Pada akhirnya dan pada kenyataannya, kita tidak pernah mampu
membahagiakan semua orang. Bak kata pepatah, Niat hati memeluk gunung, apalah
daya tangan tak sampai. Kita hanya mampu melakukan apa yang sanggup kita
lakukan. Dan memang hanya itu yang seharusnya kita lakukan. Ada orang yang
menyukai atau tidak menyukai kita adalah bagian dari keniscayaan. Sekalipun setelah
menjadi baik, ada juga yang tidak menyukai kita, tetaplah menjadi orang baik! Ya?
*Tetaplah baik – metamor(Prosa)
***
“Kak, bayangkanlah, masa mereka senam dengan baju ini
langsung? Pasti gerah rasanya. Memangnya mereka nggak mandi dulu ya Kak?”
Suara Titin membangunkanku.
“Iya juga yaa. Tapi kalau mereka mandi dulu, ya ntar
keringatan lagi donk. Gimana tu?”
Mataku tetap terpejam, tapi telingaku terus menyimak obrolan
Titin dan Kak Leni. Tapi semakin lama kok aku semakin ingin bersuara ya?
“Udahlah, yang tadi malam udah fix tu nggak usah lagi
diubah-ubah,” kataku, dengan suara parau.
“Iya juga sih. Kan tadi malam udah disepakati kalau mereka
mandinya setelah senam,” kata kak Leni.
Aku lalu bangun dan kak Leni minta ditemani ke KUI. Baru
kali ini sesubuh ini aku memasuki rektorat. Rasanya agak serem-serem gimanaaa
gitu. Biasanya kan selalu ada orang-orang yang beraktivitas di sini. Yang ada
hanya beberapa orang satpam saja yang menjaga di bawah.
“Kak, ada lipstick?” tanyaku, usai sholat.
“Ada. Tuh di dalam tas. Pakai aja Dek.”
Aku langsung memakainya. Bukan apa-apa, aku memakai lipstick
bukan karena ingin berkaya atau apa, tapi karena memang membutuhkannya; Bibirku
mudah kering, pecah-pecah dan berdarah jika kering apalagi kalau berada di
ruangan ber AC seperti ini.
“Yuk Dek!” kak Leni sudah selesai sholat dan mengajakku
kembali ke Camp.
“Kak, udah ada yang ndeketin Kakak apa belum sih sekarang? Maaf
nih kalau boleh Elis tahu. Soalnya Elis lihat di Sticky notes itu Kakak
menulis; Marry Soon.”
“Yang deket aja Dek, tapi ya deket sebagai teman aja. Kakak
nggak mau terlalu ambil pusing Dek. Ya jodoh itu kan misteri dan nggak terduga
kapan datangnya.”
“Iya Kak, itulah yang terbaik; berpasrah. Kalau memang sudah
tiba masanya, dia pasti datang. Semoga Kakak tetap tenang ya dalam penantian
ini. aamiin.”
Kami langsung bergabung dengan peserta dan panitia senam di
lapangan. Kami senam Pinguin, senam Gemu Fa Mi re dan terakhir ntah senam apa
namanya, yang jelas dipandu oleh kak Lady. Aku, Lia, Titin dan dek Nila senam
di belakang peserta. Tiba-tiba Holmes dan Yohanes mengejek-ngejek aku dan Nila.
Kata mereka, gaya tidurku ekstrem banget. Ketika Holmes memperagakannya, kok
aku merasa itu gaya tidur kok mirip kayak monyet ya? hahaha. Sedangkan dek Nila
diejek-ejek oleh Yohanes karena ngiler. *iyuuuh. Tapi dek Nila merasa mereka bohong,
karena dek Nila tak tidur nyenyak dan sering terbangun. Aku tak bisa menyela
sama sekali sebab aku memang tidur sangat lelap. Huahhhh.
“Iya loh, Mamake memang ngeri kali pose tidurnya,” kata
Titin.
Nah, berbeda lagi kasusnya dengan Titin. Dia sengaja nggak
tidur karena khawatir keanehannya kambuh. Dan meskipun sudah berusaha tidak
tidur dengan menonton film Korea dan India, tapi pada akhirnya ia tertidur
juga. 2 kali ia berjalan dalam tidurnya, yang pertama ia tersadar karena kakinya
membentur tunggul di samping tenda dan yang kedua karena kakinya tersandung
besi pemancang tenda. Dan 2 kali itu pula anak-anak Menwa membangunkannya; “Tini,
bangun Tiiin!”
“Ih, orang ini kok nyebarin ceritaku semalam sih? Aku kan
maluuu woy,” kata Titin.
Aku juga baru ingat, dulu sewaktu kami satu posko di KKN,
Titin memang pernah bercerita tentang kebiasaannya berjalan ketika tidur setiap
kali kemah. Anehnya, selama KKN dan sampai kami se-kontrakan sekarang,
kebiasaan itu tidak pernah kambuh kecuali semalam. Yang mengherankan, kok
Tubuhnya Titin bisa faham ya yang mana rumah dan yang mana kemah? Hahaa.
“Setiap kali kemah, aku pasti selalu jadi bahan cerita
orang-orang loh Cin. Aku juga nggak sadar loh dengan kebiasaanku itu. Setahu
aku ya aku nggak berjalan. Pokoknya, aku baru sadar kalau kena air atau kena
benda yang dingin. Emak aku di rumah pun bilang kalau aku nggak jalan-jalan
waktu tidur,” jelas Titin.
“Ini kalau mau dibikin novel, judulnya adalah; ‘Seorang
perempuan yang berjalan dalam tidurnya’, hehe,” tambahku lagi.
Usai senam, pukul 06.40wib, aku pulang ke kontrakan bersama
dek Nila. Barulah setelah kami sampai, Titin dan Lia juga pulang. Mereka membawakan
sarapan juga untuk kami. Kami sarapan bersama di kontrakan.
“Tahu nggak Cin, semalam ada loh peserta yang sholat Tahajud
dan ngaji. Ya ampuuun, kok sholeh banget ya Adek itu!” kata Titin. “Dia itulah
yang waktu itu membaca doa sebelum makan siang. Mukhlis namanya kalau nggak
salah.”
“Kita keep ya namanya sebagai calon peserta terbaik,”
kataku. Senang sekali mendengar informasi semacam ini. Semoga adik itu selalu
dijaga oleh Allah. Aamiin.
Kami kembali lagi ke Camp setelah selesai mandi dan
beres-beres. Sesampainya di parkiran, aku dan Lia melihat 2 mahasiswa asing
yang sedang berjalan meninggalkan camp. Wah, ternyata kami terlambat beberapa
menit untuk bisa menyaksikan mereka! hiksss. Yang satunya dari USA dan yang
satunya lagi dari Turkey. Maybe someday. Amiin.

“Saya belajar menulis dari Kak Elis. Beliaulah yang
mengajari saya bagaimana caranya menulis dengan baik. Meskipun sampai sekarang
juga masih musiman, kapan sempat aja. hehe. Saya hanya heran kepada Kak Elis,
bagaimana sih tipsnya supaya rajin nulis sebab setiap saat saya selalu
melihatnya update tulisan. Bagaimana ya dia bisa serajin itu?” ungkap Hary.
Aku tersipu malu. Hiksss. Beberapa peserta menoleh ke
arahku. Tapi aku pura-pura tidak tahu. Seolah berkata; “Siapa ya Elysa? Bukan aku.”
Hehe.
Selanjutnya, ketika Azhari berbicara, ia juga
menyebut-nyebut namaku. Bahwa aku pernah menantangnya menulis cerpen dan hingga
hari ini ia belum juga bisa menuliskannya. Lalu ia memujiku bahwa banyak
adik-adik yang sukses dalam bimbinganku. Aku hanya bertanya di dalam hati; “Apa
yang sudah ku lakukan ya Allah?” Dan yang ku sukai dari apa yang disampaikan
oleh Azhari adalah; “Kita yang butuh Medsos atau Medsos yang butuh kita? Coba analisa
lagi. Gunakanlah medsos untuk berkontribusi, setidaknya kepada orang-orang yang
membaca tulisan-tulisan kita.”
Setelah mereka berdua selesai, kami berfoto bersama di depan
booth. Kali ini tidak bersama peserta sebab dek Alen sudah mengambil alih tugas
sebagai instruktur games. Aku dan panitia lainnya ikut membantu Alen mengawasi
peserta dalam games ‘How to negotiate’ ini. Dan setelah itu, seluruh peserta
diminta untuk membongkar tenda di bawah pengawasan anggota Pramuka.
“Nggak terasa ya cepat banget Campnya berakhir?” kataku.
Selanjutnya, operasi semut. Seluruh peserta dibariskan dan
serentak berpencar di seluruh penjuru Camp untuk memungut sampah. Usai operasi
semut, seluruh peserta diberi snack dan berisitirahat sejenak sebelum closing
ceremony. Penutupan kali ini ditutup secara resmi oleh kak Leni, lalu disusul
dengan pengumuman peserta terbaik putra dan putri, the best committee, kelompok
terbaik dan tenda terbaik. Acara ditutup dengan doa yang dipandu oleh dek
Mukhlis. Ia memandu doa dengan menggunakan peci yang dipakainya untuk sholat
Tahajud semalam. Masya Allah! Lalu kami bersalam-salaman serta berfoto bersama.
See u on English Camp 2017, guysss!
Setelah seluruh peserta pulang, kami para pantia breafing di
dalam tenda. Membicarakan tentang acara kebersamaan antar panitia. Disepakati nanti
malam berkumpul di Koro-koro pukul 19.00wib. Semuanya sepakat, termasuk dek
Alen dan dek Sora yang sebelumnya masih ragu-ragu. Breafing telah usai dan kini
tiba saatnya kami membongkar tenda utama. Nampakanya panitia mulai kelelahan
dan muncullah berbagai tingkah gila bin aneh kami. Mulai dari aku yang
mengatakan bahwa sorot matanya dek Jo mirip dengan Agnes Monica. Sehingga aku
menyapanya, dek Josh Mo. Hahaa.
“Sumpahlah Kak, itu pujian atau hinaan ya namanya? Masa aku
kayak Agnes Monica, ntah darimana pula asalnya. Haha.”
Belum lagi Yohanes dan Holmes yang senang betul
mengulang-ulang tentang pose tidurku dan dek Nila semalam.
“Woy, sampai hari ini, coba perhatikan kulit siapa yang
masih kinclooong?”
Kami sontak menoleh semua ke arah kak Peni yang masih
kinclong banget kulitnya.
“Ayo kita lempar Kak Peni kea pi unggun aja!!! Biar
gosooong,” teriak yang lainnya.
Setelah tenda berhasil dirobohkan, kami para perempuan
membantu menggulung tali dan mengumpulkan pasak yang kecil-kecil.
“Teh, ini gara-gara sandalku dibawa sama Teteh, kakiku jadi
begini Teeeh,” kata dek Alen kepadaku.
Aku meringis, malu. “Maap ya Dek, Kakak pun tadi kok nggak
ingat ya ngebawa lagi tuh sandal. Heheh. Nih, pakeklah sepatu pansus Kakak
Dekkk..”
“Haha, nggak apa-apalah Teh,” lalu Alen berlalu lagi
membantu yang lainnya.
Aku menilai Dek Alen sebagai orang yang inisiatif banget. Setiap
ada kekosongan, ia selalu mengambil alihnya. Tentu saja ada perbedaan kerja
antara orang panggung dengan orang lapangan. Tapi, puncak semua kerja di
lapangan itu representatifnya terletak
pada orang panggung. Kelihatannya memang tak berat, tapi sesungguhnya, beban
mental dan emosional itu tertumpu pada orang panggung. Keduanya harus sama-sama
memaklumi dan mengisi peran. Aku ini ntah orang panggung atau orang lapangan ya
pemirsaaa? hehee.
“Guysssssss! Ada yang lihat NUVO hand sanitizerku nggaaaaak?”
aku tiba-tiba memekik ketika menyadari bahwa Nuvoku hilang.
“Tadi ku tarukkan di dalam kardus,” kata Holmes.
“Kardus yang mana tuuu?”
“Yang ada aqua gelasnya itu.”
“Arggghhh…jangan-jangan udah masuk ketumpukan sampah
ndakkk?! Hikssss.”
Aku langsung mengaduk-ngaduk isi plastik sampah. Barangkali Holmes
kasihan, dia langsung membantuku mencarinya. Alhamdulillah ketemuuuu. Aku lega
dan kegirangan banget pemirsaaaa!
“Oh, masih penuh ya? Pantesan histeris kali kalau hilang,
hahaa,” kata Holmes, meledekku.
Azan zhuhur sudah berkumandang dan kami pun pulang. Dek Nila
ikut bersama kami ke kontrakan.
“Kak, Ciiin, itu ada sampah yang masih ketinggalan kayaknya!”
kata dek Nila.
“Yang mana Dek?”
“Itu yang plastik putih di dekan kita minum es teh tadi.”
Aku melihat ke arah yang ditunjuknya. Tapi rasanya malas
untuk kembali ke sana sebab aku sudah menyalakan motor. Biar saja ESU yang
membereskannya, pikirku. Sesampainya di rumah, kami semua tewas seketika. Lelah
sekali rasanya badan ini, mewajibkan untuk segera diistirahatkan.
***
Sekitar pukul 15.00wib dek Nila minta diantarkan ke Halte
hotel Mona, ia akan pulang bersama temannya. Aku mulai hang lagi ternyata. Dalam
fikiranku, Halte Hotel Mona itu adalah halte yang terletak di dekat Giant. Hahaa.
Hampir saja aku salah berbelok pemirsaaa. Fatal!
“Mkasih Kak Ciiin. Sampai jumpa nanti malam yaaa!”
Aku kembali ke kontrakan. Sebenarnya masih ingin tidur, tapi
melihat rumah yang kayak kapal pecah kena bom nuklir ini, akhirnya ku putuskan
untuk membereskannya saja. Sedangkan Cin Lia membereskan kamar.
Sore, sekitar pukul 17.30wib Lia ngajar Privat. Katanya, ia
langsung ke Awal Bros Panam untuk menjenguk temannya yang baru melahirkan. Selanjutnya,
ia tidak pulang lagi ke kontrakan dan langsung ke koro-koro. Aku dan Titin
malam ini sama-sama berkosum merah-hitam. Kami langsung ke lantai 2 koro-koro,
ruangan 201. Sudah ada teman-teman yang lainnya di sana. Yang belum datang
hanya Holmes dan dek Nila. Kami berfoto Riau dan bernyanyi. Berbeda denganku.
Aku tidak menyentuh mic sama sekali, sekalipun aku tahu lagu India yang
dipilih. Berbeda pula dengan Sora, Joshua dan Arif yang totalitas ngedance
segila-gilanya. Hemmm…kalau tidak disatukan dalam kepanitiaan semacam ini,
barangkali aku tidak pernah tahu seseseru apa mereka-mereka ini. Semoga kita
tetap keep in together ya guyss. Terutama
dengan yang akan terbang ke Oxford. Yuhuuuu…
“Nikmatilah momennya, El!”
Aku jadi teringat dengan kalimat sakti itu. Milik seseorang
yang luar biasa. Ia mengajariku untuk menikmati setiap momen yang dialami. Tapi
kali ini, aku benar-benar tak bisa seluruhnya menikmati momennya, sebab aku
tidak terlalu suka dengan suasana karoke seperti ini. Aku malah asyik sendiri
dengan tulisan-tulisanku. Yap, kalau bersama tulisan-tulisan ini, aku selalu
berhasil merasa ‘hidup’ di mana saja dan kapan saja. Maybe its caused writing
is my everything ya?
“Kita udahan yuk? Udah jam setengah 10 nih. Kita ke tempat
makan lagi sekarang!” ajak kak Leni dan kak Peni.
Kami sepakat untuk memilih bakso Boom Molika. Sempat berdebat
memilih lokasi yang di jalan Delima atau Kualu. Dan akhirnya disepakatilah
lokasi di jalan Delima. Kak Peni melaju duluan, disusul oleh Lia dan aku+Titin
di belakangnya. Tapi, tiba-tiba…
“Mamakeeee… sweaternya masuk ke rantaaiiii! Berhenti mamakeeee!”
Aku masih agak bingung.
“Mamakee berhentiii! Eh, makin tergiling lah dia ni haaa.”
Akhirnya aku benar-benar mengerem motor. Memundurkannya sedikit
demi sedikit sampai sweaternya sempurna terlepas dari rantai. Untung saja tidak
koyak, hanya sudah berlumur oli saja.
“Huhhh, kapoklah aku nii nanti dimarah sama Liaaaa.. hiksss!”
kata Titin.
Sesampainya kami di TKP, ternyata kak Peni malah bertanya; “Yang
lainnya ke mana ya? Kok nggak nyampai-nyampai orang tu ke sini.”
Ternyata, setelah di check di grup WA, mereka malah udah
nongkrong di Kualu. Kami yang hanya bertiga di sini akhirnya mengalah.
“Bang, maaf ya kami salah lokasi ternyata. Maaf ya Bang,”
kata kak Peni.
“Nggak apa-apa Mbak. Tapi lain kali jangan lupa mampir ya
Mbaaak,” kata si abang, ramah. Syukurlah, kirain ia bakal marah tadi. hikksss.
Sesampainya di Kulau, aku langsung memesan menu. Kak Peni
terlihat sangat bĂȘte. Diam saja, tapi tidak juga menggerutu. Titin langsung
duduk di sebelah Lia dan mengklarifikasi apa yang tadi terjadi kepada kami.
Setelah hidangan tersaji, kami menikmatinya dengan lahap.
“Kak, bagi baksonya 1 yaa!” aku langsung mencomot bakso dari
mangkoknya kak Peni. Hehe.
Usai makan, ku tunjukkan sebuah quotes yang pernah ku tulis,
kepada dek Joshua..
Ketika seorang PENULIS jatuh cinta, yang jatuh cinta bukan
hanya hatinya, tetapi juga tulisan-tulisannya.
Dek Jo tersenyum penuh kekaguman.
“Kak, aku mau tanya deh! Kakak tu berapa kali ngedit tulisan
sih sebelum tulisan itu Kakak post? Aku tuh suka nulis, tapi pengennya sekali
tulis dan langsung post aja. Nggak pengen ngedit-ngedit ulang, hehe. tapi past
ku baca, ternyata tulisanku itu lompat-lompat, nggak nyambung dari paragraph 1
ke yang lain. Ahhaha,” tanya dek Jo.
“Jarang diedit sih Dek. Palingan kalau ada yang typo-typo
aja. kecuali kalau itu tulisan ilmiah ya. Itu memang butuh diedit bener-bener
sebelum dipost atau dikirim ke penyelenggara.”
“Sumpahlah Kak? Ya ampuuun, tapi kok bisa sebagus itu sih
tulisan Kaka?”
“Emmm.. coba Adek terusin dan tekunin dulu nulis ala
instan-mu itu Dek. Nanti lama-lama Adek pasti nyaman dan mulai nemuin ciri khas
Adek. Siapa tahu aja memang gayamu lompat-lompat nulisnya Dek. Ahhaa.”
Pukul 22.35wib kami beranjak pulang setelah salam-salamaan
dan berterimakasih kepada kak Leni dan kak Peni.
“Jangan lupa ya hari rabu ke KUI untuk ngambil sertifikat
dan honor,” kata kak Leni.
“Wah, ada honornya juga ya Kak?” kataku.
“Alhamdulillah, akhirnya aku bisa beli mobil mewah berkat
KUI.”
“Akhirnya aku bisa punya rumah baru berkat KUI.”
Dan aneka macam akhirnya-akhirnya yang lain yang lebih
mustahil lagi. hahaa. Panitia English Camp 2016 emang ketceh-ketceh ya
pemirsaaa. Nice committee, nice
participant and nice agenda! Love it much! Aku pasti akan merindukan kalian
semua dan semua momen ini.
3 komentar:
Nice moment, we must miss its
Nice moment, we must miss its
Posting Komentar