Kamis, 23 April 2015

Karena Kamu Rumahku

"El, lapeeerrr," keluh Rini pada pukul 08.00wib.
Biasanya dia akan merengek lebih cepat daripada ini.
"Sejak tadi malam belum makan, makanya perih banget nih," lanjutnya lagi.
Aku juga. Semalam, kami sama-sama nggak makan malam. Kenyang dari ayam penyet yang dibawakan Lia sorenya untungnya masih bisa bertahan hingga jam 12.35wib, menjelang aku tidur. Pagi ini, aku pun merasakan lapar yang sama dengan Rini.
"Uangku ada nih Rp 4000 Rin. Kita makan apa dengan uang segini? Ngerebus mie aja?"
"Terserah kalau El mau. Aku nggak deh, takut sakit perut karena kemarin kan udah makan mie juga."

Akhirnya, kami putuskan untuk membeli 5 buah gorengan di tempat biasa.
3 bakwan + 1 risol +1 tempe goreng. Lumayan deh buat ganjal perut. Semoga nanti siang bisa makan dengan layak ya Allah.
"Aku singgahin di perpus dulu ntar baru ku jemput, gimana?"
"Aku ikut ke FMIPA ajalah. Lagian aku belum pernah maen ke sana. Sekalian lihat-lihat suasana di FMIPA juga."
Sesampainya di FMIPA, aku meninggalkan Rini di bawah dan aku segera naik ke lantai 2 di DEKANAT FMIPA ini. Tapi, kok ngga ada orang sih? Ah, tapi lantai 2 yang mana lagi kalau bukan yang ini? Aku sms bang Rokhim dan tak lama kemudian dia muncul dengan langkah gesit.
"Di mana ni ruangannya, Bang?"
"Di sini, sebelah kiri."


Aku mengikuti bang Rokhim dan ternyata sudah ada bu Roza, pak Rusli dan pak Arisman di dalamnya. Ah, mereka sudah berkumpul dan bercerita hangat ternyata. Giliran dek Okta yang ku teror untuk segera datang. Setelah pak Syarfi datang, barulah tak lama kemudian Okta nongol. hiihhh! No. HP nggak aktif, BBM nggak diread. piyee iki toh!
Setelah forum dibuka, kami saling bahu membahu menskor semua nilai dan menginputnya ke dalam komputer milik bang Rokhim. Waw, dia terlihat sangat profesional sekali sepertinya pemirsa. Wajarlah, tahun kemarin kan beliau diminta jadi pihak independen juga.
"Tolong kerahkan anggota yang lainnya Lis untuk bantu mentotal ini. Biar cepat kerjanya," pinta bang Rokhim ketika melihatku dan Okta kewalahan.
Aku sudah mengetik kalimat istruksi, tapi kemudia ku hapus kembali. Aku hanya berfikir, kalau ada tambahan orang ke sini, otomatis mereka bukan hanya selesai menghitung dan langsung pulang. Aku hanya mengkhawatirkan keamanan berita dan forum ini. Kenapa harus Okta yang ku pilih? Karena sejak awal, dia dan aku yang memang paling sibuk dengan urusan per-jurian ini. Bahkan ketika teknikal meeting dan ada rapat-rapat kecil pun dia yang selalu ikut terlibat. Bukan berarti aku mengesampingkan yang lain loh pemirsyaaa... ^_^

Aku tetap memilih untuk sedikit rempong mengerjakan semua ini bersama Okta daripada menambah orang baru. Ah, belakangan aku baru ingat bahwa di bawah ada Rincuy yang masih setia menunggu. Kenapa nggak aku berdayakan aja ternakku yang teladan itu ya? hheh.  Setelah semua nilai diinput dan sudah terurut, giliran para juri yang merembukkan keputusan akhir tentang 'sosok' pemenang. Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar dan semoga penuh keberkahan. Ini kali keduaku terlibat dan menyaksikan detik-detik menegangkan ini. Ternyata debar-debar kala di FKIP kemarin, kiranya lebih dahsyat lagi yang terjadi hari ini. Luar biasa ya Allah. Terimakasih telah mengaugerahiku semua ini ^_^

Giliran dek Okat pula yang merengek-rengek mau curhat. Aku mendengarkannya dengan seksama.
".... dan kata ayah Okta gini: Nak, bangunlah sholat malam. Doakan Ayahmu ini ya Nak. Gitu ha Kak kata Ayah Okta. Sumpah! Okta terharu kaliii Kak mendengarnya mendengar Ayah Okta ngomong gitu haa," ujar Okta dengan intonasi khas dirinya itu. Nah, yang perlu pemirsa ketahui, dek Okta ini adalah mahasiswa pendidikan Bahasa Indonesia dan wajar saja kalau cara ngomongnya seperti itu: menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi so far, aku sangat suka dengan gaya bicaranya. Kalau ku tebak sih, tipe kecerdasannya itu sama seperti diriku: Feeling (Fe).

".... Dek, mungkin dia jenuh dengan sifat Adek yang moody dan suka ngambek tiba-tiba, ndak?"
"Nggak tahulah, Kak. Tapi Kak, dulu pernah Okta tanya sama dia: Dit, aku takut kau bosan sama aku nanti dan kau akan pergi meninggalkanku. Terus dijawabnya gini Kak: Nggak Ta. Aku nggak akan pernah bisa bosan sama kau."

"Dek, itu dulu. Bisa jadi saat ini adalah titik jenuhnya. Hati orang siapa yang tahu Dek?"

"Kak, Okta orangnya nggak mau jadi pemula Kak. Okta sama kayak Kakak. Untuk memulai bertanya duluan itu ha Kak nauzdubillah malasnya. Nah, dia itu orangnya kayak gitu juga. Ya sudahlah! Beginilah jadinya sekarang. hehe" jelas Okta lagi.

"Dek, Kakak juga pernah mengalami apa yang Okta alami 3 tahun yang lalu. Kakak banyak belajar dari sifat kawan Kakak yang nggak Kakak sukai itu. Setiap kali kami ada masalah, Kakak selalu cerita ke sahabat Kakak (dulu) dan Kakak ingat banget dia bilang gini: El, aku cuma bisa menjadi pendengar aja ya. Karena, apa pun masalahmu, itu adalah urusanmu dengan dia yang harus kamu selesaikan. Pulanglah ke kamarmu dan bicaralah sama dia. Cuma itu jalan ke luarnya El, bukan dengan cerita sama aku. Tapi, BICARALAH. Awalnya Kakak berontak, Kak bilang: Nggak mau ah, enak aja dia yang salah, aku pula yang susah payah bujuk dia dan yang bicara duluan. No way! Tapi Dek, akhirnya Kakak banyak belajar dari situ."

Drett Dreetttt
HPku bergetar. Lia yang menelponku ternyata.
"Bentar lagi kelar kok Cin. Bentar ya. Langsung ke kos aja. Soalnya sertifikat dan ijazah itu ada di dalam lemariku Cin."

"Dek, Kakak dulu pernah sangat cemburu dengan kak Lia dan akhirnya Kakak ngomong gini: Cin, sahabat itu bukan hanya dinamai, tetapi dimiliki. Dulu, aku pernah bertiga, berempat dan berlima, tapi aku gagal. Maka kini, aku hanya ingin berdua denganmu. Jadikan aku rumahmu dan kamu rumahku. Sepanjang hari, kamu boleh bertamu ke rumah siapa saja, tapi pastikan aku adalah tempatmu pulang. Itu saja. Kala itu, Kakak udah siap dengan apa pun tanggapan kak Lia, Dek. Apakah dia akan mengatakan Kakak aneh, nggak normal, pemaksa dan lain-lain seperti yang pernah dikatakan orang-orang sebelumnya. Tapi, ternyata jawaban Kak Lia jauh dari yang Kakak duga: Cin, terimakasih atas cintamu yang begitu besar untukku. Jujur, aku nggak sanggup menyamainya. Insya Allah, kita akan tetap berdua selamanya. Hingga ke syurga-Nya. Gitu loh Dek, jawaban Kak Lia (sambil aku tersenyum ^_^) Alhamulillah, Dek. Sejak saat itu hingga sekarang, insya allah Kakak dan kak Lia baik-baik aja. Karena kami udah saling terbuka dan Kakak udah jujur tentang diri Kakak."

Di parkiran,
"Dek! Sin bentar! Ada yang terlupa mau Kakak sampaikan," teriakku kepada Okta yang sudah berjalan menjauh.
Ia menurut. "Ada apa, Kak?"
"Dek (sapaku lembut), Kakak cuma mau menegaskan bahwa nggak ada yang lebih baik selain BICARA. Ngomonglah baik-baik dengan dia. Nggak ada tu doh yang Adek bilang tadi (Okta akan berusaha biasa aja Kak. Kalau dia tanya, Okta akan jawab. Kalau ada yang mau Okta tanyakan, Okta akan tanyakan seperlunya. Dan ketika dia bilang: Okta, aku pindah ya!, maka Okta akan jawab dengan tersenyum: Pindahlah.^_^). Omong kosong itu, Dek! Adek bisa berencana gitu hari ini, tapi Kak yakin yang 'biasa' tu nggak akan pernah terjadi."

"Okta juga mikirnya gitu sih, Kak. Okta nggak sanggup sebenarnyaaaa," rengeknya pula.

"Dek (sapaku lembut), ini bukan lagi soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang patut memulai dan siapa yang lebih pantas disalahkan. BUKAN! Ini soal ukhwah yang sering Adek sebut-sebut itu, Dek. Juga agar hati Adek lega. Kalau pun harus menangis, menangislah kalian bersama. Kalau pun memang harus berpisah, berpisahlah dengan cara yang indah."

Okta terdiam, tapi wajahnya tersenyum walaupun ia berusaha menyembunyikannya, "Baiklah! Okta akan mempertimbangkannya ya Kak," ucapnya sambil melengos pergi.
"Kaaannn, busnya udah pergi....!" teriaknya sambil menunjuk ke halte. Kasihan sekali dia. hhehe

Aku mendapati Lia di kamarku yang memang sudah berserak sejak tadi pagi. Ia masih sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk melengkapi berkas BPAD (Bakti Pemuda Antar Daerah).
"Ini sebenarnya masih tahap pendaftaran dan nanti ada pembekalannya atau udah langsung seleksi ya, Cin?" tanyaku ragu.
"Emmm... kurang tahu juga ya Cin. Tapi aku ada bawa brosurnya nih (Lia mengulurkan brosur BPAD) kepadaku. Memangnya kenapa kalau lansung seleksi Cin?"
"Gini Cin (aku menahan suaraku), kalau ini adalah seleksi, aku nggak ikut. (aku mengamati brosur ini) nah, ternyata memang ini seleksi karena ada tulisannya di sini: Seleksi BPAD. Aku nggak ikut karena aku nggak ada interestnya di sini Cin. Aku angkat tangan banget kalau soal tari. Banyak juga target yang lainnya yang mau digesa bulan Mei ini."
"Hemmm...gitu ya? Ya udah deh, kita nggak usah daftar. Berarti kita lansung ke UIN yuk!" ajak Lia. Tapi, sebelum berangkat kami melahap nasi bungkus yang sudah dibelikan Lia, sebungkus berdua cuyyyy. Alhamdulillah kenyang dan Lia ku persilahkan duluan karena dia harus menjemput Novi, adek kelasnya yang mau bareng.

Agenda yang kami hadiri di UIN kali ini adalah sosialisasi AISEC. Ini adalah komunitas non profit, pemuda seluruh dunia. Bukan hanya soal exchange program yang tersedia tetapi juga pengasahan softskill leadership pemuda. Aku ingat, Nila pernah ikutan ini di Padang setahun yang lalu. Dan ternyata memang untuk wilayah Sumatera, UNAND adalah cabang pemulanya. Ah, melihat orang-orang luar biasa presentasi itu rasanya sesuatu banget ya Allah.
"...kita bukan lagi hanya menjadi masyarakat Indonesia saja, tetapi kita menjadi Masyarakat dunia. Masalah yang terjadi di negara lain sejatinya adalah masalah kita juga. Nah, untuk membangun perubahan, AISEC percaya bahwa perubahan itu dihasilkan dari leadership. Bagaimana pemuda-pemuda ini mampu memberikan solusi atas isu sosial yang ada dan berperan aktif di dalamnya," demikian jabar Eko-semester 6-dari UNAND.

Berkumpul di forum seperti ini membuat fikiranku kembali terbuka: Oh ternyata dunia ini nggak sesempit yang aku fikirkan, oh ternyata aku punya PR besar nih buat memajukan negaraku, ih ternyata setelah berprestasi kita juga harus bermanfaat buat orang lain, oh ternyata targetku harus ditambah lagi nih untuk bisa exchage, oh ternyata aku harus semakin mengupgrade kemampuan berbahasaku, berkomunikasi dan menulis di blog. Luar biasa bukan? Aku juga sempat tanya-tanya ke dek Jufri tentang DUTA BAHASA dan aku banyak banget dapat informasi dari penjelasannya yang lugas. Bismillah, Mei ini DUTA BAHASA menanti. Harus segera ngambil formulirnya nih eke.

Islamic centre tepat bersebelahan dengan masjid agung UIN SUSKA. Tapi harus muter coyyy jalannya. Nggak bisa nerobos langsung gitu ke sana. Jadilah aku berkeringat-keringat ketika sampai di mesjid karena berlari-larian. Aku segera menghampiri Lia yang sedang melipat mukenanya (karena aku bernait meminjemnya hihii).
"Halaqoh macam apa ini Cin? Subhanallah..." Lia takjub. Aku pun. Melihat 8 buah lingkaran tasbih yang tersebar di berbagai sisi di mesjid ini.
Ketika aku baru selesai membuka mukenah, telingaku terusik dengan suara seseorang yang aku yakin sedang menghafal Alquran. Ketika aku menoleh, benar saja rupanya. Dia adalah wanita berjilbab coklat yang tidak terlalu lebar ukurannya. Bahkan jilbabnya hanya 1 lapis, tapi bukan itu yang sedang aku fikirkan, tetapi luar biasanya dia dalam menghafal Alquran dengan sabar. Temannya yang berada tepat di hadapannya adalah penyimak bacaannya. Sungguh! Aku terpesona.

Aku melaju bersama Lia menuju Gobah setelah sempat nyangkut di DPM untuk mengurusi surat acaranya. Tadi, waktu mami menelpon, aku mencritakan AISEC ke mami dan berkata bahwa aku kembali terpanggil untuk ke luar negeri. Ada rasa khawatir mami akan kembali menanyakan sudah sejauh mana perkembangan skripsiku. Tapi, untungnya tidak. Ah, melegakan sekali pemirsa.

Aku tiba di Asrama MAN 2 tetap ketika azan maghrib berkumandang. Lia yang baru saja sampai langsung beraksi: meneriaki anak-anaknya sambil bersenandung dengan aneka nada. Aku beberapa kali dibuatnya tergelak (tanpa dia tahu). Luar biasa banget si putri keraton yang satu ini, kalau ada pemiliha puteri keraton pun, pasti dialah pemenangnya. Lia bertanya: kenapa? Dan ku jawab: Karena dirimu sangat patuh kepada aturan, nilai dan norma. haha. Dia hanya tergelak.

Setelah sholat Maghrib di mesjid MAN 2, aku mengedarkan pandanganku ke seisi mesjid. Lalu terhenti kepada 2 orang yang duduk saling berjauhan, yang satu duduknya tepat di sebelahku dan yang 1 lagi 5 meter dari tempat duduknya. Ada sesuatu yang membuatku tersenyum dan teringat dengan pemandangan di UIN tadi: mereka menghafal Al-Quran pemirsaaa. Subhanallah! ^_^ Sesekali mata mereka menyipit, berusaha mengingat ayat-ayat yang sedang dihafalnya, sesekali juga tertunduk menge-check ulang Al-Qurannya. Terimakasih ya Allah untuk kesetiaanmu mengingatkanku. Ah, sudah lama sekali ternyata aku tidak lagi menghafal Al-Quran. Bahkan hafalannya Nila sudah menggunung tinggi, tapi kakaknya belum menambah apa-apa. hiksss

Tidak ada komentar: