Senin, 25 Januari 2016

Menyemogakanmu Membacanya



Hey kamu, anak muda! Tentunya kamu pernah merasa baper dengan seseorang dan membuatmu jadi nggak logis. Padahal, sebenarnya kalau dia lelet balas pesan kamu adalah hal biasa sebelumnya. Tapi, semenjak kamu baper, segala sesuatunya jadi dihubung-hubungkan dengan rumusan; ‘Kayaknya aku bukan orang yang spesial baginya.’ Hahahaa.. lucu ya? *ciyeee… yang berpengalaman. Eheeh.

Hemmmm…. Pasti capek ya rasanya di kondisi kayak gitu? Makanya, menjaga hati itu memang selalu jadi pilihan terbaik. Allah nggak ingin melihat seorang Elysa menunggu seseorang yang belum tentu jodohnya. Kasihan juga hati ini karena berharap lebih kepada manusia, padahal dia sendiri pun nggak pernah tahu kalau kita mengharapkannya, lebih. Gubrak! Intinya, pandai-pandai memenejemen hati sih. Kalau ngerasa udah ada candu-candu yang nggak beres di hati (Ex: Nungguin balasan bbmnya sampai membuatmu termenung cukup lama, padahal biasanya kamu bisa nyetrika baju, nyuci piring atau bobok siang), maka cepat-cepatlah kembali kepada KEMURNIAN. Segala sesuatunya akan jauh lebih objektif kalau kita nggak baper. Hidup akan lebih enjoy dan hangat. Baperlah seperlunya saja. *?

Dannn... terinspirasi dari pengalaman bathin tersebut, membuatku terinspirasi untuk merangkai sebuah quotes: Aku akan terus MENULISKANMU. Dan terus menyemogakanmu MEMBACANY. Jika tidak kini, mungkin suatu hari nanti. #TrulyElysa

***

Pukul 08.02wib…
Aku sudah berada di lantai 2 Dekanat FKIP, menunggu pak Riadi datang. Aku tidak boleh terlambat apalagi sengaja melambat-lambatkan diri hari ini! Karena, kita nggak pernah tahu halangan apa yang akan kita hadapi yang diakibatkan oleh 1 penundaan yang sengaja  kita lakukan. Sambil mengisi kekosongan, aku terinspirasi mengubah pee m di bbm…
Dan… berpagi-pagi harilah kamu wahai jiwa yang selalu terbarukan oleh PAGI. Selamat hari senin…
“Hai Kak? Nunggu pak Riadi jugak?” sapaku pada seniorku yang aku nggak tahu namanya siapa.
“Iya nih Lis. Belum datang juga Bapaknya,” jawabnya. *Dan, dia tahu namaku ternyata. Huahhhh.
“Udah 15 menitan Elis nunggu  di sini Kak. Sepi kali FKIP ni. Emangnya pegawai-pegawai itu pada masuk jam berapa sih sebenarnya ya Kak?”
“Biasalah Lis, kayak pegawai pada umumnya; jam 8 harusnya udah datang ke kantor.”
“Issshhhhh… kesel kali laah! Apalagi mereka yang jadi ‘pelayan umum’, 1 menit aja mereka terlambat ke kantor, bisa jadi ada 10 urusan yang tertunda selesainya. Sebenarnya, jadi ‘pelayan umum’ ini berat tanggung jawabnya ya Kak karena berhubungan dengan hak-hak orang banyak.”
“Iya Dek. Biasanya, pegawai-pegawai ni datangnya jam 9, jam 10, terus nanti sebelum jam 12 udah istirahat pula.”

Aku makin geram jadinya. Kenyataan ini sudah dirasakan oleh banyak orang juga tentunya selain aku dan kakak ini. Aku pernah mengistilahinya sebagai ‘Administrasi Super Lelet’ di fikiranku sendiri. Bayangkan saja, mereka bisa dengan entengnya berkata; ‘Ini jam istirahat Dek, nanti aja jam 2 baru kemari’ atau ketika kita datang pukul 14.00wib, bisa saja mereka berkata; ‘Besok aja kemarinya lagi. Udah mau tutup sebentar lagi.’
“Ya Allah… ketika nanti ternyata posisiku Engkau tempatkan di bagian pelayan publik seperti ini, ajarkan aku untuk tidak berlaku ZOLIM ya Allah. Aamiiin.”
Mendadak, aku punya ide gila…
“Kak, tadi pagi Elis nanya ke teman tentang prosedur penandatanganan SKRIPSI kita oleh pak Dekan. Nah, ternyata nggak ada syarat-syarat lain selain lembar pengesahan kita aja dan dimasukkan ke dalam map. Mendadak Elis ada ide gila nih Kak; Elis berniat untuk mengajukannya sekarang aja! Toh, sekretarisnya itu kan nggak tahu Elis udah sidang atau belum. Ketua Prodi pun kan nggak bakal nanya-nanya itu ke Elis. Jadi, Elis bisa selangkah lebih cepat! Gimana Kak? Cerdik banget kan? Toh nanti kalaupun naskah Elis direvisi lagi setelah sidang kan nggak akan ngaruh juga ke lembar pengesahan itu.”

“Ya udah Dek, kalau emang yakin, lanjut aja! Kakak sih kayaknya emang nggak terkejar kalau wisuda bulan Februari ini, soalnya revisiannya aja belum kelar Dek. Elis cepat banget sih ngerjainnya?”
“Alhamdulillah Kak, ditolong sama Allah.”
Tapi, ketika ku telvon seseorang untuk memastikan hal ini, eh ternyata tetap saja nggak bisa, karena aku harus melampirkan 3 tanda tangan penguji sidang skripsi ketika minta tanda tangan kepada pak Dekan. Huft... mana mungkin itu bisa ku manipulasi? Mana mungkin juga tanda tangan penguji itu bisa ku minta sekarang sementara penguji bisa saja berganti ketika sidang nanti. Huft..! Lillah, El.. Lillahh...
Kak Titin baru saja datang. Aku segera menemuinya di ruang Jurusan IPS untuk mengurus transkip nilai.
“Ini mana KHS aslinya?” tanyanya.
“Kan kemarin saya sudah cerita kepada Kakak bahwa KHS saya belum saya ambil dari Prodi dan ternyata setelah dicari nggak ada Kak. Bukannya Kakak bilang kemarin nggak apa-apa kalau pakai print out dari portal aja?”
“Iyaaa.. tapi ini harus tetap kamu urus juga ke bagian akademis untuk dicetak ulang. Kamu buat dulu permohonan ke WD I ya, tunjukkan sama saya suratnya, baru saya mau ngurus transkip kamu! Nanti kalau nggak ditunjukkan ke saya, ada aja alasan mahasiswa ni nanti; ‘Iya Kak, nanti saya buat!’ padahal setelah transkip selesai, nggak juga dibuat-buatnya.” Kak Titin menyerahkan lagi berkas-berkas itu kepadaku dan aku segera berlari menuju ke foto kopi bang In untuk memprint surat permohonan.

Kurang dari 5 menit…. “Kak, ini suratnya…” ku sodorkan pada kak Titin segera.
Ia meraih suratku itu dan mencoret beberapa hal yang salah di sana. Lalu aku dimintanya membuat yang baru. Aku berlarian lagi ke bawah dan kembali ke atas sesegera mungkin.
“Kelihatan kali kamu nggak pernah bikin surat!” celetuknya padaku. “Ini ‘Yth.’nya kamu gabungkan pula dengan ‘Kepada’.”
Aku bungkam. Aku terima kesalahanku. Dan, apapun yang ia katakan, yang penting transkipku dibuatkan. Titik!
Sambil merapikan berkasku, ia berkata lagi; “Iya? Kamu nggak pernah bikin surat?”
Aku benar-benar tidak berminat menjawabnya. Lagipula, ia bertanya sambil memunggungiku.
“Benar kan kamu nggak pernah bikin surat?” tanyanya lagi.
“Iya Kak. Benar.” Jawabku dengan mantap. Asal kamu puas, Kak dan diam.
“Surat ini serahkan ke bagian akademis ya biar dicetak. Masukkan surat ini ke dalam map! Kalau kayak gini kamu kasihkan ke bawah, pasti dibuang orang tu kertas kamu ni.”
Aku segera memasukkan surat permohonanku ke dalam map kuning. “Kapan transkipnya selesai Kak?”

“Belum saya kerjakan lagi!” jawabnya, cuek.
“Terus kapan Kak selesainya kira-kira?”
“Hari Kamis ya ke sini lagi. Eh, jangan, jangan, hari Jumat aja ya.”
Enteng banget ya menentukan waktu seperti itu? Memang sedemikian lama kah mengerjakannya? Atau memang sengaja me-lama?
“Baik Kak. Permisii.”
Tapi, beberapa orang ku tanyai tentang sikap kak Titin itu, tak ada satu pun yang sepakat bahwa kak Titin itu galak. Hemmm...mungkin aku aja yang terlalu baper karena fikiran tak menentu.
Ketika tiba di ruang akademis, ternyata pak Faisal nggak ada. Ku putuskan untuk menemui operatornya di ruang sebelah. Ternyata, kata si ibuk, surat permohonan itu bukan ditujukan ke WD I, tapi ke Dekan. Grrrr… yang mana yang benar niiiihhh? Ku putuskan untuk ke luar ruangan untuk bertanya kepada
sumber lain yang lebih bisa dipercaya. Eh, nggak tahunya ketemu Lia. Langsung deh aku curhat ke dia dengan penuh kekesalah tentang birokrasi yang ‘njelimet’ kayak gini.
“…ternyata UNRI ini udah terkenal ribetnya loh Cin. Bahkan Bang Wira juga bilang gitu.”
“Cemungud ya Ciinnnn! N satu lagi… keep calm ya..hehehe.”
Lia tahu betul bahwa aku bisa berubah sekacau apa ketika panik dan ‘tertekan’ keadaan. Kami berpisah, karena ia harus buru-buru ke Prodinya. Lalu, ku putuskan untuk bertemu pak WD I, kebetulan beliau ada di dalam ruangannya.
“Pakkk… saya mau mengajukan permohonan pengisian KRS..” belum selesai aku bicara, pak WD terlihat sedang hendak menelvon seseorang. “Silahkan menelvon saja dulu Pak, saya akan tunggu,” kataku dengan ramah.

Ia lalu mempersilahkanku duduk dengan ramahnya. Usai menelvon, aku menjelaskan lagi kepadanya bahwa di bulan November kemarin aku sudah pernah ke mari untuk mengajukan permohonan pengisian KRSku yang terlambat ku isi. Saat itu beliau menyarankanku untuk mengejar ujian hasil dulu sebelum jatuh tempo pembayaran SPP. Jika aku tidak sanggup mengejarnya, maka aku harus menanggung resiko; dianggap alfa studi. Dan…… faktanya adalah…… hal inilah yang membuatku sangat gigih dan tunggang-langgang ngerjain skripsi ini. *mungkin inilah tujuan Allah membuatku tertekan dengan keadaan, hehe. mungkin kalau nggak menghadapi pilihan seperti ini, aku masih ogah-ogahan juga ngerjain skripsi. Mami-papi belum tahu hal ini. Nanti, ketika aku sudah selesai dengan semuanya, barulah aku akan menceritakannya.
“….nah, sekarang saja sudah ujian hasil dan tinggal menunggu untuk ujian kompre saja Pak. Mohon kiranya Bapak mengabulkan permohonan saya ini.”
“Kapan komprenya?”
“Insya Allah tanggal 27 atau 30 ini Pak.”
“Okeee..” ia segera menandatangai permohonanku dan membuat beberapa coretan  di bawahnya. “Serahkan ke bagian akademis yaa!” katanya.
“Baik Pak, makasih Pak.”

Ya Allah….terimakasih ya Allah… Urusan yang kali ini sangat mudah ternyata. Aku segera menyerahkannya ke ibuk tadi dan ia segera memprosesnya. Seketika, aku kembali teringat dengan surat permohonan cetak ulang KHS tadi. Aku segera menuju Kabad Umum untuk memastikan format surat yang sebenarnya. Untungnya si kakak sangat baik hati lagi ramah. Aku bahkan ditunjukkan dan diajarkan lewat salah satu contoh surat.
“Kak, izin saya foto ya Kak suratnya,” kataku sambil mengeluarkan HP.
“Yaa..silahkan!”
“Hemmmm… bikin surat gitu pun tak tahu!” gerutu seorang pegawai laki-laki di sampingku.
Aku hanya memandangnya dengan wajah datar, lalu kembali kepada HPku. Ia tak ku pedulikan sama sekali. Untuk apa? Aku kan nggak salah dan nggak menyalahi apapun. Gunakanlah ’Ignore menagemen’ kata bang Saide; Mengabaikan yang tidak perlu dan merespon yang diperlukan saja. Aku sedang menggunakan rumus itu!
“Salah lagi ya?” kata bang In.
“Iyaa Bang. Huhuuu… ngeprint lagi ya Bang!” kataku sambil menyambar mouse. Sudah 3 kali aku bolak-balik ke sini. Pantas saja bang In sampai faham apa yang terjadi.
Setelah selesai… aku berlarian menuju Kabag Umum. Alhamdulillah, kali ini sudah benar.
“Hari ini berkas kamu Kakak naikkan ke sekretari Dekan, 3 hari lagi kamu ngambilnya langsung ke bagian akademis yaa.”
“Makasih Kak.”

Padahal, kata 3 hari ini tak ubahnya dengan pernyataan kak Titin tadi, tapi karena cara penyampaiannya yang lebih santun, nalarku lebih mudah menerimanya. Meskipun sebenarnya aku sangat ingin ‘mendesak’ hari.
“Cin? Jadi kita ngobrolnya?” tanyaku pada Siti Khadijah yang sudah sejam lalu menungguku.
“Yuk Cin! Kita ngobrolnya di koridor aja yuk?”
“Ayuk!”
1 hal menakjubkan yang baru saja aku tahu dari Siti adalah bahwa ia ternyata punya usaha Laundry dan Conuter HP sejak semester 2 dulu. Bahkan, uang kuliahnya ia gantungkan dari sana. Luar biasa kamu, Ciiin! Tapi, selanjutnya ia bercerita tentang keinginannya untuk bekerja, padahal sekarang dia sedang S2.
“Cinnn… ini menurut aku yaaa. Lebih baik Cin fokus aja ke S2 sambil ngembangin usahamu itu. Apalagi sih yang ingin Cin cari? Kebanyakan orang-orang justru ingin menjadi bos bagi dirinya sendiri, Cin. Dan, Cin udah meraihnya sejak lama, bahkan. Kenapa nggak fokus membesarkan usaha aja Cin? Kalau masalah gaji, usaha Cin itu kayaknya udah  mencukupi  deh! Aku bener-bener pengen tahu nih, apa yang Cin cari kalau Cin nanti diterima sebagai pekerja bagi orang lain?”
“Aku ingin berkembang Lis. Aku ingin berada di lingkungan orang-orang terdidik dan berpendidikan. Supaya ilmuku juga lebih terpakai, supaya aku berani tampil dan berani ngomong di depan banyak orang. Ya… kayak Elis contohnya. Kalau ngurusin usahaku itu yaaa…. aku nggak akan berkembang. Sebenarnya, pengalaman sih Lis yang ingin ku cari,” jelasnya polos.

“Ooooooooo… wait, wait! Aku faham sekarang gimana sudut pandang Siti. Siti ingin berada di lingkungan orang-orang yang berpendidikan dan berilmu supaya Siti pun bisa berkembang seperti mereka kan?. Karena, kalau Siti fokus ngembangin usaha Siti, maka usaha Siti aja yang akan berkembang sementara Sitinya enggak. Ya… kondisinya gini; kalau siti ngajar di sekolah atau jadi dosen, maka Siti akan dekat dengan ilmu. Sementara kalau Siti hanya fokus ngembangin usaha, maka kesempatan untuk dekat dengan orang-orang berilmu itu kecil.Gitu kan Tii? Unik!”
“Nah! Gitu Lis! Bener. Customer yang datang kepadaku kan hanya sebatas mereka butuh barang yang ku jual dan setelah membayar, mereka pergi. Hanya seperti itu aja Lis. Makanya Siti pengen berkembang.”
“Oh yaa…semalam Siti di BBM bilang kalau Siti pengen berani bicara ya?” tanyaku.
“Iyaaa…Lisss. Ajarinlah.”
“Emmm… gini Cin, sebenarnya kuncinya adalah LATIHAN sih! Cara kita melatihnya adalah dengan menemukan arena latihan kita. Kalau aku, arena latihanku adalah ketika aku jadi pembicara, ketika aku ngeMC, yaa…pokoknya di setiap kesempatanku tampil deh! Kalau Siti, kira-kira di mana arena latihannya?” tanyaku.
Siti berfikir sejenak.

“Kelas sebenarnya adalah arena latihan terkecil kita loh Ti. Coba tantang diri Siti sekarang untuk berani bertanya atau berpendapat, minimal 1 kali di setiap ada kuliah. Terus, coba ubah kata-kata; ‘Ih, kok aku bodoh kali ya hari ini! Ngomong gitu aja nggak berani!’ dengan kalimat positif seperti; ‘Sitiii… kamu tuh pintar loh! Coba besok belajar berani ngomong di kelas, kamu pasti bisa Tiii!’. Nah, terasa kan bedanya Cin? Kalimat pertama adalah motivasi negative sedangkan kalimat kedua adalah bentuk motivasi positif.”
“Waahhh…iya Lisss. Tapi, emang ntah apa yang ada di fikiranku ini Lis, kok takut kali untuk memulai berbicara tuuu. Padahal, waktu di rumah udah pasang niat untuk berani bicara nanti di kelas, tapi kenyataannya? Aku tetap aja grogi. Padahal, yang dijelaskan oleh teman-teman tu bisa diukur bahwa jawabanku lebih baik. Tapi ya itu diaa… kelebihan mereka adalah berani bicara sedangkan kekuranganku adalah nggak berani bicara.”
Aku berfikir sejenak… “Cinnn.. ada 2 hal yang akan kita peroleh kalau kita berani bicara; 1. Orang tahu bahwa kita ADA dan 2. Orang tahu kita PUNYA apa. tapi, lihatlah apa yang terjadi kalau kita hanya diam saja? Hanya kita dan Allah sajalah yang tahu apa yang sebenarnya kita tahu. Hahahaah.”
“Hhahaa.. betul banget tuh Lis! Aku lihat, Elis tu melejit banget setelah jadi MAWAPRES ya!”

“Emmm….bener banget tuh Cin! Intinya, setelah MAWAPRES, aku dipaksa keadaan untuk menjadi Elysa yang super pede. Karena undangan untuk menjadi pembicara benar-benar berdatangan kepadaku Tiii. Pasca jadi MAWAPRES, aku langsung mikir gini; ‘Eh, emangnya aku bisa jadi pembicara nih? Kan aku belum terlalu bagus juga public speakingnya.’ Tapi, aku berfikir lagi Cin; ‘Pengundangku itu mana mau tahu aku bisa ngomong atau nggak. Yang mereka mau, pokoknya aku harus jadi pembicara. Titik!’ Nah, lambat laun, ternyata proses itu membuatku makin mantap dan matang Tii.”
“Makasih ya Lis udah mau dengerin curhatanku!”
“Iyaa Tii…sama-sama, semoga bermanfaat ya Ti. Jangan lupa pesanku tadi ‘Rajin-rajinlah menantang diri untuk bicara di kelas!’ sip?”
“Makasihhh Lissss.”
Kami berpisah. Karena aku harus bergegas menuju Gobah untuk menemui pak Danur. Kak Ani, barusan mengabariku bahwa ia sudah mendapatkan tanda tangan bapak. Aku pun harus segera mendapatkannya! Bismillah…

***



Aku sudah sampai di Sambal Lesung. Romi, Okta dan Yana sedang otw ke mari. Kami sudah janjian tadi sore untuk makan malam bersama karena besok pagi Yana bakal pulang kampung. 3 menit kemudian, tibalah Romi di sini. Kami masih belum memesan karena menunggu Okta dan Yana dulu. Mulailah aku bercerita kepada Romi tentang kisah ‘keribetan’ku hari ini. Sejak awal, dia memang sudah tahu seluk beluk proses ini dan dia merupakan adik yang sangat berperan dalam penyelesaian skripsiku.
“…Mbak hujan-hujanan loh Dek ke Gobah tuuu! Sampai d Gobah udah basah kuyub aja baju Mbak. Eh, pas nemuin Pak Danur… Bapak tu seperti biasa… ngomongnya; ‘Saya tanda tangani ajalah ya.. lagian kamu juga nggak pernah bimbingan sama saya’. Mbak dieeemmm aja. Terus, Mbak sodorkanlah surat persetujuan sebagai Pembimbing II ke Bapak tu Deekkk. Dann..”
“Loh? Mbak belum minta tanda tangan itu toh?”
“Itulah Mbakkkmu ini ceroboh. Eh, Bapak tu ngomong gini ke pak Sumarno; ‘Pak, Bapak jadi saksi yaa.. Dia baru sekarang minta tanda tangan saja sebagai pembimbing II padahal dia udah mau ujian kompre pula dia sekarang.’ Gitu loh Dek kata Bapak tuuuu. Terus dibilangnya lagi; ‘Kan berarti selama ini kamu nggak nganggap saya sebagai pembimbing kamu. Saya lihat, kamu makin sombong ya nampaknya.’ Pokoknya Mbak diaaam aja Dek. Terus Mbak bilang dengan rendah hati; ‘Maafkan saya ya Pak’. Gitu. Tapi yang penting kan Bapak tu udah ACC dan Mbak dipersulit. Alhamdulillah..”
“Ya Allah Mbakkk…sabar yaaa. hahaha. Aku pun tadi nungguin Pak Almasdi sampai sore nggak ketemu dia juga akhirnya. Rapatnya lama kaliii. Huammm…sibuk kali Mbak Bapak tuuu.”

Yana dan Okta baru saja tiba.
“Nah, ini buat Kaliannn… Kakka kasih tahu sekarang yaaa… Yang harus kalian kuatkan itu adalah MENTAL kalian Dek selama nyelesaikan tugas akhir ini. Akan banyak tekanan di sana. Kalau masalah kecerdasan fikiran, Kakak yakinlah kalian pintar dan bisa pintar-pintar. Tapi, kalau MENTAL kalian nggak sekuat baja, pasti bakal sulit,” jelasku.
“Bener Kak! Nggak penting doh seberapa tebal skripsi kita atua sehebat apa judul kita, yang penting kita bisa S.Pd. dah! Habis cito! Hahaa,” sahut Okta.
Pesanan kami sudah terhidang dan kami segera menikmatinya. Cerita-cerita konyol dan terkadang inspiratif terus mengalir dari bibir-bibir kami. Sesekali kami rebutan dan curi-curian makanan juga. *Childish is never end.
“Teguh mau ke sini katanya!” kataku setelah baru saja ditelvon oleh Teguh.
“Ngapain dia, Mbak?” tanya Romi.
“Dia mau bimbingan essay sama Mbak. Sihiyyyyyy! Hahaha.”
“Sok-soook!” sahut Okta.
“Eh, kalian cowok kan?” tanyaku pada Okta dan Romi. Mereka berdua mengangguk polos. “Mbak mau nanya… kalau seandainya saat ini Allah memberitahu siapa jodoh kalian… maka apa yang akan kalian lakukan?” lanjutku.

“Ya…. Romi sih diem aja Mbak. Toh, Romi belum siap nikah sekarang.”
“Gitu yaa? Bukannya kalian malah jadi pengen lebih dekat sama dia, lebih bisa menjaga diaa, lebih ingin mengenal diaa…bla bla bla?”
“Nggak tuh! Romi tu Mbakk… kalau ada cewek yang bilang kalau dia suka sama Romi, Romi malah jadi takut sama diaaa.”
“Ya udahh… kalau gitu, sekarang Mbak bilang kalau Mbak suka sama mu Dekk..hahaha.”
Romi terbahak. “Bangke! Kalau itu aku nggak takut, malah jijik! Hahhaaa.”
“Aku pun gitu woooyyy.. Dulu sihhh.. aku tu takut kali kalau ngobrol sama cewekk,” kata Okta.”
“Sekarang? Nggak tahu malu? Hahaa,” sahutku lagi.
Obrolan seru kami malah semakin seru ketika Teguh bergabung bersama kami. Suara pengamen yang tadi dirasa sangat mengganggu kuping, sekarang malah kalah volumenya dengan suara kami. Setelah azan Isya berkumandang… kami pun pulang ke habitat masing-masing.
“Eh, kalian udah pada bayar parkir?” tanyaku ketika masing-masing kami sedang memutar motor.
“Belummm…” jawab mereka serentak.

“Ya sudah, tenang saja.. biar sayaa yang traktiirrr!” kataku, sok menjadi pahlawan.
“Huhuuuuu..bububuyuuuuu!”
“Huuu… soknyaaaa nggak ketulungan!”
“Makaciih Kak Ciiiinnn.”
Kata mereka bergantian. Aku tak kalah merasa geli. Hahahha. Teguh ku suruh sholat isya dulu di Arrafah barulah setelah itu ke kosanku untuk mengerjakan essaynya. Dia memang sangat rakus dengan perlombaan. Kali ini dia ingin mengikuti lomba Essay Fisika, padahal jurusannya Manajemen. Hahaha. Saya suka gayamu hei anak muda!

Tidak ada komentar: