gitu Zi? Emangnya
kalau Pak Suarman nggak ada kenapa?” tanyaku, polos.
“Ya harus adalah Lis. Nanti kalau
Elis kesulitan jawab pertanyaan penguji gimana?”
“Oh…iya ya.. ehee. Oke, ku
panggil nih!”
Aku segera ke luar menuju ruang
ujian di sebelah. Tapi, tak ada wajah pak Suarman di dalam sana. Dan, ketika
aku kembali… Eh, ternyata pak Suarman sudah ready di depan. *loh? Kapan masuknya,
Pak?
“Aku tadi ngira; ‘Eh, kok cepat
kali Elis manggil Bapak?’ Karena setelah Elis ke luar, Bapak langsung masuk
loh! Rupanya Elis malah nggak tahu ya. hehe.”
“Iya Zi. Aku udah panik kali loh
kalau sempat Pak Suarman pergi ntah ke mana. Huft!”
“Selanjutnya adalah.. Elysa Rizka
Armala. Silahkan!” kata pak Suarman.
“Semangat Liss!” kata Mami. Lalu ia
ke luar ruangan.
Ah… jangan-jangan ada Lia dan yang lainnya
di luar sana dan mereka sudah berkoordinasi dengan Dyah untuk menyemangatiku. Akankah
ini jadi surprise kedua untukku? So sweet..
Aku maju ke depan, menyerahkan
map kuningku terlebih dahulu sebelum ke meja presentase. Sebenarnya, aku lebih
nyaman untuk presentase sambil berdiri, tapi karena aku tahu bahwa penampilan
tidak menjadi penilaian, maka aku nggak pengen buang-buang tenaga. Mulailah aku
presentase sambil duduk dan tanganku ready pada tombol NEXT di keyboard.
“Singkat saja ya, tidak usah
terlalu panjang,” sela pak Suarman.
Aku meneruskan penjelasanku. Aku
pun merasa tidak terlalu penting menjelaskan dengan jelas, karena toh baik
penguji maupun teman-teman yang lain terlihat sibuk pada fokusnya
masing-masing. Ketika aku akan menjelaskan BAB II yang berisi kajian teoritis,
pak Suarman memintaku untuk langsung menjelaskan metode penelitian. Alhasil,
presentasiku menjadi presentasi yang tersingkat dalam waktu kurang dari 5
menit.
“Silahkan kepada Pak Gani terlebih
dahulu untuk berkomentar,” kata pak Suarman.
Aku mulai deg-degan. Ada rasa sedikit
rasa pesimis terhadap proposalku ini karena teringat beberapa orang yang
mengatakan ini terlalu mudah.
“Elysa?”
“Ya Pak.”
“Menurut saya, penelitian kamu
ini terlalu sederhana. Persepsi itu adalah penilaian yang paling rendah dan
sangat mudah berubah. Contohnya seperti ini, hari ini saya diberi gaji tambahan
oleh bos saya sebesar Rp 1000.000, maka persepsi saya terhadap bos saya saat
itu sangat baik. Tapi, pada bulan berikutnya ketika saya tidak lagi diberi
bonus, maka persepsi saya kepada bos saya menjadi buruk. Semudah itulah
persepsi berubah. Nah, apalagi mengingat dengan kiprah kamu dalam mewakili
universitas ini berkali-kali di luar sana, maka sangat disayangkan kalau hanya
ini yang kamu teliti.”

“Kalau saya boleh menyarankan, ubahlah
persepsi ini dengan KETERLIBATAN. Nah, keterlibatan ini ada 2 sisi; Psikis dan
Fisik. Secara psikis, termasuklah di dalamnya persepsi, kalau secara fisik,
bisa jadi dipengaruhi oleh manfaat yang mereka dapat, keaktifan KOPMA itu
sendiri dan eksistensinya. Demikian.”
“Terimakasih Pak,” kataku.
Kini, giliran pak Riadi.
“Di proposal kamu ini saya
membaca angka 3000-an, dalam tulisan
ilmiah, angka ini tidak pasti dan masih rancu. Coba kamu perbaiki lagi ya, cari
data yang lebih riil. Kemudian, di sini kamu tulis bahwa jumlah mahasiswa aktif
Pendidikan Ekonomi adalah 372, sementara data yang saya punya ada sekita 500
mahasiswa. Darimana kamu dapat data ini?”
“Saya bertanya ke ruang
kemahasiswaan Pak. Dengan Pak Faisal kemarin.”
“Kamu bertanya dengan orang yang
tahu ya gitu.”
*Loh? Orang kemahasiswaan kok dibilang nggak tahu sih? Aneh.
Selanjutnya adalah komentar dari
pak Ngadlan.
“Saya setuju dengan saran Pak
Gani tadi ya. Kalau bisa ini diubah menjadi KETERLIBATAN supaya yang kamu
teliti lebih luas lagi. Sekarang, di mana letak KOPMA ini?”
“Sektretariatnya ada di stadion
mini Pak.”
“Oohhh…di sana. Saya nggak tahu
apakah sekarang pun secara otomatis mahasiswa ini sudah menjadi anggota KOPMA
ya, karena sistem sekarang kan sudah pakai UKT. Coba nanti dicari tahu lagi
pastinya seperti apa. Supaya dalam penamaan anggota aktif dan anggota pasif itu
lebih jelas lagi.”
“Baik Pak. Terimakasih.”
Pak Suarman mempersilahkanku
untuk menutup presentasi. Alhamdulillah… legaaaanyaaaaa. Ternyata segala
sesuatunya nggak serumit dan sesulit yang aku kira. Terimakasih ya Allah. Hanya
10 menit saja, aku sudah selesai dengan tahap I ini. Justru, proposalnya dek
Romi yang ku kira akan mudah diterima malah cukup lama juga dipertanyakan. Dan,
ujung-ujungnya penguji menyarankan Romi untuk mengganti objek penelitiannya.
Ya Allah, terimakasih. Akhirnya aku bisa
meneliti teman-teman di PEKON saja, seperti niatku sejak awal. Supaya nggak
ribet ngurus surat penelitian dan supaya nggak disulitkan dengan birokrasi
kalau aku meneliti di instansi. Alhamdulillah…
“Selamat ya Lissss.. Udah selesai
tahap pertama,” kata mami sambil menyalamiku.
Ternyata kejutan yang ku
khayalkan tadi memang benar hanya khayalan. Lia memang nggak datang. Tak apalah.
Yang penting semuanya berjalan lancar dan doa mereka yang menyayangiku sudah sampai
di sini.
Kami makan siang bersama, di
ruang C9, dengan nasi bungkus yang sudah termasuk juga dengan uang konsumsi
yang kami bayarkan kemarin. Aku dan Dyah mengganggu lauknya Romi yang enak
banget; Ayam Filet saus. Nggak tahu gimana ceritanya kok si Romi dapat lauk
yang beda gitu. huhuu. Setelah makan siang, mami main ke kosanku. Dia mau lihat
kafe di kamarku katanya. Hehe.
***
Atas permintaanku, akhirnya mami
menceritakan tentang *esi, teman sekelas kami dulu. Mami pun menceritakan
kronologi sedetil-detilnya, mulai dari cinta mendalam *esi kepada tetangganya
yang bekerja sebagai kuli bangunan hingga bagaimana *esi sakit yang diduga
karena diguna-guna oleh laki-laki itu. Tapi, melalui penjelasan Dyah ini, akhirnya
kami sama-sama bingung.
“Buat apa coba Lis cowok itu
guna-gunain si *esi? Toh setelah mereka dinikahkan pun ternyata *esi nggak
sembuh juga,” jelas Dyah.
“Loh? Kapan mereka nikah Mi?”
“Udah setahun yang lalu Lis. Mami
juga nggak ingat ngabarin kalian karena Mami pun tahu hari itu juga dan hanya
ngasih tahu teman-teman SMK aja. Dalam fikiran Mami, *esi ni seolah nggak
pernah kuliah, makanya Mami nggak ada ngundang teman-teman kuliah. Karena selama
berkali-kali Mami jenguk dia ke rumahnya, ingatan dan pertanyaan-pertanyaan dia
itu stagnan cuma seputar masa-masa SMK, bahkan waktu Widut, Alan, dan yang
lainnya datang, dia nggak kenal loh sama mereka Lis.”
“Astaghfirullah. Kok bisa gitu ya
diaa. Ya ampuuunn.. kangen kali sama *si yang duluuu, Mi.”
“Orang tuanya udah bawa dia
berobat ke mana-mana Lis. Pengobat dia yang terakhir itulah yang bilang; ‘Nikahkanlah
dia ni Pak. Udah nggak ada obat untuk dia lagi’, Eh ternyata dia nggak sembuh
juga. Sekarang dia bahkan udah punya anak dan yang ngurusin anaknya itu ya
Mamaknya. Ngomongnya makin aneh, manja-manja gitu. Tiap kali Mami nanya; ‘Suami
*esi mana?’, dia selalu tutup telinga kayak nggak suka ditanya tentang
suaminya. Waktu hari pernikahannya aja dia tu pandangannya kosong Lis,
teman-teman SMK pada datang tapi dia nggak kenal juga dan waktu diajak foto,
matanya ntah ke mana-mana ngelihatnya. Kayaknya ada ‘kekuatan’ yang
mengendalikan dia sekarang, Lis. Dan itu hanya dia yang bisa ngelawannya. Beruntunglah
kita jadi orang yang suka cerita Lis, daripada kayak gitu kejadiannya.”
Usai Dyah bercerita, aku baru
sadar kalau keningku berkerut sepanjang mendengar penjelasannya. Aku berusaha
berfikir keras sambil menganalisa semua peristiwa yang dialami *esi.
“Elis menyimpulkan sesuatu Mi. Benar
yang Mami bilang kalau ada ‘kekuatan’ lain yang mengendalikannya, karena jiwa
dan fikirannya kosong Mi. Di SMA Elis dulu kan pernah ada KESURUPAN MASAL,
sampai 120 an orang kesurupan pagi-pagi tu di sekolah. Dari sana Elis banyak
memperhatikan, ternyata orang yang emosi, bengong dan sedih adalah orang yang
gampang banget dirasuki. Pernah ada senior cewek yang berantem sampai
jambak-jambakan rambut waktu itu dan setelah itu langsung lah di pemicu
perkelahian itu kesurupan. Parahnya, kalau udah ada yang kesurupan 1 orang,
biasanya nular tuh ke yang lainnya lewat teriakannya tadi. Tapi, yang terjadi
sama *esi ini bukan kesurupan yang yang
histeris kayak gitu. Intinya **si itu depresi. Meskipun orang tuanya nggak
pernah memaksakan kehendak, tapi *esi itu nggak pernah mau ngomong apa yang
sebenarnya diinginkan dan selama ini semua yang dijalaninya adalah kehendak
orang tuanya. Mungkin puncak ‘tumpukan perasaan’nya adalah ketika orang tuanya
melarang dia pacaran sama cowok itu, yang bikin *esi akhirnya depresi. Wajar,
kalau orang tuanya heran kenapa dia bisa kayak gitu, karena mereka berdua nggak
pernah maksa *esi maunya apa. hemmm… intinya nurutnya *esi itu nggak
sebenar-benarnya nurut. Masih ada hasrat lain yang dia simpan dalam hati dan
akhirnya bertumpuk-tumpuk,” jelasku panjang lebar tanpa berhenti.
“Setuju, Lis! Tapi, kenapa cuma
ingatan semasa SMK aja yang diingatnya ya?”
“Hemmm… kurang tahu kenapa itu
terjadi Mi. Mungkin karena di kampus pun dia kuliahnya belum genap 1 tahun kan?
Tapi yang jelas, ingatan *esi itu udah BERHENTI MI. Sekarang, pola fikirannya itu
bergerak MUNDUR, nggak ke DEPAN lagi pergerakannya. Makanya, yang muncul itu
adalah kenangan-kenangan lama, bahkan mungkin yang udah terlupa oleh Mami
sebagai sahabatnya waktu SMK.”
“Bener jugaa yaaa.
Ya Allah. Bantu kami, ajari kami untuk
merawat hati ini dengan KEIKHLASAN. Kalau ada hal-hal yang bisa kami kendalikan
sesuai harapan kami, maka bantu kami melakukannya.. Tapi, kalau memang hal
tersebut harus kami terima dengan IKHLAS, maka bantu kami untuk
MENGIKHLASKANNYA. Agar jangan sampai ada beban, amarah, atau kebencian yang
tertinggal di hati. Bantu kami memiliki hati yang BEBAS dan MERDEKA ya Allah. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar