Aku jadi ingat bagaimana aku dan teman-teman yang lainnya
menjadi fasilitator untuk BAT 5. 1 hal yang sampai sekarang masih ku ingat
dengan jelas adalah bagaimana seorang Wira Ramli memberikan kepercayaan penuh
kepada Aisyah untuk menjadi MC saat itu. Sekalipun aku merasa lebih mampu, bang
Wira tidak mengistimewakanku dan tetap memilih Aisyah yang ingin belajar itu. Dan
yang lebih mengagumkan adalah ketika breafing, kesalahan-kesalahan yang kami
lakukan selama jalannya acara tidak dibahas oleh bang Wira, selain hanya
merancang rencana baru untuk BAT selanjutnya. Aku yang saat itu benar-benar
mengamati bagaimana Aisyah sejujurnya melihat banyak ketidaksempurnaan dan
mungkin kalau aku adalah seorang Wira Ramli, training yang akan ku bawakan bisa
saja gagal menjadi maksimal karena terpengaruh ketidaksempurnaan pada saat pembuka
acara. Yah, ternyata inilah bedanya aku dan bang Wira. Ada hukum KEPANTASAN di sana.
Mohon selalu ajarkan
kepadaku tentang KEPANTASAN dan PEMANTASAN ya Robb… aamiiin
***
Mamake udah
berangkat ya?
Umil ke mana aja sih
tadi? Uda Mamake
klakson-klakson nggak
ke luar?
Maaf mamake, umil
nggak dengar. Sedang sholat Dhuha mungkin tadi tu. Sekarang Ummil udah di dalam
Oplet nih menuju ke sana.
Aku membaca balasan Yaumil itu setelah tiba di hotel Zaira,
lantai 3. Padahal SMS itu tadi udah ku kirimkan kepada Yaumil ketika aku
mengklaksonnya. SMS college-ku sih dibiayainya, tapi setelah aku udah OTW malah
Yaumil balas mengirimkan SMS college pula kepadaku. hemmm… mungkin giliran
Yaumil nih yang kehabisan pulsa. Hehe. Aku mana punya pulsa untuk membiayainya.
Hehe. sorri ya Mill, jadi naik oplet deh.
“Lis, yuk kita breafing dulu!” ajak bang Wira.
Dek Yoga dan aku segera duduk di tengah ruangan tepat di
depan panggung. Bang Wira sudah menyiapkan papan tulis untuk menjelaskan rule
of event hari ini. aku dan Yoga menyimak dengan seksama apa yang disampaikan
oleh bang Wira. Sebagiannya sudah disampaikan pada hari Selasa kemarin, tapi
kali ini dipertajam dan diperjelas lagi.
“…Nanti gimana cara kita manggil Bang Wira Kak supaya
kompak?” tanya Yoga. Kami berlatih agak ke sudut ruangan.
“Gini Dek, nanti Kakak yang mulai bilang; ‘Baiklah! Mari
kita sambut dengan tepuk tangang yang meriah, Bang Wiraaa…’ nah Adek langsung
nyahut aja nyebutin nama Bang Wira. Intinya gini, kalau Kakak lebih cepat
ngomongnya, Adek ikutin aja. Langsung disesuaikan. Sip?”
“Sip, sip Kak.”
“Bang, ini semi formal aja kan konsep nge-MCnya?” tanyaku
kepada bang Wira yang masih mengatur proyektor dan slidenya.
“Iya, iyaa,” jawabnya singkat.
Aku dan Yoga menyusun beberapa poin penting yang harus
disampaikan secara santai kepada peserta sebelum bang Wira dipanggil ke depan.
“Nanti tagih tugas mereka ya Liss!” pinta bang Wira.
“Tugas apa Bang?”
“Bawa kartu nama. Minta mereka bertukar kartu nama kayak
BAT 4 dulu juga. Yang terbanyak
mendapatkan kartu nama, kasih hadiah. Ada Vocher tu dari Azzwars.”
“Sip, Bang.”
Hpku bergetar…
“Cin? Mu udah di Zaira ya?” tanya Lia.
“Iya. Sinilah Ciiinn.. Bang Wira kekurangan fasilitator nih!
Cuma aku sama Yoga loh yang jadi fasilnya.”
“Ya Allahhh, iya ya Cin? Ihhh, mau kali aku bantu Cin, tapi
aku udah terlanjur janji pula untuk mantauain anak-anak asrama gotong royong
nih!”
“Ohhh… ya udahlah kalau gitu Cin. Berabe pula anak-anak itu
ntar kalau mu tinggalin.”
“Salam ya buat Bang Wira. Eh, Fajar nanya nih, udah
terlambat belum kalau dia baru datang sekarang?”
“Belum kok! Kami aja masih prepare nih Cin. Paling setengah
jam lagi baru mulai.”
“Ohh. Okay ntar ku kabarin Fajar.”
***
Acara di mulai tepat pukul 09.10wib. Bang Wira sudah memberi
aba-aba kepadaku dan Yoga untuk membuka acara. Sesuai rencana dan latihan kilat
tadi, aku dan Yoga tampil penuh percaya diri dan tidak lupa untuk menyampaikan
poin-poin yang harus disampaikan.
“Mari, kita sambut dengan tepuk tengan yang meriah, trainer
kita yang luar biasa… Bang Wiraa…”
“Wiraaa…Ramliii,” sambut Yoga segera.
Acara sudah diambil alih oleh bang Wira dan kami mundur ke
baris terbelakang darti deretan peserta. Ada beberapa wajah peserta yang ku
kenali hari ini.
“Duh, Dek, kita lupa memulai acara kita dengan basmalah
tadi…” ingatku kemudian.
“Lah? Iya ya Kak. hehe. Udah terlanjur Kak. Salam kan doa
juga Kak.”
“Iya sih, lagian udah terlanjur.”
Sebelum bang Wira memulai materinya, aku dan Yoga kembali
diperkenalkan olehnya. Ah, sungguh kebahagiaan yang luar biasa ya Allah.
“…Elisa ini mengatakan kepada saya; ‘Bang Wira, nanti ajakin
Elis ya kalau ada acara training lagi.’ Makanya sampai sekarang dia selalu
menjadi fasilitator dalam Be Amazing Trainer ini. Tepuk tangan donk untuk
Elysaa.”
Senyumku semakin lepas. Bahagiaku semakin bebas.
***
Pukul 10.15wib-10.30wib coffe break berlangsung. Dan setelah
itu, dimulailah sesi Percaya Diri dan diawali dengan ice breaking dari kelompok
terbaik saat kompetisi yel-yel tadi; tim Syahrini. Suasana semaking meriah dan
peserta semakin bersemangat setelahnya.
“... dalam sesi ini, ada 2 metode yang bisa anda gunakan
untuk meningkatkan kepercayaan diri; circle of excellent atau lingkaran
kesempurnaan dan swish pattern.”

“..nikmati sensasi dalam hitungan 3, 2, 1. Lalu, perbesar
sensasinya, perjelas suarananya, pertajam gambarnya dalam hitungan 10. 1, 2, 3
semakin tinggi angkanya, semakin nyaman anda dan semakin kuat sensasinya. 4, 5,
6, 7 dan dalam hitungan ke-10, saya ingin anda berteriak ‘YES!’ dengan lantang.
8, 9, 10.”
“YESSSSSSS!” teriak seluruh peserta perempuan sambil membuka
mata.
“Tepuk tangan untuk anda semua!” tutupku.
Setelah semua kembali ke tempat duduk, bang Wira
mempraktekkan metode swish pattern. Ternyata aku dan Yoga tidak diminta lagi
menjadi pemandunya karena akan ribet rasanya dan memang yang ini agak ribet
daripada circle of excellent tadi.
“… selamat ISHOMA dan sampai jumpa kembali di ruangan ini
pada pukul 13.30wib,” tutup bang Wira. Ada waktu 1 jam untuk ishoma.
“Adekkkk! Kok jadi peserta lagi sih!” tegurku pada dek
Bangun.
“Iya nih, kami cuma berdua hari ini haa,” sahut dek Yoga.
Sejak tadi aku dan Yoga memang sudah nggak sabar pengen
negur dek Bangun.
“Masih kurang ilmu Adek ni Kak. Kalau Kakak dan Bang Yoga
kan memang udah siap terjun. Hhehee,” dalihnya.
Aku, Yoga, Bangun, Bang Wira dan mbak Wien makan siang
bareng di meja registrasi dengan nasi bungkus lezat yang dibeli mbak Wien tadi.
“Adek nggak suka acarnya ya?” tanyaku kepada dek Yoga.
“Nggak Kak. Ambillah Kak!”
“Yeyeee,” aku kegirangan bisa nyolong acarnya dek Yoga.
Hihii. “Bang, masa kata Dek Muti tadi waktu Elis salami, dibilangnya Elis jauh
lebih gendut dibanding waktu tes STIFIN kemarin. Hiksss.. tega Adek tuu jujur
kalii gituu!”
“Hhaaaha. Gini Liss, mahasiswa itu ada masanya. Kalau masih
semester-semester awal tu masih hepi. Semakin tinggi semesternya semakin
stress. Dan puncaknya waktu TA. Dan, setelah TA barulah subur lagi.”
“Lah? Elis belum TA tapi udah subur duluan nih! Gimana tuh
Bang?”
“Hhahaa.. Elis berarti lain. Di luar kategori tadi. Uda lega
duluan sebelum TA. Haha,” ejek bang Wira. “Eh, bilanglah sama Mbak Wien; ‘Mbak,
semangat ya tesisnya’ hhehehe,” ledek bang Wira pula kepada istrinya.
“Ayaannggg.. huhuu!” kata Mbak Wien, malu.
Dari ngebahas soal TA, beralih ke Yogyakarta, beralih ke
Espresso, beralih lagi ke si calon baby boy, beralih lagi ke lauk tambusu dan
terakhir adalah tentang rencana BAT goes to Campus; acara amalnya bang Wira.
Aku, Yoga, Bangun sudah dibooking sebagai panitianya. Targetnya adalah aktivis
di UNRI dan UIN yang butuh dengan communication skill. Bismillah!
“Elis kalau diminta ngisi di SMA bisa, Lis?” tanya bang
Wira.
“Lah? Tapi kata Abang tadi nggak boleh umpan serak, harus
punya spesifikasiii. Gimana tuh?”
“Ya nggak apa-apa, kan Elis masih belajar. Itung-itung
nambah jam terbang Elis juga, Yoga dan Bangun.”
“Boleh deh Bang!”
Setelah makan siang, aku segera ke mushola untuk sholat
Zuhur. Dan, ketika kembali…
“Elisss?” Panggil Bang Wira
“Ya Bang?” Langkahku Menuju Tempat Duduk Terhenti. Aku
Berbalik Badan.
“Emangnya Elis Mau Nulis Cerita Hari Ini Di Blog Elis?”
“Hah? Maksudnya, Bang?”
“Elis Mau Nulis Kisah Hari Ini Di Blog?”
Lah? Dari mana pula Bang
Wira tahu kebiasaanku yang satu ini? Kaget, Sekaligus Seneng.
“Iya Bang. Hehee. Biasanya Juga Gitu Hari-Hari Elis.”
“Wahh.. Jadi Penasaran Nih Abang.”
Aku ingat, tadi pai dek Bangun udah nanyain hal yang mirip
kayak gini; “Kak, nanti jangan lupa ditulis di blog ya cerita hari ini!”
katanya. “Adek tunggu loh!”
Ku jawab aja tadi; “Iya, ntar Kakak bully Adek yang lebih
mentingin jadi peserta daripada ngebantu jadi fasilitator. Haha.”
***

“Ikatlah ilmu dengan tulisan, agar ia tidak
menguap ditelan zaman (ali bin abu thalib). Apapun yang anda tuliskan
di akun facebook anda, akan terus abadi sepanjang zama. Ketika nanti dituangkan
dalam medsos atau menjadi buku adalah asset dan peninggalan bersejarah untuk
kita. Pahalanya buat siapa? Untuk penulisnya kan?”
Beberapa peserta terlihat mengangguk. Aku memperhatikan
mereka dari belakang.
“Apalagi kalau orang lain mengikuti kebaikan apa yang
kita tuliskan itu. Naaahhh! Ini juga yang sering dilupakan oleh banyak orang
yang ingin berbicara. Lupa menuliskannya, merangkainya ke dalam tulisan.
Padahal, ada jenis public speaking yang istilahnya adalah impromtu, yaitu
berbicara serta merta tanpa persiapan. Teknik narasi, teknik hafalan (ini gak
bagus, tapi bisa disiasati dengan membuat poin per poin apa yang akan
disampaikan). Parahnya orang indonesia saat ini masih malas mmebaca. Padahal
itu adalah obat yang paling ampuh untuk memperkuat wawasan kita.”
Seperti yang pernah bang Wira sampaikan kepadaku dan
Yoga, ia kembali menjelaskan tentang jenis lawakan murahan hari ini.
“Tahu apa ciri-ciri humor yang murahan? Yaitu humor-humor
yang jorok. Itu nggak akan lucu sama sekali kalau anda berbicara di depan orang-orang
berkelas. Tapi, gunakanlah . Kalau kita bisa berhumor dengan teratur, maka kita
bisa menyisipkan cerita untuk membuat orang terhibur sekaligus menyisipkan
suatu perintah secara halus, tanpa disadari sama sekali oleh mereka.”
***
Setelah sholat Ashar, aku mengajak kak Dewi berfoto-foto. Niat
awalnya sih minta tolong si kakak untuk memfotokan aku, tapi eh ternyata dia
tertarik juga untuk difotoin.
“Ini mau diambil separuh badan atau full badan?” tanya kak
Dewi.
Nggak banyak orang yang terampil menjepret foto full body,
maka aku meminta kak Dewi untuk memfotoku close up saja. Aku berpose di samping
meja dengan 3 buah jejeran guci antic di atasnya dan terpajang sebuah kaca di
dindingnya. Mulailah aku tersenyum sambil memandang ke arah jendela.
“Elis kenapa sih kalau difoto tu jarang lihat ke depan?”
“Loh? Kok Kakak bisa menyimpulkan gitu? Memangnya udah
berapa banyak foto Elis yang kakak lihat? Heheh.” Aku curiga, jangan-jangan kak
Dewi adalah stalkerku. Hihiii, tapi seingatku aku nggak berteman dengannya di
Instagram deh!
“Itu di Facebook Elis. Ntah ke mana-mana ngelihatnya. Haaa”
“Ohohooo. Kalau ngelihat ke kamera kan udah biasa banget
Kak, makanya Elis pengen yang agak beda. Ada timingnya harus lihat foto ke
kamera dan ada yang nggak.Dan biasanya harus ngelihat kamera itu kalau sedang
selfie, grufie atau memang mau berfokus ke kita aja objeknya.”
Aku sebenarnya ingin menjelaskan kepada kak Dewi tentang
ETIKA dan ESTETIKA phot concept-ku. Tapi, terlalu dini dan terlalu panjang rasanya
untuk dijelaskan sekarang. Jawabanku yang singkat dan padat sepertinya lebih
dibutuhkan kak Dewi.
“Eh, cantik ya ternyata! Mau juga donk difotoin gituu,”
pinta kak Dewi.
“Hhaha.. biasanya sih teman-teman pun kayak gini Kak;
Ketularan narsis juga setelah beberapa kali memfotokan Elis. Kakak hati-hati
yaa ketularan. Hihiii.”
“Lisss?!! Yok!” bang Wira lewat sambil mengodeku untuk
segera masuk ke dalam ruangan lagi. “Eh, malah berfoto-foto pula diaa!”
Aku hanya cengengesan saja. Kita tu harus pandai-pandai mencari danmencuri kesempatan Bang,
jawabku dalam hati.
“Kak Eliss!” sapa seorang laki-laki yang duduk di tangga.
“Iya Dek?”
“Kak, kelanjutan dari BAT ini ke mana lagi Kak? Apa
pandai-pandai kita aja menyalurkan ilmu ini ntah ke manaa atau dari Bang
Wiranya ada pengarahan lain?”
“Emmmm… gini Dek sederhananya, setelah Kakak selesai BAT 4,
Kakak nggak pernah putus komunikasi sama Bang Wira bahkan minta diajak kalau
ada training lagi. Yah, makanya Kakak jadi fasilitator begini. Intinya Dek,
ambil sebanyak-banyaknya informasi dan peluang dari Bang Wira tu! Jangan putus
kontak. Eh, tadi ada disuruh ngisi program lanjutan kan di kertas? Nah, coba
aja pilih salah satunya. Sip?”
“Oke Kak. Makasih Kak.”
Suara musik yang keras dari dalam ruangan seolah meneriaki
seluruh peserta untuk kembali masuk ke ruangan. Semuanya bergegas. Pada sesi Mempengaruhi
atau menghipnotis ini bang Wira mengajarkan tentang bagaimana caranya
menggunakan media pendukung penampilan; Infokus, pinter, mic dan lain
sebagainya. Tapi, kalau semua itu tidak ada, ternyata ada senjata ampuh yang
dimiliki oleh semua orang ;Bahasa Tubuh. Memang, ada beberapa pembaruan di
setiap BAT yang bang Wira adakan. Tujuannya ya untuk menyesuaikan kebutuhan
dengan tuntutan zaman. *Azeeekkkk..
“Sesuaikan diri anda dengan audience anda. Baik penampilan anda secara fisik atau secara ilmu.
Mana yang lebih membuat anda pede, berbicara tentang ilmu yang saat ini anda
pelajari atau tidak sedang anda pelajari? Tentu saja tentang ilmu yang sedang
anda pelajari, sukai atau fahami kan. Contoh, mbak yang ini jurusan apa?”
“Hukum bang.”
“Nah, kalau saya ajak berbicara tentang hukum berarti
akan nyambung donk ya?”
Wanita itu mengangguk.
“…Bahasa tubuh anda memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pesan yang ingin anda sampaikan. Kalau anda mengatakan BESAR, ya
bulatkanlah tangan anda selebar-lebarnya. Kalau anda mengatakan KECIL, ya
peragakanlah kecil itu seperti apa. Nah, untuk melatihnya, silahkan baca
selembar dongen yang terletak di kursi anda. Karena, dongeng adalah teknik yang
paling cepat dalam penyampaian pesan tanpa ada penyaringan. Silahkan dibaca
dulu! Nanti akan saya minta beberapa orang ke depan.”
Dan… aku nggak nyangka Fajar akan selucu ini dalam membaca
dongeng. Tapi aku salut karena dia berani angkat tangan dan maju secara
sukarela. Nada mendongengnya itu mirip sekali seperti upin-ipin tapi belum
menyatu dengan raut, ekspresi dan bahasa tubuhnya, inilah yang membuat semua
peserta tertawa.
“Tapi dia berani dan pede ya Lis!” kata kak Dewi yang
melihatku cekikikan.
“Iya Kak. Itu kelebihannya.”
Sebagai penutup dan penerapan seluruh ilmu hari ini, bang
Wira diadakanlah pertandingan antar tim seperti biasa. Lalu, peraih nilai
tertinggi dari setiap tim akan melanjutkan pertandingan di atas panggung.
“12 orang dengan nilai tertinggi ini silahkan duduk di kursi
panas di depan dan selanjutnya akan dipertandingkan kembali dengan materi
presentasi yang sama dalam waktu 3. Siapa yang ingin maju pertama kali?”
pancing bang Wira.
Seorang laki-laki beralmamater Biru Langit mengangkat
tangan. Dia adalah dek Fajri dari jurusan Pendidikan PKN dan menyampaikan
materi tentang pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan, sesuai jurusannya.
“Kak, 3 menit itu kelamaan deh! Dikalikan 10 orang aja udah
setengah jam dan ini ada 12 orang pesertanya. Maghrib nih Kak baru selesai
ntar!” bisik dek Yoga kepadaku.
Sebagai penyalur aspirasi yang baik, aku segera
menyampaikannya kepada bang Wira.
“Bang, kayaknya 3 menit itu kelamaan. Ini kan cuma
pengulangan aja. Kalau dikalikan 10 orang aja udah 30 menit loh Bang. 1 menit
ajalah, Bang!” usulku.
“Oke 1 menit,” katanya, setuju. “Eh, 1,5 menit ajalah Lis,
terlalu singkat kalau cuma 1 menit,” usulnya.
Aku mengangguk. Dan, benar saja, ternyata pertandingan jadi
semakin seru karena mereka harus lebih cerdas mengatur kata-kata supaya waktu
tidak didahului oleh waktu.
“Oke, sekarang seluruh peserta terbaik ini silahkan berbalik
badan ke arah backdrop dan untuk para penonton silahkan angkat tangannya untuk
pilihan terbaik anda. Dilarang memilih 2 kali ya! Elis, tolong dicatat ya!”
Aku sudah standby di depan, siap mencatat jumlah voters yang
dikode oleh bang Wira. Dan, peserta terbaik di BAT 9 ini adalah dek Fajri.
Peserta terbaik kedua adalah dek Rahel dan yang ketiga adalah dek Mansyur. Dek
mansyur ini adalah juniroku di UR Cendikia. Nggak nyangka juga ternyata dia
ikutan.
“Sebenarnya tidak ada yang benar-benar terbaik dalam acara
ini karena public speaking itu adalah tentang latihan dan pengasahan. Hari ini
yang belum menjadi peserta terbaik boleh jadi esok justru lebih dulu menjadi
pembicara handal. Karena, sesungguhnya kualitas anda ditentukan oleh keputusan
anda setelah meninggalkan ruangan ini. Saya Wira Ramli, mengucapkan terimakasih
atas perhatian anda semua, mohon maaf atas segala kekurangan dan selamat sore!
Hati-hati di jalan. Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.”
Setelah menjawab salam, belum ada satu pun peserta yang
beranjak dari tempat duduknya. Ntah terpesona, ntah apa namanya.
“Yap, sudah boleh pulang! Atau nggak mau pulang nih?” ucapan
bang Wira barusan barulah menyadarkan mereka. Aku tersenyum saja melihat semua
ini dari sudut ruangan.
Yoga membisikkan kepadaku lagi supaya ada sesi berfoto
bersama seluruh peserta sebelum mereka meninggalkan ruangan. Huft, kalau nggak
diingatkan dek Yoga, aku pun pasti lupa. Apalagi bang Wira yang sibuk ditanyai
oleh beberapa orang peserta tentang program kelanjutan BAT ini.
“Dalam hitungan ketiga, sama-sama teriak ‘Yeeeee’ yaa!”
pintaku. “Satuu.. duaa… Tigaaa..”
“Yeeee…” kata semua peserta dengan cerianya. Aha! Akhirnya
dapat juga jepretan yang sebagus ini ekspresinya.
Eh, by the way, aku baru nyadar kalau aku nggak masuk ke
dalam foto karena jadi tukang fotonya huaaaahhhhh. Nggak apa-apa deh!
Berkorban. Ku lihat Yoga pun sukarela menjadi tukang foto. Kalau dek Yoga
narsis, mungkin aku nggak akan rela untuk nggak difotoin. Hihiii. Partner yang
saling melengkapi.
***
“Mamake pulang sama siapa?” tanya Yaumil.
“Sendirian, Mil. Yuk bareng aja!”
“Iya, nebeng ya Mamake! Umil bawa helm kok.”
Setelah sholat Maghrib…
“Bentar ya Mil, Mamake tanya dulu ke Bang Wira, ada evaluasi
nggak. Biasanya ada soalnya.”
Aku kembali ke dalam ruangan dan malah diajak berfoto-foto
bareng mbak Win, Adit dan Mona yang sejak bakda ashar tadi sudah datang.
“Jangan pulang dulu yaa, kita makan malam bareng,” ajak mbak
Wien dengan lembut. Aku luluh.
“Cin, maaf nih Cin, kami masih ada breafing ternyata.
Takutnya ntar Cin kelamaan pula nunggunya kan. Cin kan nggak boleh pulang malam
kan di pondokan?” sesalku kepada Yaumil.
“Ya udah Mamake, nggak apa-apa kok!”
“Bentar ya Mamake carikan teman.”
“Nggak usah Mamake,, nggak apa-apa.”
Aku mendekati 2 orang peserta yang sedang menunggu pintu
lift terbuka. Ternyata mereka pun mau ke Panam dengan TMP.
“Cin, bareng mereka aja. mereka juga ke Panam tuh. Naik TMP.
Maaf ya Ciinnn… hati-hati di jalan!”
Seperti biasanya, kami semua naik mobil mbak Wien ke tempat
makan sementara motor kami masih diparkir di Zaira. Supaya nggak ribet.
“Makan di mana nih kita?”
“Terserah aja Bang!” jawab kami serentak.
“Di dekat rumah Abang mau? Ayam penyetnya enak banget, dapat
bonus sayur asem juga.”
“Mau, mauuu.”
Eh, rencana seketika berubah ketika bang Wira kesulitan
berbelok.
“Ah, cari tempat lain aja!”
“Secepat itu Bang?” tanyaku.
“Rencana itu harus fleksibel, nggak boleh kaku dan nggak
hanya satu,” jawabnya.
Kami nurut aja deh, yang penting tempatnya nyaman dan
makanannya uenaak.”
“Abang punya Adek yang baru wisuda ya?” tanyaku, tiba-tiba.
“Iya. Kok Elis tahu?”
“Kan ada di FB Abang kemarin tu nongol. Ganteng ya Bang!”
kataku dengan entengnya.
“Wahhh.. codeee keras tuh!” kata Adit.
“Hhaaa.. Code pertama,” sahut Yoga.
“Code tuh yank!” kata Mbak Wien.
“Dia itu Adik bungsu Abang. Walaupun manja, tapi bisa
diandalin. Itu yang Abang suka dari dia.”
“Ehemmm…sama donk kayak Elisss.. hihii.”
“Wah, code lagiii!” kata dek Mona.
“Code kedua yaannk!” kata mbak Wien.
Setelah code-codean selesai, kami pun sampai di tujuan; Roso
Lawas di jalan Diponegoro. Kami memilih tempat lesehan di ruang belakang yang
etnik dan apik. Hanya berselang 5 menit saja setelah dipesan, hidangan sudah
tersaji. Kami segera menyantapnya dengan nikmat.
“Ternyata sambelnya pedes bangetttt yaa!” ucapku dengan
mulut kepedasan.
“Elis baru pertama kali ke sini?” tanya bagn Wira.
“Iya Bang.”
“Yoga juga pertama kali nih Bang.”
“Abang sering dapat
info tempat makan yang enak-enak itu ya dari blognya mbak Linda Martha. Dia sering
banget nulisin tentang kuliner gitu di blognya.”
Wiiihhh, keren ya dia, bathinku
“Dia itu siapa Bang?”
“Loh? Jadi belum Elis
buka juga lindamartha.com itu yang sejak dulu Abang kasih tahu?”
Opssss… sepertinya
aku melupakan sesuatu tentang ini. “Masa iya Abang udah pernah merekomendasikan
ke Elis?”
“Iya. Berarti Elis
nih yang lupa. Waktu Elis nanya-nanya tentang blog itu kan Abang kasih tahu
tentang Linda Martha itu. Dia blogger, Lis. Dari Pekanbaru loh. Bahkan, dia itu pernah
jalan-jalan ke suatu tempat dan dia nginap gratis di hotelnya.”
“Kok bisa Bang?”
“Ya karena dia
nulisin tentang hotel itu di blognya.”
DEGGG! Thats my
dream!
“Ih, ituuu kannn
mimpi Eliss sejaakk duluuuuu Bang. Jadi reviewer hotel gituuu,” wajahku
memelas. “Abang ada nomor HPnya?”
“Nggak ada. Add aja facebooknya Lis.”
Wahhh,,, bener-bener nggak sabar untuk segera mengerahkan
jurus KEPOku ke Mbak itu. huaahhhh… sesuai nasehatnya bang Wira; ‘Kalau kita
mau dapatin ilmu secara utuh ya harus belajar dengan ahlinya. Kalau belajarnya
ke orang yang nggak ahlinya, ntar ilmunya pun dapatnya setengah-setengah.’
“By the way, Elis nggak pulang kampung?”
“Pulang?”
“Iya. Ke Bagansiapiapi kan kampungnya?”
“Iya Bang. Lah, kemarin waktu lebaran haji kan Elis baru
pulang. Belum ada 2 bulan jugak Baanng.”
“Yah, siapa tahu Elis kangen kan sama keluarga.”
“Ya memang kangen Bang. Tapi nggak mungkin juga kan tiap
bulan pulang. Ah, aneh kali pun pertanyaan Abang nii!” jawabku sambil
melanjutkan menyuap Kemangi ke dalam mulut.
“Adek nggak suka ini?” tunjukku kepada daun Kemangi, kol dan
timun di atas piringnya Yoga.
“Nggak Kak. Ambil aja Kak. hhahaa.. pas pula ya sejak tadi
Kakak yang ngambil.”
“Wah, beruntung banget nih duduk dekat Yoga, bisa mencuri
terus. Hehe.”
Bukan hanya ngambil sayurannya, aku pun mencomot daging
ayamnya. Hahaha. Kalau Rini ada di sini, dia pasti akan memarahiku; “Gitu
katanya mau diet? Makanan orang dikorupsi terussss!” hahaa.
“Abang banyak kali perubahan tu setelah banyak belajar dari
Pak Jamil Azzaini. Dan Abang juga tergabung dalam grup trainer di FB yang nggak
semua orang bisa masuk ke sana. Intinya gini, kita harus menjadi SPESIALISASI,
bukan GENERALISASI supaya kita dibayar mahal. Contohnya dokter umum dengan
dokter bedah, mana yang lebih mahal bayarannya?” tanya bang Wira.
“Dokter bedah Bang,” jawab Yoga.
“Karena apa? Karena dia punya ilmu yang mendalam dan ahli
dalam pembedahan. Nah, begitu juga kita. Ada anak muda yang hidupnya biasaaa
aja tapi setelah Pak Jamil Azzaini ini ngelihat potensi dia dalam mendesain
slide, akhirnya dianjurinnya untuk menekuni tentang slide. Beeuuh! Sekarang dia
udah dipakai di Jepang, pulang ke Indonesia kemarin hanya untuk ngisi seminar
di BUMN aja. Gila nggak? Hanya ngotak-ngatik slide loh. Kuncinya adalah,
SPESIALISASI. Dulu, orang diketawain adalah hal yang malu-maluin, sekarang
malah dibayar kan? Komentator pun bisa sampai jadi profesi.”
Dulu, nulis diary
diketawain. Sekarang? *izinkan nanti aku yang menjawabnya. Lanjutku sendiri
di dalam hati.
“Wuihhh! Berarti lebih hebat daripada photoshop ya Bang?”
tanya Yoga.
“Dia nggak pakai photosop. Hanya pakai slide standar bawaan
laptop itu. Tapi dia punya ilmunya. Ada tuh di Amazon buku khusus tentang seluk
beluk slide! Harganya mencapa 100 dolar kalau nggak salah. Tapi, itu adalah
KITABNYA PRESENTASE DUNIA. Keren kan?”
“Abang belajar dari buku itu?” tanyaku langsung.
“Baru sebagian aja Abang pelajari karena bukunya itu luar
biasa banget tebalnya. Ya benar-benar kayak kitab. Hemmm… kapanlah ya Abang
ajarkan sama kalian caranya optimasi slide.”
Kalau aku, Yoga dan bang Wira udah ngumpul, biasanya ya
bakalan seru gini obrolannya. Dari slide pindah ke pembahasan tentang sambal
yang super duper pedesnya ini dan akhirnya flash back lagi ke belakang,
membahas betapa amburadulnya persiapan tadi pagi.
“…tapi itulah yang Elis salut dari Bang Wira ni, bisaaaa
gitu tetap tenang kayak nggak ada beban. Apalagi pas Elis tanya; ‘Bang, si
Zainul nggak jadi datang ya hari ini? Jadi fasilitatornya cuma kami berdua
nih?’ dan Bang Wira dengan santainya jawab; ‘Iya, dia ada kuliah katanya. Udah,
nggak apa-apa tuh berdua aja!’ huaaaaaahh, pengen teriak rasanya tadi pagi tuh
Mbakk Wiiinnn,” gerutuku.
Mbak Wien tertawa mendengar uneg-ungeku barusan; “Ya ampuuun
Liss, Mbak juga tadi pagi panik. Mbak itu sepanjang jalan udah terfikir semua
yang harusnya udah siap tapi pada kenyataannya belum siap di depan mata. Tapi Bang
Wiranya ini malah sempat-sempatnya
bercanda pula di jalan. Hemmmm… geram kali Mbakk.”
“Itulah Mbak, tadi pagi waktu kami breafing itu malah yang
dibahas Bang Wira itu tentang Circle of excellent dan swish patern lagi,
padahal itu kan udah diajarkan ke kami hari selasa kemarin. Elis mikir; ‘Duh
Baaaannngg… kok yang dibahas bukan konsep acara dan pembukaannya siiiihh?’.”
“Iya ya Kak, padahal Yoga pun resahnya tu karena kita belum
ngerti gimana konsep acara.”
“Nah, itu kan Dek! Untung aja kita bisa diandalkan ya Dek?”
kataku sambil tersenyum angkuh ke arah yoga. Hahaa.
“Abang golongan darahnya apa?”
“O.”
“Oh, kirain B. Soalnya B itu biasanya kerjanya underpressure. Semuanya serba kilat dan
ditunda-tundan nyelesaikannya.”
“Mbak Win B, Dek,” sahut mbak Wien.
“Abang tu bukan menunda, tapi prioritas,” elak bang Wira.
“Heleehhh… nggak! Ayank itu sama sekali nggak prioritas. Kalau
prioritas nggak mungkin kayak gitu. hhehee,” serang mbak Win pula. “Elis tahu
nggak, seminggu sebelum hari H, yang daftar itu masih bisa dihitung dengan jari
loh Deeekk! Bayangkanlah gimana pusingnya Mbak. Duhh, ini kalau nggak nyampai
target gimana? Eh, tapi memang ya Lis, idenya Bang Wira ini banyak banget.
Akhirnya hari kamis kemarin itu peserta membludak ntah darimana aja asalnya tuh. Legaaa banget Mbak Wiiinnn.
Huft!”
Bang Wira tertawa menyaksikan aku, dek Yoga dan mbak Wien
mengungkapkan kekhawatiran-kekhawatiran kami ini. Bahagia banget bikin orang
khawatir.
“Elis tu aslinya kan suka ngomel-ngomel Mbak, tapi Elis
tahan tadi pagi karena nggak mau bikin Bang Wira panik. Kalau ngelihat orang
panik, biasanya Elis akan berkali-kali lipat lebih panik. Makanya, demi
keselamatan dan keamanan bersama akhirnya Elis berusaha tenang. Pasrah deh
pokoknya Mbak!”
"Mbak Wien tahu Elis tu paniknya udah sejak seminggu yang lalu kan Dek? Udah Mbak Bilang sama Bang Wira; 'Yankkk...ni Elis nanyain kapan latihannya'. Maaf ya Lis, bukannya sengaja loh Mbak nggak ngebalas, tapi nungguin instruksi dari Bang Wira iniii. Hemmm!"
"Mbak Wien tahu Elis tu paniknya udah sejak seminggu yang lalu kan Dek? Udah Mbak Bilang sama Bang Wira; 'Yankkk...ni Elis nanyain kapan latihannya'. Maaf ya Lis, bukannya sengaja loh Mbak nggak ngebalas, tapi nungguin instruksi dari Bang Wira iniii. Hemmm!"
***
“Makasih banyak ya Mbak Wieen dan Bang Wiraaaa, semoga
dedeknya besok lancar dilahirkannya,” kataku sambil memeluk mbak Wien.
“Iyaaa.. aamiiin. Hati-hati ya Eliss,” kata mbak Wien dan
bang Wira.
Aku meninggalkan hotel Zaira dengan laju sedang. Jam sudah
menunjukkan pukul 20.10wib. Kendaraan ternyata cukup padat merayap malam ini.
Aku terus melaju sambil sesekali melihat kondisi jalan di belakangku lewat kaca
spion; memastikan tidak ada tingkah-tingkah mencurigakan dari pengguna jalan
lainnya.
HPku bergetar lagi…
Okta sudah belasan kali menelvonku ternyata tapi aku baru
menyadarinya sekarang. Ku angkat telvon dan ku selipkan di dalam helm. Jadilah
perjalananku ditemani oleh rengekan dan aduan keluh-kesahnya. Dia memang super
aneh. Sorenya masih bahagia-bahagia aja, tapi malamnya bisa aja mendadak
berubah jadi penggalau akut.
“Cekkk… pernah nggak Cek merasa disepelekan dan dianggap
sebelah mata oleh orang lain?” tanyanya.
“Hayooo! Galauuuu terussss! Siapa yang memandangmu sebelah
mata Dek?” bukannya menjawab, aku malah marah-marah.
“Nggak ada doh. Nggak jadi ah! Okta rasanya pengennn pergi
ke suatu tempat dan Okta bisa melepaskan emosi Okta di sanaa.”
“Ke masjid lah sanaa!”
“Makan bareng yuk Cek?”
“Nggak mau. Capek. Mau cepat-cepat pulang! Lagian tadi udah
ditraktir juga sama Bang Wira.”
“Bang Wira tu orang mana dia?”
“Orang Pekanbaru jugaa.”
Belum persis sampai di kosan, Okta sudah mematikan
telvonnya. Katanya dia mau nyari makan malam dulu. Sesampainya di rumah, aku
segera beristirahat. Sebuah malam yang indah bersama lelah. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar