Selasa, 26 Januari 2016

Ajari aku Menggunakan Pena



Aku ingin berterimakasih kepada SASTRA yang telah mengajariku mengenal KEKAYAAN JIWA. Dan, saat ini aku sedang berusaha memupuknya. Terimakasih wahai SASTRA karena telah mengajariku banyak hal tentang KEMEWAHAN HATI; tentang bagaimana caranya mencintai tanpa menjadi lemah, tentang  bagaimana caranya hidup 2 kali, tentang  bagaimana caranya marah dengan ramah, tentang  bagaimana caranya menyentuh hati tanpa bersentuhan fisik, tentang  bagaimana caranya merapikan perasaan, tentang  bagaimana caranya membenci lewat larik puisi, tentang  bagaimana caranya mengagumi dari kejauhan, tentang  bagaimana caranya berharap dengan elegan, tentang  bagaimana caranya melukiskan segala warna tanpa kuas, tentang bagaimana caranya menggambar dengan bermodal pena, tentang cara  bagaimana caranya banyak orang yang jauh di sana, tentang bagaimana caranya meminta maaf tanpa berkata MAAF dan tentang bagaimana caranya menyebarkan cinta dan salam dari PENA. Terimakasih sastra...


Okta sudah meneriakiku berkali-kali lewat panggilannya di telvon. Tapi, aku belum juga siap dengan penampilanku. Pakaian yang sudah ku rapikan sejak semalam, malah nggak nyaman rasanya ku pakai hari ini. Padahal niatnya supaya aku nggak kelamaan siap-siapnya pagi ini. Mungkin karena sekarang aku chubby, makanya nggak semua baju cocok ku pakai. Sekarang… sudah 4 kali aku bergonta-ganti baju-rok-jilbab. Dan… ujung-ujungnya aku pakai kemeja jadul milik mami dan pashmina peach. Sungguh, ini 90% jauh sangat simpel dari kostum yang bolak-balik ku ganti tadi. huahhhh… make it simpel, El!
“Eeelll? Nggak takziaaahh?” teriak kak Dewi dari luar kamar.
Ku buka pintu kamar dan bertanya; “Takziah ke mana Kak?”
“Kan nenek yang rumahnya papan tu meninggal El. El mau pergi ya?”
“Innalillahi waiinna illaihi Rojiuun. Iya Kak, El mau pergi pula nih. Istrinya bapak-bapak yang jualan di kantin FKIP itu ya Kak?”
“Iya Eel.”

Ketika aku memanaskan motor, orang-orang mulai berdatangan ke arah sini. Rumah papan bertingkat yang selama ini ku anggap angker itu mendadak jadi ramai. Sambil melaju menuju kampus, aku menghadiahkan Al-Fatihaa kepada sang nenek.
“Bubububuyuuuuu?” teriakku kepada Okta yang sedang menunggu pak Iyal.
“Dari mana nyaa?”
“Dari ATM tuh! Mau bimbingan sama Pak Iyal ya Cek? Jam berapa?” tanyaku.
“Tulah, barusan Okta telvon.. katanya nanti siang jam 2. Ya Allah Kak, Bapak tu ramah kaliii loh. Okta yang nelvon, tapi malah seolah Bapak tu yang nelvon Okta. Enaaak kali dengar Bapak tu tadi ngomong Kak, meskipuuuun sih Okta harus bersabar sampai nanti siang.”
“Hemmmm…itulah kebaikan hatinya Dek. Meskipun inti dari perkataannya adalah; ‘Bapak nggak bisa kalau sekarang, nanti jam 2 saja’, tapi beliau menggunakan cara yang baik sehingga hati kita pun segera menerima dengan baik pula. Meskipun poinnya sama, tapi ketika tujuan tadi disampaikan oleh dosen yang kasar, pasti yang pertama kali diterima oleh hati kita adalah kekecewaan dan sakit hati ya kan Dek?”

“Tulaah Cek… CARA itulah yang terpenting ya.”
“Eh, kita sarapan yuk? Yana ngajakin nih!” ajakku.
Mendadak, aku mengajak Okta ke dekat Mapala Suluh. Ia ku suruh untuk menutup mata, sementara aku langsung berlari menembus jalan setapak nan becek ini untuk mengambil sesuatu di kosan.
“Tutup hiduuuuung!” teriakku ketika sudah tiba lagi di sini.
“Hhaha..iyaa nih, Okta tutup hiduuung!”
“Tutup mata jugaaaa!” teriakku.
“Ntah apaa pun yang mau dikasih ke Okta niii. Tadi katanya besaaarrr… tapi bisa nyo dibawa lari-lari. Dah tutup mata ni Okta!”
“Tangannya ulurkan ke depaaaaaan!” kataku sambil mendekat ke arahnya lalu meletakkan hadiahku di atas tangannya.
Ia tertawa kecil sambil membuka plastik yang membungkus kaos Green Radio tersebut.
“Ihhhhh…makaciiiihhh, Cek. Banyak ya kemarin bersisa?”
“Nggak juga. Sengaja, Kakak selamatkan 1 supaya Cek dapat juga meskipun Cek nggak datang.”

Kami langsung menuju tempat sarapan. Yana sudah di sana ternyata. Okta memesan nasi goreng sedangkan aku dan Yana bakwa pecal. Ketika sedang menikmati sarapan, aku melihat Isti, Reni dan Mifta jalan kaki bertiga menuju ke arah sini. Aku langsung berkata pada Okta…
“Dek, mereka itu teman Kakak di Pekon. Para pejuang skripsi sejati!”
Okta malah tertawa mendengar sebutan; ‘Pejuang Skripsi’ barusan. Ia meraih HP ku dan diam-diam memoto mereka yang semakin mendekat ke arah kami. Lalu, Okta tertawa lagi. Aku menyapa mereka dan menawari mereka bergabung dengan kami. Tapi, mereka sedang buru-buru ke kampus. Aku faham itu! Sebenarnya, pagi ini pun aku harus seperti itu, tapi ahhh…. Tak ada salahnya kan jeda sejenak? Toh perpus FKIP juga belum buka.

“Dek, kemarin sewaktu Kakak diperlakukan kurang ramah oleh seseorang, Kakak berfikir seperti ini; Ternyata, adalah sebuah KEMEWAHAN jika kita mampu untuk tetap RAMAH kepada orang lain sekalipun hatinya sedang MARAH. Karena, tidak sembarang hati bisa memiliki KEMEWAHAN seperti itu,’. Makanya, Kakak sangat kagum sekali dengan ‘pelayan publik’ yang ramah dan selalu beritikad baik untuk membantu urusan orang lain. Memang, langka sekarang,” curhatku.
“Iya Kak, setujuuu!”
“Eh, udah baca link blog Kakak belum, Dek?”
“Udah Kak, ada foto kita di situuuu!  Yeeeee,” jawab Yana.
“Okta belum loh.”
“Ah, selalapnya Okta gituuu,” kataku.
Setelah sarapan, kami berpisah arah. Okta ke kampus, yana ke kos dan aku ke tempat foto kopian. Jurnal yang dikoreksi oleh kakak perpus kemarin belum ku revisi. This time to finished!

***

Aku sudah tiba di Prodi. Hal pertama yang harus ku lakukan adalah meminta tanda tangan Ka Prodi untuk Jurnal dan
Skripsiku. Alhamdulillah, prosesnya cepat. Segera, aku menuju Pagaruyung di Bina Krida untuk mem-burning jurnalku ke CD. Meskipun ini lebih lengang daripada Tuan Muda yang sangat padat antrian, tapi tetap saja aku harus menunggu cukup lama. Ada 3 cewek yang mengantri lebih dulu dariku. Mereka sedang memburning skripsi mereka ke CD. Padanganku tersita sepenuhnya pada cover skripsi yang berwarna merah itu; milik Fakultas Teknik UR. Cuz, I love red to much! Ah… sayangnya FKIP warnanya covernya hijau, pemirsaaaa. Coba aja kalau merah juga. *khayalan nggak penting.
“Berapa Kak?”
“Rp 7000.”
Loh? Tadi kata Titin biayanya Rp 10.000. Ini kok lebih murah ya? Aku segera menuju ke Perpus FKIP untuk menyerahkan Jurnal. Tapi, ternyata perpus sedang sangat ramai dengan mahasiswa non regular dari daerah yang sedang menyerahkan skripsi.

“Adek mau ngurus apa?” tanya petugas lainnya yang sudah paruh baya.
“Mau ngunggak jurnal Buukkk.”
“Nanti ajalah ya, setelah istirahat. Soalnya Kakak tu sedang melayani mahasiswa yang dari daerah. Tuh, antriannya juga masih panjang.”
“Ohhh.. ya deh Buuuk. Jam berapa ya kira-kira nanti Buuu?”
“Jam setengah 2 lah, Nak.”
Segera, aku menyanggupi ajakan Teguh untuk makan siang di Podoroso, Bangau Sakti. Yudi dan Jhon ternyata nggak bisa ikutan. Akhirnya, kami ngajak Novi. Dia mengajukan syarat bahwa sebelum jam setengah 2 harus sudah selesai. Aku langsung menyanggupi, karena aku pun punya deadline di jam itu.

***

“Wewww! Gelasnya jumbo yaa!” kataku, ketika teh es manis terhidang dengan cangkir raksasa.
“Itu udah bonus loh Mak sama ayam Penyet yang kita pesan. Bububuyuuu kan? Cocoklah dengan badan Mak yang gede juga, hehee,” jelas Teguh.
“Heh, cocok jugalah dengan badan Adek tuuu! Wkwkkw,” balasku.
“Ih, Kak Elcek baru ke sini ya? Pantesaaann… Novi udah beberapa kali lah.”
Sambil menunggu pesanan, Novi kembali melanjutkan ceritanya tentang Bahana Mahasiswa yang dibungkam UR. Ia menceritakan bahwa karena Bahana sangat mengkritisi salah satu dosen di UR maka pak Iyal mendapat titah dari atasan supaya membekukan dana kelembagaan untuk Bahana. Kalau mereka bersedia untuk disensor dulu beritanya oleh rektorat setiap kali sebelum menerbitkan berita, barulah dana tersebut akan diberikan. Tapi, mereka tidak mau menukar kejujuran dengan apapun. Bahkan, kata Yana, Bahana sudah berlangganan menerbitkan berita di Belanda. *kalau yang ini, aku harus cari tahu dulu keakuratannya. Well, makanan kami sudah terhidang and…. Have a lunch, guys!

“Eh, tapi kayaknya sambalnya masih enakan yang di Lesung laaahh,” kataku, agak pelan.
“Iya sih, kalau Novi pun lebih suka sama Sambal Lesung, Cek. Porsi nasinya pun cocok sama Novi.”
“Sambal Lesung tu pedas kaliiii. Kayak Gopek,” celetuk Teguh.
Dek Gompar baru saja bergabung bersama kami. Tapi, hanya untuk menunggui Teguh  saja karena dia sudah makan di rumah katanya.
“Dek, semalam tu kan kami makan bareng Okta, Yana, Romi tu karena Yana hari ini mau pulang. Eh, tadi dia bilang malah nggak jadi, padahal kan semalam tu adalah goodbye party eceknyaaa. Malah nggak jadi good bye. Hahaa,” kataku pada Teguh.
“Emang Kak Yana mau ke mana Cek?” tanya Novi.
“Pulang kampung, mau ngambil data penelitiannya Cek.”
“Makanya, baca blog Emak! Biar tahuuu!,” celetuk Teguh pada Novi.
“Iiiihhh… Novi nggak sempat loh Bang. Blog Novi pun belum terurus juga nii.”
Ternyata, kami ditraktir oleh Teguh hari ini. Ye yeeee…Alhamdulillah. Makasih ya Dek, semoga makin sehat, makin murah rezeki dan makin berprestasiii.

***

Sekarang sudah pukul 14.35wib. Sudah sejam aku menunggu di sini. Rasanya si kakak pengurus Jurnal itu tidak akan kembali lagi ke sini. Ibu tadi sudah berusaha menghubunginya, tapi tidak direspon juga. Aku masih terus duduk di meja bundar sambil mencoret-coret suara hati di atas kertas polos…
Sungguh!
Beruntunglah mereka yang berada di sekitarmu.
Yang bisa selalu mengetahui kabarmu; ketika TEKNOLOGI tak lagi berperan
melipat jarak dan menebas waktu.

*ku tujukan puisi ini untuk seseorang yang selama ini tidak ku bahasan di diary, tapi ku kisahkan pada hari dan hati.
Mbak… Tolong kirimkan file skripsi mbak yang udah lengkap ya.
Pak Al minta Romi untuk ngelengkapi semuanya dulu.
Laptop Mbak lowbat Dek, kalau nggak low
bisa mbak kirim sekarang juga nih!
Ya udah, Romi nyusul ke sana.

Tak lama, ia tiba di sini. Setelah mengopi fileku, ia pun menemukan colokan nganggur di sudut perpus ini, ia langsung mengerjakan skripsinya dengan tekun. Aku memandanginya dari jarak 3 meter. Dia terlihat begitu serius dan lupa pada dunia sekitar. Kemeja batik berwarna biru yang dipakainya itu sepertinya baru ku lihat hari ini dan itu membuatnya lebih dewasa daripada Romi yang biasanya. Diam-diam, aku memotonya. Jarang-jarang aku melihatnya sedewasa itu. Biasanya…. Yuhuuuuu..cap cusss ciinnn!
“Mbaakkk… this library will close?” tanyanya.
Aku melihat kondisi. Ibu tadi sudah memberi kode bahwa waktu berkunjung sudah habis. “Shortly, Dek!”
Romi langsung mengajakku hijrah ke ruang kuliah Bahasa Jepang, tepat di depan perpus ini. Kami duduk lesehan di koridornya karena kelasnya sudah dikunci semua.
“Adek bawa printer itu ke mana-mana yaaa? hahaha.”
“Iya Mbaakk. Biar nggak rempong! Hehee. Jadi, kalau udah selesai, kan bisa langsung ngeprint di mana pun. hheee… sekaligus ngirit Mbakkk!”

Ku bantu ia mendiktekan judul-judul tabel dan halamannya untuk disesuaikan dengan daftar pustaka.
“Ayooo Rooom, semangat! Kamu pasti bisa! Harus bisa selesai sebelum jam 5 ini supaya bisa bimbingan dengan pak Al walaupun sebentar!” ujar Romi, menyemangati dirinya sendiri.
“Bisa tuu Dek! Pasti bisaaa!”
Setelah ketikannya selesai, giliran kami bingung gimana caranya ngeprint? Sementara colokan cuma ada satu dan laptopnya Romi nggak bisa hidup tanpa listrik.
“Ya udah, salin aja filemu ke laptop Mbaak. Masih lumayan tahan tuh batrainya,” usulku.
Setelah data dipindahkan dan printer dicolokkan, ada masalah baru lagi ternyata; laptopku harus diinstal dulu dengan softwarenya si printer. Huahhh…mana si Romcek nggak  bawa instalernya pula. Akhirnya, kami hijrah lagi ke ruang kelas Fisika. Masih ada kelas yang terbuka dan ada 2 colokan di sana.
“Mbaaaak! Bantuin aku ngapaaa bawain barang-barang ini! Udah tahu aku kerempongan giniii,” pintanya sambil menggendong kotak printernya yang lumayan gede itu.
“Ini judulnya berarti; ‘Printer Berjalan’ ya Cek? Hahaaahaa. Niat kali laaah bawa-bawa printer gini Ceekk..” kataku sambil tertawa.
“Jangan ditulis di blog ya Mbaaak! Malu-maluin ntar. Ahhaa.”
“Ohh tidak bisaaa.. itu pasti Dekkk Mbak tulisin! Hehee.”
Aku menceritakan beberapa kekhawatiran padanya.
"Dek... kalau Mbak nggak bisa wisuda bulan Februari nanti, Mbak nggak hina kan, Dek?"
"Hina Mbaak! Mbak dari dulu emang udah hinaaa! hahaa," bukannya menanggapi dengan serius, malah seperti itu jawabannya.
"Huh! Jahat!"
Setelah selesai ngeprint, barulah tugasku selesai. Kami berpisah. Romi langsung menemui pak Almasdi. Semoga masih terkejar dan bisa bertemu dengan bapak ya Dekkk.. aamiin

***

Aku membelikan jus tomat untuk Yana karena katanya, matanya yang semalam pedih semakin menjadi-jadi pedihnya sekarang. Aku segera menuju kosannya tanpa pulang ke kosanku dulu. Sesampainya di sana, Yana langsung menyodoriku handfree untuk memperdengarkanku sesuatu...
"Kakak harus dengar ini!"
Aku menurut saja. Perlahan, alunan musik mulai terdengar dan... berikutnya adalah kalimat-kalimat yang sangat menyentuh.

Ajari aku menggunakan PENA, akan ku tulis gemericik air, udara dingin,
kabut senja sampai daun gugur...

*Menanti Tulisanmu*

Aku selalu menanti tulisanmu.
Karena darimana lagi aku bisa tahu apa yang sedang kamu fikirkan bila tidak dari sana? Kita tidak pernah bercakap-cakap tentang sesuatu yang dalam. Hanya sebuah sapaan. Aku selalu menunggu tulisanmu. Karena darimana lagi aku bisa tahu tentang jalan fikiranmu, tentang masalah yang sedang kamu hadapi atau tentang perasaan yang sedang kamu rasakan. Meski tulisanmu tidak sepenuhnya mewakili perasaan, setidaknya aku tahu bahwa perasaanmu masih hidup untuk nantinya aku cintai. Itupun bila kamu mengizinkan.

Di detik ini, air mataku mulai jatuh. perasaanku mulai hanyut dalam kalimat-kalimatnya.
Aku selalu membaca tulisanmu. Dari halaman 1 hingga halaman yang aku yakin akan terus bertambah. Karena darimana lagi aku bisa mengenalmu dengan leluasa bisa tidak dari sana? Aku bahkan tidak kuasa menyebut namamu di hadapan temanku. Aku harus menunggu sepi atau malam hari agar bisa leluasa memandang layar dan membaca berulang-ulang setiap kata yang lahir dari fikiran dan hatimu. Aku mencinta cara jatuh cinta seperti ini; tidak diketahui olehmu dan aku pun tidak harus repot-repot bertanya ke sana ke mari tentang harimu. Teruslah menulis, karena suatu hari nanti, salah satu tulisanmu akan ku wujudkan. Tentang resahmu menunggu seseorang yang tak kamu tahu siapa. Tapi, kamu percaya ia pasti datang. 
Aku.... pasti datang.

Air mataku semakin menjadi-jadi.
"Dekkkk... itu suara macam apa barusaaaan? Huhuuuu.. Kok so sweet bangeettt."
"Na juga tadi waktu dengerinnya langsung ingat Kakak. Eh, kebetulan Kakak datang. ehee."
"Meskipun nggak mirip, tapi yang dikisahkan itu benar-benar mirip dengan Kakak loh Dek. Ada sebagiannya yang udah terbahasakan di blog ini dan ada juga yang masih tertinggal di fikiran aja. Kadang Kakak mikir; 'Apa pentingnya sih nulis diary? Nggak ada hebatnya. Karena toh yang aku kisahkan memang terjadi dan sudah dialami. Lalu, di mana spesialnya?' Pertanyaan itulah yang sering kali hadir Dek. Tapi, Kakak pernah mengkhayal bahwa siapa tahu saja Kakak dan jodoh Kakak nantinya justru dipertemukan lewat diary ini. Who knows kan? hehee."
"Aamiin Kak Ciin. Teruslah menulis Kak ciiin!"

Sengaja, aku agak berlamaan di sini untuk menghibur dan menemani Yana. Setelah Maghrib, kami makan malam bersama di Sambal Lesung. Aku memesan Ayam Rica-rica dan emmmm…. Enak banget ternyataaaa! Recommended deh pokoknya! Ayamnya dicincang dan ditumis dengan sayur sawi. Jauh dari konsep Rica-ricanya rumah makan Ampera yang selama ini aku tahu. Aku juga baru tahu kalau makanan Jawa ada yang namanya rica-rica, ehhee.
“Ehhh….? Baru aja digosipin, udah nongol aja orangnya!” kataku ketika Novi dan temannya datang.
“Pasti lagi jelek-jelekin Novi yaaa?” katanya.

“Iyaaa.. kami lagi gosipin Novi tadi, hehehe,” kata Yana.
Kami menikmati makan malam dengan cerita-cerita hangat bertema KEMEWAHAN HATI. Novi dan temannya duduk di bangku terpisah di sebelah kiri kami.
“Kak, Na kayaknya sekarang mulai kecanduan dengan film-film kakaaakkk. Mau film lagi donk Kak?”
“Howalaaahhh… ngapalah nggak bilang dari tadi Dek? Kan bisa dikopikan sejak tadi soreee kalau tahuu. Yuklah kita balik ke kosan Adek lagiii!” ajakku setelah selesai makan.
Dan… aku yang tadinya bisa segera pulang, malah ngopikan film ke Yana dulu. But, its fine cuz I am happy for being you! ^_^

Tidak ada komentar: