Senin, 22 Februari 2016

Barter Kepentingan



Tugas kita bukanlah MEMBUAT orang lain menjadi BAIK. Tugas kita adalah MEMBANTU orang lain menjadi LEBIH BAIK. Karena membuat orang lain menjadi baik itu bukan kuasa kita. Baik itu adalah soal keputusan yang diawali dengan niat HATI. Sedangkan urusan HATI, itu benar-benar urusanNya. Maka, kapanpun dan di mana pun kita diberi kesempatan untuk berbuat baik, LAKUKANLAH! Bukankah dunia ini akan menjadi jauh lebih indah jika jumlah orang-orang yang BAIK semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya? Karena surge itu terlalu SEMPIT jika dihuni oleh kita sendiri.

*Tentang menebarkan kebaikan – Metamor(Prosa)


***

Kak Dewi mengetuk pintu kamarku sementara aku tengah bersiap-siap…
“El,  bisa kan ngantarin Ami pagi ini?” tanyanya.
“Bisa Kak. Ini sedang siap-siap.”
Ah, ini kesempatan baik untuk barter KEPENTINGAN!
“Oh ya Kak, Rini mau nginap di sini karena dia mau ngambil ijazahnya Kak,” kataku sebelum kak Dewi berbalik badan.
“Kapan dia datangnya El?”
“Bentar lagi Kak. Agak-agak 4 hari lah dia akan di sini.”
“Nggak apa-apa El. Bawalah sini.”
YESSS! Alhamdulillah. Makasih ya Allah, momennya benar-benar tepat! Aku bahkan sudah menyiapkan jawaban SADIS jika kak Dewi tidak menyetujuiku. Baguslah kalau ternyata ia setuju. Kita sama-sama punya kepentingan kak! Saling mengertilah…

***

Aku membantu Rini mengangkat tas jinjingnya ke atas motor. Kami langsung menuju kosanku. Ku minta Rini masuk ke dalam dan meletakkan tasnya sementara aku menunggunya di depan.
“Kita sarapan di mana Rin?”
“Di tempat langganan kita aja El.”
“Eh, Rin tahu nggak Ibuk yang jual sarapan di dekat kosan kita itu udah lama nggak jualan lagi loh! Sejak Rini pulanglah kira-kira.”
“Padahal enak ya sarapan di tempat Ibuk itu El.”
“Tulah. Mungkin dia capek juga kan karena jauh kali dari rumahnya.”
Kami menikmati sarapan di tempat biasa. Tak sengaja, aku melihat Yana lewat dan langsung saja aku memanggilnya. Ia berhenti, mendekat, menyalami Rini dan aku mengabarkan kepadanya perkembangan perjalanan perasaanku. Setelah itu, kami berpisah arah. Yana menjemput temannya sementara aku langsung mengantarkan Rini ke FISIP. Ia akan mengambil Ijazahnya hari ini.
“Nanti kalau udah siap urusannya, kabarin aku ya Cuyyy!” kataku.

Aku langsung bergegas menuju Biro. Berniat untuk menemui beberapa dosen pengujiku untuk dimintai tandatangannya. Aku baru akan mulai melengkapi urusan pasca sidang. Huft, agak lambat sih dibandingin kak Dini, Tia dan Ummi sebenarnya. Tapi, ya aku punya alasan untuk semua yang ku lakukan. Dan, aku paling tidak suka jika orang malah membuatku panik karena kepanikannya. Sementara aku biasa saja dalam me-manik-kan diriku sendiri.
“Dek, Kakak duluan ya yang masuk setelah ini! Soalnya Kakak cuma mau minta tanda tangan bu feni aja,” pintaku. Bu Fenni ada di dalam prodi dengan seorang junior.
Setelah ia selesai, aku langsung masuk ke dalam.
“Dekan kita ini bukannya udah Professor ya? ini kok masih Dr di sini?” tanya bu Feni.
“Ohh, iya kah Buk?”
“Saya khawatirnya Beliau nggak mau tanda tangan nantii.”

“Ya sudah Bu, nanti saja pastikan dulu dan kalau ternyata benar saya salah, saya akan menemui Ibuk lagi. Tapi yang ini tolong ditandatangani saja dulu ya Buuukk.”
Setelah bu Feni menandatangani lembar persetujuannya, aku mengajaknya selfie bareng. Awalnya beliau nggak pede tapi berkat bujukanku akhirnya ia mau juga. aku sempat ditanyai rencanaku selanjutnya pasca sidang kemarin. Lalu aku menjelaskan tentang RDDSIBU sebagai kesibukanku selanjutnya selama 2,5 bulan mendatang. Alhamdulillah bu Feni mendukungku. Misi selanjutnya adalah menemui pak Sumarno yang kabarnya akan masuk kelas setengah jam lagi.
“El dimana? Biar aku ke sana ajaa,” kata Rini di seberang telvon.
“Di dekat HIMA. Sinilah!”
Tak lama, Rini datang dan aku langsung memintanya memfotokanku di dinding putih di samping kelas C7. Ini adalah tembok serba guna yang kece untuk photoshoot. Ah, sudah lama ternyata aku tidak merepotkan Rini untuk memfotokanku seperti ini.

“Elisss… udah dimasukkan ke Map KHS tadi?” tanya Tia yang melintas dari parkiran.
“Udah. Ku letakkan di atas, sama teman Kak Dini tadi.”
“Yuklah ke atas sama-sama kita?!” ajaknya.
“Aku minta tolong Tia aja gimana? Kan tinggal nyerahin ke Kabag Akademis aja kan? Aku sedang nungguin Pak Marno soalnya. Takutnya Bapak tu lewat dan nggak ketahuan ntar.”
“Oh ya lahh.”
“Makasihhh Tiiiiiii.”
Aku mendekat kepada Rini. Duduk bersila di depannya dan dengan wajah tertunduk aku mulai berbicara…
“Jujur Rin, aku kurang suka dengan orang yang terlalu perhitungan dalam menolong. Rini lihat kan barusan? Padahal tinggal nyerahin map aja dan di dalam map itu ada data kami ber-empat yang baru sidang kemarin. Nggak perlu kan 4 orang ini sama-sama masuk ke ruang akademis tuuu? Wakilkan aja apa salahnya sih? Tadi pun sewaktu aku harus kebingungan nyari KHS, aku membathin; ‘KHS ini kan udah keluar dari kemarin, kok punyaku nggak sekalian tolong ambilin juga sih?’ Aku bisa ngomong kayak gini karena aku udah melakukan hal yang sama Rin. Bayangkan, kemarin sewaktu deadline pengumpulan berkas sidang, Kak Dini tu sedang di Bangkinang. Ya aku tolonglah semampuku supaya dia tetap bisa sidang sekalipun persyaratannya belum lengkap. Memang langka sih Rin, orang-orang yang nggak perhitungan dalam menolong itu.”
Rini manggut-manggut mendengar ceritaku.

“Dek! Pak marno jadi ngajar pagi ini?” teriakku kepada seorang adek.
“Jam 1 katanya Kak. Nggak jadi sekarang katanya.”
Rencana langsung berubah ke plan B; kami langsung membeli nasi bungkus dan makan siang bersama di kosan sambil nonton skinnyindonesian24. Rini tak perlu sungkan atau merasa tak enak hati pada kak Dewi, karena aku yang akan menjamin kenyamanan dan keamanannya selama di sini. Bahkan sewaktu Rini datang dan menyalaminya pun ia sangat ramah pada Rini. Alhamdulillah…
“Rin, kemarin aku pas timbang berat badan ternyata naik 3kg padahal aku udah nggak ada sarapan-sarapan loh. Ah, mending aku kayak kemarin ajalah, ndak?”
“Iya, bener tuh El! Jangan menyiksa diri.”
Usai makan siang dan sholat Zuhur bersama, kami tidur siang. Awalnya aku nggak niat tidur karena teringat bahwa siang ini harus ketemu pak Sumarno. Tapi, apa daya? Aku paling tergoda kalau kucing tidur di sampingku. Bisa dipastikan aku akan mendadak ngantuk dan akhirnya tidur di sampingnya. Dan ketika terbangun pukul 14.00wib, aku mendapat BBM dari dek Ester yang tadi sama-sama menunggu pak Marno.
Kakak di mana? Pak Marno ada di kampus nih!
Tapi aku ragu, ini BBM memang baru dikirim padaku atau baru masuk? Ketika ku balas, eh malah nggak terkirim-terkirim. Aku harus memastikan terlebih dulu, daripada jauh-jauh ke sana dan ternyata bapak udah pulang. Hemmm… karena balasan tak kunjung ku terima, akhirnya aku nggak mood ke kampus (mahasiswa macam apa ini?). Aku beralih ke plan B; Ngeblog.

***

Pukul 17.00wib. Aku harus menjemput dek Fajri dari sekolahnya. Segera ku lajukan motorku dan sesampainya di sana aku terbengong karena nggak ada seorang siswa pun yang tersisa.
“Buuukk.. anak-anak udah pada pulang semua ya?” tanyaku.
“Iyaaa Dek. Coba lihat ke jalan besar aja. siapa tahu dia jalan dengan teman-temannya.”
Aku segera menuju ke jalan besar. Ku telvon kak Dewi tapi nggak diangkat-angkat. Lalu ku hubungi Rini supaya menyampaikan kepada Kak Dewi bahwa Fajri nggak ada lagi di sekolah. Sambil menunggu info lanjutan dari Rini, aku menyempatkan waktu memotret mega langit. Benar-benar indah! Dan ketika aku menolehkan wajah ke belakang, eh ternyata terlihat Fajri berjalan ke arahku.
“Hampir aja Kakak tinggal Fajri nih kalau nggak nongol-nongol!”
Fajri dan temannya ku bonceng lalu ku turunkan tak jauh dari sini. Ku lanjutkan perjalanan pulang sambil beberapa kali berhenti untuk memotret langit.
“Lewat sini aja Kak!” Fajri menunjukkan jalan baru kepadaku.
“Fajri tadi udah sholat Ashar belum di sekolah?”
“Belum.”
“Fajri kenal dengan Rosulullah?”
“Emmmm…. Ennggg….”

“Rosulullah itu sama dengan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad bilang kalau anak sudah berumur lebih dari 7 tahun tapi tidak sholat, maka boleh dipukul. Umur Fajri berapa sekarang?”
“11 tahun.”
“Nah, apa lagi udah 11 tahun. Menurut Fajri, Papa rajin sholat nggak?”
“Nggak.”
“Fajri mau kayak Papa juga?”
“Nggak.”
“Nah, makanya harus rajin sholat. Anak yang sholeh itu bisa menyelamatkan orang tuanya nanti di akhirat. Kalau Fajri nggak jadi anak yang sholeh,  gimana bisa menyelamatkan orang tua Fajri? Dengar apa yang Kaka bilang?”
“Dengar Kak.”
Barangkali orangtuanya tidak pernah menasehatinya seperti ini, makanya aku merasa wajib menasehatinya. Ya, meskipun pada akhirnya semuanya kembali kepada didikan orang tua. Tapi setidaknya, aku sudah mengambil peran.

***

“Rin, pelanin dikit gerakan sholat Rini tuu! Nggak boleh menyamai apalagi mendahului ekee. Karena mendahului imam dalam sholat itu termasuk dosa besar Riin!”
“Huhuuu…iyaaa Kakaaak. Maafkan Adekk.”
“Representasinya ke kehidupan berkeluarga juga kayak gitu Rin. Imam adalah sosok yang kita panuti dan memang nggak boleh kita selisihi apalagi kita dahului dalam hal keputusan. Apalagi kalau sholat di masjid, usahakan lebih pelaaan lagi gerakan kita. Karena bisa jadi imam di depan sana gerakannya sangat pelan Rin. Akan jadi dosa kalau ternyata kita mendahuluinya meskipun nggak terlihat oleh kita.”
“Iyaaa Kakak. Ampuun Kakak,” kata Rini sok ketakutan.”

*Tulisan ini diselesaikan pada hari Selasa, tanggal 1 Maret 2016, pukul 15.39wib.

Tidak ada komentar: