
Tugas kita bukanlah MEMBUAT orang
lain menjadi BAIK. Tugas kita adalah MEMBANTU orang lain menjadi LEBIH BAIK.
Karena membuat orang lain menjadi baik itu bukan kuasa kita. Baik itu adalah
soal keputusan yang diawali dengan niat HATI. Sedangkan urusan HATI, itu
benar-benar urusanNya. Maka, kapanpun dan di mana pun kita diberi kesempatan
untuk berbuat baik, LAKUKANLAH! Bukankah dunia ini akan menjadi jauh lebih
indah jika jumlah orang-orang yang BAIK semakin meningkat kuantitas dan
kualitasnya? Karena surge itu terlalu SEMPIT jika dihuni oleh kita sendiri.
*Tentang menebarkan kebaikan – Metamor(Prosa)
***
Kak Dewi mengetuk pintu kamarku sementara aku tengah
bersiap-siap…
“El, bisa kan
ngantarin Ami pagi ini?” tanyanya.
“Bisa Kak. Ini sedang siap-siap.”
Ah, ini kesempatan baik untuk barter KEPENTINGAN!
“Oh ya Kak, Rini mau nginap di sini karena dia mau ngambil
ijazahnya Kak,” kataku sebelum kak Dewi berbalik badan.
“Kapan dia datangnya El?”
“Bentar lagi Kak. Agak-agak 4 hari lah dia akan di sini.”
“Nggak apa-apa El. Bawalah sini.”
YESSS! Alhamdulillah. Makasih ya Allah, momennya benar-benar
tepat! Aku bahkan sudah menyiapkan jawaban SADIS jika kak Dewi tidak
menyetujuiku. Baguslah kalau ternyata ia setuju. Kita sama-sama punya
kepentingan kak! Saling mengertilah…
***
Aku membantu Rini mengangkat tas jinjingnya ke atas motor.
Kami langsung menuju kosanku. Ku minta Rini masuk ke dalam dan meletakkan
tasnya sementara aku menunggunya di depan.
“Kita sarapan di mana Rin?”
“Di tempat langganan kita aja El.”
“Eh, Rin tahu nggak Ibuk yang jual sarapan di dekat kosan
kita itu udah lama nggak jualan lagi loh! Sejak Rini pulanglah kira-kira.”
“Padahal enak ya sarapan di tempat Ibuk itu El.”
“Tulah. Mungkin dia capek juga kan karena jauh kali dari
rumahnya.”
Kami menikmati sarapan di tempat biasa. Tak sengaja, aku
melihat Yana lewat dan langsung saja aku memanggilnya. Ia berhenti, mendekat,
menyalami Rini dan aku mengabarkan kepadanya perkembangan perjalanan
perasaanku. Setelah itu, kami berpisah arah. Yana menjemput temannya sementara
aku langsung mengantarkan Rini ke FISIP. Ia akan mengambil Ijazahnya hari ini.
“Nanti kalau udah siap urusannya, kabarin aku ya Cuyyy!”
kataku.
Aku langsung bergegas menuju Biro. Berniat untuk menemui
beberapa dosen pengujiku untuk dimintai tandatangannya. Aku baru akan mulai
melengkapi urusan pasca sidang. Huft, agak lambat sih dibandingin kak Dini, Tia
dan Ummi sebenarnya. Tapi, ya aku punya alasan untuk semua yang ku lakukan.
Dan, aku paling tidak suka jika orang malah membuatku panik karena
kepanikannya. Sementara aku biasa saja dalam me-manik-kan diriku sendiri.
“Dek, Kakak duluan ya yang masuk setelah ini! Soalnya Kakak
cuma mau minta tanda tangan bu feni aja,” pintaku. Bu Fenni ada di dalam prodi
dengan seorang junior.
Setelah ia selesai, aku langsung masuk ke dalam.
“Dekan kita ini bukannya udah Professor ya? ini kok masih Dr
di sini?” tanya bu Feni.
“Ohh, iya kah Buk?”
“Saya khawatirnya Beliau nggak mau tanda tangan nantii.”
“Ya sudah Bu, nanti saja pastikan dulu dan kalau ternyata
benar saya salah, saya akan menemui Ibuk lagi. Tapi yang ini tolong
ditandatangani saja dulu ya Buuukk.”
Setelah bu Feni menandatangani lembar persetujuannya, aku
mengajaknya selfie bareng. Awalnya beliau nggak pede tapi berkat bujukanku
akhirnya ia mau juga. aku sempat ditanyai rencanaku selanjutnya pasca sidang
kemarin. Lalu aku menjelaskan tentang RDDSIBU sebagai kesibukanku selanjutnya
selama 2,5 bulan mendatang. Alhamdulillah bu Feni mendukungku. Misi selanjutnya
adalah menemui pak Sumarno yang kabarnya akan masuk kelas setengah jam lagi.
“El dimana? Biar aku ke sana ajaa,” kata Rini di seberang
telvon.
“Di dekat HIMA. Sinilah!”
Tak lama, Rini datang dan aku langsung memintanya
memfotokanku di dinding putih di samping kelas C7. Ini adalah tembok serba guna
yang kece untuk photoshoot. Ah, sudah lama ternyata aku tidak merepotkan Rini
untuk memfotokanku seperti ini.
“Elisss… udah dimasukkan ke Map KHS tadi?” tanya Tia yang
melintas dari parkiran.
“Udah. Ku letakkan di atas, sama teman Kak Dini tadi.”
“Yuklah ke atas sama-sama kita?!” ajaknya.
“Aku minta tolong Tia aja gimana? Kan tinggal nyerahin ke
Kabag Akademis aja kan? Aku sedang nungguin Pak Marno soalnya. Takutnya Bapak
tu lewat dan nggak ketahuan ntar.”
“Oh ya lahh.”
“Makasihhh Tiiiiiii.”
Aku mendekat kepada Rini. Duduk bersila di depannya dan
dengan wajah tertunduk aku mulai berbicara…
“Jujur Rin, aku kurang suka dengan orang yang terlalu
perhitungan dalam menolong. Rini lihat kan barusan? Padahal tinggal nyerahin
map aja dan di dalam map itu ada data kami ber-empat yang baru sidang kemarin.
Nggak perlu kan 4 orang ini sama-sama masuk ke ruang akademis tuuu? Wakilkan
aja apa salahnya sih? Tadi pun sewaktu aku harus kebingungan nyari KHS, aku
membathin; ‘KHS ini kan udah keluar dari kemarin, kok punyaku nggak sekalian
tolong ambilin juga sih?’ Aku bisa ngomong kayak gini karena aku udah melakukan
hal yang sama Rin. Bayangkan, kemarin sewaktu deadline pengumpulan berkas
sidang, Kak Dini tu sedang di Bangkinang. Ya aku tolonglah semampuku supaya dia
tetap bisa sidang sekalipun persyaratannya belum lengkap. Memang langka sih
Rin, orang-orang yang nggak perhitungan dalam menolong itu.”
Rini manggut-manggut mendengar ceritaku.
“Dek! Pak marno jadi ngajar pagi ini?” teriakku kepada
seorang adek.
“Jam 1 katanya Kak. Nggak jadi sekarang katanya.”
Rencana langsung berubah ke plan B; kami langsung membeli
nasi bungkus dan makan siang bersama di kosan sambil nonton skinnyindonesian24.
Rini tak perlu sungkan atau merasa tak enak hati pada kak Dewi, karena aku yang
akan menjamin kenyamanan dan keamanannya selama di sini. Bahkan sewaktu Rini
datang dan menyalaminya pun ia sangat ramah pada Rini. Alhamdulillah…
“Rin, kemarin aku pas timbang berat badan ternyata naik 3kg
padahal aku udah nggak ada sarapan-sarapan loh. Ah, mending aku kayak kemarin
ajalah, ndak?”
“Iya, bener tuh El! Jangan menyiksa diri.”
Usai makan siang dan sholat Zuhur bersama, kami tidur siang.
Awalnya aku nggak niat tidur karena teringat bahwa siang ini harus ketemu pak
Sumarno. Tapi, apa daya? Aku paling tergoda kalau kucing tidur di sampingku.
Bisa dipastikan aku akan mendadak ngantuk dan akhirnya tidur di sampingnya. Dan
ketika terbangun pukul 14.00wib, aku mendapat BBM dari dek Ester yang tadi
sama-sama menunggu pak Marno.
Kakak di mana? Pak Marno ada di kampus nih!
Tapi aku ragu, ini BBM memang baru dikirim padaku atau baru
masuk? Ketika ku balas, eh malah nggak terkirim-terkirim. Aku harus memastikan
terlebih dulu, daripada jauh-jauh ke sana dan ternyata bapak udah pulang.
Hemmm… karena balasan tak kunjung ku terima, akhirnya aku nggak mood ke kampus
(mahasiswa macam apa ini?). Aku beralih ke plan B; Ngeblog.
***
Pukul 17.00wib. Aku harus menjemput dek Fajri dari
sekolahnya. Segera ku lajukan motorku dan sesampainya di sana aku terbengong
karena nggak ada seorang siswa pun yang tersisa.
“Buuukk.. anak-anak udah pada pulang semua ya?” tanyaku.
“Iyaaa Dek. Coba lihat ke jalan besar aja. siapa tahu dia
jalan dengan teman-temannya.”
Aku segera menuju ke jalan besar. Ku telvon kak Dewi tapi
nggak diangkat-angkat. Lalu ku hubungi Rini supaya menyampaikan kepada Kak Dewi
bahwa Fajri nggak ada lagi di sekolah. Sambil menunggu info lanjutan dari Rini,
aku menyempatkan waktu memotret mega langit. Benar-benar indah! Dan ketika aku
menolehkan wajah ke belakang, eh ternyata terlihat Fajri berjalan ke arahku.
“Hampir aja Kakak tinggal Fajri nih kalau nggak
nongol-nongol!”
Fajri dan temannya ku bonceng lalu ku turunkan tak jauh dari
sini. Ku lanjutkan perjalanan pulang sambil beberapa kali berhenti untuk
memotret langit.
“Lewat sini aja Kak!” Fajri menunjukkan jalan baru kepadaku.
“Fajri tadi udah sholat Ashar belum di sekolah?”
“Belum.”
“Fajri kenal dengan Rosulullah?”
“Emmmm…. Ennggg….”
“Rosulullah itu sama dengan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad
bilang kalau anak sudah berumur lebih dari 7 tahun tapi tidak sholat, maka
boleh dipukul. Umur Fajri berapa sekarang?”
“11 tahun.”
“Nah, apa lagi udah 11 tahun. Menurut Fajri, Papa rajin
sholat nggak?”
“Nggak.”
“Fajri mau kayak Papa juga?”
“Nggak.”
“Nah, makanya harus rajin sholat. Anak yang sholeh itu bisa
menyelamatkan orang tuanya nanti di akhirat. Kalau Fajri nggak jadi anak yang
sholeh, gimana bisa menyelamatkan orang
tua Fajri? Dengar apa yang Kaka bilang?”
“Dengar Kak.”
Barangkali orangtuanya tidak pernah menasehatinya seperti
ini, makanya aku merasa wajib menasehatinya. Ya, meskipun pada akhirnya
semuanya kembali kepada didikan orang tua. Tapi setidaknya, aku sudah mengambil
peran.
***
“Rin, pelanin dikit gerakan sholat Rini tuu! Nggak boleh menyamai
apalagi mendahului ekee. Karena mendahului imam dalam sholat itu termasuk dosa
besar Riin!”
“Huhuuu…iyaaa Kakaaak. Maafkan Adekk.”
“Representasinya ke kehidupan berkeluarga juga kayak gitu
Rin. Imam adalah sosok yang kita panuti dan memang nggak boleh kita selisihi
apalagi kita dahului dalam hal keputusan. Apalagi kalau sholat di masjid,
usahakan lebih pelaaan lagi gerakan kita. Karena bisa jadi imam di depan sana
gerakannya sangat pelan Rin. Akan jadi dosa kalau ternyata kita mendahuluinya
meskipun nggak terlihat oleh kita.”
“Iyaaa Kakak. Ampuun Kakak,” kata Rini sok ketakutan.”
*Tulisan ini diselesaikan pada
hari Selasa, tanggal 1 Maret 2016, pukul 15.39wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar