Sabtu, 07 November 2015

BAT9; Be Specialist, not Generalist



Aku jadi ingat bagaimana aku dan teman-teman yang lainnya menjadi fasilitator untuk BAT 5. 1 hal yang sampai sekarang masih ku ingat dengan jelas adalah bagaimana seorang Wira Ramli memberikan kepercayaan penuh kepada Aisyah untuk menjadi MC saat itu. Sekalipun aku merasa lebih mampu, bang Wira tidak mengistimewakanku dan tetap memilih Aisyah yang ingin belajar itu. Dan yang lebih mengagumkan adalah ketika breafing, kesalahan-kesalahan yang kami lakukan selama jalannya acara tidak dibahas oleh bang Wira, selain hanya merancang rencana baru untuk BAT selanjutnya. Aku yang saat itu benar-benar mengamati bagaimana Aisyah sejujurnya melihat banyak ketidaksempurnaan dan mungkin kalau aku adalah seorang Wira Ramli, training yang akan ku bawakan bisa saja gagal menjadi maksimal karena terpengaruh ketidaksempurnaan pada saat pembuka acara. Yah, ternyata inilah bedanya aku dan bang Wira. Ada hukum KEPANTASAN di sana.

Mohon selalu ajarkan kepadaku tentang KEPANTASAN dan PEMANTASAN ya Robb… aamiiin

***
Mamake udah berangkat ya?
Umil ke mana aja sih tadi? Uda Mamake
klakson-klakson nggak ke luar?

Maaf mamake, umil nggak dengar. Sedang sholat Dhuha mungkin tadi tu. Sekarang Ummil udah di dalam Oplet nih menuju ke sana.
Aku membaca balasan Yaumil itu setelah tiba di hotel Zaira, lantai 3. Padahal SMS itu tadi udah ku kirimkan kepada Yaumil ketika aku mengklaksonnya. SMS college-ku sih dibiayainya, tapi setelah aku udah OTW malah Yaumil balas mengirimkan SMS college pula kepadaku. hemmm… mungkin giliran Yaumil nih yang kehabisan pulsa. Hehe. Aku mana punya pulsa untuk membiayainya. Hehe. sorri ya Mill, jadi naik oplet deh.
“Lis, yuk kita breafing dulu!” ajak bang Wira.
Dek Yoga dan aku segera duduk di tengah ruangan tepat di depan panggung. Bang Wira sudah menyiapkan papan tulis untuk menjelaskan rule of event hari ini. aku dan Yoga menyimak dengan seksama apa yang disampaikan oleh bang Wira. Sebagiannya sudah disampaikan pada hari Selasa kemarin, tapi kali ini dipertajam dan diperjelas lagi. 

“Sudah registrasi Mas?” tanya bang Wira kepada seseorang yang baru saja duduk. “Mohon
menunggu di luar dulu ya Mas, karena kami sedang prepare,” pinta bang Wira, sopan. Kemudian melanjutkan arahannya lagi kepada kami. Setelah itu, giliran aku dan Yoga yang berlatih berdua untuk membuka acara.
“…Nanti gimana cara kita manggil Bang Wira Kak supaya kompak?” tanya Yoga. Kami berlatih agak ke sudut ruangan.
“Gini Dek, nanti Kakak yang mulai bilang; ‘Baiklah! Mari kita sambut dengan tepuk tangang yang meriah, Bang Wiraaa…’ nah Adek langsung nyahut aja nyebutin nama Bang Wira. Intinya gini, kalau Kakak lebih cepat ngomongnya, Adek ikutin aja. Langsung disesuaikan. Sip?”
“Sip, sip Kak.”
“Bang, ini semi formal aja kan konsep nge-MCnya?” tanyaku kepada bang Wira yang masih mengatur proyektor dan slidenya.
“Iya, iyaa,” jawabnya singkat.
Aku dan Yoga menyusun beberapa poin penting yang harus disampaikan secara santai kepada peserta sebelum bang Wira dipanggil ke depan.

“Nanti tagih tugas mereka ya Liss!” pinta bang Wira.
“Tugas apa Bang?”
“Bawa kartu nama. Minta mereka bertukar kartu nama kayak BAT  4 dulu juga. Yang terbanyak mendapatkan kartu nama, kasih hadiah. Ada Vocher tu dari Azzwars.”
“Sip, Bang.”
Hpku bergetar…
“Cin? Mu udah di Zaira ya?” tanya Lia.
“Iya. Sinilah Ciiinn.. Bang Wira kekurangan fasilitator nih! Cuma aku sama Yoga loh yang jadi fasilnya.”
“Ya Allahhh, iya ya Cin? Ihhh, mau kali aku bantu Cin, tapi aku udah terlanjur janji pula untuk mantauain anak-anak asrama gotong royong nih!”
“Ohhh… ya udahlah kalau gitu Cin. Berabe pula anak-anak itu ntar kalau mu tinggalin.”
“Salam ya buat Bang Wira. Eh, Fajar nanya nih, udah terlambat belum kalau dia baru datang sekarang?”
“Belum kok! Kami aja masih prepare nih Cin. Paling setengah jam lagi baru mulai.”
“Ohh. Okay ntar ku kabarin Fajar.”

***
Acara di mulai tepat pukul 09.10wib. Bang Wira sudah memberi aba-aba kepadaku dan Yoga untuk membuka acara. Sesuai rencana dan latihan kilat tadi, aku dan Yoga tampil penuh percaya diri dan tidak lupa untuk menyampaikan poin-poin yang harus disampaikan.
“Mari, kita sambut dengan tepuk tengan yang meriah, trainer kita yang luar biasa… Bang Wiraa…”
“Wiraaa…Ramliii,” sambut Yoga segera.
Acara sudah diambil alih oleh bang Wira dan kami mundur ke baris terbelakang darti deretan peserta. Ada beberapa wajah peserta yang ku kenali hari ini.
“Duh, Dek, kita lupa memulai acara kita dengan basmalah tadi…” ingatku kemudian.
“Lah? Iya ya Kak. hehe. Udah terlanjur Kak. Salam kan doa juga Kak.”
“Iya sih, lagian udah terlanjur.”
Sebelum bang Wira memulai materinya, aku dan Yoga kembali diperkenalkan olehnya. Ah, sungguh kebahagiaan yang luar biasa ya Allah.
“…Elisa ini mengatakan kepada saya; ‘Bang Wira, nanti ajakin Elis ya kalau ada acara training lagi.’ Makanya sampai sekarang dia selalu menjadi fasilitator dalam Be Amazing Trainer ini. Tepuk tangan donk untuk Elysaa.”
Senyumku semakin lepas. Bahagiaku semakin bebas.

***
Pukul 10.15wib-10.30wib coffe break berlangsung. Dan setelah itu, dimulailah sesi Percaya Diri dan diawali dengan ice breaking dari kelompok terbaik saat kompetisi yel-yel tadi; tim Syahrini. Suasana semaking meriah dan peserta semakin bersemangat setelahnya.
“... dalam sesi ini, ada 2 metode yang bisa anda gunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri; circle of excellent atau lingkaran kesempurnaan dan swish pattern.”
Setelah bang Wira menjelaskan konsep kedua metode itu, peserta dibagi menjadi 2 kelompok besar; kelompok laki-laki dan kelompok perempuan untuk mempreaktekkan metode circle of excelent. Kelompok laki-laki dipandu oleh bang Wira dan Yoga sedangkan kelompok perempuan dipandu olehku.
“..nikmati sensasi dalam hitungan 3, 2, 1. Lalu, perbesar sensasinya, perjelas suarananya, pertajam gambarnya dalam hitungan 10. 1, 2, 3 semakin tinggi angkanya, semakin nyaman anda dan semakin kuat sensasinya. 4, 5, 6, 7 dan dalam hitungan ke-10, saya ingin anda berteriak ‘YES!’ dengan lantang. 8, 9, 10.”
“YESSSSSSS!” teriak seluruh peserta perempuan sambil membuka mata.
“Tepuk tangan untuk anda semua!” tutupku. 

Setelah semua kembali ke tempat duduk, bang Wira mempraktekkan metode swish pattern. Ternyata aku dan Yoga tidak diminta lagi menjadi pemandunya karena akan ribet rasanya dan memang yang ini agak ribet daripada circle of excellent tadi.
“… selamat ISHOMA dan sampai jumpa kembali di ruangan ini pada pukul 13.30wib,” tutup bang Wira. Ada waktu 1 jam untuk ishoma.
“Adekkkk! Kok jadi peserta lagi sih!” tegurku pada dek Bangun.
“Iya nih, kami cuma berdua hari ini haa,” sahut dek Yoga.
Sejak tadi aku dan Yoga memang sudah nggak sabar pengen negur dek Bangun.
“Masih kurang ilmu Adek ni Kak. Kalau Kakak dan Bang Yoga kan memang udah siap terjun. Hhehee,” dalihnya.

Aku, Yoga, Bangun, Bang Wira dan mbak Wien makan siang bareng di meja registrasi dengan nasi bungkus lezat yang dibeli mbak Wien tadi.
“Adek nggak suka acarnya ya?” tanyaku kepada dek Yoga.
“Nggak Kak. Ambillah Kak!”
“Yeyeee,” aku kegirangan bisa nyolong acarnya dek Yoga. Hihii. “Bang, masa kata Dek Muti tadi waktu Elis salami, dibilangnya Elis jauh lebih gendut dibanding waktu tes STIFIN kemarin. Hiksss.. tega Adek tuu jujur kalii gituu!”
“Hhaaaha. Gini Liss, mahasiswa itu ada masanya. Kalau masih semester-semester awal tu masih hepi. Semakin tinggi semesternya semakin stress. Dan puncaknya waktu TA. Dan, setelah TA barulah subur lagi.”
“Lah? Elis belum TA tapi udah subur duluan nih! Gimana tuh Bang?”
“Hhahaa.. Elis berarti lain. Di luar kategori tadi. Uda lega duluan sebelum TA. Haha,” ejek bang Wira. “Eh, bilanglah sama Mbak Wien; ‘Mbak, semangat ya tesisnya’ hhehehe,” ledek bang Wira pula kepada istrinya.
“Ayaannggg.. huhuu!” kata Mbak Wien, malu.

Dari ngebahas soal TA, beralih ke Yogyakarta, beralih ke Espresso, beralih lagi ke si calon baby boy, beralih lagi ke lauk tambusu dan terakhir adalah tentang rencana BAT goes to Campus; acara amalnya bang Wira. Aku, Yoga, Bangun sudah dibooking sebagai panitianya. Targetnya adalah aktivis di UNRI dan UIN yang butuh dengan communication skill. Bismillah!
“Elis kalau diminta ngisi di SMA bisa, Lis?” tanya bang Wira.
“Lah? Tapi kata Abang tadi nggak boleh umpan serak, harus punya spesifikasiii. Gimana tuh?”
“Ya nggak apa-apa, kan Elis masih belajar. Itung-itung nambah jam terbang Elis juga, Yoga dan Bangun.”
“Boleh deh Bang!”

Setelah makan siang, aku segera ke mushola untuk sholat Zuhur. Dan, ketika kembali…
“Elisss?” Panggil Bang Wira
“Ya Bang?” Langkahku Menuju Tempat Duduk Terhenti. Aku Berbalik Badan.
“Emangnya Elis Mau Nulis Cerita Hari Ini Di Blog Elis?”
“Hah? Maksudnya, Bang?”
“Elis Mau Nulis Kisah Hari Ini Di Blog?”
Lah? Dari mana pula Bang Wira tahu kebiasaanku yang satu ini? Kaget, Sekaligus Seneng.
“Iya Bang. Hehee. Biasanya Juga Gitu Hari-Hari Elis.”
“Wahh.. Jadi Penasaran Nih Abang.”
Aku ingat, tadi pai dek Bangun udah nanyain hal yang mirip kayak gini; “Kak, nanti jangan lupa ditulis di blog ya cerita hari ini!” katanya. “Adek tunggu loh!”
Ku jawab aja tadi; “Iya, ntar Kakak bully Adek yang lebih mentingin jadi peserta daripada ngebantu jadi fasilitator. Haha.”

***
Tepat pukul 13.30 wib, acara kembali dimulai. Suara music dari dalam ruangan adalah pertanda bahwa jam ISHOMA telah berakhir. Seluruh peserta kembali ke tempat duduknya semula dan sesi Difahami ini diawali dengan ice breaking yang akan dipandu oleh kelompok terbaik ke-2; kelompok Ayu Ting-ting. Dalam sesi ini bang Wira memperkenalkan 2 metode presentasi yang salah satunya masih asing bagiku karena baru diperkenalkan hari selasa kemarin di Krema Café; metod PREP dan metode 3W (Why, What, How). Selalu ada ilmu baru bersama bang Wira.
Ikatlah ilmu dengan tulisan, agar ia tidak menguap ditelan zaman (ali bin abu thalib). Apapun yang anda tuliskan di akun facebook anda, akan terus abadi sepanjang zama. Ketika nanti dituangkan dalam medsos atau menjadi buku adalah asset dan peninggalan bersejarah untuk kita. Pahalanya buat siapa? Untuk penulisnya kan?”
Beberapa peserta terlihat mengangguk. Aku memperhatikan mereka dari belakang.

“Apalagi kalau orang lain mengikuti kebaikan apa yang kita tuliskan itu. Naaahhh! Ini juga yang sering dilupakan oleh banyak orang yang ingin berbicara. Lupa menuliskannya, merangkainya ke dalam tulisan. Padahal, ada jenis public speaking yang istilahnya adalah impromtu, yaitu berbicara serta merta tanpa persiapan. Teknik narasi, teknik hafalan (ini gak bagus, tapi bisa disiasati dengan membuat poin per poin apa yang akan disampaikan). Parahnya orang indonesia saat ini masih malas mmebaca. Padahal itu adalah obat yang paling ampuh untuk memperkuat wawasan kita.”

Seperti yang pernah bang Wira sampaikan kepadaku dan Yoga, ia kembali menjelaskan tentang jenis lawakan murahan hari ini.
“Tahu apa ciri-ciri humor yang murahan? Yaitu humor-humor yang jorok. Itu nggak akan lucu sama sekali kalau anda berbicara di depan orang-orang berkelas. Tapi, gunakanlah . Kalau kita bisa berhumor dengan teratur, maka kita bisa menyisipkan cerita untuk membuat orang terhibur sekaligus menyisipkan suatu perintah secara halus, tanpa disadari sama sekali oleh mereka.”

***
Setelah sholat Ashar, aku mengajak kak Dewi berfoto-foto. Niat awalnya sih minta tolong si kakak untuk memfotokan aku, tapi eh ternyata dia tertarik juga untuk difotoin.
“Ini mau diambil separuh badan atau full badan?” tanya kak Dewi.
Nggak banyak orang yang terampil menjepret foto full body, maka aku meminta kak Dewi untuk memfotoku close up saja. Aku berpose di samping meja dengan 3 buah jejeran guci antic di atasnya dan terpajang sebuah kaca di dindingnya. Mulailah aku tersenyum sambil memandang ke arah jendela.
“Elis kenapa sih kalau difoto tu jarang lihat ke depan?”
“Loh? Kok Kakak bisa menyimpulkan gitu? Memangnya udah berapa banyak foto Elis yang kakak lihat? Heheh.” Aku curiga, jangan-jangan kak Dewi adalah stalkerku. Hihiii, tapi seingatku aku nggak berteman dengannya di Instagram deh!

“Itu di Facebook Elis. Ntah ke mana-mana ngelihatnya. Haaa”
“Ohohooo. Kalau ngelihat ke kamera kan udah biasa banget Kak, makanya Elis pengen yang agak beda. Ada timingnya harus lihat foto ke kamera dan ada yang nggak.Dan biasanya harus ngelihat kamera itu kalau sedang selfie, grufie atau memang mau berfokus ke kita aja objeknya.”
Aku sebenarnya ingin menjelaskan kepada kak Dewi tentang ETIKA dan ESTETIKA phot concept-ku. Tapi, terlalu dini dan terlalu panjang rasanya untuk dijelaskan sekarang. Jawabanku yang singkat dan padat sepertinya lebih dibutuhkan kak Dewi.
“Eh, cantik ya ternyata! Mau juga donk difotoin gituu,” pinta kak Dewi.
“Hhaha.. biasanya sih teman-teman pun kayak gini Kak; Ketularan narsis juga setelah beberapa kali memfotokan Elis. Kakak hati-hati yaa ketularan. Hihiii.”
“Lisss?!! Yok!” bang Wira lewat sambil mengodeku untuk segera masuk ke dalam ruangan lagi. “Eh, malah berfoto-foto pula diaa!”
Aku hanya cengengesan saja. Kita tu harus pandai-pandai mencari danmencuri kesempatan Bang, jawabku dalam hati.

“Kak Eliss!” sapa seorang laki-laki yang duduk di tangga.
“Iya Dek?”
“Kak, kelanjutan dari BAT ini ke mana lagi Kak? Apa pandai-pandai kita aja menyalurkan ilmu ini ntah ke manaa atau dari Bang Wiranya ada pengarahan lain?”
“Emmmm… gini Dek sederhananya, setelah Kakak selesai BAT 4, Kakak nggak pernah putus komunikasi sama Bang Wira bahkan minta diajak kalau ada training lagi. Yah, makanya Kakak jadi fasilitator begini. Intinya Dek, ambil sebanyak-banyaknya informasi dan peluang dari Bang Wira tu! Jangan putus kontak. Eh, tadi ada disuruh ngisi program lanjutan kan di kertas? Nah, coba aja pilih salah satunya. Sip?”
“Oke Kak. Makasih Kak.”
Suara musik yang keras dari dalam ruangan seolah meneriaki seluruh peserta untuk kembali masuk ke ruangan. Semuanya bergegas. Pada sesi Mempengaruhi atau menghipnotis ini bang Wira mengajarkan tentang bagaimana caranya menggunakan media pendukung penampilan; Infokus, pinter, mic dan lain sebagainya. Tapi, kalau semua itu tidak ada, ternyata ada senjata ampuh yang dimiliki oleh semua orang ;Bahasa Tubuh. Memang, ada beberapa pembaruan di setiap BAT yang bang Wira adakan. Tujuannya ya untuk menyesuaikan kebutuhan dengan tuntutan zaman. *Azeeekkkk..

“Sesuaikan diri anda dengan audience anda. Baik penampilan anda secara fisik atau secara ilmu. Mana yang lebih membuat anda pede, berbicara tentang ilmu yang saat ini anda pelajari atau tidak sedang anda pelajari? Tentu saja tentang ilmu yang sedang anda pelajari, sukai atau fahami kan. Contoh, mbak yang ini jurusan apa?”
“Hukum bang.”
“Nah, kalau saya ajak berbicara tentang hukum berarti akan nyambung donk ya?”
Wanita itu mengangguk.
“…Bahasa tubuh anda memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pesan yang ingin anda sampaikan. Kalau anda mengatakan BESAR, ya bulatkanlah tangan anda selebar-lebarnya. Kalau anda mengatakan KECIL, ya peragakanlah kecil itu seperti apa. Nah, untuk melatihnya, silahkan baca selembar dongen yang terletak di kursi anda. Karena, dongeng adalah teknik yang paling cepat dalam penyampaian pesan tanpa ada penyaringan. Silahkan dibaca dulu! Nanti akan saya minta beberapa orang ke depan.”
Dan… aku nggak nyangka Fajar akan selucu ini dalam membaca dongeng. Tapi aku salut karena dia berani angkat tangan dan maju secara sukarela. Nada mendongengnya itu mirip sekali seperti upin-ipin tapi belum menyatu dengan raut, ekspresi dan bahasa tubuhnya, inilah yang membuat semua peserta tertawa.
“Tapi dia berani dan pede ya Lis!” kata kak Dewi yang melihatku cekikikan.
“Iya Kak. Itu kelebihannya.”

Sebagai penutup dan penerapan seluruh ilmu hari ini, bang Wira diadakanlah pertandingan antar tim seperti biasa. Lalu, peraih nilai tertinggi dari setiap tim akan melanjutkan pertandingan di atas panggung.
“12 orang dengan nilai tertinggi ini silahkan duduk di kursi panas di depan dan selanjutnya akan dipertandingkan kembali dengan materi presentasi yang sama dalam waktu 3. Siapa yang ingin maju pertama kali?” pancing bang Wira.
Seorang laki-laki beralmamater Biru Langit mengangkat tangan. Dia adalah dek Fajri dari jurusan Pendidikan PKN dan menyampaikan materi tentang pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan, sesuai jurusannya.
“Kak, 3 menit itu kelamaan deh! Dikalikan 10 orang aja udah setengah jam dan ini ada 12 orang pesertanya. Maghrib nih Kak baru selesai ntar!” bisik dek Yoga kepadaku.
Sebagai penyalur aspirasi yang baik, aku segera menyampaikannya kepada bang Wira.
“Bang, kayaknya 3 menit itu kelamaan. Ini kan cuma pengulangan aja. Kalau dikalikan 10 orang aja udah 30 menit loh Bang. 1 menit ajalah, Bang!” usulku.
“Oke 1 menit,” katanya, setuju. “Eh, 1,5 menit ajalah Lis, terlalu singkat kalau cuma 1 menit,” usulnya.

Aku mengangguk. Dan, benar saja, ternyata pertandingan jadi semakin seru karena mereka harus lebih cerdas mengatur kata-kata supaya waktu tidak didahului oleh waktu.
“Oke, sekarang seluruh peserta terbaik ini silahkan berbalik badan ke arah backdrop dan untuk para penonton silahkan angkat tangannya untuk pilihan terbaik anda. Dilarang memilih 2 kali ya! Elis, tolong dicatat ya!”
Aku sudah standby di depan, siap mencatat jumlah voters yang dikode oleh bang Wira. Dan, peserta terbaik di BAT 9 ini adalah dek Fajri. Peserta terbaik kedua adalah dek Rahel dan yang ketiga adalah dek Mansyur. Dek mansyur ini adalah juniroku di UR Cendikia. Nggak nyangka juga ternyata dia ikutan.
“Sebenarnya tidak ada yang benar-benar terbaik dalam acara ini karena public speaking itu adalah tentang latihan dan pengasahan. Hari ini yang belum menjadi peserta terbaik boleh jadi esok justru lebih dulu menjadi pembicara handal. Karena, sesungguhnya kualitas anda ditentukan oleh keputusan anda setelah meninggalkan ruangan ini. Saya Wira Ramli, mengucapkan terimakasih atas perhatian anda semua, mohon maaf atas segala kekurangan dan selamat sore! Hati-hati di jalan. Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.”
Setelah menjawab salam, belum ada satu pun peserta yang beranjak dari tempat duduknya. Ntah terpesona, ntah apa namanya.

“Yap, sudah boleh pulang! Atau nggak mau pulang nih?” ucapan bang Wira barusan barulah menyadarkan mereka. Aku tersenyum saja melihat semua ini dari sudut ruangan.
Yoga membisikkan kepadaku lagi supaya ada sesi berfoto bersama seluruh peserta sebelum mereka meninggalkan ruangan. Huft, kalau nggak diingatkan dek Yoga, aku pun pasti lupa. Apalagi bang Wira yang sibuk ditanyai oleh beberapa orang peserta tentang program kelanjutan BAT ini.
“Dalam hitungan ketiga, sama-sama teriak ‘Yeeeee’ yaa!” pintaku. “Satuu.. duaa… Tigaaa..”
“Yeeee…” kata semua peserta dengan cerianya. Aha! Akhirnya dapat juga jepretan yang sebagus ini ekspresinya.
Eh, by the way, aku baru nyadar kalau aku nggak masuk ke dalam foto karena jadi tukang fotonya huaaaahhhhh. Nggak apa-apa deh! Berkorban. Ku lihat Yoga pun sukarela menjadi tukang foto. Kalau dek Yoga narsis, mungkin aku nggak akan rela untuk nggak difotoin. Hihiii. Partner yang saling melengkapi.

***
“Mamake pulang sama siapa?” tanya Yaumil.
“Sendirian, Mil. Yuk bareng aja!”
“Iya, nebeng ya Mamake! Umil bawa helm kok.”
Setelah sholat Maghrib…
“Bentar ya Mil, Mamake tanya dulu ke Bang Wira, ada evaluasi nggak. Biasanya ada soalnya.”
Aku kembali ke dalam ruangan dan malah diajak berfoto-foto bareng mbak Win, Adit dan Mona yang sejak bakda ashar tadi sudah datang.
“Jangan pulang dulu yaa, kita makan malam bareng,” ajak mbak Wien dengan lembut. Aku luluh.
“Cin, maaf nih Cin, kami masih ada breafing ternyata. Takutnya ntar Cin kelamaan pula nunggunya kan. Cin kan nggak boleh pulang malam kan di pondokan?” sesalku kepada Yaumil.
“Ya udah Mamake, nggak apa-apa kok!”
“Bentar ya Mamake carikan teman.”
“Nggak usah Mamake,, nggak apa-apa.”

Aku mendekati 2 orang peserta yang sedang menunggu pintu lift terbuka. Ternyata mereka pun mau ke Panam dengan TMP.
“Cin, bareng mereka aja. mereka juga ke Panam tuh. Naik TMP. Maaf ya Ciinnn… hati-hati di jalan!”
Seperti biasanya, kami semua naik mobil mbak Wien ke tempat makan sementara motor kami masih diparkir di Zaira. Supaya nggak ribet.
“Makan di mana nih kita?”
“Terserah aja Bang!” jawab kami serentak.
“Di dekat rumah Abang mau? Ayam penyetnya enak banget, dapat bonus sayur asem juga.”
“Mau, mauuu.”
Eh, rencana seketika berubah ketika bang Wira kesulitan berbelok.
“Ah, cari tempat lain aja!”
“Secepat itu Bang?” tanyaku.
“Rencana itu harus fleksibel, nggak boleh kaku dan nggak hanya satu,” jawabnya.
Kami nurut aja deh, yang penting tempatnya nyaman dan makanannya uenaak.”
“Abang punya Adek yang baru wisuda ya?” tanyaku, tiba-tiba.

“Iya. Kok Elis tahu?”
“Kan ada di FB Abang kemarin tu nongol. Ganteng ya Bang!” kataku dengan entengnya.
“Wahhh.. codeee keras tuh!” kata Adit.
“Hhaaa.. Code pertama,” sahut Yoga.
“Code tuh yank!” kata Mbak Wien.
“Dia itu Adik bungsu Abang. Walaupun manja, tapi bisa diandalin. Itu yang Abang suka dari dia.”
“Ehemmm…sama donk kayak Elisss.. hihii.”
“Wah, code lagiii!” kata dek Mona.
“Code kedua yaannk!” kata mbak Wien.
Setelah code-codean selesai, kami pun sampai di tujuan; Roso Lawas di jalan Diponegoro. Kami memilih tempat lesehan di ruang belakang yang etnik dan apik. Hanya berselang 5 menit saja setelah dipesan, hidangan sudah tersaji. Kami segera menyantapnya dengan nikmat.
“Ternyata sambelnya pedes bangetttt yaa!” ucapku dengan mulut kepedasan.
“Elis baru pertama kali ke sini?” tanya bagn Wira.
“Iya Bang.”
“Yoga juga pertama kali nih Bang.”
“Abang sering dapat info tempat makan yang enak-enak itu ya dari blognya mbak Linda Martha. Dia sering banget nulisin tentang kuliner gitu di blognya.”
Wiiihhh, keren ya dia, bathinku

“Dia itu siapa Bang?”
“Loh? Jadi belum Elis buka juga lindamartha.com itu yang sejak dulu Abang kasih tahu?”
Opssss… sepertinya aku melupakan sesuatu tentang ini. “Masa iya Abang udah pernah merekomendasikan ke Elis?”
“Iya. Berarti Elis nih yang lupa. Waktu Elis nanya-nanya tentang blog itu kan Abang kasih tahu tentang Linda Martha itu. Dia blogger, Lis. Dari Pekanbaru loh. Bahkan, dia itu pernah jalan-jalan ke suatu tempat dan dia nginap gratis di hotelnya.”
“Kok bisa Bang?”
“Ya karena dia nulisin tentang hotel itu di blognya.”
DEGGG! Thats my dream!
“Ih, ituuu kannn mimpi Eliss sejaakk duluuuuu Bang. Jadi reviewer hotel gituuu,” wajahku memelas. “Abang ada nomor HPnya?”
“Nggak ada. Add aja facebooknya Lis.”
Wahhh,,, bener-bener nggak sabar untuk segera mengerahkan jurus KEPOku ke Mbak itu. huaahhhh… sesuai nasehatnya bang Wira; ‘Kalau kita mau dapatin ilmu secara utuh ya harus belajar dengan ahlinya. Kalau belajarnya ke orang yang nggak ahlinya, ntar ilmunya pun dapatnya setengah-setengah.’

“By the way, Elis nggak pulang kampung?”
“Pulang?”
“Iya. Ke Bagansiapiapi kan kampungnya?”
“Iya Bang. Lah, kemarin waktu lebaran haji kan Elis baru pulang. Belum ada 2 bulan jugak Baanng.”
“Yah, siapa tahu Elis kangen kan sama keluarga.”
“Ya memang kangen Bang. Tapi nggak mungkin juga kan tiap bulan pulang. Ah, aneh kali pun pertanyaan Abang nii!” jawabku sambil melanjutkan menyuap Kemangi ke dalam mulut.
“Adek nggak suka ini?” tunjukku kepada daun Kemangi, kol dan timun di atas piringnya Yoga.
“Nggak Kak. Ambil aja Kak. hhahaa.. pas pula ya sejak tadi Kakak yang ngambil.”
“Wah, beruntung banget nih duduk dekat Yoga, bisa mencuri terus. Hehe.”
Bukan hanya ngambil sayurannya, aku pun mencomot daging ayamnya. Hahaha. Kalau Rini ada di sini, dia pasti akan memarahiku; “Gitu katanya mau diet? Makanan orang dikorupsi terussss!” hahaa.
“Abang banyak kali perubahan tu setelah banyak belajar dari Pak Jamil Azzaini. Dan Abang juga tergabung dalam grup trainer di FB yang nggak semua orang bisa masuk ke sana. Intinya gini, kita harus menjadi SPESIALISASI, bukan GENERALISASI supaya kita dibayar mahal. Contohnya dokter umum dengan dokter bedah, mana yang lebih mahal bayarannya?” tanya bang Wira.
“Dokter bedah Bang,” jawab Yoga.

“Karena apa? Karena dia punya ilmu yang mendalam dan ahli dalam pembedahan. Nah, begitu juga kita. Ada anak muda yang hidupnya biasaaa aja tapi setelah Pak Jamil Azzaini ini ngelihat potensi dia dalam mendesain slide, akhirnya dianjurinnya untuk menekuni tentang slide. Beeuuh! Sekarang dia udah dipakai di Jepang, pulang ke Indonesia kemarin hanya untuk ngisi seminar di BUMN aja. Gila nggak? Hanya ngotak-ngatik slide loh. Kuncinya adalah, SPESIALISASI. Dulu, orang diketawain adalah hal yang malu-maluin, sekarang malah dibayar kan? Komentator pun bisa sampai jadi profesi.”
Dulu, nulis diary diketawain. Sekarang? *izinkan nanti aku yang menjawabnya. Lanjutku sendiri di dalam hati.
“Wuihhh! Berarti lebih hebat daripada photoshop ya Bang?” tanya Yoga.
“Dia nggak pakai photosop. Hanya pakai slide standar bawaan laptop itu. Tapi dia punya ilmunya. Ada tuh di Amazon buku khusus tentang seluk beluk slide! Harganya mencapa 100 dolar kalau nggak salah. Tapi, itu adalah KITABNYA PRESENTASE DUNIA. Keren kan?”
“Abang belajar dari buku itu?” tanyaku langsung.
“Baru sebagian aja Abang pelajari karena bukunya itu luar biasa banget tebalnya. Ya benar-benar kayak kitab. Hemmm… kapanlah ya Abang ajarkan sama kalian caranya optimasi slide.”

Kalau aku, Yoga dan bang Wira udah ngumpul, biasanya ya bakalan seru gini obrolannya. Dari slide pindah ke pembahasan tentang sambal yang super duper pedesnya ini dan akhirnya flash back lagi ke belakang, membahas betapa amburadulnya persiapan tadi pagi. 
“…tapi itulah yang Elis salut dari Bang Wira ni, bisaaaa gitu tetap tenang kayak nggak ada beban. Apalagi pas Elis tanya; ‘Bang, si Zainul nggak jadi datang ya hari ini? Jadi fasilitatornya cuma kami berdua nih?’ dan Bang Wira dengan santainya jawab; ‘Iya, dia ada kuliah katanya. Udah, nggak apa-apa tuh berdua aja!’ huaaaaaahh, pengen teriak rasanya tadi pagi tuh Mbakk Wiiinnn,” gerutuku.
Mbak Wien tertawa mendengar uneg-ungeku barusan; “Ya ampuuun Liss, Mbak juga tadi pagi panik. Mbak itu sepanjang jalan udah terfikir semua yang harusnya udah siap tapi pada kenyataannya belum siap di depan mata. Tapi Bang Wiranya ini malah  sempat-sempatnya bercanda pula di jalan. Hemmmm… geram kali Mbakk.”
“Itulah Mbak, tadi pagi waktu kami breafing itu malah yang dibahas Bang Wira itu tentang Circle of excellent dan swish patern lagi, padahal itu kan udah diajarkan ke kami hari selasa kemarin. Elis mikir; ‘Duh Baaaannngg… kok yang dibahas bukan konsep acara dan pembukaannya siiiihh?’.”
“Iya ya Kak, padahal Yoga pun resahnya tu karena kita belum ngerti gimana konsep acara.”
“Nah, itu kan Dek! Untung aja kita bisa diandalkan ya Dek?” kataku sambil tersenyum angkuh ke arah yoga. Hahaa.

“Abang golongan darahnya apa?”
“O.”
“Oh, kirain B. Soalnya B itu biasanya kerjanya underpressure. Semuanya serba kilat dan ditunda-tundan nyelesaikannya.”
“Mbak Win B, Dek,” sahut mbak Wien.
“Abang tu bukan menunda, tapi prioritas,” elak bang Wira.
“Heleehhh… nggak! Ayank itu sama sekali nggak prioritas. Kalau prioritas nggak mungkin kayak gitu. hhehee,” serang mbak Win pula. “Elis tahu nggak, seminggu sebelum hari H, yang daftar itu masih bisa dihitung dengan jari loh Deeekk! Bayangkanlah gimana pusingnya Mbak. Duhh, ini kalau nggak nyampai target gimana? Eh, tapi memang ya Lis, idenya Bang Wira ini banyak banget. Akhirnya hari kamis kemarin itu peserta membludak ntah darimana aja asalnya tuh. Legaaa banget Mbak Wiiinnn. Huft!”
Bang Wira tertawa menyaksikan aku, dek Yoga dan mbak Wien mengungkapkan kekhawatiran-kekhawatiran kami ini. Bahagia banget bikin orang khawatir.
“Elis tu aslinya kan suka ngomel-ngomel Mbak, tapi Elis tahan tadi pagi karena nggak mau bikin Bang Wira panik. Kalau ngelihat orang panik, biasanya Elis akan berkali-kali lipat lebih panik. Makanya, demi keselamatan dan keamanan bersama akhirnya Elis berusaha tenang. Pasrah deh pokoknya Mbak!”
"Mbak Wien tahu Elis tu paniknya udah sejak seminggu yang lalu kan Dek? Udah Mbak Bilang sama Bang Wira; 'Yankkk...ni Elis nanyain kapan latihannya'. Maaf ya Lis, bukannya sengaja loh Mbak nggak ngebalas, tapi nungguin instruksi dari Bang Wira iniii. Hemmm!"

***
“Makasih banyak ya Mbak Wieen dan Bang Wiraaaa, semoga dedeknya besok lancar dilahirkannya,” kataku sambil memeluk mbak Wien.
“Iyaaa.. aamiiin. Hati-hati ya Eliss,” kata mbak Wien dan bang Wira.
Aku meninggalkan hotel Zaira dengan laju sedang. Jam sudah menunjukkan pukul 20.10wib. Kendaraan ternyata cukup padat merayap malam ini. Aku terus melaju sambil sesekali melihat kondisi jalan di belakangku lewat kaca spion; memastikan tidak ada tingkah-tingkah mencurigakan dari pengguna jalan lainnya.
HPku bergetar lagi…
Okta sudah belasan kali menelvonku ternyata tapi aku baru menyadarinya sekarang. Ku angkat telvon dan ku selipkan di dalam helm. Jadilah perjalananku ditemani oleh rengekan dan aduan keluh-kesahnya. Dia memang super aneh. Sorenya masih bahagia-bahagia aja, tapi malamnya bisa aja mendadak berubah jadi penggalau akut.

“Cekkk… pernah nggak Cek merasa disepelekan dan dianggap sebelah mata oleh orang lain?” tanyanya.
“Hayooo! Galauuuu terussss! Siapa yang memandangmu sebelah mata Dek?” bukannya menjawab, aku malah marah-marah.
“Nggak ada doh. Nggak jadi ah! Okta rasanya pengennn pergi ke suatu tempat dan Okta bisa melepaskan emosi Okta di sanaa.”
“Ke masjid lah sanaa!”
“Makan bareng yuk Cek?”
“Nggak mau. Capek. Mau cepat-cepat pulang! Lagian tadi udah ditraktir juga sama Bang Wira.”
“Bang Wira tu orang mana dia?”
“Orang Pekanbaru jugaa.”
Belum persis sampai di kosan, Okta sudah mematikan telvonnya. Katanya dia mau nyari makan malam dulu. Sesampainya di rumah, aku segera beristirahat. Sebuah malam yang indah bersama lelah. ^_^

Tidak ada komentar: