Aku ingin berterimakasih kepada SASTRA yang telah mengajariku mengenal KEKAYAAN JIWA. Dan, saat ini aku sedang berusaha memupuknya. Terimakasih wahai SASTRA karena telah mengajariku banyak hal tentang KEMEWAHAN HATI; tentang bagaimana caranya mencintai tanpa menjadi lemah, tentang bagaimana caranya hidup 2 kali, tentang bagaimana caranya marah dengan ramah, tentang bagaimana caranya menyentuh hati tanpa bersentuhan fisik, tentang bagaimana caranya merapikan perasaan, tentang bagaimana caranya membenci lewat larik puisi, tentang bagaimana caranya mengagumi dari kejauhan, tentang bagaimana caranya berharap dengan elegan, tentang bagaimana caranya melukiskan segala warna tanpa kuas, tentang bagaimana caranya menggambar dengan bermodal pena, tentang cara bagaimana caranya banyak orang yang jauh di sana, tentang bagaimana caranya meminta maaf tanpa berkata MAAF dan tentang bagaimana caranya menyebarkan cinta dan salam dari PENA. Terimakasih sastra...
Okta sudah meneriakiku
berkali-kali lewat panggilannya di telvon. Tapi, aku belum juga siap dengan
penampilanku. Pakaian yang sudah ku rapikan sejak semalam, malah nggak nyaman
rasanya ku pakai hari ini. Padahal niatnya supaya aku nggak kelamaan siap-siapnya
pagi ini. Mungkin karena sekarang aku chubby, makanya nggak semua baju cocok ku
pakai. Sekarang… sudah 4 kali aku bergonta-ganti baju-rok-jilbab. Dan…
ujung-ujungnya aku pakai kemeja jadul milik mami dan pashmina peach. Sungguh,
ini 90% jauh sangat simpel dari kostum yang bolak-balik ku ganti tadi. huahhhh…
make it simpel, El!
“Eeelll? Nggak takziaaahh?”
teriak kak Dewi dari luar kamar.
Ku buka pintu kamar dan bertanya;
“Takziah ke mana Kak?”
“Kan nenek yang rumahnya papan tu
meninggal El. El mau pergi ya?”
“Innalillahi waiinna illaihi
Rojiuun. Iya Kak, El mau pergi pula nih. Istrinya bapak-bapak yang jualan di
kantin FKIP itu ya Kak?”
“Iya Eel.”
Ketika aku memanaskan motor,
orang-orang mulai berdatangan ke arah sini. Rumah papan bertingkat yang selama
ini ku anggap angker itu mendadak jadi ramai. Sambil melaju menuju kampus, aku
menghadiahkan Al-Fatihaa kepada sang nenek.
“Bubububuyuuuuu?” teriakku kepada
Okta yang sedang menunggu pak Iyal.
“Dari mana nyaa?”
“Dari ATM tuh! Mau bimbingan sama
Pak Iyal ya Cek? Jam berapa?” tanyaku.
“Tulah, barusan Okta telvon..
katanya nanti siang jam 2. Ya Allah Kak, Bapak tu ramah kaliii loh. Okta yang
nelvon, tapi malah seolah Bapak tu yang nelvon Okta. Enaaak kali dengar Bapak
tu tadi ngomong Kak, meskipuuuun sih Okta harus bersabar sampai nanti siang.”
“Hemmmm…itulah kebaikan hatinya
Dek. Meskipun inti dari perkataannya adalah; ‘Bapak nggak bisa kalau sekarang,
nanti jam 2 saja’, tapi beliau menggunakan cara yang baik sehingga hati kita
pun segera menerima dengan baik pula. Meskipun poinnya sama, tapi ketika tujuan
tadi disampaikan oleh dosen yang kasar, pasti yang pertama kali diterima oleh
hati kita adalah kekecewaan dan sakit hati ya kan Dek?”
“Tulaah Cek… CARA itulah yang
terpenting ya.”
“Eh, kita sarapan yuk? Yana
ngajakin nih!” ajakku.
Mendadak, aku mengajak Okta ke
dekat Mapala Suluh. Ia ku suruh untuk menutup mata, sementara aku langsung
berlari menembus jalan setapak nan becek ini untuk mengambil sesuatu di kosan.
“Tutup hiduuuuung!” teriakku
ketika sudah tiba lagi di sini.
“Hhaha..iyaa nih, Okta tutup
hiduuung!”
“Tutup mata jugaaaa!” teriakku.
“Ntah apaa pun yang mau dikasih
ke Okta niii. Tadi katanya besaaarrr… tapi bisa nyo dibawa lari-lari. Dah tutup
mata ni Okta!”
“Tangannya ulurkan ke depaaaaaan!”
kataku sambil mendekat ke arahnya lalu meletakkan hadiahku di atas tangannya.
Ia tertawa kecil sambil membuka
plastik yang membungkus kaos Green Radio tersebut.
“Ihhhhh…makaciiiihhh, Cek. Banyak
ya kemarin bersisa?”
“Nggak juga. Sengaja, Kakak
selamatkan 1 supaya Cek dapat juga meskipun Cek nggak datang.”
Kami langsung menuju tempat
sarapan. Yana sudah di sana ternyata. Okta memesan nasi goreng sedangkan aku
dan Yana bakwa pecal. Ketika sedang menikmati sarapan, aku melihat Isti, Reni
dan Mifta jalan kaki bertiga menuju ke arah sini. Aku langsung berkata pada
Okta…
“Dek, mereka itu teman Kakak di
Pekon. Para pejuang skripsi sejati!”
Okta malah tertawa mendengar
sebutan; ‘Pejuang Skripsi’ barusan. Ia meraih HP ku dan diam-diam memoto mereka
yang semakin mendekat ke arah kami. Lalu, Okta tertawa lagi. Aku menyapa mereka
dan menawari mereka bergabung dengan kami. Tapi, mereka sedang buru-buru ke
kampus. Aku faham itu! Sebenarnya, pagi ini pun aku harus seperti itu, tapi
ahhh…. Tak ada salahnya kan jeda sejenak? Toh perpus FKIP juga belum buka.
“Dek, kemarin sewaktu Kakak
diperlakukan kurang ramah oleh seseorang, Kakak berfikir seperti ini; Ternyata,
adalah sebuah KEMEWAHAN jika kita mampu untuk tetap RAMAH kepada orang lain
sekalipun hatinya sedang MARAH. Karena, tidak sembarang hati bisa memiliki
KEMEWAHAN seperti itu,’. Makanya, Kakak sangat kagum sekali dengan ‘pelayan
publik’ yang ramah dan selalu beritikad baik untuk membantu urusan orang lain. Memang,
langka sekarang,” curhatku.
“Iya Kak, setujuuu!”
“Eh, udah baca link blog Kakak
belum, Dek?”
“Udah Kak, ada foto kita di
situuuu! Yeeeee,” jawab Yana.
“Okta belum loh.”
“Ah, selalapnya Okta gituuu,”
kataku.
Setelah sarapan, kami berpisah
arah. Okta ke kampus, yana ke kos dan aku ke tempat foto kopian. Jurnal yang
dikoreksi oleh kakak perpus kemarin belum ku revisi. This time to finished!
***
Aku sudah tiba di Prodi. Hal pertama
yang harus ku lakukan adalah meminta tanda tangan Ka Prodi untuk Jurnal dan
Skripsiku. Alhamdulillah, prosesnya cepat. Segera, aku menuju Pagaruyung di Bina
Krida untuk mem-burning jurnalku ke CD. Meskipun ini lebih lengang daripada
Tuan Muda yang sangat padat antrian, tapi tetap saja aku harus menunggu cukup
lama. Ada 3 cewek yang mengantri lebih dulu dariku. Mereka sedang memburning
skripsi mereka ke CD. Padanganku tersita sepenuhnya pada cover skripsi yang
berwarna merah itu; milik Fakultas Teknik UR. Cuz, I love red to much! Ah…
sayangnya FKIP warnanya covernya hijau, pemirsaaaa. Coba aja kalau merah juga.
*khayalan nggak penting.
“Berapa Kak?”
“Rp 7000.”
Loh? Tadi kata Titin biayanya Rp
10.000. Ini kok lebih murah ya? Aku segera menuju ke Perpus FKIP untuk
menyerahkan Jurnal. Tapi, ternyata perpus sedang sangat ramai dengan mahasiswa
non regular dari daerah yang sedang menyerahkan skripsi.
“Adek mau ngurus apa?” tanya
petugas lainnya yang sudah paruh baya.
“Mau ngunggak jurnal Buukkk.”
“Nanti ajalah ya, setelah
istirahat. Soalnya Kakak tu sedang melayani mahasiswa yang dari daerah. Tuh,
antriannya juga masih panjang.”
“Ohhh.. ya deh Buuuk. Jam berapa
ya kira-kira nanti Buuu?”
“Jam setengah 2 lah, Nak.”
Segera, aku menyanggupi ajakan
Teguh untuk makan siang di Podoroso, Bangau Sakti. Yudi dan Jhon ternyata nggak
bisa ikutan. Akhirnya, kami ngajak Novi. Dia mengajukan syarat bahwa sebelum
jam setengah 2 harus sudah selesai. Aku langsung menyanggupi, karena aku pun
punya deadline di jam itu.
***
“Wewww! Gelasnya jumbo yaa!”
kataku, ketika teh es manis terhidang dengan cangkir raksasa.
“Itu udah bonus loh Mak sama ayam
Penyet yang kita pesan. Bububuyuuu kan? Cocoklah dengan badan Mak yang gede
juga, hehee,” jelas Teguh.
“Heh, cocok jugalah dengan badan
Adek tuuu! Wkwkkw,” balasku.
“Ih, Kak Elcek baru ke sini ya? Pantesaaann…
Novi udah beberapa kali lah.”
Sambil menunggu pesanan, Novi
kembali melanjutkan ceritanya tentang Bahana Mahasiswa yang dibungkam UR. Ia menceritakan
bahwa karena Bahana sangat mengkritisi salah satu dosen di UR maka pak Iyal
mendapat titah dari atasan supaya membekukan dana kelembagaan untuk Bahana. Kalau
mereka bersedia untuk disensor dulu beritanya oleh rektorat setiap kali sebelum
menerbitkan berita, barulah dana tersebut akan diberikan. Tapi, mereka tidak
mau menukar kejujuran dengan apapun. Bahkan, kata Yana, Bahana sudah
berlangganan menerbitkan berita di Belanda. *kalau yang ini, aku harus cari
tahu dulu keakuratannya. Well, makanan kami sudah terhidang and….
Have a lunch, guys!
“Eh, tapi kayaknya sambalnya
masih enakan yang di Lesung laaahh,” kataku, agak pelan.
“Iya sih, kalau Novi pun lebih
suka sama Sambal Lesung, Cek. Porsi nasinya pun cocok sama Novi.”
“Sambal Lesung tu pedas kaliiii.
Kayak Gopek,” celetuk Teguh.
Dek Gompar baru saja bergabung
bersama kami. Tapi, hanya untuk menunggui Teguh saja karena dia sudah makan di rumah katanya.
“Dek, semalam tu kan kami makan
bareng Okta, Yana, Romi tu karena Yana hari ini mau pulang. Eh, tadi dia bilang
malah nggak jadi, padahal kan semalam tu adalah goodbye party eceknyaaa. Malah nggak
jadi good bye. Hahaa,” kataku pada Teguh.
“Emang Kak Yana mau ke mana Cek?”
tanya Novi.
“Pulang kampung, mau ngambil data
penelitiannya Cek.”
“Makanya, baca blog Emak! Biar tahuuu!,”
celetuk Teguh pada Novi.
“Iiiihhh… Novi nggak sempat loh
Bang. Blog Novi pun belum terurus juga nii.”
Ternyata, kami ditraktir oleh
Teguh hari ini. Ye yeeee…Alhamdulillah. Makasih ya Dek, semoga makin sehat,
makin murah rezeki dan makin berprestasiii.
***
Sekarang sudah pukul 14.35wib.
Sudah sejam aku menunggu di sini. Rasanya si kakak pengurus Jurnal itu tidak
akan kembali lagi ke sini. Ibu tadi sudah berusaha menghubunginya, tapi tidak
direspon juga. Aku masih terus duduk di meja bundar sambil mencoret-coret suara
hati di atas kertas polos…
Sungguh!
Beruntunglah mereka yang berada di sekitarmu.
Yang bisa selalu mengetahui kabarmu; ketika TEKNOLOGI tak lagi berperan
melipat jarak dan menebas waktu.
*ku tujukan puisi ini untuk seseorang
yang selama ini tidak ku bahasan di diary, tapi ku kisahkan pada hari dan hati.
Mbak…
Tolong kirimkan file skripsi mbak yang udah lengkap ya.
Pak
Al minta Romi untuk ngelengkapi semuanya dulu.
Laptop Mbak lowbat Dek, kalau nggak low
bisa mbak kirim sekarang juga nih!
Ya
udah, Romi nyusul ke sana.
Tak lama, ia tiba di sini. Setelah
mengopi fileku, ia pun menemukan colokan nganggur di sudut perpus ini, ia
langsung mengerjakan skripsinya dengan tekun. Aku memandanginya dari jarak 3
meter. Dia terlihat begitu serius dan lupa pada dunia sekitar. Kemeja batik
berwarna biru yang dipakainya itu sepertinya baru ku lihat hari ini dan itu
membuatnya lebih dewasa daripada Romi yang biasanya. Diam-diam, aku memotonya. Jarang-jarang
aku melihatnya sedewasa itu. Biasanya…. Yuhuuuuu..cap cusss ciinnn!
“Mbaakkk… this library will
close?” tanyanya.
Aku melihat kondisi. Ibu tadi
sudah memberi kode bahwa waktu berkunjung sudah habis. “Shortly, Dek!”
Romi langsung mengajakku hijrah
ke ruang kuliah Bahasa Jepang, tepat di depan perpus ini. Kami duduk lesehan di
koridornya karena kelasnya sudah dikunci semua.
“Adek bawa printer itu ke
mana-mana yaaa? hahaha.”
“Iya Mbaakk. Biar nggak rempong! Hehee.
Jadi, kalau udah selesai, kan bisa langsung ngeprint di mana pun. hheee…
sekaligus ngirit Mbakkk!”
Ku bantu ia mendiktekan
judul-judul tabel dan halamannya untuk disesuaikan dengan daftar pustaka.
“Ayooo Rooom, semangat! Kamu
pasti bisa! Harus bisa selesai sebelum jam 5 ini supaya bisa bimbingan dengan
pak Al walaupun sebentar!” ujar Romi, menyemangati dirinya sendiri.
“Bisa tuu Dek! Pasti bisaaa!”
Setelah ketikannya selesai,
giliran kami bingung gimana caranya ngeprint? Sementara colokan cuma ada satu
dan laptopnya Romi nggak bisa hidup tanpa listrik.
“Ya udah, salin aja filemu ke
laptop Mbaak. Masih lumayan tahan tuh batrainya,” usulku.
Setelah data dipindahkan dan
printer dicolokkan, ada masalah baru lagi ternyata; laptopku harus diinstal
dulu dengan softwarenya si printer. Huahhh…mana si Romcek nggak bawa instalernya pula. Akhirnya, kami hijrah
lagi ke ruang kelas Fisika. Masih ada kelas yang terbuka dan ada 2 colokan di
sana.
“Mbaaaak! Bantuin aku ngapaaa
bawain barang-barang ini! Udah tahu aku kerempongan giniii,” pintanya sambil
menggendong kotak printernya yang lumayan gede itu.
“Ini judulnya berarti; ‘Printer
Berjalan’ ya Cek? Hahaaahaa. Niat kali laaah bawa-bawa printer gini Ceekk..”
kataku sambil tertawa.
“Jangan ditulis di blog ya
Mbaaak! Malu-maluin ntar. Ahhaa.”
“Ohh tidak bisaaa.. itu pasti
Dekkk Mbak tulisin! Hehee.”
Aku menceritakan beberapa kekhawatiran padanya.
"Dek... kalau Mbak nggak bisa wisuda bulan Februari nanti, Mbak nggak hina kan, Dek?"
"Hina Mbaak! Mbak dari dulu emang udah hinaaa! hahaa," bukannya menanggapi dengan serius, malah seperti itu jawabannya.
"Huh! Jahat!"
Aku menceritakan beberapa kekhawatiran padanya.
"Dek... kalau Mbak nggak bisa wisuda bulan Februari nanti, Mbak nggak hina kan, Dek?"
"Hina Mbaak! Mbak dari dulu emang udah hinaaa! hahaa," bukannya menanggapi dengan serius, malah seperti itu jawabannya.
"Huh! Jahat!"
Setelah selesai ngeprint, barulah
tugasku selesai. Kami berpisah. Romi langsung menemui pak Almasdi. Semoga masih terkejar dan bisa bertemu
dengan bapak ya Dekkk.. aamiin
***
Aku membelikan jus tomat untuk
Yana karena katanya, matanya yang semalam pedih semakin menjadi-jadi pedihnya
sekarang. Aku segera menuju kosannya tanpa pulang ke kosanku dulu. Sesampainya di sana, Yana langsung menyodoriku handfree untuk memperdengarkanku sesuatu...
"Kakak harus dengar ini!"
Aku menurut saja. Perlahan, alunan musik mulai terdengar dan... berikutnya adalah kalimat-kalimat yang sangat menyentuh.
Ajari aku menggunakan PENA, akan ku tulis gemericik air, udara dingin,
kabut senja sampai daun gugur...
*Menanti Tulisanmu*
Aku selalu menanti tulisanmu.
Karena darimana lagi aku bisa tahu apa yang sedang kamu fikirkan bila tidak dari sana? Kita tidak pernah bercakap-cakap tentang sesuatu yang dalam. Hanya sebuah sapaan. Aku selalu menunggu tulisanmu. Karena darimana lagi aku bisa tahu tentang jalan fikiranmu, tentang masalah yang sedang kamu hadapi atau tentang perasaan yang sedang kamu rasakan. Meski tulisanmu tidak sepenuhnya mewakili perasaan, setidaknya aku tahu bahwa perasaanmu masih hidup untuk nantinya aku cintai. Itupun bila kamu mengizinkan.
Di detik ini, air mataku mulai jatuh. perasaanku mulai hanyut dalam kalimat-kalimatnya.
Aku selalu membaca tulisanmu. Dari halaman 1 hingga halaman yang aku yakin akan terus bertambah. Karena darimana lagi aku bisa mengenalmu dengan leluasa bisa tidak dari sana? Aku bahkan tidak kuasa menyebut namamu di hadapan temanku. Aku harus menunggu sepi atau malam hari agar bisa leluasa memandang layar dan membaca berulang-ulang setiap kata yang lahir dari fikiran dan hatimu. Aku mencinta cara jatuh cinta seperti ini; tidak diketahui olehmu dan aku pun tidak harus repot-repot bertanya ke sana ke mari tentang harimu. Teruslah menulis, karena suatu hari nanti, salah satu tulisanmu akan ku wujudkan. Tentang resahmu menunggu seseorang yang tak kamu tahu siapa. Tapi, kamu percaya ia pasti datang.
Aku.... pasti datang.
Air mataku semakin menjadi-jadi.
"Dekkkk... itu suara macam apa barusaaaan? Huhuuuu.. Kok so sweet bangeettt."
"Na juga tadi waktu dengerinnya langsung ingat Kakak. Eh, kebetulan Kakak datang. ehee."
"Meskipun nggak mirip, tapi yang dikisahkan itu benar-benar mirip dengan Kakak loh Dek. Ada sebagiannya yang udah terbahasakan di blog ini dan ada juga yang masih tertinggal di fikiran aja. Kadang Kakak mikir; 'Apa pentingnya sih nulis diary? Nggak ada hebatnya. Karena toh yang aku kisahkan memang terjadi dan sudah dialami. Lalu, di mana spesialnya?' Pertanyaan itulah yang sering kali hadir Dek. Tapi, Kakak pernah mengkhayal bahwa siapa tahu saja Kakak dan jodoh Kakak nantinya justru dipertemukan lewat diary ini. Who knows kan? hehee."
"Aamiin Kak Ciin. Teruslah menulis Kak ciiin!"
Sengaja, aku
agak berlamaan di sini untuk menghibur dan menemani Yana. Setelah Maghrib, kami
makan malam bersama di Sambal Lesung. Aku memesan Ayam Rica-rica dan emmmm…. Enak
banget ternyataaaa! Recommended deh pokoknya! Ayamnya dicincang dan ditumis
dengan sayur sawi. Jauh dari konsep Rica-ricanya rumah makan Ampera yang selama
ini aku tahu. Aku juga baru tahu kalau makanan Jawa ada yang namanya rica-rica,
ehhee.
“Ehhh….? Baru aja digosipin, udah
nongol aja orangnya!” kataku ketika Novi dan temannya datang.
“Pasti lagi jelek-jelekin Novi
yaaa?” katanya.
“Iyaaa.. kami lagi gosipin Novi
tadi, hehehe,” kata Yana.
Kami menikmati makan malam dengan
cerita-cerita hangat bertema KEMEWAHAN HATI. Novi dan temannya duduk di bangku terpisah
di sebelah kiri kami.
“Kak, Na kayaknya sekarang mulai
kecanduan dengan film-film kakaaakkk. Mau film lagi donk Kak?”
“Howalaaahhh… ngapalah nggak
bilang dari tadi Dek? Kan bisa dikopikan sejak tadi soreee kalau tahuu. Yuklah
kita balik ke kosan Adek lagiii!” ajakku setelah selesai makan.
Dan… aku yang tadinya bisa segera
pulang, malah ngopikan film ke Yana dulu. But, its fine cuz I am happy for
being you! ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar