
Hey kamu, anak muda! Tentunya kamu pernah merasa baper
dengan seseorang dan membuatmu jadi nggak logis. Padahal, sebenarnya kalau dia
lelet balas pesan kamu adalah hal biasa sebelumnya. Tapi, semenjak kamu baper,
segala sesuatunya jadi dihubung-hubungkan dengan rumusan; ‘Kayaknya aku bukan
orang yang spesial baginya.’ Hahahaa.. lucu ya? *ciyeee… yang berpengalaman. Eheeh.
Hemmmm…. Pasti capek ya rasanya di kondisi kayak gitu?
Makanya, menjaga hati itu memang selalu jadi pilihan terbaik. Allah nggak ingin
melihat seorang Elysa menunggu seseorang yang belum tentu jodohnya. Kasihan
juga hati ini karena berharap lebih kepada manusia, padahal dia sendiri pun
nggak pernah tahu kalau kita mengharapkannya, lebih. Gubrak! Intinya,
pandai-pandai memenejemen hati sih. Kalau ngerasa udah ada candu-candu yang
nggak beres di hati (Ex: Nungguin balasan bbmnya sampai membuatmu termenung
cukup lama, padahal biasanya kamu bisa nyetrika baju, nyuci piring atau bobok siang), maka
cepat-cepatlah kembali kepada KEMURNIAN. Segala sesuatunya akan jauh lebih
objektif kalau kita nggak baper. Hidup akan lebih enjoy dan hangat. Baperlah seperlunya
saja. *?
Dannn... terinspirasi dari pengalaman bathin tersebut, membuatku terinspirasi untuk merangkai sebuah quotes: Aku akan terus MENULISKANMU. Dan terus menyemogakanmu MEMBACANY. Jika tidak kini, mungkin suatu hari nanti. #TrulyElysa
***
Pukul 08.02wib…
Aku sudah berada di lantai 2 Dekanat FKIP, menunggu pak
Riadi datang. Aku tidak boleh terlambat apalagi sengaja melambat-lambatkan diri
hari ini! Karena, kita nggak pernah tahu halangan apa yang akan kita hadapi
yang diakibatkan oleh 1 penundaan yang sengaja
kita lakukan. Sambil mengisi kekosongan, aku terinspirasi mengubah pee m
di bbm…
Dan…
berpagi-pagi harilah kamu wahai jiwa yang selalu terbarukan oleh PAGI. Selamat
hari senin…
“Hai Kak? Nunggu pak Riadi jugak?” sapaku pada seniorku yang
aku nggak tahu namanya siapa.
“Iya nih Lis. Belum datang juga Bapaknya,” jawabnya. *Dan,
dia tahu namaku ternyata. Huahhhh.
“Udah 15 menitan Elis nunggu
di sini Kak. Sepi kali FKIP ni. Emangnya pegawai-pegawai itu pada masuk
jam berapa sih sebenarnya ya Kak?”
“Biasalah Lis, kayak pegawai pada umumnya; jam 8 harusnya
udah datang ke kantor.”
“Issshhhhh… kesel kali laah! Apalagi mereka yang jadi ‘pelayan
umum’, 1 menit aja mereka terlambat ke kantor, bisa jadi ada 10 urusan yang
tertunda selesainya. Sebenarnya, jadi ‘pelayan umum’ ini berat tanggung
jawabnya ya Kak karena berhubungan dengan hak-hak orang banyak.”
“Iya Dek. Biasanya, pegawai-pegawai ni datangnya jam 9, jam
10, terus nanti sebelum jam 12 udah istirahat pula.”
Aku makin geram jadinya. Kenyataan ini sudah dirasakan oleh
banyak orang juga tentunya selain aku dan kakak ini. Aku pernah mengistilahinya
sebagai ‘Administrasi Super Lelet’ di fikiranku sendiri. Bayangkan saja, mereka
bisa dengan entengnya berkata; ‘Ini jam istirahat Dek, nanti aja jam 2 baru
kemari’ atau ketika kita datang pukul 14.00wib, bisa saja mereka berkata; ‘Besok
aja kemarinya lagi. Udah mau tutup sebentar lagi.’
“Ya
Allah… ketika nanti ternyata posisiku Engkau tempatkan di bagian pelayan publik
seperti ini, ajarkan aku untuk tidak berlaku ZOLIM ya Allah. Aamiiin.”
Mendadak, aku punya ide gila…
“Kak, tadi pagi Elis nanya ke teman tentang prosedur
penandatanganan SKRIPSI kita oleh pak Dekan. Nah, ternyata nggak ada
syarat-syarat lain selain lembar pengesahan kita aja dan dimasukkan ke dalam
map. Mendadak Elis ada ide gila nih Kak; Elis berniat untuk mengajukannya
sekarang aja! Toh, sekretarisnya itu kan nggak tahu Elis udah sidang atau
belum. Ketua Prodi pun kan nggak bakal nanya-nanya itu ke Elis. Jadi, Elis bisa
selangkah lebih cepat! Gimana Kak? Cerdik banget kan? Toh nanti kalaupun naskah
Elis direvisi lagi setelah sidang kan nggak akan ngaruh juga ke lembar
pengesahan itu.”
“Ya udah Dek, kalau emang yakin, lanjut aja! Kakak sih
kayaknya emang nggak terkejar kalau wisuda bulan Februari ini, soalnya
revisiannya aja belum kelar Dek. Elis cepat banget sih ngerjainnya?”
“Alhamdulillah Kak, ditolong sama Allah.”
Tapi, ketika ku telvon seseorang untuk memastikan hal ini, eh ternyata tetap saja nggak bisa, karena aku harus melampirkan 3 tanda tangan penguji sidang skripsi ketika minta tanda tangan kepada pak Dekan. Huft... mana mungkin itu bisa ku manipulasi? Mana mungkin juga tanda tangan penguji itu bisa ku minta sekarang sementara penguji bisa saja berganti ketika sidang nanti. Huft..! Lillah, El.. Lillahh...
Kak Titin baru saja datang. Aku segera menemuinya di ruang
Jurusan IPS untuk mengurus transkip nilai.
“Ini mana KHS aslinya?” tanyanya.
“Kan kemarin saya sudah cerita kepada Kakak bahwa KHS saya
belum saya ambil dari Prodi dan ternyata setelah dicari nggak ada Kak. Bukannya
Kakak bilang kemarin nggak apa-apa kalau pakai print out dari portal aja?”
“Iyaaa.. tapi ini harus tetap kamu urus juga ke bagian
akademis untuk dicetak ulang. Kamu buat dulu permohonan ke WD I ya, tunjukkan
sama saya suratnya, baru saya mau ngurus transkip kamu! Nanti kalau nggak
ditunjukkan ke saya, ada aja alasan mahasiswa ni nanti; ‘Iya Kak, nanti saya
buat!’ padahal setelah transkip selesai, nggak juga dibuat-buatnya.” Kak Titin
menyerahkan lagi berkas-berkas itu kepadaku dan aku segera berlari menuju ke foto
kopi bang In untuk memprint surat permohonan.
Kurang dari 5 menit…. “Kak, ini suratnya…” ku sodorkan pada
kak Titin segera.
Ia meraih suratku itu dan mencoret beberapa hal yang salah
di sana. Lalu aku dimintanya membuat yang baru. Aku berlarian lagi ke bawah dan
kembali ke atas sesegera mungkin.
“Kelihatan kali kamu nggak pernah bikin surat!” celetuknya
padaku. “Ini ‘Yth.’nya kamu gabungkan pula dengan ‘Kepada’.”
Aku bungkam. Aku terima kesalahanku. Dan, apapun yang ia
katakan, yang penting transkipku dibuatkan. Titik!
Sambil merapikan berkasku, ia berkata lagi; “Iya? Kamu nggak
pernah bikin surat?”
Aku benar-benar tidak berminat menjawabnya. Lagipula, ia
bertanya sambil memunggungiku.
“Benar kan kamu nggak pernah bikin surat?” tanyanya lagi.
“Iya Kak. Benar.” Jawabku dengan mantap. Asal kamu puas, Kak dan diam.
“Surat ini serahkan ke bagian akademis ya biar dicetak. Masukkan
surat ini ke dalam map! Kalau kayak gini kamu kasihkan ke bawah, pasti dibuang
orang tu kertas kamu ni.”
Aku segera memasukkan surat permohonanku ke dalam map
kuning. “Kapan transkipnya selesai Kak?”
“Belum saya kerjakan lagi!” jawabnya, cuek.
“Terus kapan Kak selesainya kira-kira?”
“Hari Kamis ya ke sini lagi. Eh, jangan, jangan, hari Jumat
aja ya.”
Enteng banget ya
menentukan waktu seperti itu? Memang sedemikian lama kah mengerjakannya? Atau memang
sengaja me-lama?
“Baik Kak. Permisii.”
Tapi, beberapa orang ku tanyai tentang sikap kak Titin itu, tak ada satu pun yang sepakat bahwa kak Titin itu galak. Hemmm...mungkin aku aja yang terlalu baper karena fikiran tak menentu.

“…ternyata UNRI ini udah terkenal ribetnya loh Cin. Bahkan Bang
Wira juga bilang gitu.”
“Cemungud ya Ciinnnn! N satu lagi… keep calm ya..hehehe.”
Lia tahu betul bahwa aku bisa berubah sekacau apa ketika
panik dan ‘tertekan’ keadaan. Kami berpisah, karena ia harus buru-buru ke
Prodinya. Lalu, ku putuskan untuk bertemu pak WD I, kebetulan beliau ada di
dalam ruangannya.
“Pakkk… saya mau mengajukan permohonan pengisian KRS..”
belum selesai aku bicara, pak WD terlihat sedang hendak menelvon seseorang. “Silahkan
menelvon saja dulu Pak, saya akan tunggu,” kataku dengan ramah.
Ia lalu mempersilahkanku duduk dengan ramahnya. Usai menelvon,
aku menjelaskan lagi kepadanya bahwa di bulan November kemarin aku sudah pernah
ke mari untuk mengajukan permohonan pengisian KRSku yang terlambat ku isi. Saat
itu beliau menyarankanku untuk mengejar ujian hasil dulu sebelum jatuh tempo
pembayaran SPP. Jika aku tidak sanggup mengejarnya, maka aku harus menanggung
resiko; dianggap alfa studi. Dan…… faktanya adalah…… hal inilah yang membuatku
sangat gigih dan tunggang-langgang ngerjain skripsi ini. *mungkin inilah tujuan
Allah membuatku tertekan dengan keadaan, hehe. mungkin kalau nggak menghadapi
pilihan seperti ini, aku masih ogah-ogahan juga ngerjain skripsi. Mami-papi
belum tahu hal ini. Nanti, ketika aku sudah selesai dengan semuanya, barulah
aku akan menceritakannya.
“….nah, sekarang saja sudah ujian hasil dan tinggal menunggu
untuk ujian kompre saja Pak. Mohon kiranya Bapak mengabulkan permohonan saya
ini.”
“Kapan komprenya?”
“Insya Allah tanggal 27 atau 30 ini Pak.”
“Okeee..” ia segera menandatangai permohonanku dan membuat
beberapa coretan di bawahnya. “Serahkan
ke bagian akademis yaa!” katanya.
“Baik Pak, makasih Pak.”
Ya Allah….terimakasih ya Allah… Urusan yang kali ini sangat
mudah ternyata. Aku segera menyerahkannya ke ibuk tadi dan ia segera
memprosesnya. Seketika, aku kembali teringat dengan surat permohonan cetak
ulang KHS tadi. Aku segera menuju Kabad Umum untuk memastikan format surat yang
sebenarnya. Untungnya si kakak sangat baik hati lagi ramah. Aku bahkan
ditunjukkan dan diajarkan lewat salah satu contoh surat.
“Kak, izin saya foto ya Kak suratnya,” kataku sambil
mengeluarkan HP.
“Yaa..silahkan!”
“Hemmmm… bikin surat gitu pun tak tahu!” gerutu seorang
pegawai laki-laki di sampingku.
Aku hanya memandangnya dengan wajah datar, lalu kembali
kepada HPku. Ia tak ku pedulikan sama sekali. Untuk apa? Aku kan nggak salah
dan nggak menyalahi apapun. Gunakanlah ’Ignore menagemen’ kata bang Saide;
Mengabaikan yang tidak perlu dan merespon yang diperlukan saja. Aku sedang
menggunakan rumus itu!
“Salah lagi ya?” kata bang In.
“Iyaa Bang. Huhuuu… ngeprint lagi ya Bang!” kataku sambil
menyambar mouse. Sudah 3 kali aku bolak-balik ke sini. Pantas saja bang In
sampai faham apa yang terjadi.
Setelah selesai… aku berlarian menuju Kabag Umum. Alhamdulillah,
kali ini sudah benar.
“Hari ini berkas kamu Kakak naikkan ke sekretari Dekan, 3
hari lagi kamu ngambilnya langsung ke bagian akademis yaa.”
“Makasih Kak.”
Padahal, kata 3 hari ini tak ubahnya dengan pernyataan kak
Titin tadi, tapi karena cara penyampaiannya yang lebih santun, nalarku lebih
mudah menerimanya. Meskipun sebenarnya aku sangat ingin ‘mendesak’ hari.
“Cin? Jadi kita ngobrolnya?” tanyaku pada Siti Khadijah yang
sudah sejam lalu menungguku.
“Yuk Cin! Kita ngobrolnya di koridor aja yuk?”
“Ayuk!”
1 hal menakjubkan yang baru saja aku tahu dari Siti adalah
bahwa ia ternyata punya usaha Laundry dan Conuter HP sejak semester 2 dulu. Bahkan,
uang kuliahnya ia gantungkan dari sana. Luar biasa kamu, Ciiin! Tapi,
selanjutnya ia bercerita tentang keinginannya untuk bekerja, padahal sekarang
dia sedang S2.
“Cinnn… ini menurut aku yaaa. Lebih baik Cin fokus aja ke S2
sambil ngembangin usahamu itu. Apalagi sih yang ingin Cin cari? Kebanyakan orang-orang
justru ingin menjadi bos bagi dirinya sendiri, Cin. Dan, Cin udah meraihnya
sejak lama, bahkan. Kenapa nggak fokus membesarkan usaha aja Cin? Kalau masalah
gaji, usaha Cin itu kayaknya udah
mencukupi deh! Aku bener-bener
pengen tahu nih, apa yang Cin cari kalau Cin nanti diterima sebagai pekerja
bagi orang lain?”
“Aku ingin berkembang Lis. Aku ingin berada di lingkungan
orang-orang terdidik dan berpendidikan. Supaya ilmuku juga lebih terpakai,
supaya aku berani tampil dan berani ngomong di depan banyak orang. Ya… kayak
Elis contohnya. Kalau ngurusin usahaku itu yaaa…. aku nggak akan berkembang.
Sebenarnya, pengalaman sih Lis yang ingin ku cari,” jelasnya polos.
“Ooooooooo… wait, wait! Aku faham sekarang gimana sudut
pandang Siti. Siti ingin berada di lingkungan orang-orang yang berpendidikan
dan berilmu supaya Siti pun bisa berkembang seperti mereka kan?. Karena, kalau
Siti fokus ngembangin usaha Siti, maka usaha Siti aja yang akan berkembang
sementara Sitinya enggak. Ya… kondisinya gini; kalau siti ngajar di sekolah
atau jadi dosen, maka Siti akan dekat dengan ilmu. Sementara kalau Siti hanya
fokus ngembangin usaha, maka kesempatan untuk dekat dengan orang-orang berilmu
itu kecil.Gitu kan Tii? Unik!”
“Nah! Gitu Lis! Bener. Customer yang datang kepadaku kan
hanya sebatas mereka butuh barang yang ku jual dan setelah membayar, mereka
pergi. Hanya seperti itu aja Lis. Makanya Siti pengen berkembang.”
“Oh yaa…semalam Siti di BBM bilang kalau Siti pengen berani
bicara ya?” tanyaku.
“Iyaaa…Lisss. Ajarinlah.”
“Emmm… gini Cin, sebenarnya kuncinya adalah LATIHAN sih! Cara
kita melatihnya adalah dengan menemukan arena latihan kita. Kalau aku, arena
latihanku adalah ketika aku jadi pembicara, ketika aku ngeMC, yaa…pokoknya di setiap
kesempatanku tampil deh! Kalau Siti, kira-kira di mana arena latihannya?”
tanyaku.
Siti berfikir sejenak.
“Kelas sebenarnya adalah arena latihan terkecil kita loh Ti.
Coba tantang diri Siti sekarang untuk berani bertanya atau berpendapat, minimal
1 kali di setiap ada kuliah. Terus, coba ubah kata-kata; ‘Ih, kok aku bodoh
kali ya hari ini! Ngomong gitu aja nggak berani!’ dengan kalimat positif
seperti; ‘Sitiii… kamu tuh pintar loh! Coba besok belajar berani ngomong di
kelas, kamu pasti bisa Tiii!’. Nah, terasa kan bedanya Cin? Kalimat pertama
adalah motivasi negative sedangkan kalimat kedua adalah bentuk motivasi
positif.”
“Waahhh…iya Lisss. Tapi, emang ntah apa yang ada di
fikiranku ini Lis, kok takut kali untuk memulai berbicara tuuu. Padahal, waktu
di rumah udah pasang niat untuk berani bicara nanti di kelas, tapi
kenyataannya? Aku tetap aja grogi. Padahal, yang dijelaskan oleh teman-teman tu
bisa diukur bahwa jawabanku lebih baik. Tapi ya itu diaa… kelebihan mereka
adalah berani bicara sedangkan kekuranganku adalah nggak berani bicara.”
Aku berfikir sejenak… “Cinnn.. ada 2 hal yang akan kita
peroleh kalau kita berani bicara; 1. Orang tahu bahwa kita ADA dan 2. Orang
tahu kita PUNYA apa. tapi, lihatlah apa yang terjadi kalau kita hanya diam
saja? Hanya kita dan Allah sajalah yang tahu apa yang sebenarnya kita tahu. Hahahaah.”
“Hhahaa.. betul banget tuh Lis! Aku lihat, Elis tu melejit
banget setelah jadi MAWAPRES ya!”
“Emmm….bener banget tuh Cin! Intinya, setelah MAWAPRES, aku
dipaksa keadaan untuk menjadi Elysa yang super pede. Karena undangan untuk
menjadi pembicara benar-benar berdatangan kepadaku Tiii. Pasca jadi MAWAPRES,
aku langsung mikir gini; ‘Eh, emangnya aku bisa jadi pembicara nih? Kan aku
belum terlalu bagus juga public speakingnya.’ Tapi, aku berfikir lagi Cin; ‘Pengundangku
itu mana mau tahu aku bisa ngomong atau nggak. Yang mereka mau, pokoknya aku
harus jadi pembicara. Titik!’ Nah, lambat laun, ternyata proses itu membuatku
makin mantap dan matang Tii.”
“Makasih ya Lis udah mau dengerin curhatanku!”
“Iyaa Tii…sama-sama, semoga bermanfaat ya Ti. Jangan lupa
pesanku tadi ‘Rajin-rajinlah menantang diri untuk bicara di kelas!’ sip?”
“Makasihhh Lissss.”
Kami berpisah. Karena aku harus bergegas menuju Gobah untuk
menemui pak Danur. Kak Ani, barusan mengabariku bahwa ia sudah mendapatkan
tanda tangan bapak. Aku pun harus segera mendapatkannya! Bismillah…
***
Aku sudah sampai di Sambal Lesung. Romi, Okta dan Yana
sedang otw ke mari. Kami sudah janjian tadi sore untuk makan malam bersama
karena besok pagi Yana bakal pulang kampung. 3 menit kemudian, tibalah Romi di
sini. Kami masih belum memesan karena menunggu Okta dan Yana dulu. Mulailah aku
bercerita kepada Romi tentang kisah ‘keribetan’ku hari ini. Sejak awal, dia
memang sudah tahu seluk beluk proses ini dan dia merupakan adik yang sangat
berperan dalam penyelesaian skripsiku.
“…Mbak hujan-hujanan loh Dek ke Gobah tuuu! Sampai d Gobah
udah basah kuyub aja baju Mbak. Eh, pas nemuin Pak Danur… Bapak tu seperti
biasa… ngomongnya; ‘Saya tanda tangani ajalah ya.. lagian kamu juga nggak pernah
bimbingan sama saya’. Mbak dieeemmm aja. Terus, Mbak sodorkanlah surat
persetujuan sebagai Pembimbing II ke Bapak tu Deekkk. Dann..”
“Loh? Mbak belum minta tanda tangan itu toh?”
“Itulah Mbakkkmu ini ceroboh. Eh, Bapak tu ngomong gini ke
pak Sumarno; ‘Pak, Bapak jadi saksi yaa.. Dia baru sekarang minta tanda tangan
saja sebagai pembimbing II padahal dia udah mau ujian kompre pula dia sekarang.’
Gitu loh Dek kata Bapak tuuuu. Terus dibilangnya lagi; ‘Kan berarti selama ini
kamu nggak nganggap saya sebagai pembimbing kamu. Saya lihat, kamu makin
sombong ya nampaknya.’ Pokoknya Mbak diaaam aja Dek. Terus Mbak bilang dengan
rendah hati; ‘Maafkan saya ya Pak’. Gitu. Tapi yang penting kan Bapak tu udah
ACC dan Mbak dipersulit. Alhamdulillah..”
“Ya Allah Mbakkk…sabar yaaa. hahaha. Aku pun tadi nungguin
Pak Almasdi sampai sore nggak ketemu dia juga akhirnya. Rapatnya lama kaliii. Huammm…sibuk
kali Mbak Bapak tuuu.”
Yana dan Okta baru saja tiba.
“Nah, ini buat Kaliannn… Kakka kasih tahu sekarang yaaa…
Yang harus kalian kuatkan itu adalah MENTAL kalian Dek selama nyelesaikan tugas
akhir ini. Akan banyak tekanan di sana. Kalau masalah kecerdasan fikiran, Kakak
yakinlah kalian pintar dan bisa pintar-pintar. Tapi, kalau MENTAL kalian nggak
sekuat baja, pasti bakal sulit,” jelasku.
“Bener Kak! Nggak penting doh seberapa tebal skripsi kita
atua sehebat apa judul kita, yang penting kita bisa S.Pd. dah! Habis cito! Hahaa,”
sahut Okta.
Pesanan kami sudah terhidang dan kami segera menikmatinya. Cerita-cerita
konyol dan terkadang inspiratif terus mengalir dari bibir-bibir kami. Sesekali kami
rebutan dan curi-curian makanan juga. *Childish is never end.
“Teguh mau ke sini katanya!” kataku setelah baru saja
ditelvon oleh Teguh.
“Ngapain dia, Mbak?” tanya Romi.
“Dia mau bimbingan essay sama Mbak. Sihiyyyyyy! Hahaha.”
“Sok-soook!” sahut Okta.
“Eh, kalian cowok kan?” tanyaku pada Okta dan Romi. Mereka berdua
mengangguk polos. “Mbak mau nanya… kalau seandainya saat ini Allah memberitahu
siapa jodoh kalian… maka apa yang akan kalian lakukan?” lanjutku.
“Ya…. Romi sih diem aja Mbak. Toh, Romi belum siap nikah
sekarang.”
“Gitu yaa? Bukannya kalian malah jadi pengen lebih dekat
sama dia, lebih bisa menjaga diaa, lebih ingin mengenal diaa…bla bla bla?”
“Nggak tuh! Romi tu Mbakk… kalau ada cewek yang bilang kalau
dia suka sama Romi, Romi malah jadi takut sama diaaa.”
“Ya udahh… kalau gitu, sekarang Mbak bilang kalau Mbak suka
sama mu Dekk..hahaha.”
Romi terbahak. “Bangke! Kalau itu aku nggak takut, malah
jijik! Hahhaaa.”
“Aku pun gitu woooyyy.. Dulu sihhh.. aku tu takut kali kalau
ngobrol sama cewekk,” kata Okta.”
“Sekarang? Nggak tahu malu? Hahaa,” sahutku lagi.
Obrolan seru kami malah semakin seru ketika Teguh bergabung
bersama kami. Suara pengamen yang tadi dirasa sangat mengganggu kuping,
sekarang malah kalah volumenya dengan suara kami. Setelah azan Isya
berkumandang… kami pun pulang ke habitat masing-masing.
“Eh, kalian udah pada bayar parkir?” tanyaku ketika
masing-masing kami sedang memutar motor.
“Belummm…” jawab mereka serentak.
“Ya sudah, tenang saja.. biar sayaa yang traktiirrr!”
kataku, sok menjadi pahlawan.
“Huhuuuuu..bububuyuuuuu!”
“Huuu… soknyaaaa nggak ketulungan!”
“Makaciih Kak Ciiiinnn.”
Kata mereka bergantian. Aku tak kalah merasa geli. Hahahha.
Teguh ku suruh sholat isya dulu di Arrafah barulah setelah itu ke kosanku untuk
mengerjakan essaynya. Dia memang sangat rakus dengan perlombaan. Kali ini dia
ingin mengikuti lomba Essay Fisika, padahal jurusannya Manajemen. Hahaha. Saya suka
gayamu hei anak muda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar