Rabu, 24 Februari 2016

Apa adanya kamu, sudah Melengkapiku



Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini sejatinya sedang hidup bersama TAKDIR yang telah ditakdirkan baginya. Ada jenis takdir yang bisa kita otak-atik lewat doa dan upaya. Ada pula jenis takdir yang hanya perlu kita terima dengan segala keikhlasan dan kesabaran. Dan tentang yang satu ini, setiap orang mempunyai jalan ceritanya masing-masing. Bagi kita yang saat ini merasa bahagia, syukurilah kebahagiaan ini sebelum ia berubah menjadi duka. Bagi kita yang saat ini sedang berduka, bersabarlah karena sebentar lagi kebahagiaan akan menjelang. Di mana pun kita berada saat ini, syukurilah segalanya. Kita tidak perlu menunggu duka sehingga mampu menghargai bahagia. Sebaliknya, kita tidak perlu menunggu bahagia barulah kemudian belajar memaknai duka. Segalanya terjadi untuk kita ambil pelajarannya. Dan hanya mereka yang BELAJARLAH yang akan menjadi seberuntung-beruntungnya manusia

*Takdir - Metamor(Prosa)

***
Seperti 2 hari sebelumnya, pagi ini aku kembali mengantarkan dek Ami ke sekolah. Alhamdulillah tadi kak Dewi memberiku uang Rp 10.000 untuk bensin. Bertepatan banget aku nggak punya uang dan Rini nggak punya uang selain Rp 5000 miliknya, itu pun untuk membeli lontong. Jadi, aku bisa sarapan juga akhirnya pemirsa.
“Rin,  hari ini Yudi wisuda. Nanti kita ke sana sama-sama ya!”
“Okeeeh.”
Barusan Lia menelvonku. Ia minta diajarkan untuk berkreasi hanya dengan 1 jilbab. Kali ini ia tidak ingin serempong yudisium kemarin ternyata. Padahal baru aja semalam aku berkata kepada Rini; ‘Lia kok nggak minta aku jadi stylish hijabnya ya? Padahal kan aku bisaaa.’ Eh pagi ini ia seolah mendengar apa yang ku katakan itu.
“Nanti sekitar jam 11 Lia ke sini, jadi siap-siap yaa Cuuy! Terus, kalau misalnya aku nggak pulang, kalian langsung aja ke TKP dan kita ketemuan di sana yaaa. Makanya aku langsung aja pakai kebaya nih! Nanti Lia akan ngasih kebaya putih ke Rini dan Rini pakai Rok batikku ini aja ya!”
Aku menyodorkan rok batik vintage berwarna orange milik mami. Kalau aku muat, tentu aku yang akan memakainya. Tapi Rini malah bilang…
“Aku pakai rok ini? Malas ah, nggak bagus puuunnn.”
Aku terperanjat. Terdiam. Tak tau harus mengeluarkan kata-kata untuk membela rok warisan mami itu atau diam saja dan menerima.

“Apanya yang nggak bagus Rin? Itu bagus loh! Emang sih motifnya jadul karena itu kan punya Mami dulu. Tapi trendy kok.”
Sepertinya Rini jadi tak enak hati. Mungkin kalau bisa, ia ingin menarik kalimatnya tadi supaya tidak menyinggungku. Aku pun diam saja. Tidak ingin terlalu memaksakan kehendak apalagi aku faham adakalanya seleraku dan Rini memang sangat berseberangan. Inilah salah satunya.
“Aku pergi yaa. Bubububuyuuuu.. Assalamualaikum!”
Aku segera melaju menuju kampus. Jalan lintas di depan Hima ESA ternyata ditutup karena sedang berlangsung SEO (Sumatran English Olimpiad). Selanjutnya aku berjalan kaki dan langsung menghampiri junior di bangku taman. Ternyata ia tak tahu tentang jadwal pak Marno atau bu Feni hari ini.
“Elissssss!” sapa seorang Senior 09  kepadaku.
Aku melambaikan tangan padanya agar ia mendekat ke mari. Kami ngobrol-ngobrol ringan sambil menunggu dosen yang sama. Tak ketinggalan, aku juga memintanya untuk memfotokanku berkali-kali. Sampai ia nyaris bosan, ehhe. Di sela-sela obrolan tentang rumitnya administrasi kampus ini, sampailah kami pada obrolan yang sangat menyayat-nyayat hati.

“Jadi, Mama Kakak udah nggak ada ya?”
“Mama Kakak meninggal ketika Kakak sedang dalam perjalanan mendaftar ulang ke UNRI dulu El. Kakak kan PBUD, jadi lebih duluan masuk kuliahnya. Nah, saat itulah tiba-tiba dapat telvon kalau Mama udah nggak ada,” tuturnya, datar.
“Terus? Kakak pulang lagi?”
“Iyalah. Kakak langsung pulang.”
“Hemmm…pasti Kakak sedih kali lah ya saat ituu?”
“Sedihlah Lis dulu. Tapi ada hikmahnya juga sih.”
“Hah? Apa hikmahnya menurut Kakak memangnya?” tanyaku, agak heran. Biasanya, urusan kematian itu hanya butuh diikhlaskan dan aku berlum pernah mendengar tentang ‘hikmah’ seperti ucapan barusan.
“Orang yang sedihnya terlalu dalam kan kasihan Lisss.”
“Loh? Mama Kakak sedih karena apa memangnya?”
Saat itulah terungkap semua cerita. Dengan entengnya si kakak menceritakan semuanya kepadaku. Ia seolah tak punya rasa khawatir tentang orang yang seharusnya dipilihnya sebagai tempat bercerita. Antara ia dan duka seolah sudah menjadi teman setia. 

“Jadi, Kakak benci nggak sama Bapak Kakak setelah Kakak tahu semuanya?”
“Hemmm… biasa aja sih Lis. Walau bagaimanapun, dia kan tetap Bapak Kakak.”
“Kakak benci nggak dengan anak Bapak Kakak dari istri mudanya itu?”
“Kemarin Kakak baru jumpa sama mereka. anak pertamanya itu udah punya 2 istri Lis. Mirip kayak kelakuan Bapaknya kan? Emmm.. Kakak biasa aja sih sama mereka. Kakak kan nggak ada masalah sama mereka.”
Benar-benar jawaban yang polos dan sederhana.
“Bapak Kakak sekarang masih ada?”
“Masih Lis. Masih sehat. Sejak duluuu… Mama Kakak yang membiayai kehidupan kami Lis. Bapak Kakak itu nggak kerja dan pemalas.”
aku menyahut dengan geram. “Terus kenapa kok sampai hati dia selingkuh Kak? Ya Allaaahh.”
“Itulah yang Kakak pun nggak habis fikir. Ibu Kakak kan meninggalnya tahun 2009 dan Kakak baru tahu semuanya setelah Ibu Kakak meninggal. Bapak Kakak itu ternyata udah menikah lagi sejak tahun 2003. Berarti setidaknya selama 6 tahun itulah Ibu Kakak bersedih Lis. Yang Kakak saluti dari mereka berdua adalah karena mereka nggak pernah sekalipun BERANTEM di depan anak-anaknya. Kami benar-benar nggak pernah tahu kalau antara mereka berdua itu nggak akur.”
Bagaimana bisa wanita di depanku ini bercerita dengan raut wajah sedatar itu? Tak ada guratan kesedihan sama sekali yang terbaca dari wajahnya. Aku berusaha menemukannya, tapi tak jumpa. Mungkinkah duka telah melebur dalam sgala nuansa hatinya? Sementara aku sudah sejak tadi sesak dan  berkaca-kaca karena mendengar ceritanya. Lalu bagaimana bisa ia biasa saja? dia begitu tegar.

“Mama Kakak cuma berpesan 1 hal dulu Lis; ‘Besok setelah tamat kuliah, nggak usah pulang lagi ke rumah. Di Pekanbaru ajalah,’ gitu aja pesannya Lis.”
“Sekarang Bapak Kakak tinggal di mana?”
“Di rumah kami yang dulu. Padahal antara Mama dan Papa itu dulu ada perjanjian, siapapun yang selingkuh maka ia haru pergi dengan baju yang dipakainya ketika selingkuh itu. Harus meninggalkan rumah, harta dan anak-anak nggak boleh dibawa.”
“Trus, kok sekarang Bapak Kakak tu kembali ke rumah itu? Nggak tahu diri kali dia Kak!” ketusku.
“Itulah Lis. Macam mana laaah. Mungkin karena sekarang Mama udah nggak ada. Karena kejadian ini, Kakak kadang pesimis dengan pernikahan Kakak nantinya. Bahkan Kakak nggak tahu apakah akan menikah atau nggak. Dan Kakak paling benci dengan cewek ‘gatal’ dan menye-menye sama cowok. Kalau ada teman Kakak yang mengeluhkan orang tuanya, Kakak selalu bilang; ‘Udahlah, nggak usah kalian cerita itu ke aku. Aku udah khatam dan jauh lebih parah daripada yang kalian alami’. Pernah ada teman Kakak yang bilang; ‘Eh, Bapakmu itu yang tukang kawin itu kan?’ hahaa.. Kurang asem kali kan pertanyaannya Lis?” jelasnya, dengan wajah sewajarnya. Bahkan cenderung terlihat seperti orang yang bahagia dan tanpa duka. How could you be this Kak?
 
***

Aku mengikuti langkah pak suarman dari belakang. Ikut masuk ke dalam ruangan dan hendak meminta tanda tangannya. Tapi, ia menyarankanku untuk menuntaskan tanda tangan penguji yang lainya terlebih dahulu. Karena ia tetap standby di sini dan mudah ditemui. Aku pun kembali melanjutkan tunggu.
“Kak, ke Prodi yuk? Bu Fenni sedang bimbingan di atas.”
Aku bergegas ke Prodi dan bersabar menunggu selesainya bimbingan pertama. Karena aku hanya meminta tanda tangan, maka adik yang mengajakku tadi rela mempersilahkanku duluan.
“Benar kan apa yang saya bilang kemarin. Kamu nggak percaya siih!” kata bu Fenny.
“Iya Bukk. Kemarin udah memastikan. Ternyata benar pak Dekan kita udah Professor. Oh ya Buk, Ibuk nanti mau jilidan skripsi saya atau bagaimana?”
“Oh nggak usah. Saya mau scan lembar pengesahan penguji ini aja ya nanti setelah ditanda tangani semuanya.”
“Okay Buuukk. Makasih. Permisiii.”
Aku kembali lagi ke koridor di depan kelas C7, menunggu pak Sumarno. Lia barusan menelvonku dan ternyata ia belum ke Panam sekarang karena harus mengurus Adek asuhnya di Rumah Sakit. Lagipula urusanku juga belum selesai. Aku menunggu hingga pukul 11.25wib.
“Kak, kata Pak Marno besok aja. Jam 9. Barusan kami dapat kabar.”
“Huahhhhhhhhh…! Bilang kek Pak sejak kemarin subuh, hehe. Makasih ya Dekkk!”
Aku segera membeli nasi bungkus di RM Mandiri dan langsung pulang. Rini ternyata masih tidur. Bahkan dia belum mandi. Hissss, jorkiii!”
“Wooohh, nangboruuuuu! Banguuunnn! Selalapnyaaa tiduuurrr!”
Rini menggeliat. “Loh? Lia mana? Kok nggak jadi datang dia?”
“Masih ngurusin adek-adek asramanya. Yuk makan! Atau Rini mau marhepeng (baca: mandi) dulu?”
“Marhepeng itu artinya ber-uang loh El.”
“Hhehee.. kalau nggak ada uang apa bahasa bataknya?”
“Nang Hadong Hepeng.”

Kami menikmati makan siang sambil nonton comic story.
“Kemarin aku udah nggak pernah sarapan 2 minggu Rin, aku juga nggak pernah minum es teh lagi. tapi ternyata nambah juga pun berat badanku 3kg. Jadi, mending ku makan aja semuanya ha!”
Rini tertawa mendengarku. Lia menelvonku lagi. Ia sedang menuju ke sini ternyata. Aku dan Rini dimintanya nyusul ke Gedung Gasing. Tapi ternyata proses persiapan kami tidak sesingkat itu. Butuh setengah jam juga untuk menyelesaikan semuanya.
“Ini jangan-jangan Lia sama Yudi udah muak nunggu kita ya Rin! Bububuyuuu. Eh Rin, kalau aku pakai topi Vedora ini ke kampus, kira-kira aneh nggak ya? Terik kali soalnyaaa.”
“Cocok-cocok aja kok! Eh, gaya kita kok kayak orang mau hang out gini El?”
“Iya yaaa. Biasanya orang agak nge-jreng kalau menghadiri acara wisuda gini ya Rin. Ini malah kita nggak nanggung-nanggung nyantainya. Hehe. Kita kan pengen tampil peda Rin.”
“El niru-niru aku ya? Kok baju kita sama-sama bertema hitam-putih sih?”
“Rini yang nyontek aku.”
“Eh, enak aja! Aku duluan ya yang selesai ber-kostum tadii!”
“Iya, tapi Rini nyuri ide di kepalaku kan?”
Rini tak menyahut lagi. Mungkin dia lelah pemirsaaa.

“El, Elll hati-hati wooy!” pekik Rini ketika aku memaksa motor ini naik ke trotoar jalan.
“Pegangan Riiin! Emangnya Rini udah lupa gimana aku kalau naik motor?”
“Iya juga yaaa. Maklumlah El udah beberapa bulan aku cuti dibonceng El. hehee.”
Benar saja, sesampainya kami di TKP, Yudi dan Lia udah bubar. Bahkan gedung ini udah sepi. Ketika ku telvon, ternyata Yudi sedang lunch bareng keluarganya. Aku tidak ingin kedatanganku ke sini sia-sia, setidaknya da beberapa jepretan yang ku dapatkan. Hehee. Setelah itu, aku mengajak Rini ke beberapa tempat asing untuk melanjutkan hunting foto. Sampai hujan turun dengan derasnya dan menghentikan kami. Kami memilih berteduh di LPPM UR. Aku mengajak Rini duduk di lobi PSB (Pusat Studi Bencana) sambil ngecas HP dan ngobrol ria.

Ku ceritakan kepada Rini apa yang melatarbelakangiku sedemikian cepat mengerjakan SKRIPSI selama 2 bulan kemarin. Aku juga menceritakan kepadanya tentang raguku pada seseorang; semakin dia berjanji dan menyatakan sesuatu, semakin aku ragu dan tak percaya. Lama kelamaan kami mulai mengantuk karena hujan di luar sana tak berhenti sementara cerita rasanya sudah habis dikisahkan. Rini menyandarkan kepalanya di sofa dan matanya mulai terpejam. Tapi, mendadak aku teringat sesuatu.
“Rin, Riiin. Mau dengerin ceritaku lagi?” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan bahu Rini.
“Ceritalah! Tapi aku sambil merem yaa. Mataku pedih soalnya.”
“Gini Rin, tadi aku jumpa dengan seniorku yang angkatan 09. Dia aneh Rin, ketika dia menceritakan tentang kerusakan keluarganya ke aku tapi dengan ekspresi datar; sama sekali nggak tergambar di wajahnya kalau dia sedang menceritakan sesuatu yang sedih. Padahal, mataku aja udah berkaca-kaca loh! Aku berfikir, kuat kali lah Kakak itu. Dari wajahnya kita nggak akan ngira kalau keluarganya broken Rin, karena Kakak tu ceria aja. Tapi memang sih, Kakak itu mudah mengeluh. Hemmm… aku belum tentu bisa setegar dia kalau berada di posisinya. Rin, kita berdoa yaa, semoga nantinya keluarga yang kita bangun SUKSES dunia-akhirat. Nggak gagal apalagi kandas di tengah jalan kayak gitu.”
“Aamiin ya Allah.”

Pukul 16.00wib hujan baru saja berhenti. Aku dan Rini langsung pulang. Ketika kami berjalan menuju parkiran…
“Oh ya, ternyata Mamanya Kakak tu dulu diguna-guna sama Bapaknya Rin makanya mau dinikahi padahal Bapaknya tu pemalas sejak muda dulu.”
“Ya Allah. Ngeri kalau udah pake guna-guna ni El urusanya.”
“Itulah Riiiin. Naudzubillah. Makanya, kita disuruh membaca DOA PAGI SORE. Terutama membaca 3 Qul; Al-ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, saat sore dan pagi hari. Kan Rosulullah bilang bahwa sesiapa yang membaca 3 surat itu dipagi hari, maka akan dilindungi dari gangguan jin sampai sore hari. Dan sesiapa yang membacanya saat sore, maka ia akan dilindungi hingga pagi hari. Kalau kita nggak sempat membaca semua doa pagi-sore, setidaknya 3 Qul tadi dan ayat kursi sempatkanlah Rin. Karena ilmu sihir, guna-guna itu nggak ada penangkalnya kecuali doa.”
“Sereeeeem kali ya El.”
"Ku doakan, semoga Rini nanti berjodoh dengan orang yang bisa menyayangi Rini setulus hati, menerima Rini apa adanya, bisa membahagiakan Rini dan menjadi jodoh dunia-akhirat."
"Aaamiinn ya Allah."

***

Setelah sholat Maghrib…
“Rin, masih mau makan mie ayam atau mie goreng brebes aja?”
“Emmmm… El apa?”
“Aku sih pengennya mie goreng brebes aja. Lebih kangen itu. Mie ayam sekarang udah 11 ribu juga loh harganya.”
“Oke deh! Mie Brebes yang di perempatan atau yang di Manyar El?”
“Aku sih pengennya yang di perempatan. Rini pengennya?”
“Pengen yang di Manyar. Emmm..ya udah deh, aku ngikut El aja.”
Aku rindu dengan kemudahan MENGAJAK seperti ini. Terutama, yang paling aku rindukan adalah orang yang bisa selalu ku ajak; Rini. Ia sangat jarang berkata TIDAK atas ajakanku. Justru aku yang sering bange PHP-in dia; aku yang awalnya mengajak, eh akhirnya aku yang membatalkan. Tapi, bukan Rini namanya kalau dia pemarah dan perajuk. That’s why I love here too much.
“Lah Mas? Tadi kan saya pesannya telurnya diorek dengan mie-nya?” kataku ketika pesanan terhidang.
“Oh gitu ya Mbakk?”
“Tapi nggak apa-apa deh Mas. Makasih yaa.”
“Maaf ya Mbaak,” sambil berlalu.

Aku dan Rini mulai menyantapnya. Eh, tapi , tunggu dulu! Ini beneran diorek kok ternyata telurnya. Wah, berarti double telur nih di sajiinnya. Hemmm… Rini menyarankanku untuk segera mengklarifikasinya. Tapi aku memilih untuk mengklarifikasi di akhir saja dan sudah menyisihkan uang untuk membayar lebih. Apalagi aku tahu bahwa harga telur naik sekarang.
“Rin, habis ini kita sholat Isya di Arrafah ya. Terus, temenin aku ke Pasar Senggol.”
“Yuhuuu…”
Aku menatap serius ke arah Rini. “Rin, makasih ya sudah melengkapi hidupku selama 3 tahun ini.”
Rini mengernyitkan dahi lalu membuang muka. Tapi, kemudian ia berkata.. “Bukan aku yang melengkapi El, tapi kita yang saling melengkapi. Hueekkkkkkkksss!”
“Ihhhhh..so sweet banget sih kamu ciiiinn!”
Hidung Rini masih meler juga. Pasti tidak nyaman rasanya makan dengan hidung meler seperti itu. Tapi, melihat Rini berulang kali mengusap hidungnya membuatku punya bahan cerita baru…
“Rin, yang paling menyiksa itu kalau kita sedang belajar di kelas, hidung kita meler, terus ada dahak di tenggorokan yang kalau sampai kita terbatuk, semua orang pasti ngelihat ke arah kita. Hahaha.”
“Iyaa iyaa, bener tuh!”

“Aku pernah kan Rin waktu SMA kayak gitu. Dulu, setiap kali aku demam, pasti berubah jadi flu, kalau udah flu pasti ujung-ujungnya jadi batuk berdahak. Terus, aku sering kali nahan nafas supaya nggak tersedak dan akhirnya menimbulkan batuk sementara di tenggorokan terasa banyak dahaknya, hiyuuuuuuh. Jadi, sewaktu belajar, aku lebih fokus menjaga batuk daripada memperhatikan guruku Rin. ahaaha. Pas istirahat, barulah ku batukkan sepuasnya di WC. Jorkiii banget lah pokoknya! Dan, parahnya dulu kalau udah batuk, pasti lamaaaaaaa kali sembuhnya Rin. Padahal udah minum obat juga. kadang sampai 3 bulan loh sampai-sampai aku mikir jangan-jangan aku kena TBC.”
“Iyaaa.. kita jadi segan kan kalau mau batuk di kelas. Takut ngeribut, hehee.”
“Eh iya Rin, dulu kan waktu masih SD aku selalu ngaji ke mushola setelah maghrib sampai isya. nah, setelah aku khatam al-Quran, ku bilang gini sama Mami; ‘Mi, Berarti El nggak usah ngaji lagi kan? El udah khatam soalnya’ terus kata Mama; ‘Ya terus ngaji lah. Diulang lagi dari awal. Ngaji itu seumur hidup El’ terus ku jawab lagi; ‘Yah, kalau kayak gitu capeklah. Nggak selesai-selesai’. Biasanya Mamaku jawaban pamungkasnya gini; ‘Mau masuk neraka El?’. Ngeri kali lah ancamannya.”

“Semua orang tua kayak gitu memang. Aku pun dulu diancam masuk neraka juga kalau nggak ngaji. Apalagi sekolahku kan sekolah orang China dulu. Jadi, pelajaran agama Islamnya dikit, nggak cukup lah untuk kita. Akhirnya aku di MDA-kan dari kelas 1 SD sampai 4 SD.”
“Untunglah ya kita dibekali dengan ilmu agama sejak kecil Rin. kita juga besok harus membekali ilmu agama yang mantap untuk anak-anak kita.”
“El, nggak habiiiss..” kata Rini sambil menunjuk piringnya.
“Sini biar ku habisin! Sayang kali pun! Oh, berarti ceritanya aku Tukang Bersihin Makanan Rini nih?”
“Daripada terbuang kan sayang.”
"Nah, aku makan nih dan Rini baca dulu tulisanku untuk tanggal 23 kemarin yaaa!"
Mulailah Rini membaca tulisanku dan sesekali memperbaiki ejaan yang salah.
"Gimana Rin? Bagus?" tanyaku setelah Rini selesai.
Dia manggut-manggut.
"Cucok?"
Rini manggut-manggut lagi.
"Lengkap dan mengalir?"
Rini menangguk dan tersenyum masam. Seolah berharap itu adalah pertanyaanku yang terakhir.
"Ku tanyalah sama Rini. Apa jadinya kalau semua kisah yang Rini baca tadi nggak ku tuliskan? Sayang banget kan? Sementara kalau tertulis dengan rapi kayak tadi, semuanya jadi lebih berharga dan 'mahal'."
"Iyaaa El sayang kali kalau nggak El tulis."
"Nah, kalau ku minta Rini merangking, kira-kira tingkat ke-sayang-an kalau aku nggak nulis, berapa? Rentangnya dari 1-10."
"10."
"Sihiyyyyyy..Maksimal daaank! Makacih ya untuk selalu mendukungku menulis, beeebbb!"
"Iyuuuhh!"
Setelah makan malam selesai, azan sudah berkumandang, maka kami langsung menuju mushola Arrafah. Makmum sholat Isya ternyata banyak banget. Mushola ini nyaris penuh. Wahhhh, serasa kembal ke suasana ramadhan lagi nih!

***

Setelah beberapa tempat kami singgahi, akhirnya mataku tertuju pada long blazer hitam yang dipajang di patung. Ternyata Rini pun memperhatikan hal yang sama. Segera kami mendekat dan mulailah terjadi tawar-menawar…
“Ini Rp 145.000 Dek harganya.. Bisa kurang..”
Aku mengkode Rini bahwa tawaran harga ini cukup tinggi. Tapi sejujurnya aku memang sudah jatuh cinta dengan blazer ini. Selain berkelas, bahannya juga lembut dan dijamin nggak akan kepanasan meskipun dipakai dimusim panas.
“Emmmm…. 70ribu ya Kak?” aku membuka penawaran.
“Nggak dapat doh Dek. Kakak kasih tahu aja ya Dek modalnya. Ini Rp 75.000 Dek. Jujur aja Kakak kasih tahu Adekk.”
Aku berfikir lagi. Tapi, aku masih belagak nggak terlalu mau dan nggak terlalu butuh. Perlahan ku langkahkan kaki untuk pergi.
“Dek, berapa lah Adek kasih Kakak? Biar jadi kita Dekkk.”

Mataku tertuju pada 1 lagi long kardi. Tapi yang ini lebih mirip baju kemeja panjang dan model kancingnya masih jauh lebih keren yang tadi. Harganya pun berbeda. Yang ini dibuka dengan harga pas Rp 90.000. Aku mengkode Rini; yang mana yang lebih dia rekomendasikan untukku. Tapi sesuai tebakanku, Rini lebih memilih kemeja hitam ini.
“Yang long blazer itu bahannya lebih tebal Dek daripada kemeja ini karena yang ini ciffon bahannya makanya lebih tipis. Tapi menurut Kakak jauh lebih mewah yang long Blazer tadi lagi Dek,” jelas si Kakak.
Sejak awal, aku melihatnya sebagai penjual yang baik; tidak muluk-muluk mengumbar kualitas, tidak terlalu memaksaku dan mau membantuku mempertimbangkan pilihan. Alhasil, karena sekarang ada 2 pilihan, aku jadi galau tingkat peri. Ku coba berulang-ulang keduanya. Mungkin lebih dari 10 menit. Rini sampai mencari kursi untuk duduk karena capek dan main HP karena bosan melihatku yang plin-plan.
“Sholat istikharoh dulu sana Eeell!” celetuk Rini.
Aku hanya tertawa dan masih terus mencoba berulang-ulang sampai benar-benar yakin.
“Oke deh Kak, yang blazer ini saya pilih! Berapa harganya Kak? Biar deal kita. 80 ya?”
“Nggak dapat doh Dek kalau 80.”
“Ya udah 90  ya Kak? Plisss..”
“Tambahlah 5000 ya Dek.”
“Nggak lah Kak, 90 aja ya ya yaa?”
“Maril siniii.”

Alhamdulillah, long blaser impian sudah ku peroleh. Berharap ini bisa multifungsi. Apalagi nanti di tempat pengabdian; harus serba praktis tapi tetap tertutup. Warna hitam seolah sudah menjadi syarat pada setiap penampilanku. Kata orang, warna hitam itu memunculkan sisi MISTERIUS dari diri kita. Sihiy. Selanjutnya, aku mencari sepatu karet.
“El nggak bosen pake sepatu karet terus?”
“Bukan masalah bosan atau nggaknya Rin. kali ini aku memang butuh untuk di desa nanti. Sepatu ini kan praktis dan awet. Jadi, aku hanya perlu bawa 1 sepatu aja dan nggak rempong. Kemarin waktu ke Air Terjun Aek Matuo aja aku pakai sepatu pansus karet sementara yang lainnya pakai sepatu sport. Hahaa. Ya sah-sah aja kan sebenarnya selagi sepatu itu nyaman di kaki dan nggak mudah lepas?”
“Sepatu anti badai ya El namanya. Hehhe. Eh, yang ini cantik El!”
Aku terpelongo melihat sepatu yang ditunjuk Rini. Modelnya agak ramai karena banyak tonjolan-tonjolan prisma di semua disisi. Lebih mirip sepatu anak punk hehhee.
“Rin, serius ini Rini bilang cantik?”
“Iya loh. Bagus El.”
“Aku nggak nyangka Rin pilihanmu seaneh ini. Emangnya kalau Rini make sepatu ini Rini nggak malu?”
“Nggak kok, manis kok!”

Aku ngakak berulang kali karena Rini. Orang sesimpel Rini kok bisa-bisanya suka dengan sepatu berduri-duri seperti ini sih?”
“Ini lebih mirip kayak mau ngajak orang berantem loh Rin. kalau untuk nendang, pasti sakit.”
“Nah, makanya itu, kalau nanti ada orang yang macam-macam sama El, tinggal El tendang aja dia dengan sepatu ini. hehee.”
Aku akhirnya mengajak Rini melihat ke tempat lain. Tapi, ibu penjual itu ternyata bilang gini…
“Dek, belilah Dek, tapi udah cocok dengan barang ibuuu.”
“Nggak bu, kami mau lihat-lihat model yang lain duluuu.”
Aku segera ngacir. Mungkin Ibu itu mengira aku tertawa-tawa tadi karena suka.
“Rin, Ibu itu masih ngelihatin kita nggak?”
“Nggak kok!”
Setelah merasa cukup aman, akhirnya aku membeli sepatu karet yang lebih imut dan gue banget. Harganya Rp 4500. Aku udah coba bandingin dengan tempat lain, ternyata memang tempat ini yang paling rumah. Wajar saja kalau seramai ini pembelinya dan juga banyak pilihan. Cash flownya pasti lancar nih! Fikirku.

Tujuan selanjutnya adalah membeli **derwear. Aku agak malu-malu. Malu banget bahkan untuk mendekat.
“Rini nggak malu? Ada abang-abang yang ngelihatin kita nggak Rin?”
“Ngapain malu? Semua orang juga pake ini Ell.”
Akhirnya ku beranikan diri mendekat sambil menebalkan muka dan nggak mau melihat ke arah lain. Takut melihat orang yang dikenal, wkwkwk. Aku tidak ingin lama-lama di sini makanya milihnya lumayan cepat. Sebelum meninggalkan tempat, aku iseng bertanya kepada kakak penjualnya perihal G-String yang dijualnya..
“Kak, memangnya apa manfaat G-String itu kak?” tanyaku dengan polosnya.
“Hhehe.. nggak tahu juga dek.”
“Ada juga yang mau beli Kak?”
“Ya ada lah Dek.”
Dalam perjalanan menuju parkiran, Rini menertawakanku. “Untuk apalah El tanyain itu tadi?”
“Ya namanya aku penasaran Rin. hahaha. Modelnya pun aneh gitu.”
Rini sudah mengantuk dan matanya sudah memerah. Aku segera bergerak meninggalkan pasar senggol.

***

“Cantik nggak Rin?” tanyaku sambil mencoba blazer baru.
“Cantiik. Dah, jangan tanya-tanya terus!”
“Rin, percaya nggak percaya, setiap kali kita belanja bareng, pasti selalu ada barang yang jenisnya 2; cocok denganku atau cocok dengan Rini. Kayak yang kemeja hitam tadi tu, itu kan lebih cocok kalau Rini yang makai. Pakaian itu ternyata punya karakter seperti pemakainya ya Rin!”
“Iya yaaa.”
“Oh ya ampuuunnn.. aku lupa bikini Tutorial hijab untuk Liaaaa.”
Segera ku pakai jilbab dan memfotonya step by step. Lalu ku kirimkan kepada Lia. Lia sangat suka.
“Rin, sini ku pijetiin!”
“Nggak mau! El cari kesempatan aja kan megang-megang aku?”
“Nggak kok. Kali ini no modus. Kasihan aku lihat Rini nggak sembuh-sembuh gini.”
Akhirnya Rini mempercayakan tangan dan kakinya untuk ku pijetin. Setidaknya, sekalipun panasnya Rini tidak berkurang, aku bisa mentransfer energy positifku kepadanya.
“Makin banyak aja pernak-pernik El ni ku lihat!” kata Rini sambil memegang-megang aksesorisku di meja rias. “Beliklah rumah lagi Ell!”

“Aamiin ya Allah.. pengen kali aku Riiin. Doakan ya. Pokoknya Rini harus datang besok kalau aku adain acara mendoa di rumahku!”
“Asal lah El sediakan pizza buatku. Hahaa. Nggak tahu diri kali kan aku?”
Setelah selesai ku pijetin, Rini tidur. Sementara aku masih membereskan kamar dan nggak tahu kenapa kok rasanya aku jadi deg-degan menyadari bahwa besok adalah hari wisudanya Lia ya? Deg-degan seolah-olah besok aku yang akan di make-up-in dan harus ke salon sejak subuh hari. Huahhhhh. Malam ini si ganteng (baca: kucing) tidur bersama kami. Ia tidur di dekatku. Tadi Rini sudah berusaha mengelus-elusnya supaya mau tidur didekatnya, tapi hasilnya nihil. Mungkin karena Rini nggak sehat, makanya si ganteng takut tertular. Hehe.

*Tulisan ini diselesaikan pada hari Kamis, 25 Februari 2016

Tidak ada komentar: