Selasa, 08 Maret 2016

Nafas Baru untuk Universitas Riau



Keterampilan Berkomunikasi adalah salah satu kemampuan yang sangat vital pada zaman sekarang ini. Ada banyak urusan yang bisa terselesaikan dengan mudah ketika kita mampu bersikap dengan tepat dan hangat dengan orang yang berperan melancarkan urusan kita. Ada banyak kesempatan yang datang ke arah kita ketika kita mampu membuat orang terkesan dengan diri kita. Ada banyak hal sulit yang menjadi mudah dan dibantu oleh orang lain ketika kita terampil menjalin persahabatan dengan banyak orang.   Itu baru beberapa contoh manfaat dari keterampilan kita berkomunikasi. Dan, sejak jauh-jauh hari hal ini sebenarnya sudah diajarkan oleh Rosulullah; ‘Sebarkanlah salam agar kamu mendapat rahmat”. Salam luas maknanya. Salah satunya adalah persaudaraan dan silaturahmi. Dan sebaik-baik komunikasi adalah yang melibatkan hati.

*Komunikasi dengan hati – Metamor(Prosa)


***

Pukul 10.00wib. Setelah sarapan, aku langsung menuju kosan Yaumil. Kami akan mengerjakan LPJ (Laporan PertanggungJawaban) UR Cendikia. Sesampainya di sana…
“Ihhhh! Bros ini Umil semua yang bikin?” tanyaku. Sambil memperhatikan satu per satu bros yang dipajangnya, layaknya toko.
“Iya Mamakeee.”
“Termasuk yang terbuat dari kerang ini?” tanyaku lagi.
“Iya… kemarin kan waktu Umil di Medan, Mamak masak kerang itu dan waktu mau dibuang, Umil larang. Setelah itu langsung lah Umil dan Kak Kiki jadikan itu bros kayak gitu.”
“Huahhhhhh…kreatif banget Ciiin!” aku langsung terbayang dengan cita-citaku mengolah sampah. Hiksss… ternyata segala sesuatunya bisa dimulai dari hal yang terkecil dan terkesan sepele seperti ini.

Kami mulai mengerjakan LPJ. Aku yang mengetik dan Yaumil membantuku berfikir, mengingat semua program kerja yang pernah kami rencanakan dan yang terlaksanakan.
“Ihhh… enak kali lihat Mamake ngetiiik! Cepat kaliiii. Mamake bisa mengetik 10 jari yaa?”
“Emmm…kayaknya cuma 9 jari aja Mill.. hehee.”
Setelah di cross check, ternyata program kerja yang pernah kami ajukan itu hanya 4; Pemilihan MAWAPRES, Sosialisasi PKM, Workshop MAWAPRES Nasional, Sekolah MAWAPRES. Alhamdulillah semuanya terlaksana dan bahkan ku tambahkan lagi 3 program kerja; Pembuatan Blog MURC, Sosialisasi MAWAPRES untuk MABA dan Diskusi Ilmiah. Alhamdulillah ketiga program ini pun terlaksana.
“Enak kali y abaca tulisan Mamake ni! Udah langsung rapi semua gini. Teman-teman nanti kayaknya pada heran lah, kok bisa sebanyak ini LPJ Departemen research. Hehee, maklumlah ya namanya aja yang ngerjainnya penulis. Hehe.”

“Sengaja kalimatnya dirangkai sebanyak mungkin nih Ciiin, biar kelihatan banyak,” kataku sambil melihat halaman LPJ yang ternyata sudah 9 halaman.
Umil tak terlalu fokus pada LPJ ini. Dia malah sibuk membaca tentang LGBT karena pukul 16.00wib nanti ia akan orasi di depan gerbang UR Soebrantas bersama Kementrian Pemberdayaan Perempuan BEM UR. Nah, sebenarnya mereka juga memintaku untuk berorasi, tapi aku menolak karena tanggalnya kemarin serba tidak pasti; tentang keberangkatan pengabdian. Dan hari ini, aku benar-benar nggak siap kalau diminta lagi karena memang belum ada persiapan sama sekali.
“Cin, kemarin Mamake kira ini acaranya seminar di dalam ruangan gitu, eh nggak tahunya orasi. Ntah kenapa, Mamake kok nggak tertarik ya dengan gaya bicara orasi seperti itu Ciiin. Mungkin karena Mamake belum pernah nyoba sih. Tapi, emmm…nggak pengen nyoba juga. Mamake lebih suka dengan gaya bicara yang HIPNOTIC; mempengaruhi pemikiran orang tanpa disadarinya. Dan untuk membakar semangat orang dengan cara orasi seperti itu, emmm…nggak dapat feelnya aja sih intinya.”

“Ohhhh…gituuuu. Umil malah lebih suka orasi kayak gini Mamake, daripada bicara formal kayak dalam seminar gitu.”
“Nah! Itu dia… berarti sesuai passionnya juga ya Miill.”
Aku dan Yaumil sama-sama menyadari 1 hal. Ketika kita menghafal apa yang akan disampaikan ketika berbicara, itu menunjukkan bahwa kepala kitaa ‘kosong’, karena kita merasa belum siap. Tapi, ketika kepala kita penuh ilmu, kita hanya perlu memahami apa yang akan kita sampaikan saja dan semuanya akan mengalir bersama pengetahuan kita. Hemmm… aku jadi malu. Dulu pun aku setiap kali akan bicara selalu mengonsep dan menghafal semuanya. Ternyata… ilmu itu penting dan terutama diperoleh dari banyak membaca. Jadi teringat dengan kata-kata mami yang selalu dikatakannya kepadaku setiap kali aku nggak tahu sesuatu; “Kalau males membaca ya ginilah kejadiannya. Makanya rajin-rajinlah membaca!” setelah ‘tua’ begini, aku baru menyadari makna kalimat itu. huhuu..thx mommy.

***

Aku baru tiba di parkiran perpus UR. Setelah mematikan mesin motor, aku celingukan, berusaha mencari wajah yang sedang menungguku di sini. Eh, ternyata dia tak jauh di belakangku. Aku langsung melambaikan tangan kepadanya. Bersama, kami menuju bangku berpayung di taman digital UR.
“Kak, yang pertama… Fauzan mau bahas tentang Sekolah MAWAPRES. Kira-kira apa saja yang perlu disampaikan dalam 4 kali pertemuan nanti?” tanyanya.
Padahal aku sudah menyebarkan screenshoot tentang ini di grup BBM sejak lama. Ah, biarlah kembali ku jelaskan padanya. Ia menuliskan semua saranku. Kemudian, dek Fauzan mengutaran niatnya untuk membentu study club di FH dengan fokus untuk meningkatkan minat membaca dan menulis ilmiah di sana. Selama ini, perlombaan yang getol di ikuti oleh mahasiswa FH hanya Debat. Itu pun belum bisa meraih prestasi yang membanggakan. Makanya, Fauzan terfikir untuk mengasah kemampuan menulis.

“Alhamdulillah udah ada 15 orang yang bergabung Kak dan rata-rata mereka angkatan 2015. Fauzan miris aja Kak, kemarin waktu di LKTI nasional itu hanya Fauzan sendiri yang dari UR. Nah, Fauzan juga baru tahu kalau ternyata LKTI Hukum itu punya ciri khas sendiri Kak. Dari 2 perlombaan yang Fauzan ikuti kemarin, mahasiswa dari universitas penyelenggara nggak boleh ikut lomba. Kalau Kakak kemarin boleh tuan rumah juga ikut lomba?” tanya Fauzan.
“Boleh-boleh aja Dek. Kemarin itu selalu ada tuan rumah yang ikut juga Dek.”
“Nah, itulah istimewanya jurusan Hukum Kak. Terus, waktu di UGM kemarin, KTI yang Fauzan kumpulkan itu nggak berlogo universitas. Waktu tampil, masing-masing tim itu diberi nama dengan nama-nama pahlawan. Tujuannya supaya dewan juri benar-benar pure menilainya. Jadi, waktu diumumkan Fauzan juara 3 itu barulah semua orang tahu kalau Fauzan dari UR. Huahhhh…berkesan bangetlah Kak pokoknya.”
“Wahhhhh…keyeeeen Dekkkk!”
“Nah, mahasiswa FH kemarin waktu di pemilihan MAWAPRES, dari 15 orang yang daftar, cuma 8 orang yang KTInya sesuai dengan ketentuan Kak.”

“Maksudnya Dek?”
“Hanya yang 8 orang ini yang KTInya itu bersifat ‘MENGGAGAS’ selebihnya hanya bersifat ‘MENGURAI’ tanpa ada gagasan di dalamnya. Hahaaaa.”
“Hohooo.. gitu. Nah, itulah problem terbesar di KTI Dek; banyak orang yang nggak nyadar nilai jual KTI itu terletak di GAGASANNYA. Kalau hanya mengurai aja, dari baca buku pun selesai kan?”
“Makanya Fauzan pengen kali meningkatkan kemampuan menulis di FH tu Kak. Apa nasehat Kakak buat Fauzan nih Kak supaya komunitas ini berjalan dengan baik.”
Aku menyarankan beberapa hal kepada Fauzan dari pembelajaranku di I-YES, ALOHA dan PENAPPUCINO. Tak hanya itu, aku juga ‘merasuki’ Fauzan dengan Ruh Volunterismee yang sangat punya peran strategi dalam mengurai ‘benang kusut’nya Indonesia. Jalur Birokrasi? Hanya akan memperlambat gerak. Sedangkan volunterisme dan gerakan kepedulian itulah yang sangat fleksibel dan bebas.
“Kakak mau sholat di mana nih?” tanya Fauzan ketika azan sudah berkumandang.

Kami bergerak menuju parkiran… “Di muhsola rektorat sepertinya Dek. Oh iyaaa, Adek kapan target nikahnya?”
“Fauzan pengennya 25 Kak. Tapi agak sulit nih Kak meloloskannya dari orang tua. Fauzan udah coba, tapi kayaknya ‘belum’ disetujui.”
“Umur Adek sekarang berapa?”
“21 Kak.”
“Nah, kan masih ada 4 tahun lagi. Buktikanlah bahwa Adek memang sudah pantas menikah.”
“Iya Kak. Mungkin orang tua belum percaya karena Fauzan juga belum membuktikan apapun saat ini. Doakan Fauzan ya Kak!”
“Amiinn..semoga semuanya lancar ya Dek! Semangaaaaaaat!”
“Doakan semoga ada yang ‘seperti’ Kakak.”
Mataku membulat. “Ahhaha… aamiin ya Allah. Cinta dalam hati ya Deeekkk,” sahutku sambil tersenyum. Fauzan menginginkan wanita sepertiku karena ia tahu beberapa hal tentang caraku yang paling diam  dalam mengagumi seseorang yang nun jauh di sana.

***

Angin tiba-tiba berhembus dengan kencang. Menerbangkan dedaunan pohon, menimbulkan gemerisik yang menakutkan. Aku bertanya dalam hati, mungkinkah gerhana mataharinya akan muncul sekarang? bukannya besok pagi? Aku mendongakkan wajah ke langit. Mendung mulai berarak bersama pasukannya. Gelap mulai menyelimuti langit sore. Ku sempatkan memotret sinar matahari yang mulai tersembunyikan oleh awan mendung. Ah, ternyata 1 jepretan saja tak cukup. Aku memotret beberapa kali dari berbagai sudut pengambilan.
“Dek, uangnya bisa ditarik?” tanyaku kepada seorang perempuan yang baru ke luar dari dalam ATM BRI. Aku sedang dalam antrian. 3 orang lagi di depanku.
Setelah selesai, aku langsung bergerak menuju jalan Delima untuk menemui Nilam di pesantrennya. Sesekali aku perlu memelankan lajuku karena roda-roda serasa di belokkan oleh angin yang berhembus kencang. Ya Allah, mohon tahan dulu hujanku sebelum hamba sampai di tujuan. Aamiin.

***

“Nilamnya sedang ke luar Kak,” kata salah satu temannya Nilam.
Tak mengapa. Aku menunggu Nilam kembali sambil memotret-motret wajah langit yang sedang kemerahan sekaligus berkabut mendung. Indah sekali. Aku berdecak kagum pada atraksi langit yang satu ini. Meskipun sebenarnya ada sedikit rasa takut di hati. Takut jika ini bukanlah pertanda baikNya. Namun, pertanda murkaNya kepada penduduk bumi yang penuh dosa. Ah, Tuhanku Maha Penyayang.
“Mbak Elaaaaaa! Ih, Kakak kira tadi orang yang sedang nyari-nyari sinyal loh! Haha. Ternyata lagi foto toh! Hahaa.”
Nilam muncul dari belakangku. Aku menyalami dan menciumnya. Kami duduk di teras dan ngobrol hangat. Aku memberikan uang Rp 500.000 kepadanya.
“Ini sampai bulan berapa uang jajannya?” tanya Nilam.
“Sampai lebaran.”
“Seriuslah Mbaaak!”
Note : jawaban ‘lebaran’ dalam keluargaku adalah jawaban yang tidak bisa dipastikan kapan waktu sebenarnya. Ehheeeee. 

“Cukup-cukupkan lah yaaa. Jangan boros! Jangan boros kayak Mbak, hehee.”
Sebenarnya, tanpa ku beri tahu seperti ini pun Nilam sudah faham. Aku saja sangat kaget ketika dia mengatakan bahwa tabungannya sudah mencapai angka 2jt. Wewww! Rajin menabung ngetsss.
“Memangnya kapan Mbak pulang?”
“Akhir Mei kemungkinan. Berangkatnya hari senin besok insya Allah.”
“Berarti sabtu ini Kakak bisa pulang ke kosan donk?”
“Nggak bisa juga sih, karena Mbak ada acara. Bububuyuuuu.”
“Mbakkk… Mbak Ela ini udah tua loh! Nikahlah cepaaat. Nanti kalau udah tua, nggak ada yang mau sama Mbak haaa baru kapoook,” kata Nilam.
“Menikah sama siapa Lam? Orang belum ada yang ‘datang’ kok! Hahaa.”
Aku berpamitan kepada Nilam setelah berfoto ria dengan fish eye baruku. Aku khawatir keburu maghrib sebelum tiba di tempat Nilam. Yap, aku akan nginap di asramanya Lia malam ini. Ingin menyaksikan gerhana matahari bersamanya esok dan ingin menghabiskan waktu liburan untuk jelajah Pekanbaru.

***

Azan maghrib sudah berkumandang. Setelah Lia selesai berwudhu, kini giliranku.
“Cin, kira-kira Allah suka nggak ya kalau kita berdoa sambil berjalan gitu?” tanya Lia setelah aku selesai berwudhu.
“Maksudnya?”
“Mu barusan baca doa selepas wudhu kan sambil jalan ke arahku?”
“Iyaa.”
“Nah, kira-kira sopan nggak tuh?” tanya Lia, polos.
“Kayaknya nggak apa-apa deh Cin. Soalnya, doa itu kan letaknya di dalam hati. Ia harus terus kita hidupkan dalam berbagai kondisi. Misalnya, kalau kita mau tidur, nah itu kan kita baca doanya sambil tidur, nggak dalam pakai mukena, nggak harus menghadap ke kiblat kan?”
“Kalau dalam kondisi mau tidur sih emang gitu Cin. Tapi kalau berdoa selepas wudhu ini kan sebenarnya kita bisa berdiri, diam di tempat untuk sejenak berdoa. Nggak sampai semenit juga kok! Ya nggak?”
“Iya juga ya Cin. Wah, ini inspirasi mulia banget. Ntar ku catat di buku Wisdom-ku deh!”
Malam ini, seperti biasa, aku dan Lia ngobrolin banyak hal; tentang hati, tentang hari, tentang seseorang dan tentang rencana pengabdian.
“…kenapa ya umumnya orang kalau membicarakan lingkungan itu lebih condong membahas laut, hutan atau iklim gitu?”

“Dan…bencana alam juga Cin,” sambungku.
“Nah, tuh! Kenapa kita jarang banget mengkhawatirkan sampah? Bencana kan hanya persoalan jangka pendek, sementara sampah itu persoalan jangka panjang; setiap orang adalah penghasil sampah dan setiap hari sampah terus bertambah. Kok kayaknya si sampah ini ter-anak-tirikan ya Cin?”
“Hahaha.. iyaaa ya Cin. Kita harus melakukan sesuatu nih dengan sampah.”
Akhirnya, muncullah 2 gagasan besar kami untuk Universitas Riau tercinta; 1. Membentuk dan memberdayakan BANK SAMPAH UR dan 2. Membesarkan UR Press. Aamiin ya Allah, bimbing kami.
“Bayangkanlah Cin, UNRI tu menghasilkan berapa banyak daun gugur dari pepohonannya setiap harinya, coba? Belum lagi sampah kertasnya. Belum lagi sampah plastiknya. Kalau semua itu bisa kita berdayakan, mungkin UNRI bisa mandiri Cin. Intinya, kita harus memberikan ‘nafas baru’ untuk UR, Ciiin.” kataku.
“Ya Allah…. Iya yaaa Cin. Aku di pihakmu Cin! Semangat buat kitaaaa!” kata Lia.
"Bak kata salah satu pembicara di RDDSIBU kemarin, Cin; 'Jatuh Cintalah pada Volunteerisme', dan memang menurutku ruh-ruh volunteerisme ini masih merupakan barang 'mewah' saat ini Cin; nggak banyak orang yang peduli dan ingin menjadi salah satunya. Sebenarnya, berorganisasi di kampus pun adalah salah satu bentuk ke-sukarelawanan kan? Tapi kok feelnya nggak terasa ya Cin?" tanyaku.

"Emmm...iya yaa. Kenapa ya bisa gitu? Ohhh... aku tahu! Karena, di organisasi, kita sering menggunakan istilah 'Kerja' Ciiin."
"Oohooo...iyaaa. Beneerrr banget."
“Eh iya Cin, tadi Nilam bilang gini; ‘Mbak, coba aja kalau Mbak kemarin nerima ****, pasti sebentar lagi Mbak akan menikah sama dia.’ Terus ku bilang gini; ‘Apaan? Orang dia target nikahnya aja 3 tahun lagi gitu’. Terus, Nilam jawab lagi; ‘Kalau Mbak menerimanya kan Mbak bisa minta dia minta dia untuk lebih cepat’. Dan aku sempat galau gara-gara itu tadi Cin. Menurutmu gimana? Aku udah salah memutuskan Cin?”

Lia diam sejenak. “Emmm… ada benarnya pendapat Nilam itu Cin. Itu kalau mu memang mau bersabar mengarahkan dia. Tapi, baik aku ataupun dirimu, kita kan sama-sama berharap calon imam yang bisa memimpin dan membimbing kita kan Cin? Kita pengennya, dialah yang berusaha ‘mencari kebenaran’, bukan menyandarkan harapannya kepada kita untuk selalu membimbing dia. Nah, kalau menurutku, keputusanmu udah bener kok! Karena mu punya pertimbangan yang matang sebelum menolaknya.”
“Ohhh…leganyaaa. Oh ya, tadi sore sebelum aku memantapakn diri ke sini, aku sempat ‘kosong’ Cin. Aku terbengong cukup lama setelah sholat, ngangkatin jemuran, nyetrika dan ngerapiin lemari. Banyak yang aku fikirkan, tapi itu nggak terlalu penting untuk ku gelisahkan. Nggak tahu kenapa belakangan ini rentang antara jam 5-6 sore itu sering kali jadi waktu ‘kosong’ku Cin. Ku bikinlah PM tadi; Duhaiiii…. Siapakah yang akan mengisi kekosongan ini? haaha… jadi baper pula kaaan.”
“Kita punya masa ‘kosong’ masing-masing ternyata ya Cin. Kalau mu kan seringnya bingung. Lah kalau aku seringnya malas. Padahal malamnya udah niat, besok akan ke sini akan ke situ, nah seringnya nggak jadi tuh Cin! Tantangan terberatku itu di jam 8-10 pagi. hahaa.”

“Aku pun sebenarnya kayak mu jugak Cin. Hihiii.. ini kelemahan yang harus kita atasi Cin,” kataku.
Obrolan tentang kampus ternyata adalah titik temu bicara yang tidak pernah ada habisnya. Terutama bagi aku dan Lia. Bagaimana tidak? Kami dipertemukan di sana, dibesarkan di sana dan sampai kapanpun hati ini akan terikat olehnya.
“Ciiin… aku baru tahu loh kalau agenda-agenda besar URC itu adalah agenda Kemahasiswaan UR. Dan aku baru tahu juga kalau anggaran yang selama ini dipakai adalah anggaran dari Kemahasiswaan UR. Nah, yang mengherankan itu adalah… kok kemarin kabarnya saldo URC bisa nol rupiah? Sementara kemarin ketika ada yang mau lomba-lomba ke luar, udah nggak dibolehin lagi memotong anggaran URC. Nah loh! Kepiye kui? Kalau semua agenda besar URC itu adalah agenda Kemahasiswaa, terus program kerja kami itu apa sebenarnya Cin? Apa yang harus kami lakukan?”
“Emmm… memang kondisinya begitu Cin. Mungkin ketua kalian yang lupa memberi tahu atau kalian yang tidak bertanya. Agenda yang harus kalian buat itu ya diskusi-diskusi ilmiah, pelatihan-pelatihan PKM dan LKTI gitu Cin. Yang sifatnya berkelanjutan. Menurutku gitu. bahkan beberapa agenda besar BEM juga adalah programnya Kemahasiswaan. BEM hanya pelaksana saja,” Lia berusaha memahamkanku.

“Gini loh Cin, kenapa Kemahasiswaan UR itu nggak mempercayakan saja agenda itu sama kita? Emmm… gimana ya cara aku menjelaskannya. Intinya, apa gunanya kita kalau kemahasiswaan masih juga memegang program-program tadi? Toh, akhirnya kita juga yang melaksanakannya. Dan di lapangan, yang dikenal pun ya si pelaksana, bukan Kemahasiswaan, kan? Kok seolah Universitas nggak percaya gitu ya Cin sama kita?”
“Nah, itulah sebenarnya permasalahannya Cin. Kampus nggak percaya sama kita dan kita pun nggak percaya sama kampus. Itulah titik temunya.”
“Maunya kita ada momen yang bisa menyatukan 2 kubu ini ya Cin. Emmm… aku dengar, kampus pun sekarang hanya mau membiayai perjalanan ke luar kalau itu berdampak kepada kampus, terutama dalam meraih juara. Kalau sekedar ikut program kan nggak ada penghargaannya. Gitu yang ku dengar.”
“Justru… menjadi juara itulah yang cuma berdampak pendek,” sahut Lia.

“Iyaaa… Dalam perlombaan, kita kan sedang mengadu apa yang kita punya, sedangkan dalam program kepemudaan itulah yang justru kita bertambah ilmu, pengalaman dan pertemanan. Termasuk juga masalah rendahnya kerjasama kampus yang berdampak pada pemberdayaan alumni. Setelah jadi alumni, kita seolah dilepas begitu saja. Cobalah Cin, di umur UR yang udah setua ini, kerja sama apa aja sih yang udah dijalin oleh UR selain untuk pembuatan KTM? Hemmm…. Banyak yang mesti dibenahi ya Cin ternyata.,” tutupku.
Kami beralih ke obrolan selanjutnya. Aku menunjukkan BBMku dengan seorang teman yang belum lama menikah. Awalnya, aku mengomentari foto pernikahan mereka yang romantis banget.  
Sihiyyyy… bundaaaa fotonya..
Hehee..romantiskan Elis? Hehe.
Iyaaa bun. Eh iya, perubahan apa yang
paling terasa setelah ber-pangeran, bun?
Banyak perubahannya Eliss.. terutama rasa nyaman.
Nggak banyak fikiran. Hati tenang, bahagia dan
banyak lagi Lis. Rasa bangga setelah mempunyai pangeran
adalah  bunda selalu diperhatikan dan dibimbing untuk
menjadi istri yang baik dan juga taat beribahad.
Pokoknya beda kali lah rasanya, Eliss..hehe.
Huhuuuu..jadi pengen nyusul nih bunn.
Semoga bahagia selalu ya bun. Senang dengar ceritanya.
Apa nih yang mesti elis persiapkan sebelum menikah, bun?
Aaamiiin. Semoga Allah cepat mempertemukan
jodoh Eliss ya. niat yang perlu dipersiapkan Elis
dan keyakinan kita untuk berumah tangga.
Kalau kita menanam niat baik, insya allah
semuanya akan baik-baik aja.
“Ya ampuuun so sweetnya si Bunda ya Ciiin. Semoga jodoh kita kelak adalah seseorang yang so sweet juga ya Ciiin.”
“Aamiin.”

*Tulisan ini diselesaikan pada pukul 21.00wib, hari Rabu 09 Februari 2016

Tidak ada komentar: