Kamis, 28 Januari 2016

Bisa apa dalam gelap?



Hujan. Pagi seketika bertambah sejuk. Dinginnya pagi semakin gigil, beku. Untung saja jemariku tidak turut membeku ; ia masih terus hangat dan semangat menari-nari di atas keyboard. Aku sedang menuliskan diary hari kemarin. Pagi ini harus selesai, supaya bisa dibaca oleh mereka yang kemarin ada di dalam hariku.
Menulis 3 halaman setiap pagi adalah proses disiplin para penulis hebat!
Status FB barusan semakin membuatku bersemangat untuk terus menerus dalam rutinitas seperti ini; Menulis. Mungkin kalau ditanya lebih pilih mana antara diberi laptop atau diberi buku? Maka aku akan memilih laptop. Siapa bilang aku tidak suka membaca? Suka! Tapi tak selalu harus buku. Aku membaca apapun yang bisa ku baca dengan praktis. Yap! Aku suka sekali yang praktis-praktis tapi tetap beresensi. Aku lebih suka ngunjungi hipwee.com daripada baca buku dengan genre sama seperti hipwee.

“Eeelll… Eelll? El sibuuuk?” panggil kak Dewi dari luar kamar.
Aku segera membuka pintu kamar dan melongokkan kepala. “Ada apa Kak?”
“Boleh tolong antarkan Fahmi ke sekolah, El?”
“Loh? Abang ke mana Kak memangnya?”
Ia geleng-geleng. Pasti ada yang tidak beres nih! Soalnya barusan aja aku dengar suara abang. Segera, aku bersiap-siap untuk emngantarkan Fahmi ke sekolahnya. Tapi, ketika aku hendak mengunci pintu kamar, ternyata  abang melaju bersama Fahmi. Ah, syukurlah! Aku bisa melanjtukan ketikanku lagi kalau gitu.

***

Ada 4 motor yang terparkir di halaman BEM UR. Sekarang jadi 5, dengan motorku. Setelah mematikan mesin motor, aku berjalan mendekati pintu masuk BEM UR. Sedikit melongokkan kepala, tapi kelihatannya tidak ada orang. Bisa jadi ada, tapi mungkin mereka masih tidur. Sayup-sayup ku dengar suara murothal Al-Quran dari dalam. Karena penasaran, aku melongokkan kepalaku lebih ke dalam. Ternyata suara itu adalah milik seorang laki-laki berkaos coklat yang duduk membelakangi arahku berdiri. Aku menyimak bacaan Al-Quran itu sejenak, kemudian beralih ke teras DPM.
“Hallo Dek? Di mana? Kakak udah di BEM ni haaa,” tanyaku.
“Bukannya sedang hujan ya Kak? emang di sana nggak hujan Kak?” jawab Riski.
“Masih gerimis sih Dek. Tapi karena Kakak udah janji sama mu makanya Kakak tetap datang nih!.” *tumben.com.
Karena Risky memang nggak mau memaksakan diri menembus hujan, akhirnya aku beralih ke plan B; ke Prodi untuk ngurus SK Pembimbing. Eh, di pertengahan jalan, hujan mendadak jadi deras sederas-derasnya padahal baru aja reda. Huahhhh… sesampainya di parkiran FKIP, bajuku udah basah kuyup. Brrrr… dingiiiiin! Langsung aja aku ke Prodi dan ternyata Ririn sedang ada urusan juga dengan pak Riadi.

“Tia udah lengkap berkasnya untuk Sidang?” tanyaku.
“Belum Lis. Tapi, nggak apa-apa kok Lis kalau persyaratannya nyusul. Kita daftar aja dulu… nggak  apa-apa doohh. Tia aja udah daftar.”
“Ohhh…gitu ya? Aku juga daftarlah kalau gitu. Eh, tapi kita tetap harus bayar uang SPP dulu kan? Nanti setelah Sidang baru diambil lagi uangnya kan Tii?”
“Iyaaa Lis. . Ini Tia mau bayar SPP langsung! Elis kapan?”
“Bisa jadi hari ini, bisa jadi juga besok Ti. Aku mau ngurus SK dulu. Kan SK agak lama selesainya.”
Bukan hanya kami yang panik, teman-teman yang akan mendaftar Yudisium pun tak kalah paniknya. Apalagi dengan sistem administrasi yang ber-alur seperti ini; yang satu belum selesai, maka belum bisa dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Huahhhhh… semangat buat kita yaa teman-temaaan!
“Elisss..masuklah ke dalam!” kata Tia ketika Riris sudah ke luar.
Aku segera masuk dan duduk di hadapan pak Riadi. Ia sedang mengetik sesuatu. Seperti sebuah surat.

“Paaakkk… saya mau ngurus SK Pembimbing, Pak,” kataku, pelan.
Ia tak menghiraukanku. Ia masih terus bergumam pelan, mengeja huruf-huruf yang sedang diketiknya. Aku tidak akan mengulang kalimatku. Sebaliknya, justru akulah yang harus mengikuti maunya. Ini yang disebut; Mengalah untuk menang. Sambil menunggunya, aku melihat-lihat instagram, membaca koran dan sesekali melihat tayangan di TV. Sampai setengah jam kemudian…
“Mana berkasmu tadi?” tanyanya.
Huuufft! Akhirnyaaaa…
“Ini Pak. Sekalian, saya juga mau ngurus pergantian judul kemarin Pak. Sudah saya lampirkan proposal saya dan juga kartu konsultasinya.”
“Mana diaa?”
“Itu Pak, ada di belakang.”
“Ini proposal yang lama atau yang barunya?”
Alamak! Bapak pakai ingat pula nanyain itu baru atau yang lama.
“Yang baru Pak. Yang kemarin direvisi (maksudnya, yang kemarin diujiankan, hiksss).”
“Masak iya ini yang baru? Kok udah ada tanda tangan saya di sini? Yang kemarin ini yaa? Buatlah yang baru lagiii!” 

“Covernya memang sengaja pakai yang lama Pak. Soalnya kan kalau bikin lembar pengesahan yang baru lagi, agak sulit urusannya Pak karena Pak Danur kan sekarang sudah di luar kota pula,” jelasku, pelan. Kadang juga nggak jelas bunyinya.
“Prinlah yang baruuu… pelit kali kamuuu nii!”
Aku hanya diam. Sengaja diam. Supaya pak Riadi pun segera diam. Akan rumit rasanya kalau aku tidak bertahan dengan pendirianku dan segera mengiyakan perintahnya. Ini bukan tentang patuh atau durhaka, tapi tentang efisiensi apa yang bisa diefisienkan. Kalau bisa simpel, kenapa mesti ribet? Ya kan?
“Sakdanur tu nggak pakai *(ntah apa katanya)* yaa… yang benar tu kalau *(ntah apa katanya)*dihapuskaaaan,” kata pak Riadi.
“Oooooo…gitu ya Pak. Tapi, yang tertulis di papan daftar nama dosen tu kayak gitu kan Pak?” sambungku. Aku berusaha menyamakan frekuensi dengannya.
“Salah tulis tuu yang di papan.”
“Oooo…gitu ya Pak.” Lagi. aku berusaha mengikuti alurnya.
Hening lagi sesaat. Hanya ada suara TV dan desas-desus teman-teman yang sedang ngantri di ruang sebelah.
“Kok macam ini pula format proposal kamu?”

Alamaaak! Kenapa baru dipertanyakan sekarang sih Pak formatnya? Kemarin waktu ujian aman-aman aja. Aku kira nggak ada masalah.
“Harusnya kan kamu buatnya terurai aja; A. Judul, B. Latar Belakang, C. Rumusan Masalah. Bukan per BAB seperti ini. Kamu ni nggak ngikutin panduan yang ada yaa!”
“Itu memang langsung saja ubah seperti Draft hasil penelitian Pak, hehe.”
“Ya ikuti lah perarturan sesuai proposal. Jangan suka-suka kamu ajaaa yaa.”
Aku diam. Tertunduk. Agak ngangguk-ngangguk kecil. Apapun yang terjadi, aku akan tetap bertahan di sini dan SK-ku harus jadi! Tak henti, aku terus menyebutNya di dalam hati. Aku yakin padanya, ia pasti akan membantuku melewati kesulitan ini. Pasti! Karena aku berprasangka demikian padaNya.
“Ini kamu pun salah nulis judulnya. Harusnya menerangkan yang gelap, ini malah menggelapkan yang terang.”
“Maksudnya gimana Pak?”

“Harusnya kamu tulis dulu KOPMA, barulah dalam kurung (KOPERASI MAHASISWA). Bukan KOPERASI MAHASISWA siswa dulu, baru dalam kurung (KOPMA). Itu kalau versi yang betulnya sesuai aturan penulisan Bahasa Indonesia yang benar yaa.”
“Ya sudah Pak, di SK, judul saya diubah saja seperti saran Bapak barusan.”
“Mana bisa gitu. Ya saya menuliskan apa yang tertulis di judul kamu ajalah.”
“Ohhh..baiklah Pak.” Makasih ilmunya ya Pak, lanjutku dalam hati.
Surat pengantar sudah selesai dan sekarang aku harus menyerahkannya pada kak Titin. Tapi, kak Titinnya malah nggak ada di tempat. Aku minta teman-teman yang sudah sering berurusan dengannya untuk menelvonnya. Tapi, tak ada satu pun dari mereka yang berani. What happen was that? Ahhaaha..

***

Aku menggoyang-goyangkan badan Titin untuk membangunkannya. Aneh! Kok bisa secepat ini dia tertidur? Padahal 5 menit yang lalu aku baru saja menelvonnya dan dia yang memintaku untuk ke sini.
“Eh, Mamakeeee udah nyampeeek?” katanya.
“Yuhuuuuu.. yuk mamam! Mamake bawa nasi bungkus nih! Makan bareng kitaaa!”
“Tin udah makan tadi Ciiinn. Makanlah Cin! Tin liatin Mamake aja udah seneeeng. Ehhee.”
Sambil makan, aku mendengarkan cerita Titin tentang proses wawancara kerjanya tadi di perusahan Aqua **fe.  Selalu saja seseru ini ketika mendengar cerita baru Titin. Aku suka!
“Waktu ditanya; ‘Apa kelebihan yang kamu punya?’ Tin agak bingung loh mau jawab apa Mamakeee. Takutnya Tin narsis pula kaan, hehee. Tin jawab gini; ‘Kelebihan saya, saya orangnya mau belajar Pak.’ Terus… ditanya lagi; ‘Kekurangan kamu apa?’. Rencannya Tin mau bilang kalau Tin suka tidur, tapi ntar dinilainya kita ini pemalas kan? Akhirnya Tin bilang gini; ‘Kekurangan saya Pak, saya orangnya mudah marah kalau ada orang yang menyinggung perasaan saya’, sihiyyyyy.”
Aku mengacungkan jempol ke arah Titin. Bagiku, itu jawaban yang sangat diplomatis! Wewww.

“Kata Bapak tu; ‘Ohhh..jadi nanti kalau ada pembeli yang menyinggung perasaan kamu, kamu akan marah-marah sama dia ya?’. Tin jawablah; ‘Tidak seperti itu jugalah Pak. Marahnya saya kan punya batasan dan alasan juga. Saya tidak sembarang marah kepada orang, Pak’. Haa… terusss.. ditanyanya lagi gini; ‘Kenapa kamu tertarik untuk bekerja di sini?’. Tin agak lama nih jawabnya, karena Tin emang nggak ada nyari-nyari informasi tentang perusahaan itu Mamake. Jadi Tin nggak tahu apa-apa. Tapi, Tin ingat kalau nama Perusahaan ini kan ada Aqua-aquanya, pasti berhubungan dengan air kan? Jadi, Tin jawab; ‘Saya tertarik melamar di perusahaan ini karena perusahaan ini menjual  produk yang dibutuhkan oleh semua orang, yaitu AIR. Tidak ada seorang pun yang tidak butuh air; untuk mencuci, untuk mandi, untuk masak, untuk minum. Dalam sehari, kita bisa saja tidak makan, tapi kita tidak akan bisa tidak minum’.”
“Sihiyyyyyyyyy…keyen kali loh Cin jawabanmu! Smart!”
“Bapak tu pun manggut-manggut loh waktu dengar jawaban Tin, Mamake. Dan…ternyata cuma Tin yang S1 di antara belasan orang yang daftar. Rata-rata anak SMK dan mereka udah punya pengalaman kerja semua. Tapi, Tin nggak yakin akan dipanggil untuk tes selanjutnya Mamake..”
“Loh??? Kenapaaa?”
“Karena tadi Bapak tu nanya gini; ‘Kalau kamu diterima di sini, kamu mau nggak buka jilbab?’. Tin agak mikir tadi sebelum menjawabnya, Mamake.”

Aku mulai deg-degan dengan apa gerangan jawaban Titin. Aku takut kalau ia mengiyakan…
“Tin jawablah gini; ‘Pak, ini kan perusahaan air. Menurut saya, tidak ada hubungannya dengan saya harus buka jilbab. Rasanya jilbab saya tidak akan mengganggu apa-apa’, terus dijawabnya lagi; ‘Ya… memang nggak harus sih, tapi di sini memang seperti itu aturannya. Gimana? Kamu bersedia?’ Akhirnya Tin jawab gini Mamake; ‘Maaf Pak, saya tidak bersedia kalau harus membuka jilbab. Karena saya sudah berkomitmen dengan jilbab ini’. Sihiyyyyyyyy… gitu jawab Tin, Mamakeee.!”
Kali ini aku mengacungkan 2 jempol pada Titin. Alhamdulillah wa syukurillah… aku sejuk mendengarnya. Terimakasih telah menjaga Titin ya Allah.
“Ikhlas yaa Ciinn. Insya Allah, kalau itu bukan rezekimu, Allah akan ganti dengan yang lebih baik dari itu. Yakin aja!,” kataku.
“Iya Ciiin. Eh, sebenarnya sebelum ini Tin udah pernah dapat panggilan loh Mamakeeee. Mamake tahu perusahaan Rokok di Sudiman tuu?”
Aku menggeleng-geleng.
“Nah, Tin kan udah ngantarkan lamaran ke sana. Terus, dipanggil untuk wawancara, tapi waktu di SMS tu Tin langsung dimintanya buka jilbab ketika wawancara. Akhirnya nggak ada Tin gubris SMS itu loh Mamake. Padahal, gajinya Rp 6000.000 loh sebulan. Kalah pulak kan gaji dosen?”
Mataku sendu. Terharu sekali rasanya mendengar kabar keistiqomahan barusan. Ya Allah, kuatkan kami!

“Mak Tin nanya terus loh Mamake; ‘Udah dapat kerja belum?’. Sama sekali Tin nggak ada nyeritakan tentang aturan pakai jilbab itu ke Mak, karena Mak Tin nggak peduli Tin ini pakai jilbab atau nggak. Sempat Tin ceritakan tentang perusahaan rokok tu ke Emak, mungkin dah habis Tin dimarahinnya. Sengaja Tin tutupi. Tin bilang aja kalau Tin masih nunggu panggilan.”
Ya Allah, sejuk di hati ini jadi berkali-kali lipat suhunya. Cerita ini lebih so sweet dibandingkan film india sekalipun. Setelah azan Zuhur berkumandang, kami segera sholat. Setelah sholat, aku meminta Titin membaca blogku. Hanya 2 komentarnya yang paling ku ingat…
1)      “Ah, di sini Mamake nyeritain tentang teman-teman Mamake doank! Tin cemburuuuu!” dan ku jawab; “Ya namanya aja Titin nggak ada ketemu Mamake hari itu. Emangnya mau kalau Mamake karang-karang ceritanya padahal Tin nggak ada di sanaa? Emang Mamake dukun, apa?”
2)      “Udah 2 kali Tin baca tentang LAUHUL MAHFUZ ni; yang pertama di PM orang dan yang kedua di blog Mamake ni. Kemarin Tin malu kalau nanya ke orang tu langsung, hehee takut ketahuan kali kalau  Tin nggak tahu, heehee. Emangnya apa artinya tu Mamake?” dan aku pun menjawab; “LAUHUL MAHFUZ tu buku catatan TAKDIR kita Ciiin. Semuanya sudah tertulis di sana. Termasuk jodoh kita. Makanya, Allah nggak akan mungkin keliru.”

Yana menelvonku. Ketika ku angkat, ternyata dia meminta tolong kepadaku untuk mengantarkannya ke loket travel. Kali ini dia nggak naik motor pulang kampungnya. Pukul 13.35wib, aku pun berpamitan dengan Titin dan segera menuju Yana. Aku nggak pakai helm, untung aja nggak ada polisi dan nggak ada razia pemirsaaaa.
“Kakak mau lihat Abang Naa?”
“Mana dia Dek?”
“Ini ada 3 fotonya sama Na.”
“Kok foto sih? Kakak kira orangnya langsung, hehe.”
“Ya macam mana lagi? Yang ada baru fotonya aja nih, orangnya belum aja. hehee.”
Aku melihat foto yang disodorkan Yana dan menyimpulkan bahwa mereka berdua sangat miriiip. Kami pun langsung bersalaman sebelum berpisah.
“Jangan lama-lama ya di sana Dek! Nanti Kakak rinduuuu!”
“Iya Kak Ciiin. Na pergi yaaa.. Assalamualaikum..”
Setelah Yana masuk ke dalam mobil, aku bersiap untk menyebrangi jalan yang cukup padat ini. Eitsss! Nanti dulu, aku harus take a second to take some photos; plat mobilnya, suasana jalan dan suasana loket. Barulah aku cap cussss!

***

Pukul 17.35wib. Aku menuju kantin Alif untuk makan mie goreng favoritku. Aku meninggalkan kosan dengna kostum lengkap seperti akan kuliah. Tasku berisi laptop dan juga berkas-berkas  Lia yang ku uruskan tadi siang. Katanya setelah magrib nanti dia akan ke mari dan menjilid SKRIPSInya. Sengaja aku membawa semua ini karena setelah makan, aku akan langsung ke mushola Arrafah, menunggu Lia di sana supaya ia tak perlu menjemputku ke kosan.
“Ini mie gorengnyaaa, Dek.”
Mie gorengku sudah tersaji dan aku bersemangat menyantapnya. Sambil sesekali melihat HP atau TV. Di TV, aku melihat semacam cuplikan reality show tentang orang-orang yang hidupnya penuh perjuangan. Nama acaranya; Bisa Apa Dalam Gelap. Kece juga yaa! Dari judulnya, aku menilai pembuat acaranya ingin mengungkap kemungkinan di tengah ketidakmungkinan  keadaan atau kepesimisan zaman. Luar biasa!
“Mana nih si Cin? Kok nggak ada kabar juga sih? Jadi atau nggak ya ke mari?” tanyaku dalam hati setelah sholat Isya. Yap, aku sudah  menunggunya sejak maghrib tadi. bahkan, aku juga sudah menghasilkan 2 hamalam tulisan di mushola ini. 

Akhirnya ku putuskan untuk pulang saja. Di kosan, aku membalas respon teman-teman  atas rekaman puisiku tadi sore yang ku kirimkan kepada mereka. Alhamdulillah mereka suka dan malah nagih untuk diperpanjang lagi durasinya. Menemukan hobi baru seperti ini membuatku tersadar bahwa menyampaikan nada-nada itu tidak melulu harus dengan lagu. Bahkan prosa atau puisi pun bisa menjadi media ‘penyampai’ pesan yang harus diperhitungkan oleh para ‘penyampai’.
“Halloo Ciin? Aku baru berangkat nih dari Asrama. Kira-kira abang langgananmu itu masih buka nggak yaa?”
“What? Mu baru mau berangkat dari asrama, Cin? Udah jam 10 lewat loh! Nggak apa-apa tuuh?”
“Insya Allah nggak apa-apa. Aku udah izin kok! Be ready ya! Ntar mu ku jemput. Soalnya malam ini juga harus dijilid Cin biar besok udah bisa diambil.”
“Okee.. hati-hati yaa! Tenang aja, Abang tu agak malam juga tutupnya. Sip!”

Hemmm… Liaaa. Sebentar lagi, aku akan benar-benar sendiri, Cin. Dari kelima sahabat Januari ini, akulah yang terakhir. Inggat nggak waktu kita launching dulu? Rini dan Andin lebih dulu jadi panelis, barulah kemudian kamu dan Yudi, terakhir… barulah aku yang bicara. Ya ampuuuunnn… ternyata urutan itu adalah kisah kita, Ciiiin. Aku memang jadi yang terakhir.  Posisi terakhir itu memang permintaanku Cin, karena aku tidak ingin ‘diunggulan’ atau terlihat ‘unggul’ kala itu. Intinya, aku ingin menyaksikan kebahagiaan kalian terlebih dahulu, barulah aku sebagai panelis pamungkasnya. Tapi, aku tidak menyesali semua ini Cin. Aku bahagia melihat kalian bahagia. ^_^ tetaplah menjadi sahabat januariku.

Tidak ada komentar: