Tiba-tiba aku terjaga dengan ringannya di pukul 05.15wib (kayaknya sih jam segitu). Ketika masuk toilet dan ternyata lampu udah menyala, aku menduga Rini pasti sholat tahajud tadi (tapi kok nggak bangunin aku yak? Atau dia udah berusaha tapi akunya masih keok?). Aku bertambah yakin ketika melihat power bank udah tercabut dari colokan dan berpindah ke atas tempat tidur.
"Rin, bangun. Subuuuhhh," bujukku. Tumben memang, aku bangun sepagi ini dan tanpa dibangunkan. Mungkin, hatiku sedang 'hidup'.
"Rin, woooyy, subuhhh loh. Sekali-kali kita sholat diawal waktu lah, jangan kesiangan terus," bujukku setelah sholat Fajar dan mulai membuka lembaran Al-Quran. Kaki Rini bergerak-gerak, aku tahu dia sudah terjaga, hanya raganya saja yang belum siaga.
"Rin, ayoook loh sholat," bujukku lagi ketika sudah sehalaman ku baca.
"Riiiin! Buruanlah Rin," bujukku yang terakhir.
Aku kembali kepada niat 'ingin sholat diawal waktu', akhirnya aku sholat duluan. Rasanya, selama 3 tahun kami sekamar, inilah yang pertama kalinya aku meninggalkannya sholat dengan sengaja. Jujur, agak gimana gitu rasanya. Tapi, langit pun mulai menyingkirkan gulita sementara aku takut didahului cericit burung gereja. Maka, maafkan aku Rin kali ini meninggalkanmu. Aku ingat semua kesabaranmu kok dalam membangunkan dan menungguiku selama ini, bener-bener ingat. Dan, aku men-terimakasihi dia untuk semua kesabarannya itu. Tapi, sebenarnya ini bukan tentang aku yang egois dan Rini yang super sabar, ini tentang ketepatan waktu memenuhi panggilan-Nya. Maka, setelah berbagai pertanyaan dan pernyataan seputar hal tersebut muncul, aku berkata di dalam hati: "Oke Rin, lain kali kalau aku lambat dan malas-malasan sholat, duluan aja sholatnya. Aku juga akan sholat duluan kalau Rini males-malesan. Kecuali, kalau minta tunggu karena suatu alasan, barulah kita saling menunggu."
Aku refleks saya berfikir; Mungkin, sempitnya rezekiku saat ini adalah karena kelalaianku terhadap perintah-Nya. Yah, diantaranya suka mengulur waktu sholat. hiksss. Kadang, kalau sedang rajin rasanya sesuatu banget. Tapi, kalau sedang malas, ketika ngelihat orang sholat tepat waktu malah aku bergumam sendiri: Kok buru-buru amat sih sholat! Astaghfirullah, padahal itu adalah sesuatu yang sangat nggak pantas, bahkan untuk sekedar ku fikirkan. Udah jelas, Allah bilang bahwa amalan yang paling Ia sukai adalah sholat di awal waktu, menghormati tetangga dan berbakti kepada kedua orang tua. hiksss, maafkan hamba-Mu yang hina ini ya Allah. *sedih, mengistighfari diri sendiri
Sedikit sekali aku berbicara pagi ini dengan Rini. Tapi, aku berusaha biasa aja dengan menanyakan cas Laptop. Muncul jahatku pagi ini, males bicara dan ndiemin Rini sejak Rini bangun dan sholat Subuh (tanpa ku bangunin lagi). Rini pun bukan tipikal orang yang menyembah-nyembah untuk menebus kesalahan. Aku belajar cara memaafkan TERBARU sejak sekamar dengan Rini, yaitu dengan cara diam ketika merasa marah, lalu bicara lagi seperti sedia kala setelah amarah reda seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Luar biasa bukan? Aku dan Rini mungkin udah sering ngelakuin hal ini (nggak disengaja sih), hehe. Tapi, ini membuat segalanya terasa lebih lentur dan sama-sama memaafkan aja dari hati dan membuka lembar putih baru bersama. Gitu aja! Simple. Aku juga sering egois, kalau capek, aku cemberut, Rini nggak ku tegur sama sekali padahal biasanya aku rempong dan heboh banget. Rini itu nurutuin sifatku pokoknya, dia bakal ikut diem juga masalahnya. Kadang, geram juga sih (aku kan pengen dirayuuu, cinn ehhe). *lebay.com
Aku menuju BEM FKIP untuk menandatangani sertifikat MAWAPRES yang kali ini udah jauh banget kecenya dibandingkan desain sebelumnya. Setelah meletakkan sertifikat ini di sini tadi, ternyata dia langsung ke Bengkalis untuk praktikum. hiksss, selamat berangkat ya, Dek. Karena teman-teman di BEM pada berhamburan ke luar, aku ikutan ke luar melengkapi padatnya sisi kanan mobil bus berlabel; DONOR DARAH ini. Tanpa ragu tanpa sungkan, aku ikut mendaftar sebagai pendonor, menuruti Jonicek yang semangat mengajakku.
"Kakak emangnya udah pernah sebelumnya, Kak?"
"Belum, Dek. heheee, Berani-beraniin aja deh, kapan lagi?" jawabku singkat.
Eh, ternyata Joni nggak bisa mendonor karena sedang flu, huaaahh. Aku ternyata layak dengan tensi 110 dan berat yang aku akui cuma 59kg (padahal mungkin 60). Ternyata, batas minimal berat badannya 45kg ternyata. Huaahhh, syukurlah! Beratku udah jauh dari cukup.
"Loh? Kok cepet banget, Cek Nggak sakit?" teriak Okta yang baru saja datang ntah darimana.
"Disuruh makan duluuu!. Kakak kan belum sarapan, Dek."
Supaya praktis, aku makan di tempat ibu satu-satunya yang jualan di kantin BEM FKIP ini. Lauknya beragam banget dan kayak masakan rumah aja. Ada sambal ikan Tongkol, ikan Patin, ikan Lele dan ayam-ayaman, cuma Rp 8000an aja harganya cuyyy. Aku menitipkan tasku dan hanya membawa kamera plus HP ke dalam bus lagi. Alhamdulillah, pasiennya tinggal 1 orang dan itu cewek. Aku bersyukur yang 'mengolah'ku adalah cewek. Sedangkan cewek di depanku itu dengan laki-laki. Mana lengan baju harus disingsingkan sampai ke siku pula. Tadi, sempat ada adek Al-Maidan bentar, tapi hanya sebentar saja. mereka lebih dulu daripada aku.
Jujur, aku udah pernah disuntik, barusan juga udah ditusuk jarum waktu nge-cek golongan darahku, dan aku B+. Ketakutan banget waktu lihat sekilas jarumnya yang lumayan besar itu, sebelum ditusukkan di pembuluh darah, bagian lengan tanganku.
"Jangan panik ya? Harus tenang, biar darahnya juga cepet ngalirnya," kata si Kakak cantik ini.
Oh gitu ya? Ngaruh ya ketenangan dengan kelancaran aliran darah? Pelan-pelan, di dalam hati sana ku coba mengatakan: Ikhlas El, ikhlas. Ikhlaslah ditusuk jarum ini. Semoga nggak sakit dan darahnya berguna untuk orang lain. Ikhlas, El. Ikhlas, nggak perlu takut. Dan, ketika jarum itu menusukku, aku bener-bener nggak berani ngelihat. Lebih baik aku memandang ke arah jalan, meskipun yang ku lihat hanya lalu-lalang orang-orang. Ternyata memang tidak sesakit yang ku bayangkan. Setelah merasa tusukan jarum, darahnya langsung mengalir denga cepat dan aku sudah berani Oh gini aja toh? gumamku. Bakan nggak sampai 15 menit, darahku udah penuh sekantong. Hanya ada aku seorang cewek yang mendonorkan darah menit ini. Setelah kami ke luar, barulah berdatangan orang-orang baru. Cewek tadi merasa pusing katanya, kalau aku sih alhamdulillah nggak ngerasa apa-apa. Aman!
melihatnya.
"Dek, pacarnya dek Rini itu manis banget ya?" kataku kepada Okta.
"Iya. Memang imut dia."
Seharusnya aku hafal, bagaimana resikonya kalau bercerita tentang kegantengan seorang cowok ke dek Okta atau dek Joni (mereka sama saja). Aku harus udah siap dipermalukan oleh mereka! hiksss. Bukan hanya Okta membuka secara blak-blakkan langsung di hadapan Rini, Okta juga menambahkan bahwa aku menyukai dan ingin merebut cowok itu dari Rini *GUBRAKKK!. Joni nggak mau kalah, aku dan cowok itu diminta buat foto bareng. Untung di Rini nggak cemburuan orangnya malah mendukung pula.
"Siapa tahu orang ini khilaf dan sama-sama saling suka nanti!" kata Joni. hahaa... Yang lucunya, si Cowok itu nggak nolak sama sekali dan tetap cool aja di sampingku.
"Dek, maaf ya ngerepotin gini."
"Nggak apa kok Kak."
"Heh, cepatlah kalian pose. Jangan sok cantik kau Elisss!" sela dek Joni.
Ya ampuuuun, emang bener-bener bikin malu nih bocah. hikkss, *jatuh martabak saya, pemirsa. Nggak cukup 1 jepretan, kami disuruh pose yang lain dan aku baru nyadar ternyata ada 5 jepretan di kameraku. huaaahh *lumayan juga, ehhe. Dek Rini dan cowoknya berhasil kami bujuk untuk donor darah juga. Tapi, pas dicek berat badannya ternyata mereka nggak mencukupi, hiksss, sama-sama langsing sihh! hhaa.
Aku nebeng sholat Zuhur di Arfaunnas bareng dek Yana. Tanganku masih kram rasanya. Dari Toilet ke lantai 2, aku berlari-larian karena sudah rakaat kedua. Barulah aku merasa kepalaku pusing dan jantungku berdetak cepat ketika sedang berdiri. Mungkin, ini perpaduan capek karena baru lari-lari dengan lemah karena baru donor darah tadi. *untung aja nggak pingsan waktu sholat.
"Dek, Kakak baru terasa pusing loh!" kataku kepada Yana.
"Minum teh bisa cepat memulihkan energi tuh, Kak."
Di kantin BEM FKIP, bukan hanya memesan teh es, aku juga makan lagi.
"Kak, ngga usah pakai es," kata Yana.
"Nggak enaklah, Dek. Masa makan minumnya teh panas?"
Hhaa. Padahal maksud Yana tuh, aku nggak perlu makan lagi, cukup minum teh hangat aja. Emang dasar akunya yang bawaannya lapar terus sih. haha.
"Ya Allah! Kak Elis makan lagi, Kak? Joniiii lihatlah kak Elis makan lagi loh!" mulai lagi mereka mengheboh. Tapi, wajar sih, mereka kan baru aja lihat aku makan 2 jam yang lalu. haha. Tapi, mereka nggak lama karena langsung go ke kota buat nempah selempang.
"Dek, kalau mereka nggak sanggup selesai hari sabtu, tempah ajalah yang pakai sablon. hihii, intinya, jangan sampai lebih cantik daripada punya Kakak kemarin yaw?"
"Hih! Busuk hati si Elis nih!" kata Okta.
Pukul 15.00wib, aku dan Okta ke ruangan bu Tiko (TKP kejadian horor kemarin). Ternyata bu Tikonya nggak ada sementara bekas tumpahan darah kemarin masih ada. Ini bukti bahwa cairan kemarin bukan cairan biasa. hiiiiiii. Okta bergegas mengajakku pergi. Ada perasaan yang lain ketika berada di situ, katanya. Tapi, aku belum sempat menyuruhnya membuka mulut terang-terangan tentang perasaannya itu. *awas aja ntar ku culik dia dan ku sekap untuk mengaku! haha. Selanjutnya, ke Ruangan bu Elvira dan pak Arisman di Sorry, i cant see you now. If you have any case, you may contac me.
FMIPA. Bu Elvira udah pulang dan kami titipkan bajunya dengan bagian administrasi. Sementara pak Arisma, ruangannya terkunci dan nggak ada stafnya. Tertulis dengan bahasa inggris di atas kertas dan ditempelkan di pintunya;
"Kreatif ya Bapak ini!" kata dek Okta.
Akibat grusa-grusu dan nggak hati-hati, celana dek Okta koyak ketika menaiki motor. haha, *tulah! Kuwalat kan sama Kakak.
Okta ngajak mampir lagi di kotak walls di dekat parkiran Biologi, sebelum ke ruangan bu Elvira. Dia merengek minta belikan dan akhirnya ku belikan plus aku juga beli *padahal kuatir uangnya nggak cukup, lagian ini juga uang minjam. Tapi, nggak bisa nolak permintaan Okta juga akunya *halah, bilang aja kalau El juga pengen makan es krimnya juga kan? hehe, Iya sih! hee. Sambil menikmati es krim ini, Okta bertanya:
"Kak, menurut Kakak pacarnya kak *i**n itu gimana orangnya?"
"Emmm... kalau menurut Kakak sih, kayaknya orangnya kurang bijaksana ya?"
"Ya Allah Kak, abang itu orangnya setiaaaaaaaaaa betul loh, Kak. Penyayangnya ya Allah naudzubillahh... hemmm. Pokoknya kerenlah Abang tuh," papar Okta. Upsss! Pendapatkku ternyata bertolah belakang dengan dia. ehe. Maklumlah, aku kan Mama Loreng amatiran, hehe.
Setelah es krim tuntas, kami meletakkan uang di gelas berisi uang, di dalam kotak walls itu. Ini orang kok berani buka Kantin Jujur dengan jajasan sejenis ini yak? Luar biasa! Berarti kejujuran anak-anak FMIPA udah teruji secara klinis nih! haha. Ngomong-ngomong tentang Kanting Jujur, aku jadi teringat LKTI yang pernah aku ikuti bareng si kawan itu dan Susi juga. hemmmm, niat hati pengen masuk 10 besar dan diundang ke UNP Padang, apa daya rezeki belum sampai. hiksss
Setelah sholat Ashar, kami segera berkumpul di Rektorat lantai 4 untuk dekorasi dan gladi resik. Nggak jadi di Sutan Balia karena uang sewanya bikin mata kami melotot cuy: Rp 2.250.000. Yaumil udah memastikannya. Ternyata dek Syefri salah kaprah kemarin, katanya cuma Rp 225.000. hikss Angka NOLnya kurang 1 lagi, deekkk ternyata. huahhh. Kali ini, Joni nggak datang. Kata Okta, dia malas ngelihat panitia lain yang nggak peduli. Ah, untung aku punya Okta, walaupun jalan kaki dari FKIP ke sini, dia tetap datang. Luar biasa kamu, Dek!
Kami merapikan kursi, menata ruangan dan mulailah dek Okta menyusun panggung (baca: finalis) dengan apik. Aku turut menyumbangkan ide dan beberapa kali sudah dicoba untuk menanyai peserta (simulasi pertanyaan untuk 10 besar). Peserta yang hadir hanya 9 orang. Dan, memang mereka inilah rasanya yang sejak kemarin rajin datang. Ketika Yaumil mendekat ke arahku, aku membisikkan sesuatu kepadanya:
"Mil, Umil harus berfikir dan bersikap seperti seorang PEMENANG. Pemenang itu gimana mentalnya? Pede kan? Berani, semangat, optimis. Begitulah Umil seharusnya. Apalagi kalau ternyata Umil menang? Umil harus mau nggak mau menjiwai mental PEMENANG itu. Jangan lagi bilang; malu ah, Umil. Pokoknya yang gitu-gitu jangan ada lagi."
Nasehatku terpotong ketika Okta mendekat dan mulai kepo. haha.
Mil, kamu harus yakin bahwa dirimu adalah yang TERBAIK (versi dirimu), itu intinya. ^_^
"Rin, bangun. Subuuuhhh," bujukku. Tumben memang, aku bangun sepagi ini dan tanpa dibangunkan. Mungkin, hatiku sedang 'hidup'.
"Rin, woooyy, subuhhh loh. Sekali-kali kita sholat diawal waktu lah, jangan kesiangan terus," bujukku setelah sholat Fajar dan mulai membuka lembaran Al-Quran. Kaki Rini bergerak-gerak, aku tahu dia sudah terjaga, hanya raganya saja yang belum siaga.
"Rin, ayoook loh sholat," bujukku lagi ketika sudah sehalaman ku baca.
"Riiiin! Buruanlah Rin," bujukku yang terakhir.
Aku kembali kepada niat 'ingin sholat diawal waktu', akhirnya aku sholat duluan. Rasanya, selama 3 tahun kami sekamar, inilah yang pertama kalinya aku meninggalkannya sholat dengan sengaja. Jujur, agak gimana gitu rasanya. Tapi, langit pun mulai menyingkirkan gulita sementara aku takut didahului cericit burung gereja. Maka, maafkan aku Rin kali ini meninggalkanmu. Aku ingat semua kesabaranmu kok dalam membangunkan dan menungguiku selama ini, bener-bener ingat. Dan, aku men-terimakasihi dia untuk semua kesabarannya itu. Tapi, sebenarnya ini bukan tentang aku yang egois dan Rini yang super sabar, ini tentang ketepatan waktu memenuhi panggilan-Nya. Maka, setelah berbagai pertanyaan dan pernyataan seputar hal tersebut muncul, aku berkata di dalam hati: "Oke Rin, lain kali kalau aku lambat dan malas-malasan sholat, duluan aja sholatnya. Aku juga akan sholat duluan kalau Rini males-malesan. Kecuali, kalau minta tunggu karena suatu alasan, barulah kita saling menunggu."

Sedikit sekali aku berbicara pagi ini dengan Rini. Tapi, aku berusaha biasa aja dengan menanyakan cas Laptop. Muncul jahatku pagi ini, males bicara dan ndiemin Rini sejak Rini bangun dan sholat Subuh (tanpa ku bangunin lagi). Rini pun bukan tipikal orang yang menyembah-nyembah untuk menebus kesalahan. Aku belajar cara memaafkan TERBARU sejak sekamar dengan Rini, yaitu dengan cara diam ketika merasa marah, lalu bicara lagi seperti sedia kala setelah amarah reda seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Luar biasa bukan? Aku dan Rini mungkin udah sering ngelakuin hal ini (nggak disengaja sih), hehe. Tapi, ini membuat segalanya terasa lebih lentur dan sama-sama memaafkan aja dari hati dan membuka lembar putih baru bersama. Gitu aja! Simple. Aku juga sering egois, kalau capek, aku cemberut, Rini nggak ku tegur sama sekali padahal biasanya aku rempong dan heboh banget. Rini itu nurutuin sifatku pokoknya, dia bakal ikut diem juga masalahnya. Kadang, geram juga sih (aku kan pengen dirayuuu, cinn ehhe). *lebay.com
Aku menuju BEM FKIP untuk menandatangani sertifikat MAWAPRES yang kali ini udah jauh banget kecenya dibandingkan desain sebelumnya. Setelah meletakkan sertifikat ini di sini tadi, ternyata dia langsung ke Bengkalis untuk praktikum. hiksss, selamat berangkat ya, Dek. Karena teman-teman di BEM pada berhamburan ke luar, aku ikutan ke luar melengkapi padatnya sisi kanan mobil bus berlabel; DONOR DARAH ini. Tanpa ragu tanpa sungkan, aku ikut mendaftar sebagai pendonor, menuruti Jonicek yang semangat mengajakku.
"Kakak emangnya udah pernah sebelumnya, Kak?"
"Belum, Dek. heheee, Berani-beraniin aja deh, kapan lagi?" jawabku singkat.
Eh, ternyata Joni nggak bisa mendonor karena sedang flu, huaaahh. Aku ternyata layak dengan tensi 110 dan berat yang aku akui cuma 59kg (padahal mungkin 60). Ternyata, batas minimal berat badannya 45kg ternyata. Huaahhh, syukurlah! Beratku udah jauh dari cukup.
"Loh? Kok cepet banget, Cek Nggak sakit?" teriak Okta yang baru saja datang ntah darimana.
"Disuruh makan duluuu!. Kakak kan belum sarapan, Dek."
Supaya praktis, aku makan di tempat ibu satu-satunya yang jualan di kantin BEM FKIP ini. Lauknya beragam banget dan kayak masakan rumah aja. Ada sambal ikan Tongkol, ikan Patin, ikan Lele dan ayam-ayaman, cuma Rp 8000an aja harganya cuyyy. Aku menitipkan tasku dan hanya membawa kamera plus HP ke dalam bus lagi. Alhamdulillah, pasiennya tinggal 1 orang dan itu cewek. Aku bersyukur yang 'mengolah'ku adalah cewek. Sedangkan cewek di depanku itu dengan laki-laki. Mana lengan baju harus disingsingkan sampai ke siku pula. Tadi, sempat ada adek Al-Maidan bentar, tapi hanya sebentar saja. mereka lebih dulu daripada aku.
Jujur, aku udah pernah disuntik, barusan juga udah ditusuk jarum waktu nge-cek golongan darahku, dan aku B+. Ketakutan banget waktu lihat sekilas jarumnya yang lumayan besar itu, sebelum ditusukkan di pembuluh darah, bagian lengan tanganku.
"Jangan panik ya? Harus tenang, biar darahnya juga cepet ngalirnya," kata si Kakak cantik ini.
Oh gitu ya? Ngaruh ya ketenangan dengan kelancaran aliran darah? Pelan-pelan, di dalam hati sana ku coba mengatakan: Ikhlas El, ikhlas. Ikhlaslah ditusuk jarum ini. Semoga nggak sakit dan darahnya berguna untuk orang lain. Ikhlas, El. Ikhlas, nggak perlu takut. Dan, ketika jarum itu menusukku, aku bener-bener nggak berani ngelihat. Lebih baik aku memandang ke arah jalan, meskipun yang ku lihat hanya lalu-lalang orang-orang. Ternyata memang tidak sesakit yang ku bayangkan. Setelah merasa tusukan jarum, darahnya langsung mengalir denga cepat dan aku sudah berani Oh gini aja toh? gumamku. Bakan nggak sampai 15 menit, darahku udah penuh sekantong. Hanya ada aku seorang cewek yang mendonorkan darah menit ini. Setelah kami ke luar, barulah berdatangan orang-orang baru. Cewek tadi merasa pusing katanya, kalau aku sih alhamdulillah nggak ngerasa apa-apa. Aman!
melihatnya.
"Dek, pacarnya dek Rini itu manis banget ya?" kataku kepada Okta.
"Iya. Memang imut dia."
Seharusnya aku hafal, bagaimana resikonya kalau bercerita tentang kegantengan seorang cowok ke dek Okta atau dek Joni (mereka sama saja). Aku harus udah siap dipermalukan oleh mereka! hiksss. Bukan hanya Okta membuka secara blak-blakkan langsung di hadapan Rini, Okta juga menambahkan bahwa aku menyukai dan ingin merebut cowok itu dari Rini *GUBRAKKK!. Joni nggak mau kalah, aku dan cowok itu diminta buat foto bareng. Untung di Rini nggak cemburuan orangnya malah mendukung pula.
"Siapa tahu orang ini khilaf dan sama-sama saling suka nanti!" kata Joni. hahaa... Yang lucunya, si Cowok itu nggak nolak sama sekali dan tetap cool aja di sampingku.
"Dek, maaf ya ngerepotin gini."
"Nggak apa kok Kak."
"Heh, cepatlah kalian pose. Jangan sok cantik kau Elisss!" sela dek Joni.
Ya ampuuuun, emang bener-bener bikin malu nih bocah. hikkss, *jatuh martabak saya, pemirsa. Nggak cukup 1 jepretan, kami disuruh pose yang lain dan aku baru nyadar ternyata ada 5 jepretan di kameraku. huaaahh *lumayan juga, ehhe. Dek Rini dan cowoknya berhasil kami bujuk untuk donor darah juga. Tapi, pas dicek berat badannya ternyata mereka nggak mencukupi, hiksss, sama-sama langsing sihh! hhaa.
Aku nebeng sholat Zuhur di Arfaunnas bareng dek Yana. Tanganku masih kram rasanya. Dari Toilet ke lantai 2, aku berlari-larian karena sudah rakaat kedua. Barulah aku merasa kepalaku pusing dan jantungku berdetak cepat ketika sedang berdiri. Mungkin, ini perpaduan capek karena baru lari-lari dengan lemah karena baru donor darah tadi. *untung aja nggak pingsan waktu sholat.
"Dek, Kakak baru terasa pusing loh!" kataku kepada Yana.
"Minum teh bisa cepat memulihkan energi tuh, Kak."
Di kantin BEM FKIP, bukan hanya memesan teh es, aku juga makan lagi.
"Kak, ngga usah pakai es," kata Yana.
"Nggak enaklah, Dek. Masa makan minumnya teh panas?"
Hhaa. Padahal maksud Yana tuh, aku nggak perlu makan lagi, cukup minum teh hangat aja. Emang dasar akunya yang bawaannya lapar terus sih. haha.
"Ya Allah! Kak Elis makan lagi, Kak? Joniiii lihatlah kak Elis makan lagi loh!" mulai lagi mereka mengheboh. Tapi, wajar sih, mereka kan baru aja lihat aku makan 2 jam yang lalu. haha. Tapi, mereka nggak lama karena langsung go ke kota buat nempah selempang.

"Hih! Busuk hati si Elis nih!" kata Okta.
Pukul 15.00wib, aku dan Okta ke ruangan bu Tiko (TKP kejadian horor kemarin). Ternyata bu Tikonya nggak ada sementara bekas tumpahan darah kemarin masih ada. Ini bukti bahwa cairan kemarin bukan cairan biasa. hiiiiiii. Okta bergegas mengajakku pergi. Ada perasaan yang lain ketika berada di situ, katanya. Tapi, aku belum sempat menyuruhnya membuka mulut terang-terangan tentang perasaannya itu. *awas aja ntar ku culik dia dan ku sekap untuk mengaku! haha. Selanjutnya, ke Ruangan bu Elvira dan pak Arisman di Sorry, i cant see you now. If you have any case, you may contac me.
FMIPA. Bu Elvira udah pulang dan kami titipkan bajunya dengan bagian administrasi. Sementara pak Arisma, ruangannya terkunci dan nggak ada stafnya. Tertulis dengan bahasa inggris di atas kertas dan ditempelkan di pintunya;
"Kreatif ya Bapak ini!" kata dek Okta.
Akibat grusa-grusu dan nggak hati-hati, celana dek Okta koyak ketika menaiki motor. haha, *tulah! Kuwalat kan sama Kakak.
Okta ngajak mampir lagi di kotak walls di dekat parkiran Biologi, sebelum ke ruangan bu Elvira. Dia merengek minta belikan dan akhirnya ku belikan plus aku juga beli *padahal kuatir uangnya nggak cukup, lagian ini juga uang minjam. Tapi, nggak bisa nolak permintaan Okta juga akunya *halah, bilang aja kalau El juga pengen makan es krimnya juga kan? hehe, Iya sih! hee. Sambil menikmati es krim ini, Okta bertanya:
"Kak, menurut Kakak pacarnya kak *i**n itu gimana orangnya?"
"Emmm... kalau menurut Kakak sih, kayaknya orangnya kurang bijaksana ya?"
"Ya Allah Kak, abang itu orangnya setiaaaaaaaaaa betul loh, Kak. Penyayangnya ya Allah naudzubillahh... hemmm. Pokoknya kerenlah Abang tuh," papar Okta. Upsss! Pendapatkku ternyata bertolah belakang dengan dia. ehe. Maklumlah, aku kan Mama Loreng amatiran, hehe.
Setelah es krim tuntas, kami meletakkan uang di gelas berisi uang, di dalam kotak walls itu. Ini orang kok berani buka Kantin Jujur dengan jajasan sejenis ini yak? Luar biasa! Berarti kejujuran anak-anak FMIPA udah teruji secara klinis nih! haha. Ngomong-ngomong tentang Kanting Jujur, aku jadi teringat LKTI yang pernah aku ikuti bareng si kawan itu dan Susi juga. hemmmm, niat hati pengen masuk 10 besar dan diundang ke UNP Padang, apa daya rezeki belum sampai. hiksss
Setelah sholat Ashar, kami segera berkumpul di Rektorat lantai 4 untuk dekorasi dan gladi resik. Nggak jadi di Sutan Balia karena uang sewanya bikin mata kami melotot cuy: Rp 2.250.000. Yaumil udah memastikannya. Ternyata dek Syefri salah kaprah kemarin, katanya cuma Rp 225.000. hikss Angka NOLnya kurang 1 lagi, deekkk ternyata. huahhh. Kali ini, Joni nggak datang. Kata Okta, dia malas ngelihat panitia lain yang nggak peduli. Ah, untung aku punya Okta, walaupun jalan kaki dari FKIP ke sini, dia tetap datang. Luar biasa kamu, Dek!
Kami merapikan kursi, menata ruangan dan mulailah dek Okta menyusun panggung (baca: finalis) dengan apik. Aku turut menyumbangkan ide dan beberapa kali sudah dicoba untuk menanyai peserta (simulasi pertanyaan untuk 10 besar). Peserta yang hadir hanya 9 orang. Dan, memang mereka inilah rasanya yang sejak kemarin rajin datang. Ketika Yaumil mendekat ke arahku, aku membisikkan sesuatu kepadanya:
"Mil, Umil harus berfikir dan bersikap seperti seorang PEMENANG. Pemenang itu gimana mentalnya? Pede kan? Berani, semangat, optimis. Begitulah Umil seharusnya. Apalagi kalau ternyata Umil menang? Umil harus mau nggak mau menjiwai mental PEMENANG itu. Jangan lagi bilang; malu ah, Umil. Pokoknya yang gitu-gitu jangan ada lagi."
Nasehatku terpotong ketika Okta mendekat dan mulai kepo. haha.
Mil, kamu harus yakin bahwa dirimu adalah yang TERBAIK (versi dirimu), itu intinya. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar