
Hujan. Pagi seketika bertambah sejuk. Dinginnya pagi semakin
gigil, beku. Untung saja jemariku tidak turut membeku ; ia masih terus hangat
dan semangat menari-nari di atas keyboard. Aku sedang menuliskan diary hari
kemarin. Pagi ini harus selesai, supaya bisa dibaca oleh mereka yang kemarin
ada di dalam hariku.
Menulis
3 halaman setiap pagi adalah proses disiplin para penulis hebat!
Status FB barusan semakin membuatku bersemangat untuk terus
menerus dalam rutinitas seperti ini; Menulis. Mungkin kalau ditanya lebih pilih
mana antara diberi laptop atau diberi buku? Maka aku akan memilih laptop. Siapa
bilang aku tidak suka membaca? Suka! Tapi tak selalu harus buku. Aku membaca
apapun yang bisa ku baca dengan praktis. Yap! Aku suka sekali yang
praktis-praktis tapi tetap beresensi. Aku lebih suka ngunjungi hipwee.com
daripada baca buku dengan genre sama seperti hipwee.
“Eeelll… Eelll? El sibuuuk?” panggil kak Dewi dari luar
kamar.
Aku segera membuka pintu kamar dan melongokkan kepala. “Ada
apa Kak?”
“Boleh tolong antarkan Fahmi ke sekolah, El?”
“Loh? Abang ke mana Kak memangnya?”
Ia geleng-geleng. Pasti ada yang tidak beres nih! Soalnya
barusan aja aku dengar suara abang. Segera, aku bersiap-siap untuk emngantarkan
Fahmi ke sekolahnya. Tapi, ketika aku hendak mengunci pintu kamar,
ternyata abang melaju bersama Fahmi. Ah,
syukurlah! Aku bisa melanjtukan ketikanku lagi kalau gitu.
***
Ada 4 motor yang terparkir di halaman BEM UR. Sekarang jadi
5, dengan motorku. Setelah mematikan mesin motor, aku berjalan mendekati pintu
masuk BEM UR. Sedikit melongokkan kepala, tapi kelihatannya tidak ada orang.
Bisa jadi ada, tapi mungkin mereka masih tidur. Sayup-sayup ku dengar suara
murothal Al-Quran dari dalam. Karena penasaran, aku melongokkan kepalaku lebih
ke dalam. Ternyata suara itu adalah milik seorang laki-laki berkaos coklat yang
duduk membelakangi arahku berdiri. Aku menyimak bacaan Al-Quran itu sejenak,
kemudian beralih ke teras DPM.
“Hallo Dek? Di mana? Kakak udah di BEM ni haaa,” tanyaku.
“Bukannya sedang hujan ya Kak? emang di sana nggak hujan
Kak?” jawab Riski.
“Masih gerimis sih Dek. Tapi karena Kakak udah janji sama mu
makanya Kakak tetap datang nih!.” *tumben.com.
Karena Risky memang nggak mau memaksakan diri menembus
hujan, akhirnya aku beralih ke plan B; ke Prodi untuk ngurus SK Pembimbing. Eh,
di pertengahan jalan, hujan mendadak jadi deras sederas-derasnya padahal baru
aja reda. Huahhhh… sesampainya di parkiran FKIP, bajuku udah basah kuyup.
Brrrr… dingiiiiin! Langsung aja aku ke Prodi dan ternyata Ririn sedang ada
urusan juga dengan pak Riadi.
“Belum Lis. Tapi, nggak apa-apa kok Lis kalau persyaratannya
nyusul. Kita daftar aja dulu… nggak
apa-apa doohh. Tia aja udah daftar.”
“Ohhh…gitu ya? Aku juga daftarlah kalau gitu. Eh, tapi kita
tetap harus bayar uang SPP dulu kan? Nanti setelah Sidang baru diambil lagi
uangnya kan Tii?”
“Iyaaa Lis. . Ini Tia mau bayar SPP langsung! Elis kapan?”
“Bisa jadi hari ini, bisa jadi juga besok Ti. Aku mau ngurus
SK dulu. Kan SK agak lama selesainya.”

“Elisss..masuklah ke dalam!” kata Tia ketika Riris sudah ke
luar.
Aku segera masuk dan duduk di hadapan pak Riadi. Ia sedang
mengetik sesuatu. Seperti sebuah surat.
“Paaakkk… saya mau ngurus SK Pembimbing, Pak,” kataku,
pelan.
Ia tak menghiraukanku. Ia masih terus bergumam pelan,
mengeja huruf-huruf yang sedang diketiknya. Aku tidak akan mengulang kalimatku.
Sebaliknya, justru akulah yang harus mengikuti maunya. Ini yang disebut;
Mengalah untuk menang. Sambil menunggunya, aku melihat-lihat instagram, membaca
koran dan sesekali melihat tayangan di TV. Sampai setengah jam kemudian…
“Mana berkasmu tadi?” tanyanya.
Huuufft! Akhirnyaaaa…
“Ini Pak. Sekalian, saya juga mau ngurus pergantian judul
kemarin Pak. Sudah saya lampirkan proposal saya dan juga kartu konsultasinya.”
“Mana diaa?”
“Itu Pak, ada di belakang.”
“Ini proposal yang lama atau yang barunya?”
Alamak! Bapak pakai ingat pula nanyain itu baru atau yang
lama.
“Yang baru Pak. Yang kemarin direvisi (maksudnya, yang
kemarin diujiankan, hiksss).”
“Masak iya ini yang baru? Kok udah ada tanda tangan saya di
sini? Yang kemarin ini yaa? Buatlah yang baru lagiii!”
“Covernya memang sengaja pakai yang lama Pak. Soalnya kan
kalau bikin lembar pengesahan yang baru lagi, agak sulit urusannya Pak karena
Pak Danur kan sekarang sudah di luar kota pula,” jelasku, pelan. Kadang juga
nggak jelas bunyinya.
“Prinlah yang baruuu… pelit kali kamuuu nii!”
Aku hanya diam. Sengaja diam. Supaya pak Riadi pun segera
diam. Akan rumit rasanya kalau aku tidak bertahan dengan pendirianku dan segera
mengiyakan perintahnya. Ini bukan tentang patuh atau durhaka, tapi tentang
efisiensi apa yang bisa diefisienkan. Kalau bisa simpel, kenapa mesti ribet? Ya
kan?
“Sakdanur tu nggak pakai *(ntah apa katanya)* yaa… yang
benar tu kalau *(ntah apa katanya)*dihapuskaaaan,” kata pak Riadi.
“Oooooo…gitu ya Pak. Tapi, yang tertulis di papan daftar
nama dosen tu kayak gitu kan Pak?” sambungku. Aku berusaha menyamakan frekuensi
dengannya.
“Salah tulis tuu yang di papan.”
“Oooo…gitu ya Pak.” Lagi. aku berusaha mengikuti alurnya.
Hening lagi sesaat. Hanya ada suara TV dan desas-desus
teman-teman yang sedang ngantri di ruang sebelah.
“Kok macam ini pula format proposal kamu?”
Alamaaak! Kenapa baru dipertanyakan sekarang sih Pak
formatnya? Kemarin waktu ujian aman-aman aja. Aku kira nggak ada masalah.
“Harusnya kan kamu buatnya terurai aja; A. Judul, B. Latar
Belakang, C. Rumusan Masalah. Bukan per BAB seperti ini. Kamu ni nggak ngikutin
panduan yang ada yaa!”
“Itu memang langsung saja ubah seperti Draft hasil
penelitian Pak, hehe.”
“Ya ikuti lah perarturan sesuai proposal. Jangan suka-suka
kamu ajaaa yaa.”
Aku diam. Tertunduk. Agak ngangguk-ngangguk kecil. Apapun
yang terjadi, aku akan tetap bertahan di sini dan SK-ku harus jadi! Tak henti,
aku terus menyebutNya di dalam hati. Aku yakin padanya, ia pasti akan
membantuku melewati kesulitan ini. Pasti! Karena aku berprasangka demikian
padaNya.
“Ini kamu pun salah nulis judulnya. Harusnya menerangkan
yang gelap, ini malah menggelapkan yang terang.”
“Maksudnya gimana Pak?”
“Harusnya kamu tulis dulu KOPMA, barulah dalam kurung
(KOPERASI MAHASISWA). Bukan KOPERASI MAHASISWA siswa dulu, baru dalam kurung
(KOPMA). Itu kalau versi yang betulnya sesuai aturan penulisan Bahasa Indonesia
yang benar yaa.”
“Ya sudah Pak, di SK, judul saya diubah saja seperti saran
Bapak barusan.”
“Mana bisa gitu. Ya saya menuliskan apa yang tertulis di
judul kamu ajalah.”
“Ohhh..baiklah Pak.” Makasih
ilmunya ya Pak, lanjutku dalam hati.
Surat pengantar sudah selesai dan sekarang aku harus
menyerahkannya pada kak Titin. Tapi, kak Titinnya malah nggak ada di tempat.
Aku minta teman-teman yang sudah sering berurusan dengannya untuk menelvonnya.
Tapi, tak ada satu pun dari mereka yang berani. What happen was that? Ahhaaha..
***
Aku menggoyang-goyangkan badan Titin untuk membangunkannya.
Aneh! Kok bisa secepat ini dia tertidur? Padahal 5 menit yang lalu aku baru
saja menelvonnya dan dia yang memintaku untuk ke sini.
“Eh, Mamakeeee udah nyampeeek?” katanya.
“Yuhuuuuu.. yuk mamam! Mamake bawa nasi bungkus nih! Makan
bareng kitaaa!”
“Tin udah makan tadi Ciiinn. Makanlah Cin! Tin liatin Mamake
aja udah seneeeng. Ehhee.”
Sambil makan, aku mendengarkan cerita Titin tentang proses
wawancara kerjanya tadi di perusahan Aqua **fe.
Selalu saja seseru ini ketika mendengar cerita baru Titin. Aku suka!
“Waktu ditanya; ‘Apa kelebihan yang kamu punya?’ Tin agak
bingung loh mau jawab apa Mamakeee. Takutnya Tin narsis pula kaan, hehee. Tin
jawab gini; ‘Kelebihan saya, saya orangnya mau belajar Pak.’ Terus… ditanya
lagi; ‘Kekurangan kamu apa?’. Rencannya Tin mau bilang kalau Tin suka tidur,
tapi ntar dinilainya kita ini pemalas kan? Akhirnya Tin bilang gini;
‘Kekurangan saya Pak, saya orangnya mudah marah kalau ada orang yang
menyinggung perasaan saya’, sihiyyyyy.”
Aku mengacungkan jempol ke arah Titin. Bagiku, itu jawaban
yang sangat diplomatis! Wewww.
“Kata Bapak tu; ‘Ohhh..jadi nanti kalau ada pembeli yang
menyinggung perasaan kamu, kamu akan marah-marah sama dia ya?’. Tin jawablah;
‘Tidak seperti itu jugalah Pak. Marahnya saya kan punya batasan dan alasan
juga. Saya tidak sembarang marah kepada orang, Pak’. Haa… terusss.. ditanyanya
lagi gini; ‘Kenapa kamu tertarik untuk bekerja di sini?’. Tin agak lama nih jawabnya,
karena Tin emang nggak ada nyari-nyari informasi tentang perusahaan itu Mamake.
Jadi Tin nggak tahu apa-apa. Tapi, Tin ingat kalau nama Perusahaan ini kan ada
Aqua-aquanya, pasti berhubungan dengan air kan? Jadi, Tin jawab; ‘Saya tertarik
melamar di perusahaan ini karena perusahaan ini menjual produk yang dibutuhkan oleh semua orang, yaitu
AIR. Tidak ada seorang pun yang tidak butuh air; untuk mencuci, untuk mandi,
untuk masak, untuk minum. Dalam sehari, kita bisa saja tidak makan, tapi kita
tidak akan bisa tidak minum’.”
“Sihiyyyyyyyyy…keyen kali loh Cin jawabanmu! Smart!”
“Bapak tu pun manggut-manggut loh waktu dengar jawaban Tin,
Mamake. Dan…ternyata cuma Tin yang S1 di antara belasan orang yang daftar.
Rata-rata anak SMK dan mereka udah punya pengalaman kerja semua. Tapi, Tin
nggak yakin akan dipanggil untuk tes selanjutnya Mamake..”
“Loh??? Kenapaaa?”
“Karena tadi Bapak tu nanya gini; ‘Kalau kamu diterima di
sini, kamu mau nggak buka jilbab?’. Tin agak mikir tadi sebelum menjawabnya,
Mamake.”
Aku mulai deg-degan dengan apa gerangan jawaban Titin. Aku
takut kalau ia mengiyakan…
“Tin jawablah gini; ‘Pak, ini kan perusahaan air. Menurut
saya, tidak ada hubungannya dengan saya harus buka jilbab. Rasanya jilbab saya
tidak akan mengganggu apa-apa’, terus dijawabnya lagi; ‘Ya… memang nggak harus
sih, tapi di sini memang seperti itu aturannya. Gimana? Kamu bersedia?’
Akhirnya Tin jawab gini Mamake; ‘Maaf Pak, saya tidak bersedia kalau harus
membuka jilbab. Karena saya sudah berkomitmen dengan jilbab ini’. Sihiyyyyyyyy…
gitu jawab Tin, Mamakeee.!”
Kali ini aku mengacungkan 2 jempol pada Titin. Alhamdulillah
wa syukurillah… aku sejuk mendengarnya. Terimakasih telah menjaga Titin ya
Allah.
“Ikhlas yaa Ciinn. Insya Allah, kalau itu bukan rezekimu,
Allah akan ganti dengan yang lebih baik dari itu. Yakin aja!,” kataku.
“Iya Ciiin. Eh, sebenarnya sebelum ini Tin udah pernah dapat
panggilan loh Mamakeeee. Mamake tahu perusahaan Rokok di Sudiman tuu?”
Aku menggeleng-geleng.
“Nah, Tin kan udah ngantarkan lamaran ke sana. Terus,
dipanggil untuk wawancara, tapi waktu di SMS tu Tin langsung dimintanya buka
jilbab ketika wawancara. Akhirnya nggak ada Tin gubris SMS itu loh Mamake.
Padahal, gajinya Rp 6000.000 loh sebulan. Kalah pulak kan gaji dosen?”
Mataku sendu. Terharu sekali rasanya mendengar kabar
keistiqomahan barusan. Ya Allah, kuatkan kami!
“Mak Tin nanya terus loh Mamake; ‘Udah dapat kerja belum?’.
Sama sekali Tin nggak ada nyeritakan tentang aturan pakai jilbab itu ke Mak,
karena Mak Tin nggak peduli Tin ini pakai jilbab atau nggak. Sempat Tin
ceritakan tentang perusahaan rokok tu ke Emak, mungkin dah habis Tin
dimarahinnya. Sengaja Tin tutupi. Tin bilang aja kalau Tin masih nunggu
panggilan.”
Ya Allah, sejuk di hati ini jadi berkali-kali lipat suhunya.
Cerita ini lebih so sweet dibandingkan film india sekalipun. Setelah azan Zuhur
berkumandang, kami segera sholat. Setelah sholat, aku meminta Titin membaca
blogku. Hanya 2 komentarnya yang paling ku ingat…
1)
“Ah, di sini Mamake nyeritain tentang
teman-teman Mamake doank! Tin cemburuuuu!” dan ku jawab; “Ya namanya aja Titin
nggak ada ketemu Mamake hari itu. Emangnya mau kalau Mamake karang-karang
ceritanya padahal Tin nggak ada di sanaa? Emang Mamake dukun, apa?”
2)
“Udah 2 kali Tin baca tentang LAUHUL MAHFUZ ni;
yang pertama di PM orang dan yang kedua di blog Mamake ni. Kemarin Tin malu
kalau nanya ke orang tu langsung, hehee takut ketahuan kali kalau Tin nggak tahu, heehee. Emangnya apa artinya
tu Mamake?” dan aku pun menjawab; “LAUHUL MAHFUZ tu buku catatan TAKDIR kita
Ciiin. Semuanya sudah tertulis di sana. Termasuk jodoh kita. Makanya, Allah
nggak akan mungkin keliru.”
Yana menelvonku. Ketika ku angkat, ternyata dia meminta
tolong kepadaku untuk mengantarkannya ke loket travel. Kali ini dia nggak naik
motor pulang kampungnya. Pukul 13.35wib, aku pun berpamitan dengan Titin dan
segera menuju Yana. Aku nggak pakai helm, untung aja nggak ada polisi dan nggak
ada razia pemirsaaaa.
“Kakak mau lihat Abang Naa?”
“Mana dia Dek?”
“Ini ada 3 fotonya sama Na.”
“Kok foto sih? Kakak kira orangnya langsung, hehe.”
“Ya macam mana lagi? Yang ada baru fotonya aja nih, orangnya
belum aja. hehee.”
Aku melihat foto yang disodorkan Yana dan menyimpulkan bahwa
mereka berdua sangat miriiip. Kami pun langsung bersalaman sebelum berpisah.
“Jangan lama-lama ya di sana Dek! Nanti Kakak rinduuuu!”
“Iya Kak Ciiin. Na pergi yaaa.. Assalamualaikum..”
Setelah Yana masuk ke dalam mobil, aku bersiap untk
menyebrangi jalan yang cukup padat ini. Eitsss! Nanti dulu, aku harus take a
second to take some photos; plat mobilnya, suasana jalan dan suasana loket.
Barulah aku cap cussss!
***
Pukul 17.35wib. Aku menuju kantin Alif untuk makan mie
goreng favoritku. Aku meninggalkan kosan dengna kostum lengkap seperti akan
kuliah. Tasku berisi laptop dan juga berkas-berkas Lia yang ku uruskan tadi siang. Katanya
setelah magrib nanti dia akan ke mari dan menjilid SKRIPSInya. Sengaja aku
membawa semua ini karena setelah makan, aku akan langsung ke mushola Arrafah,
menunggu Lia di sana supaya ia tak perlu menjemputku ke kosan.
“Ini mie gorengnyaaa, Dek.”
Mie gorengku sudah tersaji dan aku bersemangat menyantapnya.
Sambil sesekali melihat HP atau TV. Di TV, aku melihat semacam cuplikan reality
show tentang orang-orang yang hidupnya penuh perjuangan. Nama acaranya; Bisa
Apa Dalam Gelap. Kece juga yaa! Dari judulnya, aku menilai pembuat
acaranya ingin mengungkap kemungkinan di tengah ketidakmungkinan keadaan atau kepesimisan zaman. Luar biasa!
“Mana nih si Cin? Kok nggak ada kabar juga sih? Jadi atau
nggak ya ke mari?” tanyaku dalam hati setelah sholat Isya. Yap, aku sudah menunggunya sejak maghrib tadi. bahkan, aku
juga sudah menghasilkan 2 hamalam tulisan di mushola ini.
Akhirnya ku putuskan untuk pulang saja. Di kosan, aku
membalas respon teman-teman atas rekaman
puisiku tadi sore yang ku kirimkan kepada mereka. Alhamdulillah mereka suka dan
malah nagih untuk diperpanjang lagi durasinya. Menemukan hobi baru seperti ini
membuatku tersadar bahwa menyampaikan nada-nada itu tidak melulu harus dengan
lagu. Bahkan prosa atau puisi pun bisa menjadi media ‘penyampai’ pesan yang
harus diperhitungkan oleh para ‘penyampai’.
“Halloo Ciin? Aku baru berangkat nih dari Asrama. Kira-kira
abang langgananmu itu masih buka nggak yaa?”
“What? Mu baru mau berangkat dari asrama, Cin? Udah jam 10
lewat loh! Nggak apa-apa tuuh?”
“Insya Allah nggak apa-apa. Aku udah izin kok! Be ready ya!
Ntar mu ku jemput. Soalnya malam ini juga harus dijilid Cin biar besok udah
bisa diambil.”
“Okee.. hati-hati yaa! Tenang aja, Abang tu agak malam juga
tutupnya. Sip!”
Hemmm… Liaaa. Sebentar lagi, aku akan benar-benar sendiri,
Cin. Dari kelima sahabat Januari ini, akulah yang terakhir. Inggat nggak waktu
kita launching dulu? Rini dan Andin lebih dulu jadi panelis, barulah kemudian
kamu dan Yudi, terakhir… barulah aku yang bicara. Ya ampuuuunnn… ternyata
urutan itu adalah kisah kita, Ciiiin. Aku memang jadi yang terakhir. Posisi terakhir itu memang permintaanku Cin,
karena aku tidak ingin ‘diunggulan’ atau terlihat ‘unggul’ kala itu. Intinya,
aku ingin menyaksikan kebahagiaan kalian terlebih dahulu, barulah aku sebagai
panelis pamungkasnya. Tapi, aku tidak menyesali semua ini Cin. Aku bahagia
melihat kalian bahagia. ^_^ tetaplah menjadi sahabat januariku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar