Pernahkah kamu duduk memikirkan benar atau salahkah apa-apa yang
sedang kamu lakukan? Dan pernahkah kamu merasa begitu lega ketika engkau
disadarkan bahwa yang kamu lakukan itu ternyata adalah hal yang luar biasa? Aku
pernah. Hari ini. Aku disadarkan oleh sebuah tulisan yang menjelaskan bahwa
membaca-menulis itu adalah aktivitas hidup yang paling intim dan vital.Membaca-menulis
adalah 2 keterampilan dasar yang diajarkan kepada kita sewaktu kecil dan
ternyata 2 hal tersebut senantiasa mengiringi pertumbuhan manusia. Apabila ditekuni,
aktivitas tersebut justru akan mengantarkan seseorang dalam menemukan identitas
dan mengenal dirinya sendiri. Setiap orang seharunya menjadikan 2 aktivitas
tersebut sebagai sahabatnya, tidak lagi menganggap bahwa membaca-menulis adalah
milik kaum tertentu dan tidak semua orang mampu menekuninya. Salah! Salah besar.
Aku juga baru disadarkan bahwa membaca-menulis itu selayaknya dijadikan
kesibukan utama disamping apapun kesibukan yang sedang dilakoni sekarang. Maka,
berbahagialah wahai aku, karena 2 hal tersebut memang menjadi kesukaan pertama
dan utamaku saban hari…
*Membaca-menulis - Metamor(Prosa)
***
Pagi ini rasanya seperti sedang menunggu sholat iedul fitri
saja. Semua orang sedang menunggu Gerhana Matahari. Sejak selepas subuh, aku
pun turut harap-harap cemas, sebentar-sebentar memandang ke luar jendela,
melihat langit. Langit ternyata semakin jelas mendungnya. Ah, mungkinkah ia
akan terlihat dari sini? Euforia penantian hadirnya gerhana matahari sudah
terasa di BBM. Semua PM dan DP melulu tentang Gerhana Matahari. Ah, aku semakin berdebar-debar saja wahai
pagi…
“Cin, nonton berita di TV yuk!” ajakku kepada Lia.
Kami segera menuju ruang tengah. Berita tentang terlihatnya
gerhana matahari di beberapa tempat pun disiarkan. Daerah yang terlama bisa
menikmati dan melihat secara langsung Gerhana Matahari ini adalah Palu,
Sulawesi Tenggara. Riau, kabarnya bisa juga, tapi tak terlalu jelas.
“Berarti seluruh dunia bisa menyaksikan Gerhana Matahari juga
donk ya?” kataku.
Adek-adek yang sedang menonton bersamaku salah satunya berkata,
“Nggak lah Kak, Indonesia aja Kak. itulah sebabnya momen ini sangat spesial Kak.”
Aku ber-ooooo panjang di dalam hati.
Adek-adek ini kemudian memutuskan untuk naik ke balkon (atap)
masjid MAN 2 MODEL ini. Ak segera mengikuti kegilaan mereka. Huahhh, ngerasa
jadi anak SMA lagi nih!
“Dek, nggak ada jalan yang lebih indah lagi ya selain ini?”
tanyaku, sedikit takut ketika menyadari bahwa cara satu-satunya untuk sampai di
balkon adalah dengan memanjat tangga yang tingginya 3 meter.
“Nggak ada Kak. Cuma inilah caranya Kak.”
Semuanya sudah naik ke atas. Yang tertinggal hanya aku dan 2 orang
lagi yang sama-sama penakut sepertiku. Jadilah akhirnya kami saling
menyemangati dan bergantin.
“Ya Allah selamatkan aku.” Ku ulang-ulang terus kalimat Tuhanku.
Terus ku ulang pada setiap kali kakiku memijak anak tangga. Hingga aku berhasil
selamat sampai ke atas. Urusan turun? Ah, nanti saja difikirkan.
“Kelihatan Dek gerhananya?” tanyaku kepada mereka.
“kelihatan Kak tadi sebentar, tapi hilang lagi dia ketutup
mendung.”
“Mana fotonya? Lihat, lihat?”
Ah, sayangnya satu pun dari mereka tak ada yang berhasl
menangkap penampakan itu dengan kameranya. Huammm. Aku duduk paling depan,
mendengak ke langit, dengan kamera siaga dan mulut terus berkata; “Mendung….
Geserlah dikit Nduung… kami mau lihat gerhananyaaa.”
“Streaming berita di TV lah yok woooy!”
Aku berniat mendekat kepada mereka yang duduk melingkar
mendengarkan berita di TV tentang gerhana matahari yang nyaris sempurna
penuhnya.
“Haa… itu diaaaa gerhananyaaa!” pekik si adek yang lain
Kami langsung histeris ketika melihat sang gerhana muncul dari
bali kabut mendung yang lewat. Semua HP telah siaga mengabadikan momen maha
Indah indah ini. Tak lama, hanya sebentar saja, lalu mendung kembali
menutupinya. Momen ini berulang lagi tepat ketika kami hendak menonton
streaming berita. Dan yang terakhir, ia muncul dengan teramat jelas. Sudah
hampir separuh badan matahari yang dilewati oleh Bulan. Ah, Bulan, Matahari…
akhirnya kalian bertemu juga setelah sekian lama. Aku kapan ya bertemu dengan
takdirku? Hehe.
“Yukkk udahan, kita sholat Sunnah gerhana yuk?’ ajakku.
Aku meminta salah satu dari mereka untuk memegangi ujung tangga
supaya aku lebih aman ketika turun. Ah, ternyata menuruninya jauh lebih
menyeramkan daripada menaikinya tadi. Aku berusaha turun sehati-hati mungkin
sambil terus berkata; ‘Ya Allah, tolong aku. Ya Allah tolong aku.’
“Makasiiiih ya Deeekkk!” teriakku setelah sampai di bawah.
Sesampainya aku di kamar, ternyata Lia sudah berulang kali
nge-ping aku di BBM untuk mengajak sarapan. Huhuu, keasyikan di atas sih tadi!
Aku menunjukkan rekaman gerhana tadi kepada Lia. Sempat ragu untuk sholat
gerhana atau tidak, karena langit sudah kembali cerah sekarang.
“Nggak apa-apalah Cin, sholat aja kita yuk? Barangkali bulannya
belum sempurna meninggalkan matahari di atas sana.”
Akhirnya kami menunaikan sholat gerhana. Semalam aku fikir akan
ada sholat gerhana bersama-sama di mushola pagi ini. Tapi ternyata adem-adem
ayem aja. Di masjid Agung An-Nur pasti ramai banget nih!
***
Tema obrolan pagi ini adalah tentang pernikahan. Yuhuuuuyyy…
“Emak aku sih udah antisipasi, Cin. Beliau pesan gini, kalau
nanti ada yang mau ‘datang’, jangan bilang kalau aku mau S2 dulu. Karena ada
orang di kampung aku yang ngejar S2 dulu, kerja dulu dan akhirnya menikah di
umur 30an, itupun cuma sebentar pernikahannya.”
“Kenapa bisa gitu Cin?”

“Wahhh… iya ya Cin. Sekaya apapun seseorang, sehebat appaun dia,
kalau dia belum menikah juga, kita pasti selalu punya pertanyaan setelah
memujinya; ‘Wahhh…luar biasa ya si kawan ini. Udah sukses banget. Kapan nih
nikahnya?’. Pertanyaan itu pasti akan selalu ada ya kan Cin? Justru… semakin
hebat seseorang, semakin sukses dia, maka pertanyaan itu akan semakin
mengejarnya.”
“Betuuuuulll banget tuh Ciiin!”
“Dan…pertanyaannya justru akan semakin menusuk; ‘Apa lagi sih
alasanmu nggak menikah? Harta udah berlimpah, kesuksesan udah digenggam, terus kok
belum nikah juga?’. karena udah nggak ada alasan lagi untuk menundannya.
Kesimpulannya Cin, selengkap-lengkapnya
hidup seseorang, tetaplah belum sempurna lengkapnya kalau dia belum memiliki sang
pelengkap (baca: pendamping hidup). Sihiiiiiyyyyy.. kok aku bisa merangkai
kalimat barusan yak?”
Lia manggut-manggut sambil melipat bajunya. Ia juga memilih baju
mana yang akan dipakainya. Finally, hari ini kostum kami didominasi oleh warna
hitam. Kata orang, warna hitam itu memunculkan sisi misterius dari diri kita.
Untuk menghemat waktu, aku membantu Lia menyetrikakaan jilbabnya karena aku
sudah lebih dulu ready. Selanjutnya, aku membaca buku pinjaman dari Yaumil yang
berjudul; Main-main dengan Teks.
“Cin, dengerin yaaa! Ada kalimat yang bagus banget dari buku
ini.” Aku pun mulai membacanya.
Kami
ingin mengajak anak bangsa, dari segala lapisan dan kalangan untuk membaca dan
menulis demi MENDETEKSI apa yang terjadi pada diri mereka selama ini. kami
ingin, kegiatan membaca dan menulis tidak sekedar bergulat dengan huruf-huruf
yang mati. Kami ingin anak bangsa itu benar-benar menerjunkan dirinya secara
total dalam kegiatan baca-tulis untuk BERTARUNG dengan diri mereka sendiri. Kami
ingin, mereka benar-benar membaca dan menuliskan pikiran-pikisan yang tak
pernah mati milik mereka.
Dari
mana kami mesti memulai semua ini? kami sudah bertekad bahwa rencana besar kami
ini harus dimulai dari diri-diri kami dan juga diri-diri mereka sendiri. Kami
ingin mendasarkan seluruh kegiatan baca-tulis yang ingin kami sebarkan, memang
berpangkal pada sang DIRI. Kami yakin sekali bahwa mengubah diri ke arah yang
terus membaik dapat diselenggarakan lewat kegiatan BACA-TULIS. Membaca teks sesunggunya
adlaah membaca PERGULATAN pikian dan menuliskan teks adalah mengekspresikan
PERASAAN dan KESOLIDAN fikiran.
Apabila
setiap hari pikiran kita berinteraksi dengan pikiran lain yang kemungkinan
hebat, tentulah pikiran kita dapat menjadi hebat. Apabila, setiap hari kita
mampu BERGULAT dengan pikiran kita sendiri dan seusai pergulatan itu, kita
lantas bersegera mengalirkan seluruhnya ke atas selembar KERTAS untuk ‘diikat’
hal-hal pentingnya, tentulah rekaman diri kita yang TUMBUH hari demi hari akan
TERPETAKAN. Saya ingin menunjukkan bahwa kegiatan baca-tulis dapat menjaga
diri-diri kami untuk terus WASPADA, jujur dan terbuka kepada diri sendiri.
Inilah yang membuat kami bersemangat sekali untuk membagikan pengalaman kepada
seluruh rakyat Indonesia. kami ingin mengajak mereka mencicipi sesuatu yang lain sama sekali dari sebuah kegiatan
yang terlanjur dipersepsi oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai kegiatan
yang sangat berat dan membebani.

“Wahhhh…bagus banget Ciiin! Buku macam apa ituuu?” sahut Lia.
“Secara sederhana Cin… kita bisa berkaca dari masa kecil kita.
Dulu, pertama kali sekolah, kita diajarkan untuk MEMBACA dan MENULIS kan?
Menulis huruf dan angka, membaca huruf dan angka. Dan sekarang aku tersadar
bahwa baca-tulis itu adalah ILMU HIDUP, Ciiin. Aku belum tahu banyak sih
tentang ‘keajaiban’ yang terkandung dalam 2 kegiatan itu. Tapi aku yakin, pasti
banyak keajaiban di sana.”
“Iyaaa yaaa Ciiiinnn…bener bangeeet.”
Kami sudah ready. Siap untuk memulai jelajah Pekanbaru! Ye
yeeee. Sekarang pukul 10.00wib.
***
“Yahhh… tutup Cin gerbangnyaaa. Gimana tuuu?” Tanya Lia sambil
memandang portal kampus PCR yang ditutup.
“Hari ini kan libur Ciiin. Makanya, ditutup. Emmm…gimana kalau
kita coba tanya dulu ke Abang satpamnya, Cin? Kita jujur aja kalau kita mau
foto-foto. Hehe.”
“Ya udah Cin, cobalah Ciin.”
Alhamdulillah, sesuai prasangka, kami diizinkan oleh pak Satpam
untuk masuk. Motor kami diparkirkan di luar portar, di dekat pos satpam. Spot
pertama dan utama yang kami buru adalah pelataran Gedung Utama PCR. Setelah
itu, kami berfoto di bawah kanopi-kanopi yang dirambati Kembang Kertas. Duh, ngerasa kayak berfoto di bawah
pink-pinknya bunga sakura nih! Kemudian, di sisi lainnya bertabur si
kuning, bunga Alamanda.
“Nah, taman PCR ini benar-benar terawat dan rapi Cin
tatanannya. Jarak dari gedung ke gedung
pun nggak terlalu jauh, sehingga taman-tamannya bisa terpetakan dengan apik
kayak gini. Dan, lahan kosong yang tersisa barulah dijadikan lapangan olahraga
dan taman-taman luas. Kalau di kampus kita kan kurang tertata apalagi jarak
satu fakultas ke fakultas lainnya pun lumayan juga,” jelasku.
Tujuan kami selanjutnya adalah TPA (Tempat Pembuangan sampah
Akhir) Muara Fajar, Rumbai. Sempat nyasar ke sebuah gang yang mirip banget
kesan dan nuansanya seperti gang tujuan. Huahhh, setelah masuk cukup jauh ke
dalam akhirnya seorang pemilik kios pulsa membertitahu kami bahwa letak TPA
masih 5 km lagi dari sini, yaitu di kilometer 17,5km sedangkan yang kami masuki
ini adalah kilometer 12,5.
“Huahhhh…ternyata kita kesasar pemirsaaahh. Maaf ya pemirsaaa,” kataku.
“Kalau nggak kayak gini, kita nggak akan mungkin masuk ke daerah
ini Cin. Hehe.”
Kalau tidak memaksakan diri meluangkan waktu hari ini, ntah
kapan lagi kami bisa menikmati hari seperti ini. Lia sampai berniat menyusulku
ke Pelalawan, jika memang keadaannya memungkinkan.
***
Azan Zuhur berkumandang ketika kami mulai menyudahi obrolan
tentang sampah dengan pak Aceng dan bergerak menuju Café Metan. Aku
menceritakan kepada Lia tentang apa saja yang pernah ku ketahui dari
kunjunganku kemari sebelumnya.
“Pak, gas metan ini bisa nggak dialirkan ke rumah warga?” tanya
Lia.
“Bisa, insya Allah kita akan coba nanti mengalirkan ke 20 rumah
dulu untuk awal.”
“Kalau dimasukkan ke dalam tabung kayak gas Elpiji gitu bisa
nggak Pak?” tanyaku pula.
“Alat dan tabungnya itu masih diusahakan. Karena, gas metan ini
memang sangat potensial. Dari 1 hektar lahan TPA yang ada ini, yang baru
terpakai baru 4meter saja. Jadi, kalau seluruh gunung sampah ini diberdayakan,
lebih luar biasa lagi gas yang bisa dimanfaatkan nantinya,” jelas pak Aceng.

“Cinnnn,,, gunung sampah ini adalah dosa-dosa kita terhadap
lingkungan loh. Gimana ya kalau nantinya sampah-sampah ini ditanyai oleh Allah
dan minta pertanggungjawaban kita? Huhuu.”
“Iya yaa Cin. Coba bayangkan kalau gunungan sampah ini adalah
gunungan dosa kita Ciiin,” sambung Lia.
Kami bergerak meninggalkan TPA. Singgah sebentar di mushola
Nurul Iman untuk melaksanakan sholat Zuhur. Tempat wudhunya selain jorki, juga
serem. Hiiiii… Agak was-was gitu ketika wudhu. Sepertinya mushola ini jarang
dikunjungi. Setelah sholat, aku dan Lia mengambil beberapa menit waktu untuk
mengaji. Alhamdulillah, ini karena tadi Lia bersikekeh membawa Al-Quran.
“Cin, kita urungkan dulu ke Rindu Sepadan dan Tahura yaaa.
Kayaknya masih cukup jauh dari sini. Mending kita ke UNILAK dan Danau Buatan
aja gimana?” tanya Lia.
Barusan aku bertanya kepada seorang laki-laki yang baru datang
ke masjid ini. Darinya, tahulah kami bahwa Rindu Sepadan masih berjarak 8km
lagi dari sini. Akhirnya, kami sepakat untuk beralih ke plan B. Setibanya di
kampus UNILAK, kami berkeliling melihat kampus UNILAK dari dekat. Kami hanya
berhenti 1x di depan Fakultas Ilmu Budaya dan berfoto di depan Gelanggang
Teater yang sepertinya baru dibangun. Setelah itu, kami langsung membeli nasi
bungkus untuk dinikmati di pinggir danau.
***
Di sana-sini terlihat 2 sejoli yang sedang berduaan. Aku dan Lia
mengelilingi taman-taman di pinggir Danau Buatan Bandar Khayangan ini untuk
menemukan tempat ternyaman. Akhirnya, kami memilih duudk di bawah pohon randu
yang dekat dengan danau sehingga pandangan kami bisa bebas menikmatinya. Kami
memulai makan siang…
“Cinnn… menurutmu, untuk ukuran 2 orang yang belum bersuami,
apakah perjalanan seperti ini cukup membuatmu bahagia?” tanya Lia.
“Emmmm… untuk sekarang sangat membahagiakan Cin. Semuanya kan
ada masanya. Nah, kalau masa saat ini, gila-gilaan seperti ini dengan sahabat
memang sangat seru. Tapi, nanti akan tiba masanya kita akan ingin ditemani oleh
pendamping kita ketika melakukan perjalanan. Sihiyyyy.”
“Bukan itu maksudku loooh!” cegah Lia.
“Lah? Terus?”
“Gini, kemarin mu kan niat ngajak 2 teman laki-laki kita untuk
ikutan juga dan aku kan nggak setuju.”
“Itu kan kalau kita berjalan jauh Cin. Ibaratnya, mereka itu
bisa jagain kita loh Ciiin.”
“Menurutku nggak perlu Cin. Dekat ataupun jauh, sama saja. Cukup
denganmu.”
“Sihiiiiiiiiiyyy.. so sweet. Eh Cin, semoga ya suami kita nanti
suka seru-seruan juga, terus orangnya ‘renyah’, ketika kita saling ketemu bisa
langsung nyambung kalau ngobrol. Atau bisa juga sesekali kita double date, hehe.
Pasti seru yaa!”
“Aamiin ya Allah. Semoga jodoh kita adalah laki-laki yang baik
dan menyenangkan ya Cin. Insya Allah, kalau latar belakang seseorang itu baik,
nanti ketika khilaf pun pasti hatinya akan ‘terpanggil’ lagi untuk kembali
kepada kebaikan, atau dipertemukan oleh Allah dengan lingkungan yang baik dan
akhirnya membuat dia baik lagi. Kayang Tengku Wisnu. Dia kan semasa kecilnya di
Aceh, rajin sholat, rajin ngaji dan bergaulnya sama ustad-ustad dan
Alhamdulillah sekarang dia sudah berubah,” tutur Lia.
“Cin, ternyata kita tidak harus mencari orang yang SEMPURNA ya.
Cukup mencari orang yang cocok (dengan kualitas kita) dengan kita dan sama-sama
mau belajar. Contohnya Tengku dan Shireen. Aku terfikir bahwa istilah ‘menuntut
kesempurnaan’ itu bukan hanya tentang harta atau fisik saja, tetapi juga
agama.”
“Setuju!”
Setelah selesai makan, aku memfotokanku ketika pompong mulai
mendekat ke arah kami.
“Cin, naik pompong juga yuk? Kita nostalgia-an dengan Telaga
Sarangan di Madiun duluuu,” ajakku.
“Mahal nggak ya Cin? Kalau di atas 15ribu ndak usahlah Cin.”
“Nanti deh kita tanya. Berlabuhnya nggak di sini pula dia. Kita
mesti ke sana!” tunjukku ke arah kanan yang berjarak 300 meter dari sini.
Kami gantian saling memfotokan di taman yang dipenuhi jejeran
bangku pink-kuning-hijau ini. Dan akhirnya kami nggak jadi naik pompong karena
jam sudah menunjukkan pukul 15.00wib. Kami memutuskan untuk cap cuss pulang.
Sebelumnya, kami mampir di Bengkel Cerdas Indonesia dulu, di jalan Lobak. Ada
proposal acara peresmian BCI yang harus Lia jemput.
“Cin, yang punya usaha bimbel ini siapa?” bisikku ketika kami
numpang sholat di BCI.
“Itu, si adek yang duduk di dekat pintu tadi.”
“Dia semester berapa? Udah selesai kuliah?”
“Semester 6 Ciiin, di PCR kuliahnya.”
“Wahhh….hebat yaa. Ini namanya, kecil-kecil udah pinter
berwirausaha. Mata pelajaran apa yang akan disediakan di sini? Bahasa inggris
aja?”
“Semua mata pelajaran Cin.”
“Weewww. Aku acungi jempol adek ini! Keyen. Emmm…tapi yang
berani membangun bisnis, belum tentu berani membangun rumah tangga. Loh, kok
aku ke sana ya ngomongnya? Hheee.”
“Ah, omongan kita kan seharian ini emang selalu ke arah sana
Cin. Hahaa,” sambung Lia.
***
Sesampainya di asrama, Lia langsung tergeletak di lantai. Dia
benar-benar lelah pemirsaaa. Aku juga sih sebenarnya, tapi kayaknya nggak
separah dia, hehe. Aku ikut berbaring di sebelahnya.
“Cin, Ibuk yang ramah banget tadi tu Mamanya anak asrama ini
ya?”
“Iyaa. Mamanya Dek Cipaa.”
“Ooohh. Ramah banget ya Cin.”
“Iyaaa. Setiap ke sini aku selalu didoainnya.”
“Apa doanya?”
“Semoga sukses selalu ya
Lia, dimudahkan oleh Allah semua urusannya dan cepat menikah.”
“Ya ampuuun, mulia sekali doanya Cinn. Emmm.. Cin! Menurutmu,
kita ini harus jadi orang yang seperti apa sih di mata Allah? Jadi orang Alim
atau jadi orang Baik?” tanyaku.
“2 2nya Cin. Kalau kita cuma jadi orang Alim, tapi nggak berbuat
baik kepada orang lain ya berarti belum lengkap sholehnya. Nah, kalau kita cuma
berbuat baik aja tapi nggak alim, bisa jadi kebaikannya tadi ‘keluar jalur’.
Pas ujian, dia ngasih contekan sama temannya, niatnya sih ingin menolong
temannya, tapi kan tetap salah. Itulah menurutku, kita harus jadi orang Alim
dan orang Baik, Cin.”
Aku terdiam. Memikirkan kata-kata Lia. belum sampai semenit
berlalu, aku mendapati Lia sudah tertidur pulas sementara di tangannya masih
tergenggam HP. Aku tidak ingin tidur, nanggung. Segera ku cuci muka dan
mulailah aku menulis tentang hari ini. Aku merasa sangat bahagia hari ini dan
sudah percaya diri untuk kembali MENULIS. Bismillah…
***
Kami menikmati makan malam sambil menonton film India. Tiba-tiba
bang Wira menelvon. Ia mengabariku bahwa tempat Trainer the Trainer berpindah
ke Hotel Akasia, Sudirman. Ah, hotel ini menyimpan 3 kenangan bagiku. Ada rasa
berat di hati ketika mendengar hotel itu disebut. Sebelumnya, aku tidak ingin
lagi kembali ke sana. Tapi, aku tidak punya pilihan lain kali ini. Selanjutnya,
bang Wira berkata…
“Lis, ada 1 hal lagi yang mau Abang bilang nih! Kok Abang
perhatikan, semenjak waktu itu Elis bilang ada yang suka dengan tulisan Elis,
sekarang tulisan Elis tu jadi kehilangan RUH.”
Aku tersentak. “Masa iya Bang? Tulisan yang mana memangnya yang
Abang lihat?”
“Status Elis dan juga foto-foto yang bercaption. Kok terkesan
terlalu ‘hati’hati’ dan kaku gitu nulisnya. Nggak lepas kayak sebelumnya. Nulis
itu harus MEMBEBASKAN, Lisss. Abang mikir; ‘Wah, Elis ni perlu diterapi lagi
kayaknya’.”
“Emmm…sejujurnya memang benar yang Abang bilang itu. Kayaknya
bekas dari kejadian itu cukup dalam di jiwa Elis Bang. Dan sejujurnya sejak
hari itu, Elis terhenti menulis.”
“Nah, bener kan dugaan Abang!”
“Dan…alhamdulillah, hari ini setelah seharian jalan-jalan bareng
Lia, Elis udah mulai nulis lagi. Apalagi setelah dapat dukungan dari Abang
barusan. Elis akan terus menulis Bang! Makasih Bang semangatnya.”
“Nah, gitu donk! Coba lihat Jonru. Dia nggak pernah peduli
dengan komentar negative orang lain. Selagi menurutnya yang dituliskan itu
bermanfaat untuk orang lain, dia terus aja nulis, Lis.”
Aku benar-benar seperti mendapat angin segar di menit ini.
Alhamdulillah ya Allah. Terimakasih telah mengajariku menulis dan mohon arahkan
aku dan penaku untuk menuliskan segala sesuatu yang Engkau Ridhoi. Mohon
bimbinganMu ya Allah. Setelah makan usai, aku berdiskusi dengan Lia tentang
pertanyaan; ‘Apa alasanmu mencintainya?’ Sebab ada seseorang yang mengatakan
bahwa menikah itu harusnya bukan didasarkan pada kekaguman pada orang yang akan
dinikahi.
“…sejujurnya aku jadi bingung kalau ditanya kenapa aku
menyukainya. Karena, perasaan itu tumbuhnya nggak ku sangka sebelumnya Cin.
Kita mana bisa MEMILIH dan menentukan akan jatuh cinta kepada siapa. Hati yang
melakukannya Cin. Kalau aku menyukainya karena fisiknya, mungkin udah sejak
pertemuan pertama itu aku jatuh cinta. Tapi ini enggak!” kataku.
“Menurutku Cin, ketika kita tidak beralasan menyukai seseorang,
itulah cinta yang sesungguhnya,” sambung Lia.
“Sihiyyyyy. Ngeri dank!”
“Kemarin ada yang bilang gini ke aku; ‘Kalau orang yang kamu
suka itu nggak segera memberikan kepastian, sampai kapan kamu akan menunggunya
El?’. Hahaa, kan aku pun belum siap menikah sekarang, jadi kenapa aku mesti
minta kepastian kayak gitu? Toh sekarang posisinya akulah yang diam-diam
menyukainya. Yaa…biarlah perasaan ini begini dulu untuk beberapa waktu. Toh, aku
pun belum butuh kepastian sekarang. Insya Allah, semua itu ada masanya,”
jelasku.
“Lagi pula, Allah pasti punya rencana kenapa menghadirkan
perasaan itu ke hatimu kan Cin?”
*Tulisan ini diselesaikan pada pukul 12.24wib, hari Kamis 10
Februai 2016
Mulai dituliskan sejak pukul 17.00wib, hari Rabu 09 Februai 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar