Kamis, 24 Desember 2015

Nasehat: Surat Seorang Ibu

Semoga dengan membaca tulisan ini kita bisa lebih jeli membagi waktu.
SURAT SEORANG IBU
“Di mana rumahmu, Nak?”

Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata mereka namanya tersohor di kampusnya sana. Orang bilang anakku aktivis dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi, bolehkan aku sampaikan padamu, Nak? Ibu bilang kamu hanya seorang putrid kecil ibu yang lugu.

Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis, ibu kembali mematut diri menjadi seorang ibunya aktivis. Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu Nak. Tapi, apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia, Nak? Sungguh, setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak, tanpa pernah ibu berfikis bahwa itu adalah hal yang sia-sia.

Anakku, kita memang berada di satu atap Nak, di atas yang sama saat engkau dulu bermanja dengan ibumu ini. Tapi, kini di manakah rumahmu Nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu. Atau jangankan untuk tersenyum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau tak enggan. Katamu, engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu Nak, Ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau lebih tahu. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau Nak, tapi bukankah aku ini ibumu? Yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku...
Anakku, Ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk, Nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu. Engkau mengatur segala strategi untuk menkader anggotamu. Engkau Nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun, hati ibu mulai bertanya; ‘Nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu?

Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu, saat engkau merasa sangat tidak produktif harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang Nak, menghabiskan waktu dengna keluargamu tidak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan, tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak? Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga, Nak?

Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat Nak, ada rapat sana-sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, di sana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada di sana. Ternyata memang tak ada Nak, tak ada agenda untuk bersama biumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal Nak, andai engkau tahu sejak kau dan di rahim ibu, tak ada cita-cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita-cita dan agenda untukmu, putrid kecilku...
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesionall. Boleh ibu bertanya Nak, di mana profesimu untuk Ibu? Di mana profesionalitasmu untuk keluarga? Di mana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kamu buat? Ah, waktumu terlalu mahal Nak. Sampai-sampai ibu tak ladi mampu membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu...

---
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta; ibu, ayah, kakak dan adik. Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan, hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang masih malu untuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai. Untuk mereka yang kasih sayangnya tak pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang ini. saksikanlah, bahwa tak ada yang lebih berarti dari ridha mereka atas segala aktivitas yang kita lakukan. Karena, tanpa ridho mereka, mustahil kau peroleh ridho-Nya.
(Sumber: handbook pantia kajian Islam Intensif Padmanaba 2012, KIIP Believing), 22 Desember pukul 07.17wib.

Tidak ada komentar: