Kamis, 12 November 2015

Ketinggianmu Terletak pada Kerendahan Hati



“Mamake kenal sama Bu Hasnah?” tanya Titin sambil membereskan tempat tidur.
Mendadak aku teringat dengan bu Asnah, guru SMPku. Tapi tidak mungkin rasanya Titin mengenalnya. Ah, barangkali maksudnya adalah bu Hasnah yang lain.
“Bu Hasnah mana ni Cinn?”
“Bu Hasnah dosen Bahasa Indonesia.”
 “Ohh… nggak kenal. Tapi kayaknya pernah ngelihat namanya dipajang di spanduk gitu di depan HIMA PBSI dulu.”
“Ibu itu adalah satu-satunya dosen perempuan di FKIP yang udah professor loh Mamakeee. Tapi, seumur hidup Tin jumpa sama orang besar, baru kali ini terkagum-kagum. Ibu itu rendah hati bangeeeeeet, ya ampuuunn, ngomongnya lembut, murah senyum. Waktu Tin jadi panitia seminar kemarin kan banyak juga dosen yang jadi pesertanya, nah kebanyakan dari mereka itu males banget ngisi biodata lengkap-lengkap dan nolak kami dengan kasar, padahal kami kan cuma panitia, cuma pelaksana tugas. Tapi, Ibuk tu beda Mamakeee, diisinya semua biodata itu dan kami diperlakukan kayak anaknya.”
“Wahhhhhhh…” kataku, terkagum.

“Tin awalnya nggak tahu kalau Ibuk itu dosen, penampilannya sederhana banget. Ibu itu kan numpang istirahat di kamar panitia Mamakee, nah disitulah baru Tin kepoin, wah…. Sampai melotot Tin waktu tahu gelar Ibu itu. Luar biasalah pokoknya Mamakee! Patut dicontoh! Ibu itu membuat Tin percaya bahwa zaman sekarang ini masih ada orang besar yang rendah hati dan sederhana.”
“Kita harus kayak Ibuk tu juga ya Cinnn nanti kalau udah suksess. Aamiinn.”
“Aaamiiin ya Allah.”
“Eh, Cinn…. Ada sepatu kets nggak?”
“Nggak ada Ciinnnn.”
Ketika aku mengeluarkan motor, Titin menawarkanku sepatu kets yang ntah milik siapa di atas rak sepatu. Ketika ku coba, pas. Tapi, sayangnya  bagian tapaknya udah rusak dan berlepasan. Hihii.
“Ya udah deh, biar ntar Mamake pinjam-pinjam dulu. Daaa… Cin, Mamakee pamitttt. Doakan yaa!”
“Semangat Mamakeee! Suksesss!”
Aku berlalu meninggalkan kosan Titin dan langsung singgah di tempat sarapan langganan, di Bina Bangsa. Aku tahu sekarang udah jam setengah 8, tapi aku benar-benar ingin menikmati Qtime dengan sarapanku kali ini. Meskipun sendiri.
Ya Allah…. Semoga silaturahmi yang baru ku jalin dengan Titin ini Engkau terima sebagai ibadahku pada-Mu dan mohon mudahkan semua urusanku hari ini. Aku nggak punya uang lagi untuk disedekahkan ya Allah, kecuali silaturahmi ini.
Kak Galihhh… boleh pinjam sepatu ketsnya Kak?
Sehari aja kok makenya.
Pake aja Elll. Ntar langsung dicucikan sekaligus yaa.. wkwkwk..
Alhamdulillah ya Allah. Lega. Sesampainya di rumah, aku teringat bahwa kemeja putihku belum disetrika. Segera ku setrika dan setelah itu aku segera bergegas bersiap.

“Assalamuaalaikumm.. Mamakeee?”
Aku kenal dengan suara itu. Pasti Yaumil.
“Waalaikumsalam,” balasku sambil membuka pintu untuknya.
Sayang sekali aku nggak bisa menemani Umil di expo hari ini. Ternyata Umil mau mengangkut plakat dan buku-bukuku untuk mengisi kekosongan stand. Aku persilahkan saja ia memilih dan mengambil sesukanya sementara aku terus bersiap-siap. Kamarku semakin berantakan. Sejak semalam memang belum sempat dibereskan ditambah lagi pagi ini yang serba panik.
“Cekkk?”
Ternyata Okta sudah menunggu di depan kosan. Yaumil meninggalkan kami dan selanjutnya kami pula yang melaju. Di ujung Bina Krida, kami berhenti sejenak untuk membeli bensin dan buku catatan kecil.
“Pakkk?’ sapaku kepada sosok paruh baya yang lama ku kenal itu.
“Iya. Apakabar Liss?” tanyanya.
“Baiiik Pak.”
“Udah wisuda Elis nii?”
“Belum Pak…” jawabku sambil tersenyum, pede.
“Kenapa belum juga tamat?” tanyanya lagi.
Aku udah agak malas kalau udah seperti ini pertanyaannya. Aku hanya tersenyum. Lagipula Okta sudah selesai membayar. Aku segera melaju sambil membunyikan klakson. Sepanjang jalan, aku memperbanyak Subhanallahi wabikhamdih… Maha suci Allah dan aku memujuinya.

***
“…sebelumnya kami ucapkan selamat kepada Adik-adik semua yang telah terpilih sebagai 10 besar Duta Lingkungan kota Pekanbaru. Tentunya kami telah melakukan seleksi secara ketat dan professional sebelum memutuskan 10 besar ini. Besar harapan kami melalui pembekalan hari ini, Adik-adik semua dapat ter-upgrade pengetahuannya. Memang, tidak akan cukup waktu yang singkat ini untuk mengajarkan semuanya, tapi setidaknya inilah dasar-dasar tentang lingkungan yang harus Adik-adik kami tahu. Kami sangat berharap, Adik-adik yang terpilih ini bisa menjadi kebanggaan bagi BLH kota Pekanbaru ini,” tutur bu Elma, mengawali acara.
Selanjutnya adalah penyampaian materi oleh pak Swandi tentang pencemaran air. Disusul dengan materi pencemaran limbah B3 oleh bu Jasmiyati. Setelah bu Jas selesai, tibalah giliran pak Pradonggo menyampaikan tentang public speaking. Sepertinya materi inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua finalis sejak tadi.
“…jadi kesimpulannya apa? Komunikasi itu adalah tentang kemampuan mendegarkan lawan bicara. Jadi, ketika berdebat, hakikatnya itu adalah komunikasi atau bukan?”
“Bukaaan!” jawab kami.
“Kenapa?”
“Karena mereka tidak saling mendengarkan, tapi saling menyiapkan balasan pernyataan,” kataku.
“Tepat sekali! So, sebenarnya kemampuan mendengarkan ini memang luar biasa.”
“Dek, ini udah kedua kalinya Kakak dapat materi dari Pak Onggo. Luar biasa kan?” bisikku pada Putri.
“Iya Kak. Supeeer bangett!”

 “Baiklah, setelah ini kita makan siang bersama dan setelah itu sholat. Pukul 13.30 wib silahkan Adik-adik kembali lagi ke ruangan ini karena akan ada pengukuran baju untuk acara puncak nanti. Kalau ada yang menganggap baju dengan bahan daur ulang itu nggak keren, berarti belum bisa jadi Duta Lingkungan tu yaaa. Nanti kita lihat bagaimana bajunya. Okey ya? Nanti masih ada 2 materi lagi, dari kepala laboratorium udara oleh pask Syahrial dan dari Ibuk sendiri tentang Bank Sampah.”
Kami jadi nggak sabar untuk segera tiba di hari H dan menggunakan baju daru ulang itu. Pasti akan menjadi sesuatu yang unik dan beda dengan lainnya. Aku buru-buru menyimpan hasil ketikanku selama 3 jam lalu tentang mater-materi luar biasa. Opssssssss! Aaaaaaaaaaaaaaaaa…. Grrrrrrrrrr…… aku salah tekannnnnnnnn! Huaaaaaaaaaaahhh. Tulisanku yang udah 4 halaman tadi ilaaaaaaaang.. Huahhhh.. gimana ini? ku coba meng-Undonya tapi gagal. Hiksss.
Aku pasrah ya Allah! Hiks.

***
“Kak… Putri masuk kelas loh jam setengah 2 ini. Gimana yaa?”
“Ya udah.. izin aja Dek. Ini udah hampir jam setengah 2 loh,” saranku.
Setelah pengukuran baju, bu Elma menyampaikan materi tentang pengelolaan sampah. Wah… luar biasa banget ketika tahu bahwa bu Elma adalah seorang aktivis lingkungan yang menginisiasi Bank Sampah di tempat tinggalnya. Desanya sudah bisa jadi percontohan tentang semangat masyarakatnya menjaga lingakungan dari sampah.
“…intinya, sampah itu harus kita pisah-pisahkan sesuai jenisnya. Kalau tidak ada pemisahan, maka sampah itu akan tetap menjadi sampah, tidak ada gunanya lagi. Coba Adik-adik bayangkan, ketiksa sampah botol-botol bekas sudah tercampur dengan sisa kuah gulai, kulit-kulir buah dan sayuran-sayuran busuk, pemulung pun akan jijik untuk memungutkan kan? Makanya, letak kunci pengeloloaan sampah itu ada di pemilahannya. Emmm…bisa disimpulkan bahwa sebenarnya penyelematan lingkungan ini tergantung pada kreativitas dan inovasi kita semua.”
Aku manggut-manggut setuju dengan bu Elma. Sebenarnya, sudah lama sekali aku bercita-cita untuk memiliki Bank Sampah seperti ini. Bahkan, aku juga ingin mengelolanya secara langsung karena kita nggak pernah tahu kalau sampah-sampah itu dijual kepada pemulung akan jadi apa nantinya. Kalau kita bisa mengelolanya kan pemanfaatan itu lebih pasti dan tuntas.

“Cekkk… di  kampus kita banyaaak banget sampah loooh. Tahu nggak tempat pembuangannya di mana?” tanyaku kepada Okta.
“Tahu. Dekat BEM tu kan?”
Aku mengangguk. “Cek.. ayuk kita buat sesuatu untuk sampah-sampah itu! Kalau itu bisa teratasi, luar biasa pasti manfaatnya Cek. Atau kalau kita biarkan aja kayak gitu, bisa-bisa UNRI punya gunung sampah. Ya Allah… miriss!”
Ketika ditayangkan tentang global warming dan illegal loging yang menyebabkan banyak hewan mati terpanggang, aku sempat mengeluarkan butiran-butiran bening dari kedua sudut mataku. Ya Allah… kok tega banget sih manusia-Mu ini! Kenapa dunia semakin kejam sajaa?
“…mungkin hanya ini yang bisa Ibu sampaikan. Kalian juga pasti sudah lelah. Intinya, ilmu yang Ibu berikan ini tolong dikembangkan lagi. Kali ini kalian baru menampung saja dan sepulangnya dari sini coba di tambah lagi, upgrade juga kemampuan kalian ya. Kita nggak mencari orang yang sempurna sebagai Duta, tapi kami mencari sosok yang bisa dibanggakan oleh BLH.”
Setelah acara ditutup oleh bu Elma, satu per satu peserta mulai meninggalkan ruangan. Begitu pun aku dan Okta.

“Cekkk… si **** itu ngeri kali ‘pendekatannya’,” kata Okta.
“Iya, kelihatan kali pun. Kita yang natural-natural ajalah Cek!” kataku.
“Dia itu nomor urut namanya di atas Cek loh!”
“Masa iyaaa? Emang itu udah diurutkan berdasarkan rangking ya?”
“Iya lohhh Cek. Tumpukan mapnya pun tadi Okta lihat berdasarkan urutan itu.”
Tentang urutan 10 besar Duta Lingkungan ini sudah ku upload tadi di Instagram. Ku tulis di sana…
Ini bukan tentang bagaimana MENJADI, tapi tentang bagaimana caranya MEMBERI…

***
“Cek? Ban Okta kempes yaa?” tanya Okta.
“Iyaa. Bocor Cekkk!”
Kasihan sekali Okta. Untung aja nggak jauh dari sini kami sudah menemukan bengkel berjalan. Keren dan kreatif sekali bapak ini, is menyangkutkan semua keperluang bengkelnya di stank motor kiri dan kanannya. Huaahhh… salut!
“Cekkk…! Kakak mau nanya. Jawab serius ya!”
“Apa tu Cek?” tanya Okta, penasaran.
“Tolong jawab pertanyaan ini dari lubuk hati Cek yang paling dalam. Sesuai dengan kesukaan Cek, hobi Cek dan kecenderungan Cek. Kalau seandainya, detik ini Cek terpilih sebagai Duta Lingkungan, bagaimana perasaan Cek?”
“Yaa… senang Kak.”
“Kakak nggak mau jawaban tentang senang atau tidak Cek. Tapi, jawablah berdasarkan kecenderungan dan passion Cek.”
“Emmm..sejujurnya, agak merasa terbebani sih Cek. Ketika kita ingin mengejar sesuatu, kita pasti berfikir bagaimana kita bisa mendapatkannya kan? Tapi setelah kita dapatkan, kita akan berfikir lagi bagaimana caranya kita mempertanggungjawabkannya. Itulah yang agak jadi beban sih bagi Okta Cek.”

Aku manggut-manggut mendekar jawaban Okta barusan. Ia langsung berlalu dari hadapannku dan memperhatikan abang bengkel yang sedang memasan ban motornya. Mulutku sempat refleks terbuka; ada banyak kalimat yang sebenarnya ingin gantian ku sampaikan padanya. Tapi,ternyata  ia tidak menanyakan balik tentang halku ternyata. Tiba-tiba, jiwa meloku kambuh…
Untuk apa aku bercerita, sementara ia tak memintanya? Lagipula, yang ingin aku tahu dari dia kan sudah ia jelaskan. Ah! Aku kembali terdiam. Dan ikut-ikutan mengamati proses pemasangan bannya.
“Cek lebih nyaman ngeMC atau jadi duta?”
“Lebih nyaman ngeMC lagi,” jawabnya.
“Karena itu memang passionnya Cek kan.”
“Tapi Kak, sebentar lagi tiba masanya Okta akan berhenti sejenak dari dunia per-MC-an ini.”
“Loh? Kenapa gitu?”
“Cek kan tahu Okta ini orangnya nggak suka kalau ada yang lebih dominan dari Okta dalam satu hobi. Seperti kata Cek dulu, mereka udah terlebih dulu ‘mengepakkan’ sayap mereka sehingga sekarang mereka terlihat lebih ‘mahal’. Nah, Okta ingin berhenti dulu Cek dari sini. Okta akan memulai dari nol dalam bidang yang belum ada yang lebih dari Okta sehingga Okta bisa bebas berkarya tanpa khawatir ada orang yang lebih ahli yang menilai Okta.”
Aku manggut-manggut. Faham sekali dengan apa yang dirasakan dan difikirkan olehnya. “Aktualisasi diri,” gumamku selanjutnya.

***
Darahku tiba-tiba berdesir hebat. Seketika aku kembali teringat tentang 4 halaman tulisanku yang tadi mendadak terhapus. Ada rasa sesal di dalam hatiku. Ada rasa jengkel juga kenapa aku terlalu ceroboh. Cekatan itu baik El, tapi jangan sampai ceroboh kayak tadi karena pengen serba cepat!, gumamku. Atau jangan-jangan Engkau tidak ridho dengan tulisanku itu? lantaran ada kesombongan di sela pengetikannya; sombong karena aku merasa mampu menangkap semua poin penting yang ku dengar, mampu dengan lincah mengetik, mampu menyimak sambil menulis. Ah, ya Allah… maaf. Aku baru tahu kalau ternyata tulisan pun bisa memuat kesombongan.
“Ya Allaaaahh….” Desahku sambil bermalasan di atas tempat tidur.
Hati mendadak gulana. Mendadak hadir pula rasa khawatir tentang Duta Lingkungan. Perasaanku nggak enak ketika ku ingat lagi tentang pembekalan tadi. Ada rasa harap untuk bisa terpilih, tapi ada juga rasa gelisah. Aku berada di antara 2 rasa yang sama-sama entah. Sebenarnya tak penting ku fikirkan hal ini, karena yang seharusnya aku lakukan adalah mengupgrade diriku. Harusnya aku kembali memupuk percaya bahwa sebaik-baik usaha akan membuahkan sebaik-baik hasil.
“Oh…… aku tahu!” gumamku lagi sambil terus menatap langit-langit kamar.
Ternyata aku adalah tipe orang yang ingin berbuat terlebih dahulu sebelum DIANUGERAHI sebagai hadiahnya. Bukan DIANUGERAHI dulu baru berbuat sesuatu sebagai tanggung jawabnya. Ya, ya, ya… aku mulai faham dengan diri yang rumit ini. Alhamdulillah ya Allah, terimakasih telah memberiku nikmat dan kemampuan untuk ‘membaca’ diri…

***
Usai sholat Isya berjamaah…
“Nteee… teman Tasya di sekolah tu Nteee, waktu Tasya suruh rapatkan kaki, eh dia malah semakin menjauh. Pas Tasya rapatkan lagi kaki Tasya ke dia, eh dia malah semakin menjauh Nteee..!!” adunya dengan emosi.
“Iyaaa Nteee.. teman Indah juga gituuu.. makin Indah rapatkan kaki Indah ke dia, makin dia jauhkan kaki dia dari Indah. ‘Jangankan ngangkang gitu kakimu Ndaa!’ gitu katanya Nteee.. ah Indah biarkan aja dia akhirnya!”
“Hhahaa.. berarti mereka itu belum faham. Ya udah, jangan terlalu dipaksain. Yang penting kaki kalian tetap seperti seharusnya aja. Ingat nggak, waktu kita kecil dulu guru ngaji kita pernah ngasih tahu kalau kaki cowok itu dibuka sedangkan kaki cewek tu harus dirapatkan ketika berdiri?”
“Iyaaa Nteee.”

“Nah, padahal Rosulullah berkata; ‘Tidak ada perbedaan cara sholat antara laki-laki dan perempuan’ lohh! Memang kebanyakan orang belum faham tentang ini dan bahkan banyak pula yang menganggapnya aneh, padahal justru inilah ajaran lama.”
“Ante jurusan apa kuliahnya?” tanya Indah.
“Pendidikan Ekonomi, Ndah.”
“Kok Ante bisa tahu banyak tentang agama?”
“Ya belajarlah, Ndaaahh.. kan semua orang wajib belajar agama walaupun kuliahnya bukan jurusan agama.”
“Heemmm… berarti Ante hebat, setelah Ante kuliah, Ante jadi banyak tahuuu,” kata Indah sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Aamiin ya Allah.”
Di luar, hujan sedang turun dengan lebatnya. Sesekali kam serentak menutup telinga karena gelegar halilintar. Dan, ketika sudah hampir reda, kami sepakat untuk membeli kue di warung sebelah… perut kami ternyata sama-sama lapar.
“Eh, uang Ante ternyata cuma seginiiii.. Hiksss.. gimana ini? Mau nggak kalian nambahin? Hihiii..” kataku sambil mengeluarkan uang receh yang jumlahnya hanya Rp 900. “Ndah, kue tela-tela kemarin berapa harganya?”
“Seribu Ntee.”

“Haaa..berarti tambahin Ante Rp 100 ya biar cukup nih!”
“Udahlah Nte, pakai uang Tasya aajaa,” kata Tasya sambil mendorong uang recehku itu kembali.
Aku sih kalau dipaksa gini ya mana mungkin bisa nolak! Hahaa. Sambil makan kue, kami bercerita tentang banyak hal. Tentang sekolah, tentang guru-guru mereka dan tentang serial TV kesukaan mereka. Kadang, aku berfikir; ‘Gimana ya nanti caraku melarang anak-anakku untuk menonton siaran yang bermanfaat saja?’ bahkan aku berfikir mungkin akan lebih baik kalau tidak ada TV di rumah kami kelak. Informasi bisa di dapat dari koran dan internet, kan? Dan sesekali bisa menonton bersama di laptop dengan film yang sudah terpilih, sudah layak tonton.

Tidak ada komentar: