Aku melihat sajadah sudah terbentang di sampingku. Udah
subuh kah? Kok Rini malah main HP dan nggak bangunin aku sih?
“Jam berapa ni Rin?”
“Setengah 5.”
Oh, syukurlah. Aku berniat mau tidur lagi. Tapi, kapan lagi
aku sholat Tahajud? Kalau ada kesempatan untuk sholat tapi nggak ku gunakan?
Akhirnya, aku beranjak dengan mengucapkan A’uzubillah
himinassyaiton nirrojiim..
Setelah selesai berwudhu…
“Rin, aku udah ingat ‘rasaku’ yang kemarin sore tuu!”
“Yang ‘rasaku’ El ulang-ulang bilangnya kemarin?”
“Iya, yang itu. Aku sholat dulu ya! Keywordnya Menyentuh dengan karya , ingat ya Rin!
Aku titip ingatanku dulu. Takutnya aku lupa lagi ntar.”
Ya Allah… kuatkan bahuku.
Engkaulah sumber kekuatan yang tiada batas. Kalau memang aku harus menghadapi
tantangan hidup yang berat di depan sana, izinkan aku untuk menghadapinya,
dengan bahu dan jiwa yang kuat. Aamiinn, doaku di penghujung tahajjud.
“Gini loh Rin… waktu Teguh bilang; ‘Adek mau pulang ke
Pekanbaru sebelum hari ulang tahun Adek supaya Adek bisa menghargai teman-teman
yang berniat ngerjain Adek’ waktu aku dengar itu, aku jadi berfikir; ‘Siapakah
teman-temannya Teguh itu? Apakah aku juga punya?’ Jujur Rin, sejak dulu aku
nggak pernah merasa benar-benar punya teman-teman dekat. Yah, paling-paling 1
orang atau 2 orang aja. Aku takjub aja setiap ada yang menyebut ‘teman-teman’
yang bener-bener dia tahu bakal melakukan sesuatu untuknya. Kayak kemarin, waktu Novi bilang ‘Teman-teman
Novi ni haa Kak ngasih surprise untuk Novi…’ dan aku langsung bertanya ke
diriku; ‘Siapa sih teman-teman dekatku? Apakah orang yang berada di depanku
sekarang (Novi) termasuk? Apakah dia yang sering merengek-rengek (Teguh) juga
termasuk? Apakah 2 orang yang selalu rempong itu (Joni, Okta) juga termasuk?’.
Ntahlah Rin. Kayaknya aku sedang pesimis dengan persahabatan. Aku pun nggak
jelas orangnya.”
Aku menghela nafas…
“Seperti yang ku bilang kemarin, aku nggak pernah tahu kapan
sifat tegaku muncul, kapan sifat penyayangku muncul, kapan sifat pemaafku
muncul, kapan benciku muncul. Aku aja nggak pernah bisa mendeteksinya Rin.
Intinya, aku takut kalau aku kecewa sama mereka dan aku pun takut kalau mereka
kecewa sama aku. Dulu, aku pernah merasa punya 2 orang yang benar-benar
sahabat. Tapi, waktu aku pertama kali bertengkus lumus untuk nyoba MAWAPRES
yang pertama kalinya, mereka sama sekali nggak ada buatku. 3 kali aku minta
mereka nengok aku presentasi, selalu aja mereka bilang nggak bisa. Padahal, cuma
nengok aja loh Rin. Nggak ku minta mereka ngapa-ngapain. Sejak saat itu, aku
takut Rin berharap; Ternyata nggak ada
yang benar-benar sahabat di dunia ini! kataku waktu itu. Termasuk sekarang.
Walaupun aku dengan sama Teguh, Novi, Romi, Joni, tapi aku tetap nggak yakin
kalau kedekatan ini disebut persahabatan. Kadang, aku juga takut kalau
tiba-tiba aku membenci mereka karena ketika aku benar-benar butuh nggak ada
satu pun yang membantuku..."
Aku terdiam sejenak. Rini memandang lurus ke tembok sambil
terus mendengarkanku..
“Aku jadi ada ide Rin untuk judul; ‘Hati-hati ada Elysa!’
ahahah, karena aku berbahaya orangnya. Hehe. Yah, sejauh ini cuma Rini sama Lia
lah yang paling dekat sama aku. Tapi, tetap aja aku masih punya keraguan Rin.
Kayaknya aku ni nggak cocok kerja yang banyak interaksinya dengan orang-orang
Rin, aku fikir gitu. Hemmm… jadi intinya, sekarang aku berniat untuk bersahabat
dengan orang melalui karyaku. Aku nggak pengen mereka mengenal siapa aku,
cukuplah mereka merasa kalau tulisanku itu menginspirasi mereka. Mereka nggak
perlu tahu aku karena aku takut mereka akan membenci karyaku kalau tahu siapa
aku.”
Rini manggut-manggut.
“Di Blogku yang baru ini nggak ku tampilkan sama sekali
profilku Rin. Aku fikir, mereka nggak perlu kenal aku. Aku takuttttttttt Rin,
aku takut menyakiti orang lain, aku takut akan bertambah lagi orang yang
membenciku. Dan, aku pun nggak mau membenci orang. Karena, kadang aku kalah
dengan diriku sendiri. Makanya prinsipku, cukuplah punya 1 orang, tapi
benar-benar ada untuk kita daripada punya banyak orang tapi nggak pasti ke
siapa kita harus berharap.”
“Arasssooohh. El memang aneh.”
“Cuma Rini dan Lia yang nggak pernah marah dan masih betah
sama aku sampai sekarang.”
“Terpaksa nya aku. Nggak ada pilihan lain soalnya,” kata
Rini dengan logat bataknya.
“Tu, salah aku Rin?”
“Iyalah. El memang selalu salah. Kapan rupanya El benar di
mataku?”
“Iya nya?”
Azan subuh sudah berkumandang.
“Sebelum sholat, alangkah lebik baik kalau kita bereskan
kamar ini dulu El.”
“Rini nyindir aku ya?”
“Iyalah. Lihat ni haaa.. baju-baju El sejak semalam belum
dimasukkan lemari juga.”
Hehhe, emang bener sih pemirsaa..aku adalah biang keroknya.
Tapi, lagi-lagi inilah istimewanya Rini, dia nggak pernah memperlakukanku
seperti orang yang bersalah. Kalau Rini yang nyerakin kamar, aku belum tentu
bisa memakluminya seperti dia memaklumiku. Hiksss… aku memang jahat pemirsaa.
“Eh, Rin, aku akan bilang kepada orang yang menganggap aku
udah berbuat baik kepada mereka supaya mereka jangan berterimakasih sama aku,
cukup lakukan kebikan kepada 3 orang dan mintala orang itu untuk berbuat baik
kepada 3 orang lagi. Kayak film Jai Hoo semalam.”
“Iyalah. Aku juga nanti bilang gitu ke orang yang ku
tolong,” kata Rini.
“Rin, ingatkan kalau aku sering banget aneh kalau jumpa sama
orang? Kan aku sering bilang ke Rini; ‘Rin, aku kenal loh sama cewek di
sebelahku ini, tapi aku nggak mau dia tahu ini aku dan aku pun nggak pengen
menyapanya’ ingat kan?”
“Iya, emang aneh kali El nii! Tinggal disapa aja padahal.
Ini malah ketakutan sendiri.”
“Padahal, aku nggak ada masalah dengan dia loh Rin, tapi aku
memang sedang nggak pengen disapa aja.”
“Emang gilak kali El nii. Kebanyakan nonton film psikopat
sih.”
“Eh, nanti kalau Rini udah pulang, gimana caranya aku cerita
kalau tiba-tiba aku punya ide gila lagi?”
“Ya tinggal SMS ajaahh.”
“Tapi, nanti Rini nggak balas pula?”
“Kan ada voucher SMS gratis Tri.”
“Emangnya di sana ada jual?”
“Ya beli dari sinilah.”
“Emang nggak ada lengkap-lengkap nya barang-barang di Medan
tu ku rasa ya! Selalap nyaa nggak ada!”
“Ada sih, tapi aku yang nggak pandai nyarinya ntah di mana.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar