“Mamake kenal sama Bu Hasnah?” tanya Titin sambil
membereskan tempat tidur.
Mendadak aku teringat dengan bu Asnah, guru SMPku. Tapi
tidak mungkin rasanya Titin mengenalnya. Ah, barangkali maksudnya adalah bu
Hasnah yang lain.
“Bu Hasnah mana ni Cinn?”
“Bu Hasnah dosen Bahasa Indonesia.”
“Ohh… nggak kenal.
Tapi kayaknya pernah ngelihat namanya dipajang di spanduk gitu di depan HIMA
PBSI dulu.”
“Ibu itu adalah satu-satunya dosen perempuan di FKIP yang
udah professor loh Mamakeee. Tapi, seumur hidup Tin jumpa sama orang besar,
baru kali ini terkagum-kagum. Ibu itu rendah hati bangeeeeeet, ya ampuuunn,
ngomongnya lembut, murah senyum. Waktu Tin jadi panitia seminar kemarin kan
banyak juga dosen yang jadi pesertanya, nah kebanyakan dari mereka itu males
banget ngisi biodata lengkap-lengkap dan nolak kami dengan kasar, padahal kami
kan cuma panitia, cuma pelaksana tugas. Tapi, Ibuk tu beda Mamakeee, diisinya
semua biodata itu dan kami diperlakukan kayak anaknya.”
“Wahhhhhhh…” kataku, terkagum.
“Tin awalnya nggak tahu kalau Ibuk itu dosen, penampilannya
sederhana banget. Ibu itu kan numpang istirahat di kamar panitia Mamakee, nah
disitulah baru Tin kepoin, wah…. Sampai melotot Tin waktu tahu gelar Ibu itu.
Luar biasalah pokoknya Mamakee! Patut dicontoh! Ibu itu membuat Tin percaya
bahwa zaman sekarang ini masih ada orang besar yang rendah hati dan sederhana.”
“Kita harus kayak Ibuk tu juga ya Cinnn nanti kalau udah
suksess. Aamiinn.”
“Aaamiiin ya Allah.”
“Eh, Cinn…. Ada sepatu kets nggak?”
“Nggak ada Ciinnnn.”
Ketika aku mengeluarkan motor, Titin menawarkanku sepatu
kets yang ntah milik siapa di atas rak sepatu. Ketika ku coba, pas. Tapi,
sayangnya bagian tapaknya udah rusak dan
berlepasan. Hihii.
“Ya udah deh, biar ntar Mamake pinjam-pinjam dulu. Daaa…
Cin, Mamakee pamitttt. Doakan yaa!”
“Semangat Mamakeee! Suksesss!”
Aku berlalu meninggalkan kosan Titin dan langsung singgah di
tempat sarapan langganan, di Bina Bangsa. Aku tahu sekarang udah jam setengah
8, tapi aku benar-benar ingin menikmati Qtime dengan sarapanku kali ini.
Meskipun sendiri.
Ya Allah…. Semoga
silaturahmi yang baru ku jalin dengan Titin ini Engkau terima sebagai ibadahku
pada-Mu dan mohon mudahkan semua urusanku hari ini. Aku nggak punya uang lagi
untuk disedekahkan ya Allah, kecuali silaturahmi ini.
Kak Galihhh… boleh
pinjam sepatu ketsnya Kak?
Sehari aja kok
makenya.
Pake aja Elll. Ntar langsung dicucikan sekaligus yaa.. wkwkwk..
Alhamdulillah
ya Allah. Lega. Sesampainya di rumah, aku teringat bahwa kemeja putihku belum
disetrika. Segera ku setrika dan setelah itu aku segera bergegas bersiap.
“Assalamuaalaikumm..
Mamakeee?”
Aku kenal
dengan suara itu. Pasti Yaumil.
“Waalaikumsalam,”
balasku sambil membuka pintu untuknya.
Sayang
sekali aku nggak bisa menemani Umil di expo hari ini. Ternyata Umil mau
mengangkut plakat dan buku-bukuku untuk mengisi kekosongan stand. Aku
persilahkan saja ia memilih dan mengambil sesukanya sementara aku terus
bersiap-siap. Kamarku semakin berantakan. Sejak semalam memang belum sempat
dibereskan ditambah lagi pagi ini yang serba panik.
“Cekkk?”
Ternyata
Okta sudah menunggu di depan kosan. Yaumil meninggalkan kami dan selanjutnya
kami pula yang melaju. Di ujung Bina Krida, kami berhenti sejenak untuk membeli
bensin dan buku catatan kecil.
“Pakkk?’
sapaku kepada sosok paruh baya yang lama ku kenal itu.
“Iya.
Apakabar Liss?” tanyanya.
“Baiiik
Pak.”
“Udah
wisuda Elis nii?”
“Belum
Pak…” jawabku sambil tersenyum, pede.
“Kenapa
belum juga tamat?” tanyanya lagi.
Aku udah
agak malas kalau udah seperti ini pertanyaannya. Aku hanya tersenyum. Lagipula
Okta sudah selesai membayar. Aku segera melaju sambil membunyikan klakson.
Sepanjang jalan, aku memperbanyak Subhanallahi
wabikhamdih… Maha suci Allah dan aku memujuinya.
***
“…sebelumnya
kami ucapkan selamat kepada Adik-adik semua yang telah terpilih sebagai 10
besar Duta Lingkungan kota Pekanbaru. Tentunya kami telah melakukan seleksi
secara ketat dan professional sebelum memutuskan 10 besar ini. Besar harapan
kami melalui pembekalan hari ini, Adik-adik semua dapat ter-upgrade pengetahuannya.
Memang, tidak akan cukup waktu yang singkat ini untuk mengajarkan semuanya,
tapi setidaknya inilah dasar-dasar tentang lingkungan yang harus Adik-adik kami
tahu. Kami sangat berharap, Adik-adik yang terpilih ini bisa menjadi kebanggaan
bagi BLH kota Pekanbaru ini,” tutur bu Elma, mengawali acara.
Selanjutnya
adalah penyampaian materi oleh pak Swandi tentang pencemaran air. Disusul dengan
materi pencemaran limbah B3 oleh bu Jasmiyati. Setelah bu Jas selesai, tibalah
giliran pak Pradonggo menyampaikan tentang public speaking. Sepertinya materi
inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua finalis sejak tadi.
“…jadi
kesimpulannya apa? Komunikasi itu adalah tentang kemampuan mendegarkan lawan
bicara. Jadi, ketika berdebat, hakikatnya itu adalah komunikasi atau bukan?”
“Bukaaan!”
jawab kami.
“Kenapa?”
“Karena
mereka tidak saling mendengarkan, tapi saling menyiapkan balasan pernyataan,”
kataku.
“Tepat
sekali! So, sebenarnya kemampuan mendengarkan ini memang luar biasa.”
“Dek, ini
udah kedua kalinya Kakak dapat materi dari Pak Onggo. Luar biasa kan?” bisikku
pada Putri.
“Iya Kak. Supeeer
bangett!”
“Baiklah, setelah ini kita makan siang bersama
dan setelah itu sholat. Pukul 13.30 wib silahkan Adik-adik kembali lagi ke
ruangan ini karena akan ada pengukuran baju untuk acara puncak nanti. Kalau ada
yang menganggap baju dengan bahan daur ulang itu nggak keren, berarti belum bisa
jadi Duta Lingkungan tu yaaa. Nanti kita lihat bagaimana bajunya. Okey ya? Nanti
masih ada 2 materi lagi, dari kepala laboratorium udara oleh pask Syahrial dan
dari Ibuk sendiri tentang Bank Sampah.”
Kami jadi
nggak sabar untuk segera tiba di hari H dan menggunakan baju daru ulang itu.
Pasti akan menjadi sesuatu yang unik dan beda dengan lainnya. Aku buru-buru
menyimpan hasil ketikanku selama 3 jam lalu tentang mater-materi luar biasa.
Opssssssss! Aaaaaaaaaaaaaaaaa…. Grrrrrrrrrr…… aku salah tekannnnnnnnn!
Huaaaaaaaaaaahhh. Tulisanku yang udah 4 halaman tadi ilaaaaaaaang.. Huahhhh..
gimana ini? ku coba meng-Undonya tapi gagal. Hiksss.
Aku pasrah ya Allah! Hiks.
***
“Kak… Putri
masuk kelas loh jam setengah 2 ini. Gimana yaa?”
“Ya udah..
izin aja Dek. Ini udah hampir jam setengah 2 loh,” saranku.
Setelah
pengukuran baju, bu Elma menyampaikan materi tentang pengelolaan sampah. Wah…
luar biasa banget ketika tahu bahwa bu Elma adalah seorang aktivis lingkungan
yang menginisiasi Bank Sampah di tempat tinggalnya. Desanya sudah bisa jadi
percontohan tentang semangat masyarakatnya menjaga lingakungan dari sampah.
“…intinya,
sampah itu harus kita pisah-pisahkan sesuai jenisnya. Kalau tidak ada pemisahan,
maka sampah itu akan tetap menjadi sampah, tidak ada gunanya lagi. Coba
Adik-adik bayangkan, ketiksa sampah botol-botol bekas sudah tercampur dengan
sisa kuah gulai, kulit-kulir buah dan sayuran-sayuran busuk, pemulung pun akan
jijik untuk memungutkan kan? Makanya, letak kunci pengeloloaan sampah itu ada
di pemilahannya. Emmm…bisa disimpulkan bahwa sebenarnya penyelematan lingkungan
ini tergantung pada kreativitas dan inovasi kita semua.”
Aku
manggut-manggut setuju dengan bu Elma. Sebenarnya, sudah lama sekali aku
bercita-cita untuk memiliki Bank Sampah seperti ini. Bahkan, aku juga ingin
mengelolanya secara langsung karena kita nggak pernah tahu kalau sampah-sampah
itu dijual kepada pemulung akan jadi apa nantinya. Kalau kita bisa mengelolanya
kan pemanfaatan itu lebih pasti dan tuntas.
“Cekkk…
di kampus kita banyaaak banget sampah
loooh. Tahu nggak tempat pembuangannya di mana?” tanyaku kepada Okta.
“Tahu.
Dekat BEM tu kan?”
Aku
mengangguk. “Cek.. ayuk kita buat sesuatu untuk sampah-sampah itu! Kalau itu
bisa teratasi, luar biasa pasti manfaatnya Cek. Atau kalau kita biarkan aja
kayak gitu, bisa-bisa UNRI punya gunung sampah. Ya Allah… miriss!”
Ketika
ditayangkan tentang global warming dan illegal loging yang menyebabkan banyak
hewan mati terpanggang, aku sempat mengeluarkan butiran-butiran bening dari
kedua sudut mataku. Ya Allah… kok tega banget sih manusia-Mu ini! Kenapa dunia
semakin kejam sajaa?
“…mungkin
hanya ini yang bisa Ibu sampaikan. Kalian juga pasti sudah lelah. Intinya, ilmu
yang Ibu berikan ini tolong dikembangkan lagi. Kali ini kalian baru menampung
saja dan sepulangnya dari sini coba di tambah lagi, upgrade juga kemampuan
kalian ya. Kita nggak mencari orang yang sempurna sebagai Duta, tapi kami
mencari sosok yang bisa dibanggakan oleh BLH.”
Setelah
acara ditutup oleh bu Elma, satu per satu peserta mulai meninggalkan ruangan. Begitu
pun aku dan Okta.
“Cekkk… si
**** itu ngeri kali ‘pendekatannya’,” kata Okta.
“Iya,
kelihatan kali pun. Kita yang natural-natural ajalah Cek!” kataku.
“Dia itu
nomor urut namanya di atas Cek loh!”
“Masa
iyaaa? Emang itu udah diurutkan berdasarkan rangking ya?”
“Iya lohhh
Cek. Tumpukan mapnya pun tadi Okta lihat berdasarkan urutan itu.”
Tentang
urutan 10 besar Duta Lingkungan ini sudah ku upload tadi di Instagram. Ku tulis
di sana…
Ini bukan tentang
bagaimana MENJADI, tapi tentang bagaimana caranya MEMBERI…
***
“Cek? Ban
Okta kempes yaa?” tanya Okta.
“Iyaa.
Bocor Cekkk!”
Kasihan
sekali Okta. Untung aja nggak jauh dari sini kami sudah menemukan bengkel
berjalan. Keren dan kreatif sekali bapak ini, is menyangkutkan semua keperluang
bengkelnya di stank motor kiri dan kanannya. Huaahhh… salut!
“Cekkk…!
Kakak mau nanya. Jawab serius ya!”
“Apa tu
Cek?” tanya Okta, penasaran.
“Tolong
jawab pertanyaan ini dari lubuk hati Cek yang paling dalam. Sesuai dengan
kesukaan Cek, hobi Cek dan kecenderungan Cek. Kalau seandainya, detik ini Cek
terpilih sebagai Duta Lingkungan, bagaimana perasaan Cek?”
“Yaa…
senang Kak.”
“Kakak
nggak mau jawaban tentang senang atau tidak Cek. Tapi, jawablah berdasarkan
kecenderungan dan passion Cek.”
“Emmm..sejujurnya,
agak merasa terbebani sih Cek. Ketika kita ingin mengejar sesuatu, kita pasti
berfikir bagaimana kita bisa mendapatkannya kan? Tapi setelah kita dapatkan,
kita akan berfikir lagi bagaimana caranya kita mempertanggungjawabkannya.
Itulah yang agak jadi beban sih bagi Okta Cek.”
Aku
manggut-manggut mendekar jawaban Okta barusan. Ia langsung berlalu dari
hadapannku dan memperhatikan abang bengkel yang sedang memasan ban motornya.
Mulutku sempat refleks terbuka; ada banyak kalimat yang sebenarnya ingin
gantian ku sampaikan padanya. Tapi,ternyata ia tidak menanyakan balik tentang halku
ternyata. Tiba-tiba, jiwa meloku kambuh…
Untuk apa aku bercerita, sementara
ia tak memintanya? Lagipula, yang ingin aku tahu dari dia kan sudah ia
jelaskan. Ah! Aku
kembali terdiam. Dan ikut-ikutan mengamati proses pemasangan bannya.
“Cek lebih
nyaman ngeMC atau jadi duta?”
“Lebih
nyaman ngeMC lagi,” jawabnya.
“Karena itu
memang passionnya Cek kan.”
“Tapi Kak,
sebentar lagi tiba masanya Okta akan berhenti sejenak dari dunia per-MC-an
ini.”
“Loh?
Kenapa gitu?”
“Cek kan
tahu Okta ini orangnya nggak suka kalau ada yang lebih dominan dari Okta dalam
satu hobi. Seperti kata Cek dulu, mereka udah terlebih dulu ‘mengepakkan’ sayap
mereka sehingga sekarang mereka terlihat lebih ‘mahal’. Nah, Okta ingin
berhenti dulu Cek dari sini. Okta akan memulai dari nol dalam bidang yang belum
ada yang lebih dari Okta sehingga Okta bisa bebas berkarya tanpa khawatir ada
orang yang lebih ahli yang menilai Okta.”
Aku
manggut-manggut. Faham sekali dengan apa yang dirasakan dan difikirkan olehnya.
“Aktualisasi diri,” gumamku selanjutnya.
***
Darahku tiba-tiba
berdesir hebat. Seketika aku kembali teringat tentang 4 halaman tulisanku yang
tadi mendadak terhapus. Ada rasa sesal di dalam hatiku. Ada rasa jengkel juga
kenapa aku terlalu ceroboh. Cekatan itu
baik El, tapi jangan sampai ceroboh kayak tadi karena pengen serba cepat!,
gumamku. Atau jangan-jangan Engkau tidak
ridho dengan tulisanku itu? lantaran ada kesombongan di sela pengetikannya;
sombong karena aku merasa mampu menangkap semua poin penting yang ku dengar,
mampu dengan lincah mengetik, mampu menyimak sambil menulis. Ah, ya Allah…
maaf. Aku baru tahu kalau ternyata tulisan pun bisa memuat kesombongan.
“Ya
Allaaaahh….” Desahku sambil bermalasan di atas tempat tidur.
Hati
mendadak gulana. Mendadak hadir pula rasa khawatir tentang Duta Lingkungan.
Perasaanku nggak enak ketika ku ingat lagi tentang pembekalan tadi. Ada rasa
harap untuk bisa terpilih, tapi ada juga rasa gelisah. Aku berada di antara 2
rasa yang sama-sama entah. Sebenarnya tak penting ku fikirkan hal ini, karena
yang seharusnya aku lakukan adalah mengupgrade diriku. Harusnya aku kembali
memupuk percaya bahwa sebaik-baik usaha akan membuahkan sebaik-baik hasil.
“Oh…… aku
tahu!” gumamku lagi sambil terus menatap langit-langit kamar.
Ternyata
aku adalah tipe orang yang ingin berbuat terlebih dahulu sebelum DIANUGERAHI
sebagai hadiahnya. Bukan DIANUGERAHI dulu baru berbuat sesuatu sebagai tanggung
jawabnya. Ya, ya, ya… aku mulai faham dengan diri yang rumit ini. Alhamdulillah
ya Allah, terimakasih telah memberiku nikmat dan kemampuan untuk ‘membaca’
diri…
***
Usai sholat
Isya berjamaah…
“Nteee…
teman Tasya di sekolah tu Nteee, waktu Tasya suruh rapatkan kaki, eh dia malah
semakin menjauh. Pas Tasya rapatkan lagi kaki Tasya ke dia, eh dia malah
semakin menjauh Nteee..!!” adunya dengan emosi.
“Iyaaa
Nteee.. teman Indah juga gituuu.. makin Indah rapatkan kaki Indah ke dia, makin
dia jauhkan kaki dia dari Indah. ‘Jangankan ngangkang gitu kakimu Ndaa!’ gitu
katanya Nteee.. ah Indah biarkan aja dia akhirnya!”
“Hhahaa..
berarti mereka itu belum faham. Ya udah, jangan terlalu dipaksain. Yang penting
kaki kalian tetap seperti seharusnya aja. Ingat nggak, waktu kita kecil dulu
guru ngaji kita pernah ngasih tahu kalau kaki cowok itu dibuka sedangkan kaki
cewek tu harus dirapatkan ketika berdiri?”
“Iyaaa
Nteee.”
“Nah,
padahal Rosulullah berkata; ‘Tidak ada perbedaan cara sholat antara laki-laki
dan perempuan’ lohh! Memang kebanyakan orang belum faham tentang ini dan bahkan
banyak pula yang menganggapnya aneh, padahal justru inilah ajaran lama.”
“Ante
jurusan apa kuliahnya?” tanya Indah.
“Pendidikan
Ekonomi, Ndah.”
“Kok Ante
bisa tahu banyak tentang agama?”
“Ya
belajarlah, Ndaaahh.. kan semua orang wajib belajar agama walaupun kuliahnya
bukan jurusan agama.”
“Heemmm…
berarti Ante hebat, setelah Ante kuliah, Ante jadi banyak tahuuu,” kata Indah
sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Aamiin ya
Allah.”
Di luar,
hujan sedang turun dengan lebatnya. Sesekali kam serentak menutup telinga
karena gelegar halilintar. Dan, ketika sudah hampir reda, kami sepakat untuk
membeli kue di warung sebelah… perut kami ternyata sama-sama lapar.
“Eh, uang
Ante ternyata cuma seginiiii.. Hiksss.. gimana ini? Mau nggak kalian nambahin?
Hihiii..” kataku sambil mengeluarkan uang receh yang jumlahnya hanya Rp 900.
“Ndah, kue tela-tela kemarin berapa harganya?”
“Seribu
Ntee.”
“Haaa..berarti
tambahin Ante Rp 100 ya biar cukup nih!”
“Udahlah
Nte, pakai uang Tasya aajaa,” kata Tasya sambil mendorong uang recehku itu
kembali.
Aku sih
kalau dipaksa gini ya mana mungkin bisa nolak! Hahaa. Sambil makan kue, kami
bercerita tentang banyak hal. Tentang sekolah, tentang guru-guru mereka dan
tentang serial TV kesukaan mereka. Kadang, aku berfikir; ‘Gimana ya nanti
caraku melarang anak-anakku untuk menonton siaran yang bermanfaat saja?’ bahkan
aku berfikir mungkin akan lebih baik kalau tidak ada TV di rumah kami kelak.
Informasi bisa di dapat dari koran dan internet, kan? Dan sesekali bisa
menonton bersama di laptop dengan film yang sudah terpilih, sudah layak tonton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar